Jangan Buru-Buru Sepakati Skema Sertifikasi Perikanan Budidaya

Jangan Buru-Buru Sepakati Skema Sertifikasi Perikanan Budidaya

Bisnis.com, JAKARTA –  Pada 2015 masyarakat Asean akan memberlakukan pasar tunggal untuk arus barang dan jasa di wilayah Asia Tenggara.

Kini berlangsung perumusan GAqP (Good Aquaculture Practices) yang mengutamakan keamanan pangan dan kepuasan konsumen sebagai sistem standar mutu untuk produk perikanan budi daya. Namun, mengabaikan upaya penyejahteraan pembudidaya skala kecil dan tidak bersikap tegas terhadap praktik perdagangan udang yang melanggar hak asasi manusia.

Pusat Data dan Informasi KIARA (Oktober 2013) mencatat sedikitnya 5 model sertifikasi yang disiapkan oleh negara, swasta dan LSM asing, seperti HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Points), ASC (Aquaculture Stewardship Council), dan FAO Guidelines for Good Aquaculture Practices (GAP) Certification dan ASEAN Shrimp GAP Standard dan Carrefour Quality Line.

Berkenaan dengan dinamika di tingkat nasional dan regional inilah, KIARA telah menyerahkan rekomendasi hasil Dialog Publik “Perikanan Budidaya di ASEAN: Tantangan Perdagangan dan Penyejahteraan Pembudidaya Skala Kecil” kepada Sekretariat Asean melalui Pouchamarn Wongsanga (Senior Officer Agriculture Industries and Natural Resources Division) di Sekretariat Asean, Senin (28/10) . Pada pertemuan tersebut, KIARA juga menyerahkan Kertas Posisi Bersama bertajuk “Sertifikasi CBIB: Alat Eksploitasi Baru yang Kesampingkan Hak Konstitusional Petambak”.

Kertas posisi setebal 15 halaman ini juga sudah disampaikan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan melalui Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya pada tanggal 24 November 2013 di Indramayu, Jawa Barat.

Beragamnya upaya sertifikasi yang muncul di level regional dan internasional, mendorong Pemerintah Indonesia untuk menjalankan sertifikasi Cara Berbudidaya Ikan yang Baik (CBIB). Dalam Keputusan Menteri Nomor KEP. 02/MEN/2007, CBIB hanya mengatur cara berbudidaya ikan yang baik dari sisi keamanan bilogis dan pangan.

Di tengah longgarnya aturan terhadap perusahaan dan atau pedagang udang, baik di level lokal, nasional, regional, dan internasional, praktek usaha yang tidak sehat (monopoli, kartel) dan pelanggaran HAM rentan terjadi. Bahkan besar kemungkinan para pedagang inilah yang akan menunggangi GaqP maupun CBIB.

KIARA mengingatkan Pemerintah Indonesia melalui Menteri Kelautan dan Perikanan untuk tidak terburu-buru menyepakati skema sertifikasi yang merugikan pembudidaya skala kecil sebagai bentuk perlindungan warga negara dan kepentingan nasional. Pada titik inilah, 100% keterlibatan pembudidaya sangat penting.

Sumber: http://m.bisnis.com/aspirasi-anda/read/20131029/285/183560/jangan-buru-buru-sepakati-skema-sertifikasi-perikanan-budidaya

PEMERINTAH INDONESIA ABAIKAN 10 NELAYAN DI PENJARA MALAYSIA DAN KELUARGANYA DI LANGKAT

Siaran Pers Bersama

Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

 

PEMERINTAH INDONESIA ABAIKAN 10 NELAYAN DI PENJARA MALAYSIA DAN KELUARGANYA DI LANGKAT

Jakarta, 31 Oktober 2013. Kasus kriminalisasi oleh Polisi Maritim Malaysia kembali terjadi lagi pada tanggal 22 September 2013. Sebanyak 10 nelayan Langkat, Sumatera Utara, ditangkap dengan tuduhan melakukan penangkapan ikan di wilayah laut Malaysia. Ironisnya, pemerintah Indonesia tidak memberikan perlindungan dan pembelaan, tetapi justru menyalahkan nelayan. Para nelayan tradisional tersebut kini divonis penjara selama 6 bulan terhadap nakhoda dan masing-masing 3 bulan terhadap Anak Buah Kapal (ABK).

Merujuk pada Nota Kesepahaman antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia mengenai Pedoman Umum tentang Penanganan terhadap Nelayan oleh Lembaga Penegak Hukum di laut Republik Indonesia dan Malaysia yang ditandatangani pada tanggal 27 Januari 2012, maka sesungguhnya pemerintah Indonesia memiliki peluang besar untuk melindungi dan memulangkan para nelayan tersebut sebelum terjadinya proses peradilan.

Penangkapan dan pemenjaraan terhadap nelayan tradisonal yang berada di batas negara tersebut sudah sering terjadi. Hal ini terjadi karena pemerintah tidak memiliki kepedulian dan keseriusan dalam menjaga perbatasan negara. Di sisi lain, Pemerintah juga tidak memberikan perlindungan dan pengayoman kepada nelayan tradisional yang beraktivitas dan menggantungkan hidupnya di laut lepas, termasuk di wilayah perbatasan.

Fakta lapangan menunjukkan bahwa penangkapan nelayan oleh Polisi Maritim Malaysia disebabkan karena ketiadaan atau ketidakefektifan peran fungsi dan tanggung jawab BAKORKAMLA. Beberapa pihak, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Luar Negeri yang menjadi anggotanya, justru tidak berperan aktif dalam menjaga perairan nasional dan melindungi nelayan yang menangkap ikan di wilayah perbatasan.

Laporan dari para nelayan yang sering menangkap ikan di laut perbatasan menyatakan bahwa patroli Polisi Maritim Malaysia acapkali memeras/meminta hasil tangkapan nelayan tradisional. Bahkan nelayan diancam dibunuh jika tidak memberikan hasil tangkapan mereka. Anehnya, patroli Polisi Maritim Malaysia tidak ada atau menghilang bila kapal KRI melintas di perbatasan negara. Celakanya, kapal KRI sulit sekali ditemui sedang berpatroli, kalaupun ada tidak lebih dari satu kali dalam sebulan.

Trauma dan pemerasan juga dialami oleh keluarga korban kriminalisasi Pemerintah Malaysia. Saat salah seorang keluarga berkunjung dan menjenguk nelayan yang saat ini berada di Lapas Penang, Malaysia, mereka tidak izinkan bertemu. Yang bersangkutan harus ditemani oleh staf dari Konsulat Jenderal RI di Malaysia. Saat itulah, oknum Staf Konjen RI yang didampingi oknum dari organisasi nelayan plat merah ingin memeras keluarga korban dengan modus menawarkan akan membebaskan Nakhoda dan ABKnya bila menyediakan uang sebesar Rp45 juta dan alat tangkap bisa diambil bila menyediakan uang sebesar Rp80 juta.

Ketidakpedulian Pemerintah dapat dilihat dari respons pemerintah yang sangat lamban, baik dalam upaya diplomasi, perlindungan hukum maupun fasilitasi pihak keluarga.

Sikap pemerintah Indonesia yang menyalahkan para nelayan dengan alasan membebani keuangan negara menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah kepada nelayan. Tidak ada alasan bagi Pemerintah Indonesia untuk tidak memulangkan 10 nelayan tradisional Langkat, Sumatera Utara. Juga memulihkan nama baik mereka bahwa nelayan bukan pelanggar hukum namun mereka korban kelalain negara dalam melindungi dan menjaga perbasatasan negara Republik Indonesia. untuk itu, KIARA mendesak kepada Menteri Kelautan dan Perikanan bersama Menteri Luar Negari dan Menteri Hukum & HAM untuk segera mengambil langkah konkrit dan cepat demi terbebasnya para nelayan tersebut serta  terjaganya kewibawaan dan kedaulatan negara Republik Indonesia.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Ilham, Nelayan Tradisional Langkat

di +62812 6050 2616

Tajruddin Hasibuan, KNTI Sumatera Utara

di +62813 7093 1995

Selamet Daroyni, Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan KIARA

di +62821 1068 3102

Habibah: Penerus Cita-cita Pitung di Teluk Jakarta

Apa yang paling kita ingat tentang lhabibah_marundaaut? Pasir, debur ombak, perahu-perahu nelayan, dan ingatan tentang birunya lautan Indonesia. Lalu ada nelayan menjaring ikan, perempuan nelayan yang menjemur ikan dengan menggunakan alat berbahan dasar bambu. Ada bau amis dan terik yang menyeruak di tengah hiruk-pikuk kampung nelayan. Itulah segelintir kenangan tentang laut Jakarta dan kampung nelayan.

Kini, di Jakarta hampir tidak ada kenangan yang tersisa tentang laut. Jika kita ingin melihat laut, kita harus mengeluarkan biaya untuk bisa menikmati laut di kawasan Ancol. Pun jika ada pantai publik, kawasannya terbilang cukup jauh dari pinggir jalan dan hanya menyisakan garis pantai sepanjang 500 meter dari 3 kilometer luas pantai publik yang pernah direncanakan oleh Walikota Jakarta Utara Effendi Anas pada tahun 2008.
Pertanyaannya, di mana para nelayan Teluk Jakarta sekarang?

Pembangunan merusak

Habibah, perempuan nelayan berusia 50 tahun harus menahan nafasnya sembari menjaga karung kumal yang berisi kerang hijau agar tidak tersenggol truk yang melintasi jalan sepanjang Banjir Kanal Timur (BKT). Gobang (51), suaminya menurunkan karung dari pangkuannya.

Habibah adalah seorang istri nelayan Marunda yang telah dikaruniai lima orang anak. Habibah pun anak seorang nelayan yang dulu tinggal di Kampung Marunda Lama, kampung nelayan yang dekat dengan Cagar Budaya Rumah dan Masjid si Pitung.

Di tahun 1980, ketika masa pemerintahan Orde Baru sedang gencar melakukan pembangunan, Marunda pun terkena imbasnya. Habibah dan keluarganya dipaksa pindah dari Marunda Lama yang disulap menjadi Kawasan Berikat Nusantara (KBN).

Kenangan akan kampung pesisir di Marunda Lama masih melekat di dalam ingatan Habibah, semua nelayan yang pernah tinggal di Marunda Lama berpencar ke segala penjuru pesisir Jakarta. Habibah dan keluarganya memilih menetap di  Marunda Kepu, Kecamatan Cilincing, Kelurahan Marunda Baru, Jakarta Utara.

Marunda berbeda 180 derajat, di mana bangunan beton, pasir, debu, limbah dan seng berdiri kokoh. Berbanding terbalik dengan Kampung Marunda Kepu yang kumuh, becek dan lusuh.

“Dulu nenek saya cerita, ada monyet sebesar kebo. Mangrovenya tinggi-tinggi, ikannya banyak banget. Lah! kalau sekarang, mana ada ikan lagi, pada  abis kena limbah!” ujar Habibah sembari tersenyum menceritakan kenangan yang masih tersisa.

Terlebih lagi proyek reklamasi membuat kondisi semakin buruk lagi. Habibah pun menatap nanar ke lautnya, di mana dulu jutaan mangrove pernah ditebang habis. Kini nelayan Marunda Kepu terus berjuang melawan kemiskinan. Pembangunan tidak menyisakan apapun bagi nelayan, kecuali limbah dan kejamnya kenyataan bahwa mereka terampas dari ruang hidupnya.

Berjuang Bersama

Habibah yang tidak tamat sekolah pernah minder atau tidak percaya diri jika harus bercerita tentang kampungnya. Kini ia berubah. Ia terdorong untuk tampil dan berbicara di depan publik menyuarakan fakta yang terjadi di Kampung Nelayan Marunda Kepu.

Si Pitung adalah idola yang dibanggakan oleh Habibah. Perjuangannya melawan kemiskinan, penjajahan dan kekerasan terhadap kaum pribumi telah begitu membekas di hati Habibah.

“Kalau semuanya diem, siapa yang mau cerita soal keadaan nelayan di sini. Saya mikir sampe pusing, akhirnya saya bilang sama suami kalau mau ngajak nelayan di sini buat ngebenerin Marunda. Saya kumpulin ibu-ibu sama bapak-bapak kita ngobrol gimana ini caranya biar lebih baik hidup kita,” ujar Habibah bersemangat.

Pada tahun 2011, Habibah mulai melibatkan perempuan nelayan dan nelayan dalam beberapa pelatihan bersama KIARA dan PPNI (Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia). Habibah pun tidak pernah lelah menyuarakan aspirasinya bersama perempuan nelayan dan nelayan. Atas dedikasinya, pada bulan Maret 2013 lalu, Habibah mendapatkan penghargaan sebagai salah satu perempuan pejuang pangan yang di selenggarakan oleh Oxfam Indoensia bersama dengan Aliansi untuk Desa Sejahtera (ADS).

Habibah tidak pernah kenal lelah menyuarakan aspirasi warga Marunda Kepu. Harapannya sederhana, Marunda Kepu menjadi desa pesisir yang terbebas dari reklamasi dan terbebas limbah.

Mekar Baru

Ia gerakkan 30 perempuan nelayan dan nelayan untuk melakukan perubahan melalui Kelompok Mekar Baru, nama kelompok yang digagas oleh Habibah.  Pemilihan nama Mekar Baru didasarkan pada harapan nelayan Marunda Kepu, seperti bunga yang semakin rekah, memberi suasana dan pengharapan kehidupan yang baru.

Kampung Nelayan Marunda Kepu memiliki potensi alam yang dapat dimanfaatkan untuk menambah pendapatan ekonomi keluarga. Salah satunya adalah cangkang kerang. Di dalam Kelompok Mekar Baru, cangkang kerang diolah menjadi barang-barang yang mempunyai fungsi dan bernilai ekonomi tinggi.

“Kita bikin gantungan kunci, tempat tisu, piring, banyak banget dah. Hasilnya lumayan untuk membantu keluarga-keluarga kami,” cerita Habibah mewakili kelompoknya.

Akses pasar untuk penjualan produk Kelompok Mekar Baru masih menjadi kendala. “Kami berharap dapat menemukan pasar dan pelanggan produk-produk olahan Mekar Baru. Dan lebih penting lagi, kami membutuhkan lingkungan yang bersih dan bebas reklamasi”, kata Habibah mengakhiri obrolan.
Kini perempuan nelayan Marunda Kepu tengah bersemangat dengan konsep perjuangan Mekar Baru.*** (SH)

Menteri Kelautan Diminta Libatkan Pembudidaya Kecil

Menteri Kelautan Diminta Libatkan Pembudidaya Kecil

Perumusan GAP mengabaikan upaya penyejahteraan pembudidaya skala kecil dan tidak bersikap tegas terhadap praktik perdagangan udang yang melanggar HAM.

Skalanews – Dalam membuat skema sertifikasi perikanan budidaya di Indonesia, Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo untuk lebih melibatkan pembudidaya berskala keci.

desakan itu disampaikan Sekretaris Jenderal  (Sekjen) Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Abdul Halim di Jakarta, Selasa (29/10).

“Kiara mengingatkan Menteri Kelautan dan Perikanan untuk tidak terburu-buru menyepakati skema sertifikasi yang merugikan pembudidaya skala kecil sebagai bentuk perlindungan warga negara dan kepentingan nasional. Pada titik inilah, 100 persen keterlibatan pembudidaya sangat penting,” bebernya.

Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan saat ini, menurut dia, tengah merumuskan GAP (Good Aquaculture Practices atau cara Berbudidaya Ikan yang Baik) yang mengutamakan keamanan pangan dan kepuasan konsumen.

Abdul Halim menyayangkan Perumusan GAP sebagai sistem standar mutu untuk produksi perikanan budidaya yang dirumuskan pemerintah.

Sebab, perumusan tersebut mengabaikan upaya penyejahteraan pembudidaya skala kecil dan tidak bersikap tegas terhadap praktik perdagangan udang yang melanggar HAM.

Sedikitnya, ia menjelaskan, terdapat lima model sertifikasi yang disiapkan oleh negara, swasta, dan LSM asing.

Kiara bahkan, telah menerbitkan rekomendasi kepada Sekretariat ASEAN yang berisi antara lain pemerintah seharusnya tidak menerbitkan kebijakan yang justru mengancam proses budidaya perikanan tradisional yang sudah mereka lakukan.

“Melainkan harus memprioritaskan kebutuhan masyarakat pembudidaya untuk kemudian diadopsi di dalam kebijakan nasional,” ujar Abdul Halim.

Selain itu, pemerintah juga harus memastikan skema sertifikasi tidak memberikan ruang dominan bagi korporasi agribisnis yang kemudian meminggirikan petambak tradisional terutama dalam hal bibit, pakan dan akses pasar.

Rekomendasi lainnya dari Kiara antara lain pemerintah harus memiliki standardisasi harga jual sehingga petambak tidak dirugikan, serta pemerintah harus menyediakan laboratorium dengan akses dan kontrol yang mudah bagi masyarakat petambak.

Sebagaimana diberitakan, KKP membangun pemetaan Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) sebagai cara untuk mengatasi permasalahan industrialiasi, khususnya mengenai distribusi antara daerah hulu dan hilir industri.

“Logistik dan distribusi menjadi kata kunci dalam proses industrialisasi perikanan,” kata Menteri Kelautan dan
Perikanan Sharif Cicip Sutardjo di Jakarta, Senin (30/9).

Menurut dia, SLIN merupakan langkah strategis dalam memberikan jaminan terhadap ketersediaan bahan baku ikan, stabilitas harga, ketahanan pangan, serta mendorong pertumbuhan industri pengolahan dan pertumbuhan masyarakat.

Ia memaparkan, SLIN pertama dilakukan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Kendari dan PPN Brondong.

Sharif mengungkapkan, kedua pelabuhan yang terletak di Sulawesi itu dijadikan kawasan uji coba karena kedua wilayah ini dinilai mampu mewakili sektor hulu dan hilir komoditas perikanan di kawasan Timur Indonesia. [mad/ant]

Sumber: http://skalanews.com/berita/detail/158065/Menteri-Kelautan-Diminta-Libatkan-Pembudidaya-Kecil

Masyarakat Pembudidaya Desak Menteri Kelautan dan Perikanan Tidak Terburu-buru Menyepakati Skema Sertifikasi Perikanan Budidaya dan 100% Libatkan Pembudidaya Skala Kecil

Siaran Pers Bersama

Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu

Koalisi Masyarakat Pesisir Indramayu

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

 

KIARA Serahkan Rekomendasi Petambak ke ASEAN

Masyarakat Pembudidaya Desak Menteri Kelautan dan Perikanan Tidak Terburu-buru Menyepakati Skema Sertifikasi Perikanan Budidaya dan 100% Libatkan Pembudidaya Skala Kecil

Jakarta, 29 Oktober 2013. Di tahun 2015, masyarakat ASEAN akan memberlakukan pasar tunggal untuk arus barang dan jasa di wilayah Asia Tenggara. Saat ini tengah berlangsung perumusan GAqP (Good Aquaculture Practices) yang mengutamakan keamanan pangan dan kepuasan konsumen sebagai  sistem standar mutu untuk produk perikanan budidaya, namun mengabaikan upaya penyejahteraan pembudidaya skala kecil dan tidak bersikap tegas terhadap praktek perdagangan udang yang melanggar hak asasi manusia.

Pusat Data dan Informasi KIARA (Oktober 2013) mencatat sedikitnya 5 model sertifikasi yang disiapkan oleh negara, swasta dan LSM asing, seperti HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Points), ASC (Aquaculture Stewardship Council), dan FAO Guidelines for Good Aquaculture Practices (GAP) Certification dan ASEAN Shrimp GAP Standard dan Carrefour Quality Line.

Berkenaan dengan dinamika di tingkat nasional dan regional inilah, KIARA telah menyerahkan rekomendasi hasil Dialog Publik “Perikanan Budidaya di ASEAN: Tantangan Perdagangan dan Penyejahteraan Pembudidaya Skala Kecil” (lihat Tabel 1) kepada Sekretariat ASEAN melalui Pouchamarn Wongsanga (Senior Officer Agriculture Industries and Natural Resources Division) di Sekretariat ASEAN, Jakarta, Senin (28/10) siang. Pada pertemuan tersebut, KIARA juga menyerahkan Kertas Posisi Bersama bertajuk “Sertifikasi CBIB: Alat Eksploitasi Baru yang Kesampingkan Hak Konstitusional Petambak”.

Tabel 1. Rekomendasi Pembudidaya

No Nasional Regional/Internasional
1 Dengan mempertimbangkan kemampuan para pelaku tambak tradisional maupun intensif mandiri yang masih sangat minim fasilitas pendukung infrastruktur, maka sulit bagi petambak untuk bisa menjalankan aturan CBIB ini. Oleh karena itu, fasilitasi program dan bantuan teknis harus menjadi prioritas Menteri Kelautan dan Perikanan untuk masyarakat pembudidaya tradisional. Memastikan skema sertifikasi ini bukanlah alat untuk mengeksploitasi sumber daya alam pesisir dan mematikan usaha budidaya tambak tradisional dan intensif mandiri.
2 Pemerintah seharusnya tidak menerbitkan kebijakan yang justru mengancam proses budidaya perikanan tradisional yang sudah mereka lakukan, melainkan harus memprioritaskan kebutuhan masyarakat pembudidaya untuk kemudian diadopsi di dalam kebijakan nasional. Memastikan skema sertifikasi ini tidak memberikan ruang dominan bagi industri pertambakan (korporasi agribisnis) yang kemudian meminggirkan petambak tradisional dan intensif mandiri, terutama dalam hal bibit, pakan dan akses pasar.
3 Dalam hal menjaga kualitas produksi yang baik dan sehat seharusnya pemerintah lebih memfokuskan pada pencegahan-pencegahan terjadinya pencemaran yang diakibatkan oleh aktivitas lain, seperti pertambangan, limbah industri di luar aktivitas kegiatan tambak, dan lain-lain. Upaya khusus untuk memastikan adanya partisipasi petambak tradisional dan intensif mandiri dalam pembuatan kebijakan budidaya perikanan di tingkat regional dan internasional.
4 Pemerintah harus memiliki standardisasi harga jual, sehingga petambak tidak dirugikan.  
5 Pemerintah harus menyediakan labolatorium dengan akses dan kontrol yang mudah bagi masyarakat petambak.  

Sumber: Kertas Posisi Bersama P3UW, KOMPI, dan KIARA berjudul “Sertifikasi CBIB: Alat Eksploitasi Baru yang Kesampingkan Hak Konstitusional Petambak”

Kertas posisi setebal 15 halaman ini juga sudah disampaikan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan melalui Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya pada tanggal 24 November 2013 di Indramayu, Jawa Barat.

Beragamnya upaya sertifikasi yang muncul di level regional dan internasional, mendorong Pemerintah Indonesia untuk menjalankan sertifikasi Cara Berbudidaya Ikan yang Baik (CBIB). Dalam Keputusan Menteri Nomor KEP. 02/MEN/2007, CBIB hanya mengatur cara berbudidaya ikan yang baik dari sisi keamanan bilogis dan pangan.

Di tengah longgarnya aturan terhadap perusahaan dan atau pedagang udang, baik di level lokal, nasional, regional, dan internasional, praktek usaha yang tidak sehat (monopoli, kartel) dan pelanggaran HAM rentan terjadi. Bahkan besar kemungkinan para pedagang inilah yang akan menunggangi GaqP maupun CBIB.

KIARA mengingatkan Pemerintah Indonesia melalui Menteri Kelautan dan Perikanan untuk tidak terburu-buru menyepakati skema sertifikasi yang merugikan pembudidaya skala kecil sebagai bentuk perlindungan warga negara dan kepentingan nasional. Pada titik inilah, 100% keterlibatan pembudidaya sangat penting.***

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Nafian Faiz, Ketua P3UW

di +62 815 4100 0099

Iing Rohimin, Sekretaris KOMPI

di +62 812 2340 017

Susan Herawati, Koordinator Bidang Perencanaan, Evaluasi dan Penggalangan Dukungan Publik KIARA

di +62 821 1172 7050

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA

di +62 815 53100 259

Petambak Tradisional di Indramayu Tolak Sertifikasi CBIB

Petambak Tradisional di Indramayu Tolak Sertifikasi CBIB

Kamis, 24/10/2013 – 18:12

INDRAMAYU, (PRLM).- Sejumlah petambak udang tradisional yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Pesisir Indramayu menolak penerapan Sertifikasi Cara Budi Daya Ikan yang Baik dari Direktorat Jenderal Perikanan Budi Daya karena dinilai akan mematikan pemasaran ikan pada level usaha kecil.

“Sertifikasi CBIB itu hanya akan mengakomodasi pemasaran udang pada skala usaha besar, sehingga para petambak tradisional terancam tidak bisa memasarkan hasil budi daya udangnya,” kata Ketua Kompi, Juhadi didampingi Sekretaris Kompi, Iing Rohimin di sela dialog publik Perikanan Budi Daya di ASEAN di Indramayu, Kamis (24/10/13).

Dialog publik yang berlangsung 24-25 Oktober tersebut dihadiri sejumlah petambak tradisional dari berbagai daerah di Jawa Barat, LSM Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dan Direktur Produksi Direktorat Produksi Direktorat Jenderal Perikanan Budi Daya, Coco Kokarkim Soetrisno. Dialog tersebut membahas seputar kebijakan Sertifikasi CBIB yang dilegalisasi dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. KEP.02/MEN/2007 tentang Cara Budi Daya Ikan yang Baik.

Sertifikasi tersebut merupakan turunan dari konvensi dunia mengenai sistem standar mutu dan keamanan pangan, seperti Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP), Good Aquaculture Practices (GAP), dan Aquaculture Stewardship Council (ASC). Di sejumlah Asia Tenggara, sertifikasi sejenis kini tengah digenjot pemerintah setempat untuk menghadapi pasar bebas ASEAN 2015.

Juhadi mengungkapkan, sertifikasi CBIB di Indonesia tidak memihak para pembudi daya lokal dengan skala usaha kecil karena membatasi pemasaran dengan menerapkan standardisasi yang belum bisa mereka penuhi. Sebab, saat ini para pembudi daya udang tradisional masih terkendala minimnya fasilitas dan infrastruktur.

Sekretaris Jenderal LSM KIARA, Abdul Halim mengungkapkan, sertifikasi CBIB akan berdampak buruk bagi para pembudi daya udang tradisional, terutama di dua daerah dengan kantong produksi udang terbesar, yaitu Kabupaten Indramayu, Jawa Barat dan Bumi Dipasena, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung.

Di Indramayu, dia mencatat, lahan perikanan budi daya air payau mencapai 22.514 hektare dengan komoditas unggulan meliputi udang, bandeng, dan rumput laut. Pada 2011, jumlah produksi dari tambak tersebut mencapai 101.454 ton dan memasok kebutuhan ikan dan udang sebanyak 40%-60% di Jawa Barat.

“Pemerintah seharusnya mendukung usaha kecil para pembudi daya udang ini dengan memberikan fasilitas dan infrastruktur yang memadai. Bukan malah menerapkan kebijakan baru yang justru mengancam usaha mereka,” tuturnya.

Direktur Produksi Direktorat Produksi Direktorat Jenderal Perikanan Budi Daya, Coco Kokarkim Soetrisno mengakui, keluhan para pembudi daya udang di Indonesia itu juga dirasakan di sejumlah negara lainnya di Asia Tenggara. Dia berjanji untuk tetap melindungi para petambak tradisional dengan melakukan pengawasan teknis di sejumlah tambak.

“Pengawasan teknis ini tujuannya untuk mempertahankan mutu. Jadi jika mutu ikan baik, para petambak akan tetap bisa memasarkan hasil usahanya meski belum dapat sertifikasi,” katanya. (A-192/A-108)***

Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/node/256139

KIARA Protes Keras Reklamasi Pantai di Manado, Ribuan Nelayan Ditelantarkan

KIARA Protes Keras Reklamasi Pantai di Manado

Ribuan Nelayan Ditelantarkan

Jumat, 25/10/2013

NERACA

Jakarta – Koordinator Pendidikan dan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Selamet Daroyni, menjelaskan, sejak tahun 2008, KIARA telah mendapatkan pengaduan dari nelayan yang berada di sepanjang  pesisir Manado yang terkena dampak proyek reklamasi pantai.

“Para nelayan menyatakan bahwa luas lahan hasil reklamasi pantai Manado telah mencapai 150 hektar dari 76 hektar yang mendapat izin awal. Proyek ini telah menelantarkan hak hidup ribuan nelayan pantai Manado. Akibat kegiatan reklamasi pantai tersebut, sebanyak 29.500 nelayan di sepanjang pesisir Malalayang hingga Meras terusir dan kehilangan tempat tinggal dan tempat berusaha,” kata Selamet dalam keterangan resminya yang disampaikan ke Neraca, Kamis (24/10).

Menurut data KIARA, intimidasi dan tindak kekerasan terhadap nelayan terus berlangsung selama proses pengurugan lahan. Terakhir pada tanggal 19 Oktober 2013 lalu, sedikitnya 20 satpam dan 6 preman PT Gerbang Nusa Perkasa/PT Kembang Utara melakukan penyerangan terhadap masyarakat nelayan di Ruang Terbuka Pantai Sario Tumpaan, Manado.

“Sebanyak 6 nelayan dan pemuda mengalami luka-luka di bagian kaki, dada, dan wajah akibat lemparan batu. Aksi kekerasan yang dilakukan oleh orang suruhan PT Gerbang Nusa Perkasa/PT Kembang Utara dan diketahui milik Hengky Wijaya ini, dilakukan saat nelayan hendak melakukan pengukuran tapal batas ruang terbuka pantai dengan wilayah konsesi reklamasi sesuai kesepakatan mediasi yang difasilitasi oleh Komnas HAM pada tanggal 4 September 2010,” ujarnya.

Atas tindakan intimidasi dan kekerasan yang terjadi dan dampak reklamasi pantai manado terhadap lingkungan hidup dan keberlangsungan hidup nelayan yang sangat terancam, KIARA pada Kamis tanggal 24 Oktober 2013 telah mengirim surat protes kepada Walikota Manado dengan tembusan ke berbagai instansi pemerintah di Jakarta dan Manado serta kepada seluruh Media cetak maupun leketronik yang berada di Jakarta maupun di Manado.

Surat tersebut berisi desakan kepada Pemerintah Kota Manado untuk, pertama, sesegera mungkin untuk melakukan penghentian aktivitas reklamasi pantai dan menghentikan pemberian izin reklamasi pantai di seluruh wilayah pantai Manado.

Kedua, menghormati, menaati dan menjalankan kesepakatan hasil mediasi pada tanggal 4 September 2010 yang difasilitasi oleh Komnas HAM. Ketiga, melakukan koordinasi dengan aparat kepolisian setempat untuk melakukan penghentian tindakan premanisme dari perusahaan dan memberikan perlindungan kepada nelayan tradisional Manado.

Keempat, segera melakukan evaluasi internal terhadap kinerja aparatur pemerintahan kota Manado, terutama bagi unit-unit kerja yang berkaitan dengan perizinan pengelolaan lahan guna mencegah terjadinya pelanggaran terhadap peraturan perudang-undangan yang lebih tinggi dan merugikan masyarakat.

Kelima, memberikan perlindungan dan pengakuan hak bagi keberadaan para nelayan tradisional,  Sebagaimana dimanatkan dalam pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Di samping itu, KIARA juga menilai, konflik yang berujung pada kekerasan ini seharusnya tidak terjadi bila pemerintah kota dan para pengusaha properti menghormati peraturan perundang-undangan. Dari hasil temuan lapangan diketahui bahwa keluarnya izin reklamasi pantai tidak sesuai dengan mekanisme izin lingkungan sebagaimana di atur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dimana dalam prosesnya tidak ada konsultasi publik dan tidak ada kajian yang memadai terkait dengan dampak lingkungan hidup, ekonomi, sosial dan budaya serta dampak teknis yang akan memberikan dampak penting bagi keberlangsungan kehidupan nelayan tradisional Manado.

Lebih dari itu, sebut KIARA, para nelayan tradisional berpedoman kepada hasil putusan perkara Gugatan Hukum (Judicial Review) terhadap Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pada tanggal 16 Juni 2011, terkhusus pasal Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3), Mahkamah Konstitusi menetapkan pengkavlingan, privatisasi dan komersialisasi perairan pesisir dan pulau-pulau kecil adalah bertentangan dengan Konstitusi.

“Mahkamah Konstitusi juga menegaskan adanya 4 hak konstitusional masyarakat nelayan tradisional dan adat, yang tidak boleh dirampas atau ditukar-gulingkan. Yaitu, hak untuk melintas; hak untuk mengelola sumber daya dan kaidah budaya nya; hak memanfaatkan sumber daya; dan, hak mendapatkan lingkungan perairan yang sehat dan bersih. Secara otomatis, kegiatan pengusahaan pesisir laut oleh individu mau lembaga swasta dalam bentuk apapun merupakan perbuatan melawan hukum, dan merupakan kejahatan serius,” tegas surat tersebut.

Sumber: http://www.neraca.co.id/harian/article/34408/KIARA.Protes.Keras.Reklamasi.Pantai.di.Manado

KIARA Protes Keras Reklamasi Pantai di Manado, Ribuan Nelayan Ditelantarkan

KIARA Protes Keras Reklamasi Pantai di Manado

Ribuan Nelayan Ditelantarkan

Jumat, 25/10/2013

NERACA

Jakarta – Koordinator Pendidikan dan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Selamet Daroyni, menjelaskan, sejak tahun 2008, KIARA telah mendapatkan pengaduan dari nelayan yang berada di sepanjang  pesisir Manado yang terkena dampak proyek reklamasi pantai.

“Para nelayan menyatakan bahwa luas lahan hasil reklamasi pantai Manado telah mencapai 150 hektar dari 76 hektar yang mendapat izin awal. Proyek ini telah menelantarkan hak hidup ribuan nelayan pantai Manado. Akibat kegiatan reklamasi pantai tersebut, sebanyak 29.500 nelayan di sepanjang pesisir Malalayang hingga Meras terusir dan kehilangan tempat tinggal dan tempat berusaha,” kata Selamet dalam keterangan resminya yang disampaikan ke Neraca, Kamis (24/10).

Menurut data KIARA, intimidasi dan tindak kekerasan terhadap nelayan terus berlangsung selama proses pengurugan lahan. Terakhir pada tanggal 19 Oktober 2013 lalu, sedikitnya 20 satpam dan 6 preman PT Gerbang Nusa Perkasa/PT Kembang Utara melakukan penyerangan terhadap masyarakat nelayan di Ruang Terbuka Pantai Sario Tumpaan, Manado.

“Sebanyak 6 nelayan dan pemuda mengalami luka-luka di bagian kaki, dada, dan wajah akibat lemparan batu. Aksi kekerasan yang dilakukan oleh orang suruhan PT Gerbang Nusa Perkasa/PT Kembang Utara dan diketahui milik Hengky Wijaya ini, dilakukan saat nelayan hendak melakukan pengukuran tapal batas ruang terbuka pantai dengan wilayah konsesi reklamasi sesuai kesepakatan mediasi yang difasilitasi oleh Komnas HAM pada tanggal 4 September 2010,” ujarnya.

Atas tindakan intimidasi dan kekerasan yang terjadi dan dampak reklamasi pantai manado terhadap lingkungan hidup dan keberlangsungan hidup nelayan yang sangat terancam, KIARA pada Kamis tanggal 24 Oktober 2013 telah mengirim surat protes kepada Walikota Manado dengan tembusan ke berbagai instansi pemerintah di Jakarta dan Manado serta kepada seluruh Media cetak maupun leketronik yang berada di Jakarta maupun di Manado.

Surat tersebut berisi desakan kepada Pemerintah Kota Manado untuk, pertama, sesegera mungkin untuk melakukan penghentian aktivitas reklamasi pantai dan menghentikan pemberian izin reklamasi pantai di seluruh wilayah pantai Manado.

Kedua, menghormati, menaati dan menjalankan kesepakatan hasil mediasi pada tanggal 4 September 2010 yang difasilitasi oleh Komnas HAM. Ketiga, melakukan koordinasi dengan aparat kepolisian setempat untuk melakukan penghentian tindakan premanisme dari perusahaan dan memberikan perlindungan kepada nelayan tradisional Manado.

Keempat, segera melakukan evaluasi internal terhadap kinerja aparatur pemerintahan kota Manado, terutama bagi unit-unit kerja yang berkaitan dengan perizinan pengelolaan lahan guna mencegah terjadinya pelanggaran terhadap peraturan perudang-undangan yang lebih tinggi dan merugikan masyarakat.

Kelima, memberikan perlindungan dan pengakuan hak bagi keberadaan para nelayan tradisional,  Sebagaimana dimanatkan dalam pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Di samping itu, KIARA juga menilai, konflik yang berujung pada kekerasan ini seharusnya tidak terjadi bila pemerintah kota dan para pengusaha properti menghormati peraturan perundang-undangan. Dari hasil temuan lapangan diketahui bahwa keluarnya izin reklamasi pantai tidak sesuai dengan mekanisme izin lingkungan sebagaimana di atur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dimana dalam prosesnya tidak ada konsultasi publik dan tidak ada kajian yang memadai terkait dengan dampak lingkungan hidup, ekonomi, sosial dan budaya serta dampak teknis yang akan memberikan dampak penting bagi keberlangsungan kehidupan nelayan tradisional Manado.

Lebih dari itu, sebut KIARA, para nelayan tradisional berpedoman kepada hasil putusan perkara Gugatan Hukum (Judicial Review) terhadap Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pada tanggal 16 Juni 2011, terkhusus pasal Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3), Mahkamah Konstitusi menetapkan pengkavlingan, privatisasi dan komersialisasi perairan pesisir dan pulau-pulau kecil adalah bertentangan dengan Konstitusi.

“Mahkamah Konstitusi juga menegaskan adanya 4 hak konstitusional masyarakat nelayan tradisional dan adat, yang tidak boleh dirampas atau ditukar-gulingkan. Yaitu, hak untuk melintas; hak untuk mengelola sumber daya dan kaidah budaya nya; hak memanfaatkan sumber daya; dan, hak mendapatkan lingkungan perairan yang sehat dan bersih. Secara otomatis, kegiatan pengusahaan pesisir laut oleh individu mau lembaga swasta dalam bentuk apapun merupakan perbuatan melawan hukum, dan merupakan kejahatan serius,” tegas surat tersebut.

Sumber: http://www.neraca.co.id/harian/article/34408/KIARA.Protes.Keras.Reklamasi.Pantai.di.Manado

Kabar Bahari: Gulma Laut Kaya Gizi

Rumput laut sebenarnya adalah gulma laut, sejenis alga atau ganggang, yang hidup di laut, di antara karang mati di perairan pantai. Sejak lama jenis ganggang laut yang kita beri nama dagang sebagai ‘rumput laut’ ini dimanfaatkan masyarakat dunia sebagai bahan kosmetik  dan makanan kesehatan. Kita boleh bangga karena Indonesia, yang dua pertiga wilayahnya merupakan kawasan laut tropika, merupakan produsen rumput laut terkemuka di dunia. Lebih dari 60% produksi rumput laut dunia dihasilkan dari ladang-ladang petani di pesisir pantai Indonesia.

Indonesia dikenal negara yang subur dan kaya akan sumber daya alam. Sebagai negara dengan luas wilayah laut lebih dari 70%, salah satu kekayaan alam yang bisa kita manfaatkan adalah sumber hayati. Selain ikan, alternatif hasil laut yang bisa diolah adalah rumput laut (seaweed).

Manfaat rumput laut berdasarkan penelitian tercatat 22 jenis telah dimanfaatkan sebagai makanan. Diwilayah perairan Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Pulau Seram, Bali, Lombok, Kepulauan Riau dan Pulau Seribu diketahui 18 jenis dimanfaatkan sebagai makanan dan 56 jenis sebagai makanan dan obat tradisional oleh masyarakat pesisir.

Ikuti Informasi terkait buletin Kabar Bahari >> KLIK DISINI <<

Ketika Kementerian Kelautan dan Perikanan Menantang Wakil Presiden

Ketika Kementerian Kelautan dan Perikanan Menantang

Wakil Presiden

JAKARTA, GRESNEWS.COM– Revisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30 Tahun 2012 menjadi Permen-KP Nomor 26 Tahun 2013, ternyata masih menyimpan masalah. Dalam berita sebelumnya, disebutkan, pasal-pasal yang selama ini menjadi kontroversi, seperti aturan soal transhipment (alih muatan) di tengah laut untuk kapal berbobot 1000 Gross Ton (GT) ke atas ternyata masih memiliki celah untuk dibolehkan dalam beleid terbaru. Selain itu, ada beberapa pasal yang bertentangan dengan UU Perikanan Nomor 45 Tahun 2009 juga masih dicantumkan dalam peraturan terbaru yang hingga kini secara resmi belum juga diumumkan oleh pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Sikap keras kepala pihak KKP untuk tetap membolehkan transhipment, ekspor tuna mentah, dan tidak mewajibkan perusahaan yang menggunakan kapal dengan jumlah kumulatif 200 GT-2000 GT untuk mendirikan pabrik, serta beberapa kebijakan kontroversial lainnya, ternyata bertentangan dengan rekomendasi yang dikeluarkan dari hasil Rountable Discussion yang dilakukan KKP dengan beberapa pemangku kepentingan. Dari bocoran dokumen yang diterima redaksi Gresnews.com pada Senin (21/10), diketahui bahwa dalam rangka merevisi Permen-KP 30/2012, pihak KKP telah mengadakan sebuah acara diskusi.

Dari dokumen tersebut disebutkan, acara itu berlangsung pada hari Selasa tanggal 4 Juni 2013, mengambil tempat di NAM Center, Jalan Angkasa Kav B-10 No. 6, Kota Baru Bandar Kemayoran. Acara itu sendiri sebenarnya berjalan cukup serius karena dari daftar undangan dicantumkan, acara diskusi itu dihadiri beberapa pejabat penting seperti Kalakhar Bakorkamla, Dirjen Bea dan Cukai, Jaksa Agung Muda Intelijen, pejabat dari Kemenkopolhukam, dan pejabat internal KKP dan beberapa pihak swasta seperti asosiasi pengusaha ikan dan juga serikat nelayan. Bahkan, dalam dokumen itu disebutkan, hasil diskusi tersebut akan diserahkan kepada Wakil Presiden RI, Boediono.

Hasil dari diskusi tersebut melahirkan beberapa rekomendasi yang intinya mengamanatkan pihak KKP untuk menghapus semua aturan yang kontroversial tadi. Amandemen Permen-KP No. 30/2012 itu harus memperhatikan beberapa hal berikut:

  1. Materi  PerMen yang baru disesuaikan dengan amanat Undang-undangnya  seperti yang tercantum pada Pasal 25 UU No 45 tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 31 tahun 2004 tentang Perikanan.
  2. Penerbitan, tata cara, dan syarat syarat pemberian SIUP,SIPI, dan SIKPI  seharusnya diterbitkan PerMen tersendiri (Pasal 32 UU 45 tahun 2009 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 tahun 2004 Tentang Perikanan).
  3. Transhipment sebagaimana diatur dalam Pasal 69 ayat (3) dan pasal 88 dihapus.
  4.  Mewadahi kepentingan nelayan sesuai amanat Pasal 3 UU 31 tahun 2004 dan Inpres No15 tahun 2011 tentang perlindungan nelayan.

Bahkan, dalam diskusi tersebut juga dipaparkan beberapa pasal yang tertuang dalam PerMen KP No 30/2012  bertentangan dengan  Peraturan Perundangan yang lebih tinggi sebagaimana daftar tabulasi dibawah ini : (lihat di http://www.gresnews.com/berita/hukum/802210-ketika-kementerian-kelautan-dan-perikanan-menantang-wakil-presiden)

Toh, ternyata amanat diskusi yang hasilnya telah disampaikan kepada Wapres Boediono dan juga Menkopolhukkam tersebut ternyata tidak diindahkan oleh pihak KKP. Bahkan saat ini meski secara resmi belum terbit, hasil revisi Permen-KP No. 30/2012, yaitu Permen-KP No. 26/2013, sudah resmi disosialisasikan kepada beberapa pihak seperti pihak asosiasi pengusaha. “Ini jelas merupakan salah satu bentuk pembangkangan terhadap kepentingan berbagai pihak bahkan otoritas yang lebih tinggi seperti Wakil Presiden yang menginginkan berbagai aturan yang kontroversial tadi dihapus,” kata sumber Gresnews.com, yang mengetahui adanya diskusi tersebut.

Hal ini pulalah yang membuat Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Perikanan, bereaksi keras dengan membongkar berbagai pasal yang masih memuat hal-hal yang merugikan perikanan nasional dan nelayan tradisional dalam Permen KP 26/2013. “KIARA menilai kebijakan ini telah mengelabui publik yang khawatir dengan kebijakan pengelolaan perikanan Indonesia yang dinilai merugikan bangsa sendiri,” kata Sekjen KIARA Abdul Halim kepada Gresnews.com.

Sumber: http://www.gresnews.com/berita/hukum/802210-ketika-kementerian-kelautan-dan-perikanan-menantang-wakil-presiden