Negara Belum Menempatkan Masyarakat Pesisir, Nelayan Tradisional dan Adat sebagai Subjek Penting dalam Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Pesisir

Siaran Pers Bersama

Masyarakat Adat Lamalera

Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Wilayah Lombok Timur

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

 

Revisi UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Negara Belum Menempatkan Masyarakat Pesisir, Nelayan Tradisional dan Adat sebagai Subjek Penting dalam Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Pesisir

 

Malinau, 26 September 2013. Masyarakat adat dari berbagai wilayah di Indonesia menyelenggarakan pertemuan tentang “Pengakuan dan Penguatan Pengelolaan Hutan Adat dan Kawasan Konservasi oleh Masyarakat Adat” sejak 24-26 September 2013 di Malinau, Kalimantan Utara. Dalam pertemuan ini, masyarakat adat membicarakan pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat adat dan komunitas lokal. Banyak hal penting yang muncul, khususnya revisi UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K).

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VIII/2010 tentang uji materil UU PWP3K, nelayan tradisional dan masyasarakat adat ditempatkan sebagai subyek penting dalam pengelolaan sumber daya pesisir. Putusan tersebut menghendaki negara melalui pemerintah memberikan perlindungan kepada nelayan tradisional dan masyarakat hukum adat, baik dalam partisipasi penyusunan rencana pengelolaan maupun pemanfaatan sumber daya pesisir, dengan tidak menciptakan kompetisi bebas dengan badan hukum swasta. Jika hal ini dilakukan, tujuan bernegara sebagaimana tercantum di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengenai pemanfaatan sumber daya alam untuk “sebesar-besar kemakmuran rakyat” dapat dipenuhi.

Menyangkut hal itu, Amin Abdullah, nelayan tradisional yang tergabung di dalam KNTI wilayah Lombok Timur menyatakan, “Nelayan tradisional telah turun-temurun mengelola sumber daya pesisir secara lestari dengan mengkonservasi pesisirnya melalui hukum adat. Di Lombok Timur, dikenal dengan istilah awig-awig. Jadi tidak boleh ada pengkaplingan dan komersialisasi”.

Awig-awig merupakan aturan pengelolaan sumber daya pesisir yang disepakati oleh masyarakat dengan mekanisme sengketa dan pemberian sanksi. Awig-awig memiliki dasar hukum Perda Lombok Timur No. 9 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pantai secara Partisipatif. Karenanya,  nelayan tradisional, tambah Amin, seharusnya mendapatkan perlindungan dan pelayanan khusus dalam revisi UU PWP-PPK.

Setali tiga uang, Bona Beding dari Masyarakat Adat Lamalera, Nusa Tenggara Timur, menambahkan, “Masyarakat adat secara turun-temurun tinggal di wilayah pesisir dan melakukan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pesisir dengan sistem nilai dan budaya yang terbukti lestari dan berkelanjutan”. Namun hingga kini eksistensi masyarakat adat dengan hak ulayat lautnya tidak mendapatkan pengakuan dan perlindungan Negara. Bahkan seolah-olah diabaikan hak konstitusionalnya.

Sangat penting bagi negara, jelas Bona, agar secara aktif mengakui keberadaan masyarakat adat yang memiliki hak dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Caranya, pemerintah harus menjamin hak persetujuan dan penolakan masyarakat adat dalam setiap bentuk pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pesisir di wilayah ulayat lautnya.

“Dalam proses revisi UU Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, hal yang harus diselesaikan adalah: pertama, pelaksanaan hak masyarakat nelayan dan adat menyangkut persetujuan dan penolakan terhadap bentuk-bentuk pemanfaatan sumber daya pesisir. Karena dampaknya pasti kembali ke mereka. Kedua, menghilangkan sektoralisme pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini akan berimbas positif terhadap pemanfaatannya yang dapat dikendalikan dan menghindarkan konflik antarsektor, seperti pertambangan, perkebunan, perhubungan, kehutanan, dan pariwisata,” tutup Ahmad Marthin Hadiwinata, Koordinator Advokasi Hukum dan Kebijakan KIARA.

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Amin Abdullah, KNTI Region Lombok Timur

di +62 818 0578 5720

Bona Beding, Masyarakat Adat Lamalera, Nusa Tenggara Timur

di +62 813 1536 2141

Ahmad Marthin Hadiwinata, Koordinator Advokasi Hukum dan Kebijakan KIARA

di +62812 8603 0453