KIARA: Reklamasi Pantai Diskriminasi Nelayan Tradisional

Sektor Perikanan Tangkap

Senin, 17/06/2013

Jakarta – Terjadinya diskriminasi terhadap masyarakat nelayan semakin meningkat akibat proses pembangunan yang kian merampas wilayah perairan tradisionalnya. Hal ini disampaikan oleh Dewan HAM PBB melalui Resolusi Nomor A/HRC/19/75 tentang “Kemajuan Hak-hak Petani dan Masyarakat Lain yang Bekerja di Pedesaan”.

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengumumkan, Pusat Data dan Informasi KIARA (Juni 2013) mendapati fakta bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang tengah menjalankan proyek reklamasi tersebar di 22 kabupaten/kota di Indonesia. Sedikitnya 18.151 KK nelayan tradisional di 8 wilayah pesisir tergusur akibat praktek pengkaplingan dan komersialisasi melalui reklamasi pantai.

“Reklamasi pantai merupakan bentuk penyingkiran masyarakat nelayan tradisional. Inilah praktek pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Negara. Belum lagi dampaknya terhadap ekosistem pesisir dan laut, di antaranya: pertama, perubahan pola sedimentasi akibat perubahan garis pantai, hidrologi dan potensi intensitas kegiatan di lokasi reklamasi; dan kedua ekosistem mangrove (baik di pesisir pantai yang direklamasi maupun kawasan disekitarnya) akan rusak sehingga fungsi ekologis sebagai daerah perlindungan pantai, filter sedimen serta lokasi pembesaran dan perlindungan ikan menjadi hilang. Demikian juga sirkulasi dalam ‘waduk’ sangat lemah sehingga berdampak pada masalah eutrofikasi akibat suplai organik dari sungai-sungai yang ‘tersumbat’ karena keberadaan reklamasi,” ujar Selamet Daroyni, Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan KIARA dalam siaran tertulisnya, Minggu.

Di samping itu, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil jelas bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil terhadap UUD 1945 yang menegaskan pelarangan praktek pengkaplingan dan komersialisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Dengan harapan agar kehidupan masyarakat nelayan tradisional tidak semakin dimiskinkan dan terdiskriminasi, KIARA mendesak Presiden SBY untuk menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi dengan mengevaluasi Perpres dan aturan terkait lainnya; serta melakukan harmonisasi kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam rangka memenuhi dan melindungi hajat hidup masyarakat nelayan tradisional.

Sebelumnya KIARA meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan DPR RI segera membahas RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan guna menyejahterakan nelayan. “Dari konsultasi publik yang dilakukan FAO (Badan Pertanian Pangan PBB) di Indonesia telah menghasilkan dua poin rumusan perlindungan nelayan tradisional,” kata Sekretaris Jenderal Kiara, Abdul Halim.

Halim menjelaskan, dua rumusan tersebut antara lain adalah pemenuhan hak-hak warga negara sebagaimana hak asasi manusia dalam hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan hak untuk berbudaya. Sementara rumusan kedua adalah pedoman perlindungan nelayan tradisional harus mencakup hak-hak nelayan tradisional yang telah dirumuskan melalui instrumen perlindungan nelayan.

Dijelaskan Halim, prospek perlindungan nelayan tradisional di Indonesia mendapatkan momentum penting pada 16 Juni 2011 ketika Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan aturan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) yang menjadi instrumen kebijakan privatisasi dan komersialisasi perairan pesisir yang terkandung dalam UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Dia mengingatkan, MK dalam pertimbangannya menjabarkan empat hak konstitusional nelayan Indonesia, yakni hak untuk melintas di laut; hak untuk mengelola sumber daya melalui kearifan lokal, hak memanfaatkan sumber daya alam untuk kepentingan nelayan, serta hak untuk mendapatkan lingkungan perairan yang bersih dan sehat.

Sumber: http://www.neraca.co.id/harian/article/29601/KIARA.Reklamasi.Pantai.Diskriminasi.Nelayan.Tradisional

Pemberantasan Pencurian Ikan: Sea and Coast Guard Jawaban Tumpang Tindih Koordinasi

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

 

Pemberantasan Pencurian Ikan: Sea and Coast Guard Jawaban Tumpang Tindih Koordinasi

Jakarta, 10 Juni 2013. Pengawasan perikanan Indonesia tidak optimal disebabkan adanya tumpang tindih antar kementerian sektoral sehingga pencurian ikan tidak akan pernah bisa berkurang. Data KIARA menunjukkan sepanjang 2001 – 2013, terdapat 6.215 kasus pencurian ikan. Dari jumlah itu, 60 persen lebih atau 3.782 kasus terjadi hingga Nopember 2012.

Penyidikan tindak pidana di bidang perikanan dilakukan berdasarkan Pasal 73 UU No. 31 Tahun 2004 jo UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Penyidik Perwira TNI AL dan/atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal tersebut menjadi dasar penyidikan pencurian ikan dapat dilakukan dilakukan oleh lembaga yang disebut.

Selain itu juga dalam beberapa peraturan perundngan yang terkait dengan semisal di UU Tentara Nasional Indonesia juga memandatkan upaya pemberantasan pencurian ikan. Dalam penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf g angka 3 UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia menjelaskan TNI bertugas untuk menjaga kedaulatan Negara yang berupa ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan Negara termasuk juga ancaman keamanan di laut atau udara yurisdiksi nasional Indonesia, termasuk Penangkapan ikan secara ilegal atau pencurian kekayaan laut.

Tumpang tindih pemberantasan pencurian ikan ditandai dengan dibentuknya Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) berdasarkan Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Keamanan Laut. Dasar yuridis pembentukannya adalah UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang dibuat sebagai turunan dari Konvensi tentang Hukum Laut (UNCLOS). Patut diperhatikan adalah UU Perairan tersebut basisnya tentang perhubungan laut dan tidak dengan tegas menyebutkan tentang adanya pemberantasan pencurian ikan. Ditambah lagi, Bakorkamla bersifat koordinasi 13 kementerian dan lembaga

Menjawab tumpang tindih upaya pemberantasan perikanan dapat dilakukan dengan menjalankan mandat UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran untuk membentuk Lembaga Penjaga Laut dan Pantai. Alasannya adalah pertama, lembaga tersebut yang akan fungsi penjagaan dan penegakan peraturan perundang-undangan di laut dan pantai yang termasuk dalamnya UU Perikanan.

Lembaga tersebut akan bertanggungjawab kepada Presiden dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh Menteri. Merujuk kepada penjelasan UU Pelayaran bahwa lembaga Penjaga Laut dan Pantai memiliki fungsi komando dalam penegakan aturan di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran, dan fungsi koordinasi di bidang penegakan hukum di luar keselamatan pelayaran. Dasar pembentukannya lebih tinggi dari Perpres yaitu berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Kedua, lembaga Penjaga Laut dan Pantai mempunyai tugas, fungsi dan wewenang yang lebih komprehensif dibanding dengan Bakorkamla. Tugas, fungsi dan wewenang Lembaga Penjaga Laut dan Pantai berdasarkan UU Pelayaran yaitu:

Tugas berdasarkan Pasal 276 ayat (1) UU Pelayaran Fungsi berdasarkan Pasal 277 ayat (1) Wewenang berdasarkan Pasal 278 ayat (1)
Untuk menjamin terselenggaranya keselamatan dan keamanan di laut dilaksanakan fungsi penjagaan dan penegakan peraturan perundang-undangan di laut dan pantai. a. melakukan pengawasan keselamatan dan keamanan pelayaran; a. melaksanakan patroli laut;
b. melakukan pengawasan, pencegahan, dan penanggulangan pencemaran di laut; b. melakukan pengejaran seketika (hot pursuit);

 

c. pengawasan dan penertiban kegiatan serta lalu lintas kapal; c. memberhentikan dan memeriksa kapal di laut; dan
d. pengawasan dan penertiban kegiatan salvage,

pekerjaan bawah air, serta eksplorasi dan eksploitasi

kekayaan laut;

d. melakukan penyidikan.
e. pengamanan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran; dan  
f. mendukung pelaksanaan kegiatan pencarian dan

pertolongan jiwa di laut.

 
penjaga laut dan pantai

melaksanakan tugas sebagai Pejabat Penyidik Pegawai

Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

 

 

Terakhir, apabila lembaga Penjaga Laut dan Pantai tersebut telah terbentuk maka anggaran dan sumber daya pengawasan dapat terfokus ke dalam satu lembaga khusus. Sehingga anggaran pengawasan laut dapat optimal melakukan upaya pemberantasan pencurian ikan dengan tidak tersebar di kementerian atau lembaga lain.

 

Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi:

A. Marthin Hadiwinata, koordinator Advokasi Hukum dan Kebijakan

di +62812 860 30 453