PENCURIAN IKAN

PENCURIAN IKAN

Pengawasan Lemah, Regulasi Tak Efektif

JAKARTA, KOMPAS – Sejumlah kalangan mendesak pemerintah mengoptimalkan pengawasan, mulai dari tingkat perizinan sampai pengawasasn operasi kapal penangkap ikan di laut. Pengawasan yang lemah membuat implementasi regulasi selama ini tidak efektif dan pelanggaran  marak terjadi.

Hal itu disampaikan Sekretaris Jendral Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Abdul Halim,dan pengurus Dewan Pimpinan Pusat Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Muhammad Billahmar di Jakarta, Senin (10/11).

Saat ini tercatat 182 kapal kecil impor berukuran di bawah 100 gros ton (GT) mendapat izin menangkap di wilayah pengelolaan perikanan di Indonesia. Sebanyak 14 kapal kecil impor asal Thailand berukuran di bawah 30 GT. Padahal, pemerintah telah menetapkan hanya kapal ikan impor berukuran minimal 100 GT yang boleh beroperasi di wilayah pengolahan perikanan Indonesia.

Abdul Halim menilai, pengamanan laut masih terbelah di banyak instansi dan lembaga. Koordinasi lintas sektor masih lemah karena setiap instansi terikat pada sistem dan aturan masing-masing. Pihaknya mendesak pemerintah membentuk Badan Keamanan Laut yang menyinergikan seluruh sember daya sehingga mampu menangani pelanggaran kejahatan di laut.

Sekretaris Direktorat Jendral Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Abdul Rauf Sam mengemukakan, pihaknya sedang menertibkan semua izin kapal ikan dalam lingkup pemerintah pusat seiring dengan moratorium izin baru kapal ikan impor yang berlaku sampai 30 April 2015.

Pelaksana Harian Direktur Pelayanan Usaha Ditjen Perikanan Tangkap KKP Kosasih menambahkan, yakni menutup celah turun yang membuka potensi pelanggaran oleh pelaku ussaha perikanan.

Jadi penonton

Nelayan di Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, Iksan, menuturkan, nelayan belum bisa   memanfaatkan laut secara maksimal. “Kami cuma bisa melihat nelayan Thailand, Vietnam, Tiogkok mengambil ikan dari sini lalu di bawah ke luar negeri,” ujarnya.

Nelayan asing datang dengan kapal berbobot paling kecil 80 ton dalam rombongan dan mengambil ikan dalam jumlah besar.”kapal-kapal 80 ton itu untuk mencari, lalu diserahkan ke kapal lain yang menampung. Kapal lebih besar biasanya menungguh jauh dari pebatasan Indonesia,” tutur Ikssan.

Nelayan Anambas, Rohman, mengatakan, nelayan Indonesia hanya bisa melaporkan kepada aparat. “Tak bisa segera, harus tunggu sampai dekat ke darat, baru bisa telepon. Kadang mereka (nelayan asing) sudah lari, ujarnya.

Wakil Komandan Satuan 1 Tim Koordinasi Keamana Laut Kolenel UK Agung tidak menampik penjarahan masih marak di Kepri. Bekali-kali aparat menangkap kapal-kapal asing tengah mencuri ikan. “paling banyak di laut Natuna,”katanya.

Aktivis perikanan John Dumais di Kota Belitung, Sulawesi Utara, meminta pemerintah menertibkan kapal ikan asing yang berbendera Indonesia. Kapal ikan asing itu diduga tak  sepenuhnya membongkar  muatan ikan di Pelabuhan Bitung, ikan hasil tangkapan dibongkar hanya separuh. Ia menduga terjadi perdagangan dokumen kapal ikan “bodong”. Dokumen itu diperoleh resmi dari pemerintah, lalu diperjualbelikan ke kapal asing. Sejumlah oknum mendapatkan dokumen itu meski tak memiliki kapal. (LKT/RAZ/FRN/ZAL).

Sumber: KOMPAS, Selasa, 11 November 2014.

DPR Didesak Prioritaskan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan di dalam Prolegnas 2014-2019

Siaran Pers bersama

Persaudaraaan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) I Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Jawa Tengah I Layar Nusantara I Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

DPR Didesak Prioritaskan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan

di dalam Prolegnas 2014-2019

Semarang, 7 November 2014. Sedikitnya 30 nelayan dan perempuan nelayan dari kabupaten/kota di Jawa Tengah mendesak DPR untuk mengagendakan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan sebagai prioritas Program Legislasi Nasional 2014-2019. Hal ini disampaikan pasca Diskusi Terbatas tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan yang diprakarsai oleh KIARA bekerjasama dengan Layar Nusantara pada Kamis (6/11) di Semarang, Jawa Tengah.

Harapan nelayan dan perempuan nelayan agar dapat terpenuhi hak-haknya ternyata masih jauh panggang dari api. Pengabaian dan terlanggarnya hak-hak mereka ditengarai karena minusnya peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus tentang perlindungan dan pemberdayaan nelayan.

Fakta yang disampaikan adalah aktivitas melaut, mulai dari persiapan melaut, saat melaut, pengolahan hingga proses penjualan mengalami berbagai tindakan yang mencederai hak-hak konstitusionalnya, di antaranya penyerobotan wilayah tangkap dan pencemaran pesisir dan laut, meski Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 2011 tentang Perlindungan Nelayan sudah ada.

Hal lain yang tak kalah penting adalah perizinan yang bertele-tele dan memakan waktu dan biaya yang tak sedikit, akses permodalan dan bbm bersubsidi yang hampir mustahil diperoleh dengan ketentuan harga Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2012, yakni Rp4.500 (Empat Ribu Lima Ratus Ribu Rupiah). Parahnya, saat kecelakaan melaut terjadi, justru tidak ada keberpihakan dari pemerintah, misalnya jaminan perbaikan kapal. Di saat yang sama, perempuan nelayan belum diakui peran dan keberadaannya di dalam kebijakan kelautan dan perikanan. Padahal, kontribusinya amat sangat signifikan bagi keluarga-keluarga nelayan, termasuk memastikan sistem ekonomi yang memihak kepentingan perempuan dan keluarganya, bukan tengkulak.***

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Masnuah, Koordinator Nasional PPNI di +62 852 2598 5110

Sugeng Triyanto, Koordinator Nelayan Jawa Tengah di +62 819 0195 1952

Misbakhul Munir, Direktur Eksekutif LBH Semarang di +62 858 6508 9424

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA di +62 815 53100 259

Jakarta suffers subsidence rates of up to 17cm a year in some areas, threatening the homes of 4.5 million people.

Life in Indonesia’s sinking capital
Jakarta suffers subsidence rates of up to 17cm a year in some areas, threatening the homes of 4.5 million people.Jack Hewson
Jakarta, Indonesia – Benjol stirs four blackened tuns of green mussels cooking by the banks of Jakarta’s east flood canal. He kicks over one of the vats – cut from a used oil drum – and the steaming content pours onto the concrete. Female workers pick over the catch, collecting mussels into a grubby sieve.The livelihoods of squatter fishermen such as Benjol – who like many Indonesians uses just one name – have faced multiple threats over the past three decades.Land reclamations in the 1980s and ’90s – primarily for high-end housing developments – have pushed them from their original settlements, and Jakarta Bay’s toxic water containing dangerous levels of lead and mercury has prompted the city administration to ban mussel cultivation on public health grounds.

To make matters worse, the land on which they live is sinking into the sea.

“We don’t want to move from here,” Benjol says, but his community may have no choice. Straddling north Jakarta’s flood defences, they are vulnerable to the high tides that last year breached the dyke, exacerbating the annual wet season floods.

North Jakarta suffers subsidence rates of up to 17cm a year in some areas – caused by the excessive extraction of ground water from the soft soil on which the city is built – meaning whole neighbourhoods will be several metres underwater by 2030. The homes of 4.5 million people are threatened with permanent inundation.

‘Giant seawall’

To avert this disaster, Indonesia’s outgoing government last month rushed to commence the construction of its futuristic $40bn “giant seawall” development, otherwise known as the National Capital Integrated Coastal Development (NCICD).

Comprised of a 25km dyke that will close the bay of Jakarta and 17 man-made islands shaped into a “giant garuda” – a mythical bird used as Indonesia’s national symbol – the development is set to become one of the world’s largest infrastructure projects.

Its first phase of strengthening the city’s existing defences began last month, and the sealing off of Jakarta bay is expected to be completed by 2022.

To bankroll the scheme, predominantly mid and high-end housing developments will be sold off; eventually housing up to 1.5 million people on the giant garuda. The ambitions for the development cannot be understated – with the NCICD master plan pushing for Indonesia’s “seat of government” to be relocated from central Jakarta to the new city.

However, the plans have drawn significant criticism, with detractors claiming the seawall is a bogus solution that will once more displace traditional fishermen and other low-income groups from their communities.

The People’s Coalition for Fisheries Justice Indonesia (KIARA) says thousands of people such as Benjol will be removed from their homes to make way for what they see as just another luxury housing development.

The government has defended the initiative, saying 17 percent of the new development will be devoted to social housing, and will give fishermen closer access to the cleaner waters 6km out to sea – where the seawall is to be constructed.

The likelihood of the city’s poorest being housed on the giant garuda seems limited, but it’s a social injustice most Jakartans are likely to forgive if they can be assured that the seawall will prevent the capital from sliding into the sea.

I hope for Jakarta that the land subsidence will stop because [if it does not] by [2080] you will be talking about another five metres to seven metres of water in front of Jakarta city.– Victor Coenen, Witteveen Bos

That, however, cannot be guaranteed.

The project seeks to prevent Jakarta’s inundation by two means: firstly by blocking out the ocean, and secondly by boosting water supply so that ground water extraction may be reduced – thus reducing average subsidence rates of 7.5cm a year.

Fetid rivers

To achieve this second goal the bay, once sealed, will be converted into a giant “freshwater” reservoir fed by 13 rivers that flow through the city and out into the bay. However, the success of creating this alternative source of potable water – and perhaps the success of the entire project – may rely on the Indonesian government’s ability to clean up West Java’s fetid rivers.

Jakarta’s brown-and-black, plastic-strewn waterways are fed primarily by the Citarum River, cited in 2013 as one of the world’s top 10 most-polluted sites next to the Niger Delta and Chernobyl.

Addressing a seminar recently, acting Governor of Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama said he “had his doubts” about the project, as reported by the Jakarta Post, comparing it to a similar seawall project in South Korea where he said engineers had struggled to prevent the formation of a “lake of mud”.

For the model to work in Jakarta, water pollution levels must be reduced by between 75-95 percent.

If the NCICD fails to convert the bay of Jakarta into a beautiful freshwater reservoir then alternative sources of piped water must be found or ground water extraction will continue and Jakarta will continue to sink. The NCICD master plan concedes that the planned outer wall can only protect Jakarta until 2080, unless the subsidence stops.

Purba Sianipar, assistant deputy minister of economic affairs, seemed unaware the project had such an expiry date when interviewed by Al Jazeera.

“I don’t know in what document you read that,” Sianipar said. “We never designed anything [based] on that short period of time. We would like this seawall dyke to exist for not only 100 but 1,000 years to protect the city.”

‘Limited warranty’

The minister was later disappointed when he conferred with Victor Coenen, project manager for Witteveen Bos, a Dutch engineering firm that has helped Jakarta create the project’s master plan.

“He called me back [to check] actually,” Coenen told Al Jazeera. “But no, infrastructure projects are the same as all products, they have a limited warranty.”

“I hope for Jakarta that the land subsidence will stop because [if it does not] by then [2080] you will be talking about another five metres to seven metres of water in front of Jakarta city, and those are levels that you really have to wonder if you can still protect yourself against.”

Inundation by the sea is also only one front on which Jakarta is fighting a battle to stay above water. Every year, Jakarta’s rivers break their banks as floodwaters surge through from West Java. There are concerns that capping the exits to these rivers may exacerbate seasonal flooding.

The problems of sea inundation, flooding, water pollution, and water supply are intricately interlinked, and the success of the giant sea wall is bound to factors far beyond the control of its project managers.

“It’s about who will own the project. I’m not sure if the companies involved have the capacity to provide a complete solution. Unless the problem is dealt with as a national commitment, it won’t go anywhere,” Arif Shah, a representative for Greenpeace Indonesia, said.

Shah added coordination would be required among the president’s office, national planning agency, the Environment and Forestry Ministry, and the provincial governments of West Java, Banten, and Jakarta.

“Unless all the parties sit down together, then it’s hard to make this solution happen.”

 

Sumber: http://www.aljazeera.com/indepth/features/2014/11/life-indonesia-sinking-capital-201411911594478579.html

Kawasan Konservasi Hanya Hambat Nelayan Tradisional

Kawasan Konservasi Hanya Hambat Nelayan Tradisional

 | Reja Hidayat

Pemerintah atau konsorsium perusahaan sering menggunakan alasan konservasi sebagai modus penghambat penangkapan ikan bagi nelayan tradisional di wilayah tertentu.

“Nelayan lebih tahu dari pada perusahaan kapan waktu menangkap ikan,” kata Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Indonesia, Budi Laksana, saat dihubungi Geotimes di Jakarta, Rabu [5/11].

SNI menuntut alasan konservasi itu tak digunakan lagi, karena mempengaruhi hasil tangkapan para nelayan tradisional.

“Ingat, kearifan lokal nelayan adat sudah turun-temurun di seluruh Indonesia sebelum adanya aturan-aturan privatisasi. Jadi mereka lebih melestarikan laut dibandingkan perusahaan,” katanya.

Dia mencontohkan, pemburuan paus di Lamalera, Nusa Tenggara Timur oleh nelayan tradisional sudah menjadi tradisi. Dalam pemburuan tersebut, nelayan dilarang menangkap paus betina karena spesies itu bisa punah.

Oleh karena itu, nelayan menangkap paus jantan dengan waktu tertentu untuk dibagikan kepada masyarakat sekitar, bukan seperti perusahaan yang mengejar untung sebesar-besarnya tanpa memperdulikan habitatnya.

Sementara itu, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Abdul Halim, mengatakan kawasan konservasi perairan yang ditetapkan semau-mau oleh pemerintah semata-mata untuk mendapatkan pinjaman asing dan citra positif di level internasional.

Pusat Data dan Informasi Kiara (Juni 2013) mencatat proyek konservasi di laut Indonesia yang didanai asing, di antaranya Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (Coremap II 2004-2011) mencapai lebih dari Rp1,3 triliun, sebagian besar bersumber dari utang Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB).

Berdasarkan Laporan BPK 2013, program konservasi terumbu karang justru tak efektif dan ada kebocoran dana. Kini, Kementerian Kelautan dan Perikanan melanjutkan proyek Coremap III periode 2014-2019 dengan menambah utang konservasi baru sebesar 80 juta dollar AS dari Bank Dunia dan ADB.

Upaya konservasi juga menjadi komitmen Indonesia melalui target 20 juta hektar kawasan konservasi laut pada 2020. Kini, luas kawasan baru sekitar 15 juta hektar.

Abdul mengkhawatirkan program ini mengesampingkan nelayan tradisional dan masyarakat adat serta mengubur kearifan lokal. Kiara mendesak pemerintah baru mengedepankan dan memastikan pengelolaan sumber daya laut berdasarkan kearifan lokal.

Pemerintah juga diminta mengevaluasi proyek konservasi laut yang terbukti membebani keuangan negara dan menghentikan skema pembiayaan konservasi laut berbasis utang.[*]

Sumber: http://geotimes.co.id/kebijakan/kelautan/11239-kawasan-konservasi-dinilai-hanya-untuk-hambat-nelayan-tradisional.html

Perempuan Nelayan Minta Prioritaskan RUU Perlindungan

Perempuan Nelayan Minta Prioritaskan RUU Perlindungan

Pekanbaru, (Antarariau.com) –  Sedikitnya 30 nelayan dan perempuan nelayan dari kabupaten dan kota di Jawa Tengah mendesak DPR RI untuk mengagendakan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan sebagai prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2014-2019.

“Kebijakan ini penting karena terlanggarnya hak-hak nelayan dan perempuan nelayan lebih karena minusnya peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus tentang perlindungan dan pemberdayaan nelayan,” kata Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA dalam surat elektroniknya diterima Antara Riau, Jumat.

Ia mengatakan itu bagian dari masukan setelah diskusi terbatas tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan yang diprakarsai oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) bekerjasama dengan Layar Nusantara,  di Semarang, Jawa Tengah baru-baru ini.

Apalagi, katanya, faktanya harapan nelayan dan perempuan nelayan agar dapat terpenuhi hak-haknya ternyata masih belum terealisasi dengan baik.

“Fakta yang disampaikan adalah aktivitas melaut, mulai dari persiapan melaut, saat melaut, pengolahan hingga proses penjualan mengalami berbagai tindakan yang mencederai hak-hak konstitusionalnya, di antaranya penyerobotan wilayah tangkap dan pencemaran pesisir dan laut, meski Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 2011 tentang Perlindungan Nelayan sudah ada,”katanya.

Persoalan lainnya, adalah perizinan yang bertele-tele dan memakan waktu dan biaya yang tak sedikit, akses permodalan dan BBM bersubsidi yang hampir mustahil diperoleh dengan ketentuan harga Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2012, yakni Rp4.500.

Parahnya, saat kecelakaan melaut terjadi, justru tidak ada keberpihakan dari pemerintah, misalnya jaminan perbaikan kapal. Di saat yang sama, perempuan nelayan belum diakui peran dan keberadaannya di dalam kebijakan kelautan dan perikanan.

“Padahal, kontribusinya amat sangat signifikan bagi keluarga-keluarga nelayan, termasuk memastikan sistem ekonomi yang memihak kepentingan perempuan dan keluarganya, bukan tengkulak,”katanya.

Sumber: http://antarariau.com/berita/45626/perempuan-nelayan-minta-prioritaskan-ruu-perlindungan

Perempuan Nelayan Minta Prioritaskan RUU Perlindungan

Perempuan Nelayan Minta Prioritaskan RUU Perlindungan

Pekanbaru, (Antarariau.com) –  Sedikitnya 30 nelayan dan perempuan nelayan dari kabupaten dan kota di Jawa Tengah mendesak DPR RI untuk mengagendakan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan sebagai prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2014-2019.

“Kebijakan ini penting karena terlanggarnya hak-hak nelayan dan perempuan nelayan lebih karena minusnya peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus tentang perlindungan dan pemberdayaan nelayan,” kata Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA dalam surat elektroniknya diterima Antara Riau, Jumat.

Ia mengatakan itu bagian dari masukan setelah diskusi terbatas tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan yang diprakarsai oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) bekerjasama dengan Layar Nusantara,  di Semarang, Jawa Tengah baru-baru ini.

Apalagi, katanya, faktanya harapan nelayan dan perempuan nelayan agar dapat terpenuhi hak-haknya ternyata masih belum terealisasi dengan baik.

“Fakta yang disampaikan adalah aktivitas melaut, mulai dari persiapan melaut, saat melaut, pengolahan hingga proses penjualan mengalami berbagai tindakan yang mencederai hak-hak konstitusionalnya, di antaranya penyerobotan wilayah tangkap dan pencemaran pesisir dan laut, meski Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 2011 tentang Perlindungan Nelayan sudah ada,”katanya.

Persoalan lainnya, adalah perizinan yang bertele-tele dan memakan waktu dan biaya yang tak sedikit, akses permodalan dan BBM bersubsidi yang hampir mustahil diperoleh dengan ketentuan harga Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2012, yakni Rp4.500.

Parahnya, saat kecelakaan melaut terjadi, justru tidak ada keberpihakan dari pemerintah, misalnya jaminan perbaikan kapal. Di saat yang sama, perempuan nelayan belum diakui peran dan keberadaannya di dalam kebijakan kelautan dan perikanan.

“Padahal, kontribusinya amat sangat signifikan bagi keluarga-keluarga nelayan, termasuk memastikan sistem ekonomi yang memihak kepentingan perempuan dan keluarganya, bukan tengkulak,”katanya.

Sumber: http://antarariau.com/berita/45626/perempuan-nelayan-minta-prioritaskan-ruu-perlindungan

Menteri Kelautan Terapkan Strategi Berantas Pencurian Ikan

Menteri Kelautan Terapkan Strategi Berantas Pencurian Ikan

Jakarta, Seruu.com – Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Susi Pudjiastuti, mengatakan pembekuan izin kapal besar penangkap ikan merupakan komitmen guna memberantas tindak pencurian ikan di kawasan perairan Indonesia.

“Sampai saat ini tercatat, sebanyak 207 kapal sudah dibekukan izinnya. Upaya ini juga menjadi wujud nyata komitmen KKP atas kapal-kapal yang melanggar aturan seperti penggunaan ABK asing, penggunaan alat tangkap, serta aksi pencurian ikan,” kata Susi Pudjiastuti di Jakarta, Jumat.

KKP sendiri untuk pendataan kapal di wilayah perairan, telah menerapkan sistem logbook dan masyarakat dapat bebas mengakses data yang terekam sebagai bentuk komitmen pemerintah terkait transparansi data-data seputar kelautan dan perikanan.

Selain itu, KKP juga telah memantau pergerakan kapal-kapal penangkap ikan di wilayah perairan laut Indonesia lewat teknologi “Vessel Monitoring Systems” (VMS) untuk mengawasi koordinat kapal nelayan cegah pencurian ikan.

Sistem VMS merupakan salah satu bentuk sistem pengawasan di bidang penangkapan ikan dengan menggunakan peralatan pemantauan kapal perikanan berbasis satelit guna memastikan kepatuhan kapal perikanan.

“Sasarannya adalah terwujudnya kelestarian sumber daya perikanan, sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat,” ucapnya.

Pada tahun 2013, KKP mencatat pelanggaran oleh kapal perikanan sebanyak 229 kasus. Selain itu, KKP juga telah menggandeng pihak TNI AL dan Polri dalam mengawasi pemberantasan pencurian ikan.

Dalam mengajak peran serta masyarakat, KKP telah menjalankan program Sistem Pengawasan Berbasis Masyarakat (Siswasmas) dengan menyiagakan 2.195 Pokmaswas di seluruh wilayah Indonesia.

Saat ini, KKP memiliki 31 kapal patroli pengawas dengan 10 kapal beroperasi di wilayah perikanan Indonesia Barat, 11 kapal di Indonesia Timur, dan enam kapal merupakan kapal kecil yang operasionalnya dibagi secara seimbang antara dua wilayah itu.

Sebelumnya, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) berharap pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memperkuat pengawasan laut untuk menekan penangkapan ikan secara ilegal yang tinggi.

“Penanganan illegal fishing memerlukan komitmen dan tindakan nyata dari pemerintah,” kata Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan Kiara, Selamet Daroyni, di Jakarta, Rabu (22/10).

Ia menjelaskan, saat ini, kerugian negara akibat penangkapan ikan secara ilegal mencapai Rp101 triliun, karena volume ikan yang dicuri di perairan Indonesia diperkirakan mencapai 1,6 juta ton atau setara dengan 182 ton per jam. [Ant]

Sumber: http://utama.seruu.com/read/2014/10/31/233097/menteri-kelautan-terapkan-strategi-berantas-pencurian-ikan

KIARA: Sedikitnya, Dua Nelayan Indonesia Hilang atau Meninggal Dunia

KIARA: Sedikitnya, Dua Nelayan Indonesia Hilang atau Meninggal Dunia 

 

Jakarta, JMOL ** Berdasarkan hasil evaluasi tahunan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), jumlah nelayan yang menghilang dan meninggal dunia cukup mengkhawatirkan. Pasalnya, dilihat pada data yang dimiliki KIARA 2010-2014, jumlahnya terus mengalami peningkatan.

 

“Dalam sehari, sedikitnya terdapat dua jiwa nelayan Indonesia yang hilang dan meninggal dunia. Pada 2010, jumlah nelayan yang hilang sekitar 86 jiwa, sementara pada 2014 meningkat menjadi 210 jiwa, ” ujar Sekretaris Jendral KIARA Abdul Halim, dalam acara evaluasi kinerja Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) 2014 dan Proyeksi 2015, Minggu (19/10/2014).

 

Halim menuturkan, saat ini yang terjadi di sektor kelautan sangatlah berbanding terbalik dengan berbagai potensi besar di sektor kelautan. Meski terjadi peningkatan cukup signifikan dalam poduksi ikan dan garam, namun peningkatan juga diikuti kuota impor kedua produk kelautan tersebut. Hal tersebut tentu membuat kesejahteraan nelayan dan petani garam mandek.

 

“Pada tahun 2009-2012, produksi perikanan nasional meningkat, dari 8,8 juta ton menjadi 15,5 juta ton. Peningkatan produksi tersebut juga diikuti dengan peningkatan impor ikan, meski peningkatannya tidak signifikan, yakni dari 333,8 ribu ton tahun 2009 menjadi 337,3 ribu ton pada 2012,” tuturnya.

 

Sedangkan, untuk impor garam mengalami peningkatan sekitar 50 persen, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan produksi dalam negeri di tahun 2013. Sementara hasil panen garam juga mengalami peningkatan.

 

“Peningkatan-peningkatan tersebut, justru berbanding terbalik dengan nilai tukar nelayan (NTN) yang mengalami penurunan sebanyak 0,92 persen dari 106,42 (tahun 2009) menjadi 105,5 (tahun 2013),” ucap Halim.

 

Selain itu, lanjut Halim, terjadi pemiskinan nelayan, meliputi perampasan wilayah tangkap nelayan tradisional untuk apartemen, wisata bahari berlayar, konservasi laut, dan program kelautan. Sementara itu, program kelautan dan perikanan yang bertujuan menyejahterakan nelayan, tidak tepat sasaran. Sering kali nelayan diatasnamakan sebagai penerimanya oleh oknum.

 

“Akses permodalan dan pengolahan ikan yang minim dan cenderung tidak ada berakibat pada sulitnya nelayan melaut dan mendapatkan harga jual yang tinggi,” tandasnya.

 

Ia juga menambahkan, terkait proyeksi 2015, produksi perikanan nasional akan terus meningkat, sementara upaya menyejahterakan nelayan menjadi tantangan Presiden jokowi. Negara dapat memberikan jaminan perlindungan wilayan tangkap, permodalan, peningkatan kapasitas, jaminan harga, serta informasi dan akses pasar.

 

Selanjutnya, sambung Halim, mengutamakan produksi ikan dan garam dalam negeri untuk mencukupi kebutuhan domestik dan menghapus importasi. Terakhir, kelembagaan satu pintu dan memedahkan masyarakat perikanan skala kecil dan tradisional.

 

Editor: Arif Giyanto

Sumber: http://m.jurnalmaritim.com/detail/index/2495