Govt told to support local initiatives in mangrove conservation

Govt told to support local  initiatives in mangrove conservation

The Jakarta Post, Jakarta | National |

A non-government organization has warned that Indonesia will suffer a serious loss of mangrove forests unless the government demonstrates seriousness in supporting local mangrove conservation initiatives.

The People’s Coalition for Fisheries Justice Indonesia (KIARA) said the conversion of mangrove continued to take place, both in Sumatra and eastern parts of Indonesia.

“Ironically, the initiatives of fishermen in rehabilitating mangrove forests have often met resistance both from the government and companies due to overlapping rules,” said KIARA secretary general Abdul Halim in a statement to commemorate the 2013 World Mangrove Day, on Sunday.

KIARA said mangrove destruction continued, particularly through the conversion of mangrove land to palm oil plantations and shrimp farms as well as reclamation of coastal land in cities.

KIARA urged the government to revoke the expansion permits for palm plantations, shrimp farms and coastal reclamation that have led to the damage of mangrove forests.

“The government should also prioritize their resources to support the initiatives of fishing communities in rehabilitating mangroves such as have taken place in Langkat and Serdang Bedagai in North Sumatra and East Lombok in West Nusa Tenggara,” Abdul Halim said.

Citing data from the Indonesian Traditional Fishermen Association (KNTI), it stated the coverage of mangrove forests in Langkat regency, North Sumatra, had now declined to only 10,000 hectares from 35,000 hectares in 2010 due to massive expansion of shrimp farming and palm oil plantations in the regency’s coastal areas.

“In their efforts to reclaim 1,200 hectares of mangrove forests in Langkat that had been converted into palm oil plantations, fishermen have found themselves in conflict with oil palm companies,” said Abdul Halim. (ebf)

Sumber : http://www.thejakartapost.com/news/2013/07/28/govt-told-support-local-initiatives-mangrove-conservation.html

KELAUTAN: Anggaran Dipotong 20 Persen

KELAUTAN: Anggaran Dipotong 20 Persen

JAKARTA, KOMPAS – Keberpihakan dan perhatian pemerintah terhadap pembangunan kelautan dan perikanan semakin mundur. Hal itu tercermin dari pengurangan alokasi anggaran Negara terhadap sektor kelautan dan perikanan hingga 20 persen.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim di Jakarta, Selasa (3/9), mengemukakan, visi pembangunan kelautan dan perikanan serta gagasan ekonomi biru berpotensi tidak bisa diterapkan maksimal.

Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2014, anggaran belanja Kementerian Kelautan dan Perikanan ditetapkan Rp. 5,601 triliun. Anggaran itu menurun 20 persen jika dibandingkan dengan APBN Perubahan 2013 yang sebesar Rp. 6,979 triliun.
Penurunan anggaran kelautan dan perikanan berlangsung ketika total anggaran belanja Negara dinaikan 5,2 persen, yakni Rp. 1.816,7 triliun atau naik 5,2 persen dari pagu belanja Negara pada APBN-P 2013 yang sebesar 6,979 triliun.

“Pengurangan anggaran sektor kelautan dan perikanan mencerminkan tiadanya visi kelautan dalam pembangunan Indonesia meski 70% wilayahnya adalah laut,” ujarnya.

Halim menambahkan, tahun depan anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan hanya 0,308 dari total rencana belanja Negara sebesar Rp. 1.816,7 triliun. Dengan anggaran yang minim, upaya penyejahteraan masyarakat nelayan tradisional akan tersendat.

Apalagi, tambah Halim, tahun ini porsi anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan diarahkan untuk peningkatan produksi, tetapi belum menyentuh peningkatan kesejahteraan nelayan. Program tahun ini dipusatkan, antara lain, pada pengembangan dan pengelolaan perikanan tangkap (24,02 persen) dan pengembangan dan pengelolaan perikanan budidaya (17,37 persen).

Secara terpisah Sekertaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan Sjarief Widjaja mengatakan, pihaknya terus berupaya menumbuhkan wirausaha kecil dan menengah di bidang kelautan dan perikanan.

Sjarief mencontohkan, saat ini wirausaha mikro di bidang pengolahan dan pemasaran berjumlah 63.000 orang dengan total omzet sekitar Rp. 650 miliar per tahun. Sekitar 80 persen kontribusi penghasilan berasal dari komoditas berbahan ikan laut dan rumput laut. (LKT)

Sumber: Kompas, Rabu (4 September 2013), Halaman 18

Anggaran KKP 2014 dipangkas jadi Rp5,6 triliun

Anggaran KKP 2014 dipangkas jadi Rp5,6 triliun

Sindonews.com – Anggaran Belanja Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 2014 mengalami penurunan signifikan dari Rp6,979,5 triliun pada APBN-P 2013 menjadi Rp5,601,5 triliun (RAPBN 2014).

Sementara anggaran belanja Negara direncanakan mencapai Rp1.816,7 triliun, naik 5,2 persen dari pagu belanja negara pada APBNP 2013 sebesar Rp1.726,2 triliun.

Koordinator KIARA, Abdul Halim mengatakan, pengurangan anggaran ini mencerminkan tak ada visi kelautan dalam pembangunan Indonesia, meski 70 persen wilayahnya adalah laut. Indikasi dari rencana belanja negara sebesar Rp1.816,7 triliun, terdiri atas belanja pemerintah pusat Rp1.230,3 triliun dan transfer ke daerah Rp586,4 triliun, sedangkan anggaran KKP hanya 0,308 persen.

Menurutnya dengan anggaran yang minim, upaya penyejahteraan masyarakat nelayan tradisional akan mengalami kendala. Apalagi, mengacu pada porsi anggaran KKP pada 2013, sebaran anggaran terbesar berada di pos program pengembangan dan pengelolaan perikanan tangkap (24,02 persen), disusul program pengembangan dan pengelolaan perikanan budidaya (17,37 persen), program pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan (11,51 persen), serta program pengelolaan sumber daya laut, pesisir dan pulau-pulau-pulau kecil (8,95 persen).

“Ironisnya, prioritas anggaran diarahkan semata untuk meningkatkan peningkatan produksi dan mengenyampingkan kesejahteraan manusianya. Hal ini bisa dilihat di kampung-kampung nelayan yang notabene dikenal sebagai kantong-kantong sumber daya ikan,” ujar Abdul dalam keterangan tertulisnya, Rabu (4/9/2013).

Fakta lain, Pusat Data dan Informasi KIARA (Agustus 2013) mencatat dalam periode Januari-Juli 2013 sedikitnya 147 nelayan tradisional hilang dan meninggal dunia di laut. Data ini menunjukkan pembiaran negara atas warganya yang mempertaruhkan nyawa tanpa perlindungan sedikitpun. Potret ini terus memburuk dari tahun ke tahun. Mestinya ada pembenahan pelayanan hak dasar warga oleh Negara, termasuk kepada nelayan perempuan.

Sumber : http://ekbis.sindonews.com/read/2013/09/04/34/779410/anggaran-kkp-2014-dipangkas-jadi-rp5-6-triliun

Anggaran KKP 2014 dipangkas jadi Rp5,6 triliun

Anggaran KKP 2014 dipangkas jadi Rp5,6 triliun

Sindonews.com – Anggaran Belanja Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 2014 mengalami penurunan signifikan dari Rp6,979,5 triliun pada APBN-P 2013 menjadi Rp5,601,5 triliun (RAPBN 2014).

Sementara anggaran belanja Negara direncanakan mencapai Rp1.816,7 triliun, naik 5,2 persen dari pagu belanja negara pada APBNP 2013 sebesar Rp1.726,2 triliun.

Koordinator KIARA, Abdul Halim mengatakan, pengurangan anggaran ini mencerminkan tak ada visi kelautan dalam pembangunan Indonesia, meski 70 persen wilayahnya adalah laut. Indikasi dari rencana belanja negara sebesar Rp1.816,7 triliun, terdiri atas belanja pemerintah pusat Rp1.230,3 triliun dan transfer ke daerah Rp586,4 triliun, sedangkan anggaran KKP hanya 0,308 persen.

Menurutnya dengan anggaran yang minim, upaya penyejahteraan masyarakat nelayan tradisional akan mengalami kendala. Apalagi, mengacu pada porsi anggaran KKP pada 2013, sebaran anggaran terbesar berada di pos program pengembangan dan pengelolaan perikanan tangkap (24,02 persen), disusul program pengembangan dan pengelolaan perikanan budidaya (17,37 persen), program pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan (11,51 persen), serta program pengelolaan sumber daya laut, pesisir dan pulau-pulau-pulau kecil (8,95 persen).

“Ironisnya, prioritas anggaran diarahkan semata untuk meningkatkan peningkatan produksi dan mengenyampingkan kesejahteraan manusianya. Hal ini bisa dilihat di kampung-kampung nelayan yang notabene dikenal sebagai kantong-kantong sumber daya ikan,” ujar Abdul dalam keterangan tertulisnya, Rabu (4/9/2013).

Fakta lain, Pusat Data dan Informasi KIARA (Agustus 2013) mencatat dalam periode Januari-Juli 2013 sedikitnya 147 nelayan tradisional hilang dan meninggal dunia di laut. Data ini menunjukkan pembiaran negara atas warganya yang mempertaruhkan nyawa tanpa perlindungan sedikitpun. Potret ini terus memburuk dari tahun ke tahun. Mestinya ada pembenahan pelayanan hak dasar warga oleh Negara, termasuk kepada nelayan perempuan.

Sumber : http://ekbis.sindonews.com/read/2013/09/04/34/779410/anggaran-kkp-2014-dipangkas-jadi-rp5-6-triliun

Perlindungan Kerja Terhadap Nelayan Selama Ini Terabaikan

Perlindungan Kerja Terhadap Nelayan Selama Ini Terabaikan

 

JAKARTA, (PRLM).- Sebanyak 147 nelayan tradisional hilang dan meninggal di laut lepas ketika mencari ikan selama kurun waktu enam bulan terakhir. Perlindungan kerja terhadap nelayan tradisional di Indonesia selama ini kerap terabaikan.

Padahal, sekitar 70 persen wilayah Indonesia adalah laut dan ada sekitar 6 juta penduduknya menggantungkan hidup dari melaut. Sekretaris Jenderal KIARA, Abdul Halim mengatakan itu di Jakarta, Kamis (5/9/2013).

Kecelakaan yang dialami para nelayan itu mayoritas disebabkan oleh cuaca ekstrim di laut. Mereka pergi melaut dengan informasi yang sangat minim mengenai keadaan cuaca.

Menurut Abdul, selama ini pemerintah melalui Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memang telah memasang informasi cuaca itu agar dapat diakses publik.

“Sayangnya, pemerintah baru pasang via internet. Mayoritas nelayan tidak punya akses internet sehingga jarang mengetahui informasi cuaca,” ujarnya.

Organisasi yang aktif mengadvokasi hak-hak nelayan itu menuntut agar pemerintah memperbaiki metode penyampaian informasi cuaca agar dapat diakses langsung oleh para nelayan.

Di antaranya dengan penyebaran informasi cuaca melalui pesan singkat telefon seluler kepada kelompok nelayan di tiap kecamatan. “Atau dengan memanfaatkan rumah ibadah sebagai pos informasi cuaca, misalnya masjid atau gereja di perkampungan nelayan,” katanya.

Abdul menambahkan bahwa kini nelayan tidak lagi cukup mengandalkan kearifan lokal dalam membaca tanda-tanda alam sebagai bekal sebelum melaut.

Mereka tetap harus dibekali dengan informasi cuaca yang akurat dari lembaga seperti BMKG dan KKP. Seharusnya pemerintah dapat memperhatikan hal ini karena cuaca ekstrim ini bukan fenomena baru agar korban dari pihak nelayan tradisional tidak terus berjatuhan sepanjang waktu.

“Jumlah korban kecelakaan nelayan tradisional meningkat terus dari tahun ke tahun. Pemerintah harus segera mengantisipasinya,” ucapnya.

Pada kesempatan itu, Abdul juga mengkritisi alokasi anggaran di tubuh KKP yang dinilai belum memperhatikan kesejahteraan nelayan. Dari Rp 5,6 triliun dana yang dialokasikan untuk KKP dalam RAPBN 2014, mayoritas anggaran hanya diarahkan untuk meningkatkan produksi.

“Fakta ini menunjukkan pembiaran Negara atas warganya yang mempertaruhkan nyawa tanpa perlindungan sedikitpun. Potret ini terus memburuk dari tahun ke tahun. Mestinya ada pembenahan pelayanan hak dasar warga oleh Negara,” katanya.

Dari segi nilai, anggaran KKP pun menurun 20% dari nilai tahun lalu, yaitu dari semula Rp 6,979,5 triliun dalam APBN-P 2013 menjadi Rp 5,601,5 triliun. Sementara anggaran belanja Negara direncanakan mencapai Rp1.816,7 triliun, naik 5,2 persen dari pagu belanja negara pada APBNP Tahun 2013 yang sebesar Rp1.726,2 triliun.

“Pengurangan anggaran ini mencerminkan tiadanya visi kelautan dalam pembangunan Indonesia, meski 70 persen wilayahnya adalah laut. Indikasinya, dari rencana belanja negara sebesar Rp1.816,7 triliun, terdiri atas belanja Pemerintah Pusat Rp1.230,3 triliun dan transfer ke daerah Rp586,4 triliun, anggaran KKP hanya 0,308 persen,” katanya.

Dengan anggaran yang minim, upaya penyejahteraan masyarakat nelayan tradisional akan mengalami kendala. Apalagi, mengacu pada porsi anggaran KKP di tahun 2013, sebaran anggaran terbesar berada di pos program pengembangan dan pengelolaan perikanan tangkap (24,02%).

Disusul oleh program pengembangan dan pengelolaan perikanan budidaya (17,37%), program pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan (11,51%), dan program pengelolaan sumber daya laut, pesisir dan pulau-pulau-pulau kecil (8,95%).

“Ironisnya, prioritas anggarannya diarahkan semata untuk meningkatkan peningkatan produksi dan mengenyampingkan kesejahteraan manusianya,” tuturnya. (A-156/A-89)***

 

Sumber: http://m.pikiran-rakyat.com/node/249491

Perlindungan Kerja Terhadap Nelayan Selama Ini Terabaikan

Perlindungan Kerja Terhadap Nelayan Selama Ini Terabaikan

 

JAKARTA, (PRLM).- Sebanyak 147 nelayan tradisional hilang dan meninggal di laut lepas ketika mencari ikan selama kurun waktu enam bulan terakhir. Perlindungan kerja terhadap nelayan tradisional di Indonesia selama ini kerap terabaikan.

Padahal, sekitar 70 persen wilayah Indonesia adalah laut dan ada sekitar 6 juta penduduknya menggantungkan hidup dari melaut. Sekretaris Jenderal KIARA, Abdul Halim mengatakan itu di Jakarta, Kamis (5/9/2013).

Kecelakaan yang dialami para nelayan itu mayoritas disebabkan oleh cuaca ekstrim di laut. Mereka pergi melaut dengan informasi yang sangat minim mengenai keadaan cuaca.

Menurut Abdul, selama ini pemerintah melalui Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memang telah memasang informasi cuaca itu agar dapat diakses publik.

“Sayangnya, pemerintah baru pasang via internet. Mayoritas nelayan tidak punya akses internet sehingga jarang mengetahui informasi cuaca,” ujarnya.

Organisasi yang aktif mengadvokasi hak-hak nelayan itu menuntut agar pemerintah memperbaiki metode penyampaian informasi cuaca agar dapat diakses langsung oleh para nelayan.

Di antaranya dengan penyebaran informasi cuaca melalui pesan singkat telefon seluler kepada kelompok nelayan di tiap kecamatan. “Atau dengan memanfaatkan rumah ibadah sebagai pos informasi cuaca, misalnya masjid atau gereja di perkampungan nelayan,” katanya.

Abdul menambahkan bahwa kini nelayan tidak lagi cukup mengandalkan kearifan lokal dalam membaca tanda-tanda alam sebagai bekal sebelum melaut.

Mereka tetap harus dibekali dengan informasi cuaca yang akurat dari lembaga seperti BMKG dan KKP. Seharusnya pemerintah dapat memperhatikan hal ini karena cuaca ekstrim ini bukan fenomena baru agar korban dari pihak nelayan tradisional tidak terus berjatuhan sepanjang waktu.

“Jumlah korban kecelakaan nelayan tradisional meningkat terus dari tahun ke tahun. Pemerintah harus segera mengantisipasinya,” ucapnya.

Pada kesempatan itu, Abdul juga mengkritisi alokasi anggaran di tubuh KKP yang dinilai belum memperhatikan kesejahteraan nelayan. Dari Rp 5,6 triliun dana yang dialokasikan untuk KKP dalam RAPBN 2014, mayoritas anggaran hanya diarahkan untuk meningkatkan produksi.

“Fakta ini menunjukkan pembiaran Negara atas warganya yang mempertaruhkan nyawa tanpa perlindungan sedikitpun. Potret ini terus memburuk dari tahun ke tahun. Mestinya ada pembenahan pelayanan hak dasar warga oleh Negara,” katanya.

Dari segi nilai, anggaran KKP pun menurun 20% dari nilai tahun lalu, yaitu dari semula Rp 6,979,5 triliun dalam APBN-P 2013 menjadi Rp 5,601,5 triliun. Sementara anggaran belanja Negara direncanakan mencapai Rp1.816,7 triliun, naik 5,2 persen dari pagu belanja negara pada APBNP Tahun 2013 yang sebesar Rp1.726,2 triliun.

“Pengurangan anggaran ini mencerminkan tiadanya visi kelautan dalam pembangunan Indonesia, meski 70 persen wilayahnya adalah laut. Indikasinya, dari rencana belanja negara sebesar Rp1.816,7 triliun, terdiri atas belanja Pemerintah Pusat Rp1.230,3 triliun dan transfer ke daerah Rp586,4 triliun, anggaran KKP hanya 0,308 persen,” katanya.

Dengan anggaran yang minim, upaya penyejahteraan masyarakat nelayan tradisional akan mengalami kendala. Apalagi, mengacu pada porsi anggaran KKP di tahun 2013, sebaran anggaran terbesar berada di pos program pengembangan dan pengelolaan perikanan tangkap (24,02%).

Disusul oleh program pengembangan dan pengelolaan perikanan budidaya (17,37%), program pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan (11,51%), dan program pengelolaan sumber daya laut, pesisir dan pulau-pulau-pulau kecil (8,95%).

“Ironisnya, prioritas anggarannya diarahkan semata untuk meningkatkan peningkatan produksi dan mengenyampingkan kesejahteraan manusianya,” tuturnya. (A-156/A-89)***

 

Sumber: http://m.pikiran-rakyat.com/node/249491

KIARA: Menteri Kelautan dan Perikanan Jebak Presiden SBY

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

 

Revisi UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

KIARA: Menteri Kelautan dan Perikanan Jebak Presiden SBY

 

Jakarta, 8 September 2013. Rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) merevisi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP-PPK) dengan menggelar Konsultasi Publik serentak di 3 lokasi, yakni Universitas Brawijaya, Malang; Universitas Diponegoro, Semarang; dan Institut Pertanian Bogor (IPB), pada Senin (9/09) esok, tanpa melibatkan nelayan tradisional dan masyarakat adat yang tersebar di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan tunduk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 akan berakibat pada konflik horisontal dan kriminalisasai nelayan dan masyarakat pesisir.

Dalam dokumen revisi UU Pesisir versi KKP, konsep perizinan berupa Izin Pemanfaatan Perairan Pesisir (IP3) dan Izin Pemanfaatan Ruang Perairan Pesisir (IPRP2) dinilai bersemangat melegalisasi pengkaplingan dan komersialisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil seperti halnya Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi berdasarkan hasil uji materi UU Pesisir terdahulu.

Tidak jauh berbeda dengan HP3, karena subjek yang dapat diberikan untuk IP3 dan IPRP2 adalah orang baik berupa perseorangan maupun badan hukum. Proses perizinan tersebut tidak menempatkan nelayan tradisional sebagai subjek penting dalam mengelola sumber daya pesisir. Sehingga akan terjadi persaingan yang tidak sebanding dengan swasta untuk dapat memanfaatkan sumber daya pesisir.

Persaingan tersebut dapat berakibat adanya pembatasan akses. Antara lain dengan cara mengkriminalkan usaha pemanfaatan sumber daya pesisir yang terlebih dahulu ada namun masih tidak memiliki IP3 atau IPRP2. Apalagi sampai dengan hari ini masih terjadi penguasaan areal wilayah pesisir untuk kepentingan individu yang membatasi akses nelayan dan publik ke pantai/laut. 

Konsep penguasaan areal lokasi berpotensi menjadi pengkaplingan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan memberikan IP3 dan IPRP2 sebagai izin lokasi terhadap kegiatan usaha. Akibatnya terjadi eksploitasi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Seharusnya pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus mengedepankan prinsip dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Dalam konteks ini, Mahkamah Konstitusi telah menjabarkan empat tolak ukurnya, yakni kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat, tingkat pemerataan sumber daya alam bagi rakyat. Lalu, tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam, dan penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun. 

Untuk itu, KIARA mendesak: pertama, Presiden SBY untuk mengevaluasi kinerja Menteri Kelautan dan Perikanan yang berpotensi menjebak dirinya karena draf revisi UU Pesisir yang diusung KKP bertolak belakang dengan amanah UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi.

Kedua, kepada DPR, KIARA mendesak untuk tidak melangsungkan pembahasan revisi UU 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil karena hanya akan menghamburkan anggaran negara dan mengulangi kesalahan.

Ketiga, kepada akademisi di lingkungan universitas untuk mengkritisi rencana KKP merevisi UU Pesisir dan Pulau-pulau Kecil karena semangatnya masih mengkapling, mengkomersialisasi, dan bahkan mengkriminalisasi nelayan dan masyarakat adat. Pendek kata, substansi yang dibawa melalui inisiatif ini bertentangan dengan amanah Konstitusi: UUD 1945.***

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA

di +62 815 53100 259

KIARA: Menteri Kelautan dan Perikanan Jebak Presiden SBY

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

 

Revisi UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

KIARA: Menteri Kelautan dan Perikanan Jebak Presiden SBY

 

Jakarta, 8 September 2013. Rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) merevisi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP-PPK) dengan menggelar Konsultasi Publik serentak di 3 lokasi, yakni Universitas Brawijaya, Malang; Universitas Diponegoro, Semarang; dan Institut Pertanian Bogor (IPB), pada Senin (9/09) esok, tanpa melibatkan nelayan tradisional dan masyarakat adat yang tersebar di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan tunduk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 akan berakibat pada konflik horisontal dan kriminalisasai nelayan dan masyarakat pesisir.

Dalam dokumen revisi UU Pesisir versi KKP, konsep perizinan berupa Izin Pemanfaatan Perairan Pesisir (IP3) dan Izin Pemanfaatan Ruang Perairan Pesisir (IPRP2) dinilai bersemangat melegalisasi pengkaplingan dan komersialisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil seperti halnya Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi berdasarkan hasil uji materi UU Pesisir terdahulu.

Tidak jauh berbeda dengan HP3, karena subjek yang dapat diberikan untuk IP3 dan IPRP2 adalah orang baik berupa perseorangan maupun badan hukum. Proses perizinan tersebut tidak menempatkan nelayan tradisional sebagai subjek penting dalam mengelola sumber daya pesisir. Sehingga akan terjadi persaingan yang tidak sebanding dengan swasta untuk dapat memanfaatkan sumber daya pesisir.

Persaingan tersebut dapat berakibat adanya pembatasan akses. Antara lain dengan cara mengkriminalkan usaha pemanfaatan sumber daya pesisir yang terlebih dahulu ada namun masih tidak memiliki IP3 atau IPRP2. Apalagi sampai dengan hari ini masih terjadi penguasaan areal wilayah pesisir untuk kepentingan individu yang membatasi akses nelayan dan publik ke pantai/laut. 

Konsep penguasaan areal lokasi berpotensi menjadi pengkaplingan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan memberikan IP3 dan IPRP2 sebagai izin lokasi terhadap kegiatan usaha. Akibatnya terjadi eksploitasi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Seharusnya pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus mengedepankan prinsip dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Dalam konteks ini, Mahkamah Konstitusi telah menjabarkan empat tolak ukurnya, yakni kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat, tingkat pemerataan sumber daya alam bagi rakyat. Lalu, tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam, dan penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun. 

Untuk itu, KIARA mendesak: pertama, Presiden SBY untuk mengevaluasi kinerja Menteri Kelautan dan Perikanan yang berpotensi menjebak dirinya karena draf revisi UU Pesisir yang diusung KKP bertolak belakang dengan amanah UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi.

Kedua, kepada DPR, KIARA mendesak untuk tidak melangsungkan pembahasan revisi UU 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil karena hanya akan menghamburkan anggaran negara dan mengulangi kesalahan.

Ketiga, kepada akademisi di lingkungan universitas untuk mengkritisi rencana KKP merevisi UU Pesisir dan Pulau-pulau Kecil karena semangatnya masih mengkapling, mengkomersialisasi, dan bahkan mengkriminalisasi nelayan dan masyarakat adat. Pendek kata, substansi yang dibawa melalui inisiatif ini bertentangan dengan amanah Konstitusi: UUD 1945.***

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA

di +62 815 53100 259

Persidangan Kasus Pengrusakan dan Alih Fungsi Hutan Mangrove di Langkat Harus menjadi Momentum Penegakan Hukum Lingkungan Hidup di Wilayah Pesisir

Siaran Pers Bersama

Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia

Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan

Persidangan Kasus Pengrusakan dan Alih Fungsi Hutan Mangrove di Langkat

Harus menjadi Momentum Penegakan Hukum Lingkungan Hidup di Wilayah Pesisir

Jakarta, 6 September 2013. Di tengah gencarnya kampanye pentingnya penyelamatan mangrove, justru masih banyak pihak yang menjadi musuh bagi inisiatif penyelamatannya. Upaya nelayan tradisional dengan cara melaporkan pelaku kepada Polda Sumatera Utara dalam kasus alih fungsi hutan mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit di Langkat, Sumatera Utara, sejak tahun 2009 baru mendapatkan respons positif dari aparat penegak hukum pada tahun 2013. Berlarut-larutnya proses penegakan hukum telah memicu konflik antarwarga nelayan dengan pihak perusahaan.

Kasus ini terjadi berawal dari aktivitas konversi Hutan Kawasan Ekosistem Mangrove yang telah terjadi sejak tahun 2008 di Register 8/L Kecamatan Brandan Barat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Dengan dugaan pelaku utama perusahaan perkebunan skala besar, yaitu PT Sari Bumi Bakau (SBB), PT. Pelita Nusantara Sejahtera (PNS), PT. Marihot, PT. Buana, dan PT Charoen Phokpand. Perusahaan perkebunan tersebut telah melakukan alih fungsi hutan mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit seluas 1.200 hektare.

Tidak hanya itu, guna memuluskan kegiatan alih fungsi hutan mangrove, pihak perusahaan melakukan aksi teror dan intimidasi terhadap nelayan. Terakhir, pada tanggal 9 Juli 2013, sebanyak 200 ribu bibit dari 700 ribu bibit yang dipersiapkan untuk melengkapi penanaman mangrove seluas 1.200 ha di Register 8/L rusak dan mati karena disiram bahan kimia. Aktivitas pengrusakan bibit mangrove ini disertai dengan perobohan satu unit bangunan semi permanen Pusat Informasi Mangrove. Masyarakat nelayan menduga pelakunya adalah orang suruhan dari pihak-pihak yang selama ini menentang aktivitas revitalisasi hutan mangrove.

Sejak tahun 2009 nelayan tradisional yang tergabung dalam KNTI melaporkan pengrusakan dan alih fungsi mangrove. Namun tindak lanjut laporan tersebut baru dimulai pada Agustus 2013. Tepatnya pada tanggal 26 Agustus 2013 dengan dibacakannya tuntutan terhadap Sutrisno alias Akam bin Lim Sau Tjun dan kawan-kawan yang diduga melanggar Pasal 17 jo Pasal 46 UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan mengenai pidana kejahatan melakukan usaha perkebunan kelapa sawit tanpa izin dan diancam pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).

KIARA dan KNTI berpandangan bahwa aparat kepolisian dan kejaksaan lalai menjerat Sutrisno alias Akam bin Lim Sau Tjun dan kawan-kawan, rombongan pelaku yang diduga melakukan pengrusakan hutan mangrove dengan pasal berlapis, bukan sebatas UU Perkebunan. Tetapi mereka juga melanggar instrumen hukum lain, seperti UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Berdasarkan UU Kehutanan, Sutrisno alias Akam bin Lim Sau Tjun dkk. dapat dituntut atas pelanggaran Pasal 50 ayat (3) Huruf a dan b Jo Pasal 78 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Sutrisno dkk dapat diduga telah mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah dan merambah kawasan hutan. Terhadap pelanggaran tersebut Sutrisno dkk dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Selain itu, patut diduga Sutrisno alias Akam bin Lim Sau Tjun dan kawan-kawan telah melakukan pengrusakan hutan mangrove dan menghalang-halangi kegiatan konservasi penyelamatan hutan mangrove yang merupakan tindakan pidana dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Berdasarkan Pasal 35 huruf f jo Pasal 73 ayat (1) huruf b UU ini, Sutrisno dkk dilarang melakukan konversi ekosistem mangrove, menebang mangrove, melakukan kegiatan industri di kawasan yang tidak memperhitungkan keberlanjutan fungsi ekologis pesisir dan diancam pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Lebih lanjut, dalam Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Sutrisno dkk dapat dikenakan tindakan perusakan lahan dan upaya menghalang-halangi inisiatif penyelamatan mangrove. Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai pelaku kejahatan pidana lingkungan hidup dan dapat dikenakan sanksi berupa penjara  paling  singkat  3  (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan  denda  paling  sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling  banyak  Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Rentetan peristiwa perusakan dan upaya penghentian dengan menghalang-halangi kegiatan penyelamatan hutan mangrove di Langkat merupakan bukti betapa lemahnya penegakan hukum penyelamatan sumber daya alam dan lingkungan hidup, khususnya berkaitan dengan pelestarian hutan mangrove. Persidangan perkara kejahatan sumber daya alam dan lingkungan hidup di Langkat ini harus menjadi momentum aparat penegak hukum memberi sanksi seberat-beratnya kepada pelaku sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Dengan keputusan yang adil, momentum ini juga menjadi preseden bagi pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang lebih baik di Indonesia.***

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Tajruddin Hasibuan, Presidium KNTI Region Sumatera

di +62 813 7093 1995

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA

di +62 815 53100 259