HARI NELAYAN INDONESIA Kelola Kekayaan Laut
Kompas, Senin, 07 April 2014
HARI NELAYAN INDONESIA
Kelola Kekayaan Laut
Hari Nelayan Indonesia diperingati setiap tanggal 6 April. Gaung komitmen dan strategi peningkatan kesejahteraan nelayan terdengar sayup di tengah ingar-bingar tahun pemilihan anggota legislatif dan presiden RI.
Selama ajang kampanye, beberapa partai politik mulai menyuarakan isu pemberdayaan nelayan. Sejumlah janji dan iming-iming perbaikan kesejahteraan nelayan digulirkan.
Meski demikian, peringatan Hari Nelayan Indonesia setiap tahun mencatat persoalan terulang terkait diskriminasi, lemahnya perlindungan, dan pemberdayaan nelayan. Hingga kini, 97 persen dari 2,7 juta nelayan adalah nelayan kecil dan tradisional yang dihidup di bawah garis kemiskinan.
Pengembangan sektor kelautan belum menjadi prioritas dan arus utama dalam kebijakan pembangunan nasional. Sekalipun, hasil kajian pemerintah menunjukkan bahwa potensi ekonomi kelautan dari sektor perikanan, infrastruktur dan perhubungan laut, industri kelautan, pariwisata bahari, jasa kelautan, dan sumber daya wilayah pulau-pulau kecil mencapai 1,2 triliun dollar AS per tahun. Lebih besar dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia yang 1 triliun dollar AS per tahun.
Hasil studi McKinsey Global Institute juga menyebutkan sektor kelautan (perikanan) termasuk empat pilar utama selain sumber daya alam, pertanian, dan jasa yang akan membawa Indonesia menjadi negara dengan perekonomian terbesar ke tujuh di dunia tahun 2030.
Potensi besar kelautan dan perikanan hingga kini belum diikuti dengan kebijakan yang fokus untuk membangkitkan sang “raksasa tidur”. Sebaliknya, muncul kesan kebijakan bahari masih jalan di tempat, bahkan salah arah.
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mencatat kebijakan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan nasional mengarak pada praktik liberalisasi dan diskriminasi nelayan tradisional. Kapal asing terus diberi kemudahan menjarah ikan di perairan tanah air, sementara nelayan lokal kian terdesak karena keterbelakangan teknologi dan keterampilan.
Minimnya keberpihakan pemerintah juga terlihat dari belum adanya undang-undang tentang kelautan yang menjadi payung hukum untuk mengatur pemanfaatan laut secara meenyeluruh. Ketidakseriusan ini berujung pada tumpang-tindih kewenangan dan pengelolaan sektor kelautan antarlembaga/kementerian.
Masih banyak yg harus dibenahi untuk mengelola laut sebagai masa depan Nusantara dan kebijakan pangan yang berorientasi kelautan. Dibutuhkan keseriusan pemerintah untuk memperjuangkan regulasi, perbaikan infrastruktur, dan permodalan agar kekayaan laut dapat dikelola untuk menghadirkan kesejahteraan nelayan dan masyarakat negeri sendiri.
(BM LUKITA GRAHADYARINI)