Archive for date: August 20th, 2014
Pembatasan BBM Subsidi Sengsarakan Nelayan
/in Kampanye & Advokasi, Reformasi Kebijakan /by adminkiaraPembatasan BBM Subsidi Sengsarakan Nelayan
Sektor Perikanan
Jakarta – Pembahasan Nota Keuangan dan RAPBN 2015 diisi dengan topik pemangkasan subsidi BBM. Hal ini seiring meningkatnya pembiayaan negara hingga 7 kali lipat untuk subsidi energi sejak 2010. Namun kebijakan pembatasan subsidi BBM jelas merugikan masyarakat nelayan. Hal itu disampaikan Abdul Halim, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), di Jakarta, Rabu (13/8).
“Seperti diketahui, komposisi subsidi BBM sebanyak 97% dialokasikan untuk transportasi darat dan 3% sisanya untuk laut. Dari nilai yang kecil inilah, 2% diperuntukkan kepada nelayan. Dengan alokasi tersebut, tak mengherankan jika nelayan kesulitan mendapatkan BBM. Padahal, untuk melaut nelayan mengeluarkan 60-70% dari biaya produksi. Apalagi kuotanya dikurangi hingga 20%. Dalam konteks ini, Surat Edaran BPH Migas Nomor 937/07/Ka BPH/2014 tanggal 24 Juli 2014 tentang Pengendalian Konsumsi BBM Bersubsidi tidak memihak dan cenderung menyengsarakan nelayan,” sebutnya.
Pusat Data dan Informasi KIARA (Agustus 2014) menemukan persoalan yang berulang dari tahun ke tahun menyangkut pengelolaan subsidi BBM bagi nelayan di Palu (Sulawesi Tengah), Langkat (Sumatera Utara), Konawe (Sulawesi Tenggara), Tarakan (Kalimantan Utara), dan Kendal (Jawa Tengah).
Pertama, tidak tersedianya fasilitas (SPBB/SPBN/SPDN/APMS). Hal ini memicu persaingan tidak sehat antara nelayan berkapal <30 GT dengan >30 GT. Kedua, kecilnya alokasi dan pasokan yang tidak reguler berakibat pada sulitnya nelayan mendapatkan BBM bersubsidi dengan harga yang dipatok pemerintah. Di 5 wilayah yang ditemui KIARA ini nelayan justru mendapatkan solar dengan kisaran harga Rp7.000 – Rp20.000. Bahkan, 80% nelayan tradisional di Langkat, Sumatera Utara, tidak dapat membeli solar di SPBN.
Ketiga, pola melaut yang berbeda-beda dan dikesampingkan dalam kebijakan pengelolaan BBM bersubsidi berimbas pada menganggurnya nelayan. Mendapati fakta ini, mestinya ada kebijakan khusus dalam penyaluran BBM bersubsidi untuk nelayan, di antaranya bekerjasama dengan organisasi nelayan/perempuan nelayan.
“Berpatok pada ketiga hal di atas, Presiden Yudhoyono dan Presiden Terpilih 2014 Jokowi harus mengevaluasi kebijakan pengelolaan subsidi energi yang terlampau berorientasi ke daratan, khususnya BBM untuk nelayan, agar benar-benar tepat sasaran,” tuntutnya.
Pada sebuah keterangan resmi, menurut Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif C. Sutardjo, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengambil langkah cepat terkait dengan pengendalian subsidi BBM untuk nelayan. Diantaranya, meminta BPH MIGAS untuk konsisten terhadap pengurangan BBM subsidi untuk nelayan sebesar 4,17%, proporsional dengan penurunan nasional.
Menurut Sharif, penetapan penurunan kuota secara nasional dari 48 juta KL menjadi 46 juta KL atau sebesar 4,17%, sedangkan alokasi kuota untuk nelayan turun sebesar 20%. Jika pengurangan 20% diterapkan akan menimbulkan keresahan, karena tidak ada kejelasan berapa batasan alokasi per kapal. Apalagi, BBM merupakan input produksi yang mempunyai peranan sangat penting bagi kelangsungan usaha penangkapan ikan.
Hal ini karena berdasarkan hasil identifikasi dan supervisi di beberapa pusat kegiatan nelayan, ternyata komponen biaya BBM berkisar antara 60–70% dari seluruh biaya operasi penangkapan ikan per tripnya. Sementara dari sisi pasar, harga jual ikan hasil tangkapan yang diorientasikan untuk pangsa pasar dalam negeri relatif tidak mengalami kenaikan. “Dampak kenaikan BBM yang relative cukup tinggi dirasakan sangat memberatkan nelayan. Apalagi kondisi atau musim penangkapan ikan yang masih sulit diprediksi mengakibatkan ketidakberdayaan nelayan untuk melaut,” ujar Sharif.
Sharif menegaskan, kebijakan tersebut memang sangat mempengaruhi sektor kelautan dan perikanan. Hal ini tentu sangat berdampak terhadap kehidupan para nelayan. Pasokan di pasar ikan dan tempat pelelangan ikan akan menurun drastis karena kemampuan melaut para nelayan yang berkurang akibat harga solar yang tidak terjangkau. Dengan jumlah pasokan ikan yang menurun, menyebabkan para nelayan tidak bisa menaikkan harga ikan.
Dengan demikian, biaya operasional akan melambung tinggi. Untuk itu, para pelaku usaha, khususnya pelaku usaha perikanan tangkap memerlukan bantuan dari berbagai pihak khususnya penyediaan BBM yang bersubsidi. “Walaupun jumlahnya masih sangat terbatas, namun bantuan tersebut telah dapat memberikan semangat para pelaku usaha untuk tetap bertahan termasuk meraih keuntungan usahanya,” katanya.
KKP, tandas Sharif, mengupayakan pengurangan BBM nelayan hanya tidak drastis. Namun, jika penurunan sampai 20%, maka KKP minta BPH MIGAS menjamin kebutuhan sebesar 940.366 KL untuk nelayan < 30 GT dan sisanya dibagi secara proporsional per kapal ukuran > 30 GT maksimum 20 KL/kapal/bulan atau turun dari 25 KL/kapal/bulan sebelumnya. KKP juga meminta BPH Migas agar penyaluran BBM bersubsidi untuk sektor kelautan dan perikanan dialokasikan secara khusus yang dipisahkan transportasi laut, dengan nomenklatur khusus BBM bersubsidi untuk nelayan. KKP juga meminta kepada Pemda Provinsi/Kab/Kota untuk mempertajam penerima tepat sasaran melalui identifikasi nelayan berdasarkan kapal dan trip penangkapan.
“Sedangkan untuk menghemat penggunaan BBM, KKP telah mendorong pengalihmuatan (transhipment) hasil tangkapan ke kapal lain sesuai dengan Permen KP 26/2014 tentang Usaha Penangkapan Ikan,” tandasnya.
Sharif menambahkan, persediaan BBM bersubsidi memang sangat terbatas. Bahkan hingga Juli 2014, persediaan premium tinggal 42 persen dan solar bersubsidi tinggal 40 persen dari kuota tahun ini. Untuk premium diperkirakan akan habis pada 19 Desember 2014 dan solar bersubsidi pada 30 November 2014. Selain itu berdasarkan UU 12/2014 tentang Perubahan UU 23/2013 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014 (APBNP 2014) telah ditetapkan perubahan kuota nasional jenis BBM tertentu dari 48 Juta KL menjadi 46 Juta KL
“Menindaklanjuti hal tersebut maka BPH mengeluarkan Surat Edaran Nomor 937/07/Ka.BPH/2014 tanggal 24 Juli 2014 perihal Pengendalian Konsumsi BBM Tertentu Tahun 2014. Diantaranya, BBM jenis minyak solar (Gas Oil) mulai 4 Agustus 2014 dilayani jam 08.00 – 18.00, “ ujarnya.
Sumber: http://www.neraca.co.id/
Kiara Inginkan Evaluasi Subsidi Energi Memihak Nelayan
/in Kampanye & Advokasi, Reformasi Kebijakan /by adminkiaraKiara Inginkan Evaluasi Subsidi Energi Memihak Nelayan
“Evaluasi kebijakan pengelolaan subsidi energi yang terlampau berorientasi ke daratan, khususnya BBM untuk nelayan, agar benar-benar tepat sasaran,” kata Sekjen Kiara Abdul Halim di Jakarta, Rabu (13/8).
Menurut Abdul Halim, kebijakan yang saat ini terkait pemangkasan atau pembatasan subsidi BBM jelas merugikan masyarakat nelayan.
Ia mengingatkan, komposisi subsidi BBM sebanyak 97 persen dialokasikan untuk transportasi darat dan 3 persen sisanya untuk laut.
“Dari nilai yang kecil inilah, 2 persen diperuntukkan kepada nelayan,” katanya.
Dengan alokasi tersebut, ujar dia, tak mengherankan jika nelayan kesulitan mendapatkan BBM.
Padahal, kata Abdul Halim, untuk melaut nelayan mengeluarkan 60-70 persen dari biaya produksi.
Pusat Data dan Informasi KIARA per Agustus 2014 menemukan persoalan yang berulang dari tahun ke tahun menyangkut pengelolaan subsidi BBM bagi nelayan di Palu (Sulawesi Tengah), Langkat (Sumatera Utara), Konawe (Sulawesi Tenggara), Tarakan (Kalimantan Utara), dan Kendal (Jawa Tengah).
Persoalan itu antara lain tidak tersedianya fasilitas pendistribusian BBM bersubsidi sehingga memicu persaingan tidak sehat antara nelayan berkapal kecil dan kapal besar.
Persoalan lainnya adalah kecilnya alokasi dan pasokan yang tidak reguler berakibat pada sulitnya nelayan mendapatkan BBM bersubsidi dengan harga yang dipatok pemerintah.
Terakhir, pola melaut yang berbeda-beda dan dikesampingkan dalam kebijakan pengelolaan BBM bersubsidi berimbas pada menganggurnya nelayan.
“Mendapati fakta ini, mestinya ada kebijakan khusus dalam penyaluran BBM bersubsidi untuk nelayan, di antaranya bekerjasama dengan organisasi nelayan/perempuan nelayan,” ujarnya. AN-MB
Sumber: http://metrobali.com/
Pengelolan BBM Subsidi Tidak Memihak Nelayan
/in Kampanye & Advokasi, Reformasi Kebijakan /by adminkiaraHarga Anjlok, Petani Garam di Sumenep Merugi
/in Pertambakan dan Mangrove, Reformasi Kebijakan /by adminkiaraHabibah: Inspiring fisherwoman from Marunda
/in Kampanye & Advokasi, Publikasi /by adminkiaraHabibah: Inspiring fisherwoman from Marunda
Nani Afrida, The Jakarta Post, Jakarta | People She is a fisherwoman and along with her two companions — who are also women — she sails out to sea in the hope of catching fish. As they only use a small boat, they cannot be too far from the coast, so their hauls are not as large as the fishermen’s. “We just catch the nearby fish. We sell the fish to help our husbands,” Habibah, the fisherwoman, told The Jakarta Post, smiling. Recently, Habibah was selected as one of seven female food resilience heroines from Indonesia. The heroines are working to build a movement for good food — food that is grown well and shared fairly. The event was supported by Oxfam and Aliansi Desa Sejahtera (ADS) to show that women play important role in the supply of food to family and community. People in Marunda know Habibah as a multi-tasking woman. She can be a fisherwoman, scallop seeker, a fish trader and a shrimp paste maker. Habibah’s income is even higher than her fisherman husband, who depends on monsoons. The 50-year-old fisherwoman lives in Marunda Kepu, Cilincing subdistrict, North Jakarta. She comes from a long line of fisherman who lived and plied Marunda’s shores and seas for generations. After marrying Ghobang, 50, Habibah helped her husband to support the family. Habibah is the perfect portrait of woman from the north coast of Jakarta. Koran Tempo daily recently reported that a study from the People’s Coalition for Fisheries Justice (Kiara) revealed that women living in north coast area in Jakarta spend 17 hours every day making money to support their families. It also showed that 48 percent of a family’s income was from the fisherwomen’s economic activities. Habibah still remembers her youth and shared that although her parents were poor, they still could find fish or other sea creatures and so survived. “In that time the sea water was clean and we had heavy mangrove areas. There were abundant fishes and crabs near us, so we did not need to sail far away from the coast,” Habibah shared. The situation has changed dramatically as Habibah grew up and started her own family. The sea is now polluted. The massive sea reclamation and depletion of mangrove areas means that fisherwomen like herself face great difficulties when trying to catch fish or other sea creatures nearby. Meanwhile, fishermen, like her husband, must sail very far from the coast just to find fish and their hauls usually are only small. The situation only gets worse during the west monsoon when no fishermen can sail. Another problem Habibah faces is that she can no longer depend on her shrimp paste production anymore. In 1980 to 2000, Habibah was able to produce at least 50 kilograms of shrimp paste every day, thanks to the huge amount of shrimps bought home by her husband. But now, she just produces only 5 kilograms of shrimp paste a day because it is difficult to find shrimp. “I was thinking how do I help my husband? His income is less than Rp 30,000 (US$3) a day, so, I became a scallop seeker and began scavenging to support our family,” Habibah said. Along with her children, Habibah seeks ontay (clam) on the sand beach after tides. One bucket of clams sells for Rp 10,000. Usually they get two and a half buckets of clam everyday during west monsoon. Habibah’s family will consume half of the clams they find and sell the rest of it. Besides ontay, she is a seeker for flat-footed scallop, locally known as kacho. This kind of scallop is easily found on the coast, but collectors must be careful because of its sharp shell. From kacho Habibah earns Rp 70,000 everyday. “Ontay and kacho contain calcium that is good for teeth and bones,” she said. Her effort to seek kacho and ontay inspired other women, frustrated with polluted sea water and unpredictable weather in Marunda, to follow suit. “I encourage the women in my area to do something rather than nothing,” she said, adding that she gathers all the kachos found by Marunda’s women to sell. She acknowledged that lessons from NGOs like WALHI and Kiara inspired her to established a womens group in Marunda called Mekar Baru. As many as 20 women are members. Six months ago, Habibah established a cooperative with her group to prevent loan sharks. Marunda is just like other poverty area, loan sharks often make the fishermen’s life harder. Habibah said her colleagues often borrowed money from loan sharks thst they had to pay back with a high interest rate. “Today we have only Rp 4.5 million of capital in our cooperative, but I am sure it will increase,” Habibah, who is active in Persatuan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), said. Habibah is optimistic about the future of her coastal project. “I want to establish a shrimp paste factory with my group as well as a free medical clinic for the fishermen here,” Habibah, who didn’t even finish elementary school, said. sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2013/03/15/habibah-inspiring-fisherwoman-marunda.htmlKIARA: Pelaku Perikanan Skala Kecil Belum Siap Hadapi ASEAN Economic Community 2015
/in Siaran Pers /by adminkiara
Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan
Jl. Rawa Jati Timur Blok AM No. 7
Ruko Kalibata Indah, Jakarta 12750,
Indonesia. Tlp/Fax +62-21 2503 2147
Tentang KIARA
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) adalah organisasi non-pemerintah yang berdiri pada tanggal 6 april 2003. Organisasi nirlaba ini diinisiasi oleh WALHI, Bina Desa, JALA (Jaringan Advokasi untuk Nelayan Sumatera Utara), Federasi Serikat Nelayan Nusantara (FSNN), dan individu-individu yang menaruh perhatian terhadap isu kelautan dan perikanan.