Archive for date: November 11th, 2014
DPR Didesak Prioritaskan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan di dalam Prolegnas 2014-2019
/in Siaran Pers /by adminkiaraDPR Didesak Prioritaskan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan
di dalam Prolegnas 2014-2019
Semarang, 7 November 2014. Sedikitnya 30 nelayan dan perempuan nelayan dari kabupaten/kota di Jawa Tengah mendesak DPR untuk mengagendakan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan sebagai prioritas Program Legislasi Nasional 2014-2019. Hal ini disampaikan pasca Diskusi Terbatas tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan yang diprakarsai oleh KIARA bekerjasama dengan Layar Nusantara pada Kamis (6/11) di Semarang, Jawa Tengah. Harapan nelayan dan perempuan nelayan agar dapat terpenuhi hak-haknya ternyata masih jauh panggang dari api. Pengabaian dan terlanggarnya hak-hak mereka ditengarai karena minusnya peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus tentang perlindungan dan pemberdayaan nelayan. Fakta yang disampaikan adalah aktivitas melaut, mulai dari persiapan melaut, saat melaut, pengolahan hingga proses penjualan mengalami berbagai tindakan yang mencederai hak-hak konstitusionalnya, di antaranya penyerobotan wilayah tangkap dan pencemaran pesisir dan laut, meski Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 2011 tentang Perlindungan Nelayan sudah ada. Hal lain yang tak kalah penting adalah perizinan yang bertele-tele dan memakan waktu dan biaya yang tak sedikit, akses permodalan dan bbm bersubsidi yang hampir mustahil diperoleh dengan ketentuan harga Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2012, yakni Rp4.500 (Empat Ribu Lima Ratus Ribu Rupiah). Parahnya, saat kecelakaan melaut terjadi, justru tidak ada keberpihakan dari pemerintah, misalnya jaminan perbaikan kapal. Di saat yang sama, perempuan nelayan belum diakui peran dan keberadaannya di dalam kebijakan kelautan dan perikanan. Padahal, kontribusinya amat sangat signifikan bagi keluarga-keluarga nelayan, termasuk memastikan sistem ekonomi yang memihak kepentingan perempuan dan keluarganya, bukan tengkulak.*** Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi: Masnuah, Koordinator Nasional PPNI di +62 852 2598 5110 Sugeng Triyanto, Koordinator Nelayan Jawa Tengah di +62 819 0195 1952 Misbakhul Munir, Direktur Eksekutif LBH Semarang di +62 858 6508 9424 Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA di +62 815 53100 259Jakarta suffers subsidence rates of up to 17cm a year in some areas, threatening the homes of 4.5 million people.
/in Kampanye & Advokasi, Pengelolaan Pesisir & Pulau - Pulau Kecil, Pertambakan dan Mangrove, Reformasi Kebijakan /by adminkiaraLife in Indonesia’s sinking capital | |
Jakarta suffers subsidence rates of up to 17cm a year in some areas, threatening the homes of 4.5 million people.Jack Hewson | |
Jakarta, Indonesia – Benjol stirs four blackened tuns of green mussels cooking by the banks of Jakarta’s east flood canal. He kicks over one of the vats – cut from a used oil drum – and the steaming content pours onto the concrete. Female workers pick over the catch, collecting mussels into a grubby sieve.The livelihoods of squatter fishermen such as Benjol – who like many Indonesians uses just one name – have faced multiple threats over the past three decades.Land reclamations in the 1980s and ’90s – primarily for high-end housing developments – have pushed them from their original settlements, and Jakarta Bay’s toxic water containing dangerous levels of lead and mercury has prompted the city administration to ban mussel cultivation on public health grounds.
To make matters worse, the land on which they live is sinking into the sea.
“We don’t want to move from here,” Benjol says, but his community may have no choice. Straddling north Jakarta’s flood defences, they are vulnerable to the high tides that last year breached the dyke, exacerbating the annual wet season floods.
North Jakarta suffers subsidence rates of up to 17cm a year in some areas – caused by the excessive extraction of ground water from the soft soil on which the city is built – meaning whole neighbourhoods will be several metres underwater by 2030. The homes of 4.5 million people are threatened with permanent inundation.
‘Giant seawall’
To avert this disaster, Indonesia’s outgoing government last month rushed to commence the construction of its futuristic $40bn “giant seawall” development, otherwise known as the National Capital Integrated Coastal Development (NCICD).
Comprised of a 25km dyke that will close the bay of Jakarta and 17 man-made islands shaped into a “giant garuda” – a mythical bird used as Indonesia’s national symbol – the development is set to become one of the world’s largest infrastructure projects.
Its first phase of strengthening the city’s existing defences began last month, and the sealing off of Jakarta bay is expected to be completed by 2022.
To bankroll the scheme, predominantly mid and high-end housing developments will be sold off; eventually housing up to 1.5 million people on the giant garuda. The ambitions for the development cannot be understated – with the NCICD master plan pushing for Indonesia’s “seat of government” to be relocated from central Jakarta to the new city.
However, the plans have drawn significant criticism, with detractors claiming the seawall is a bogus solution that will once more displace traditional fishermen and other low-income groups from their communities.
The People’s Coalition for Fisheries Justice Indonesia (KIARA) says thousands of people such as Benjol will be removed from their homes to make way for what they see as just another luxury housing development.
The government has defended the initiative, saying 17 percent of the new development will be devoted to social housing, and will give fishermen closer access to the cleaner waters 6km out to sea – where the seawall is to be constructed.
The likelihood of the city’s poorest being housed on the giant garuda seems limited, but it’s a social injustice most Jakartans are likely to forgive if they can be assured that the seawall will prevent the capital from sliding into the sea.
|
Kawasan Konservasi Hanya Hambat Nelayan Tradisional
/in Kampanye & Advokasi, Pengelolaan Pesisir & Pulau - Pulau Kecil, Reformasi Kebijakan /by adminkiaraKawasan Konservasi Hanya Hambat Nelayan Tradisional
| Reja Hidayat Pemerintah atau konsorsium perusahaan sering menggunakan alasan konservasi sebagai modus penghambat penangkapan ikan bagi nelayan tradisional di wilayah tertentu. “Nelayan lebih tahu dari pada perusahaan kapan waktu menangkap ikan,” kata Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Indonesia, Budi Laksana, saat dihubungi Geotimes di Jakarta, Rabu [5/11]. SNI menuntut alasan konservasi itu tak digunakan lagi, karena mempengaruhi hasil tangkapan para nelayan tradisional. “Ingat, kearifan lokal nelayan adat sudah turun-temurun di seluruh Indonesia sebelum adanya aturan-aturan privatisasi. Jadi mereka lebih melestarikan laut dibandingkan perusahaan,” katanya. Dia mencontohkan, pemburuan paus di Lamalera, Nusa Tenggara Timur oleh nelayan tradisional sudah menjadi tradisi. Dalam pemburuan tersebut, nelayan dilarang menangkap paus betina karena spesies itu bisa punah. Oleh karena itu, nelayan menangkap paus jantan dengan waktu tertentu untuk dibagikan kepada masyarakat sekitar, bukan seperti perusahaan yang mengejar untung sebesar-besarnya tanpa memperdulikan habitatnya. Sementara itu, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Abdul Halim, mengatakan kawasan konservasi perairan yang ditetapkan semau-mau oleh pemerintah semata-mata untuk mendapatkan pinjaman asing dan citra positif di level internasional. Pusat Data dan Informasi Kiara (Juni 2013) mencatat proyek konservasi di laut Indonesia yang didanai asing, di antaranya Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (Coremap II 2004-2011) mencapai lebih dari Rp1,3 triliun, sebagian besar bersumber dari utang Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB). Berdasarkan Laporan BPK 2013, program konservasi terumbu karang justru tak efektif dan ada kebocoran dana. Kini, Kementerian Kelautan dan Perikanan melanjutkan proyek Coremap III periode 2014-2019 dengan menambah utang konservasi baru sebesar 80 juta dollar AS dari Bank Dunia dan ADB. Upaya konservasi juga menjadi komitmen Indonesia melalui target 20 juta hektar kawasan konservasi laut pada 2020. Kini, luas kawasan baru sekitar 15 juta hektar. Abdul mengkhawatirkan program ini mengesampingkan nelayan tradisional dan masyarakat adat serta mengubur kearifan lokal. Kiara mendesak pemerintah baru mengedepankan dan memastikan pengelolaan sumber daya laut berdasarkan kearifan lokal. Pemerintah juga diminta mengevaluasi proyek konservasi laut yang terbukti membebani keuangan negara dan menghentikan skema pembiayaan konservasi laut berbasis utang.[*] Sumber: http://geotimes.co.id/kebijakan/kelautan/11239-kawasan-konservasi-dinilai-hanya-untuk-hambat-nelayan-tradisional.htmlPerempuan Nelayan Minta Prioritaskan RUU Perlindungan
/in Kampanye & Advokasi, Pengelolaan Pesisir & Pulau - Pulau Kecil, Pertambakan dan Mangrove, Reformasi Kebijakan /by adminkiaraPerempuan Nelayan Minta Prioritaskan RUU Perlindungan
/in Kampanye & Advokasi, Pengelolaan Pesisir & Pulau - Pulau Kecil, Pertambakan dan Mangrove, Reformasi Kebijakan /by adminkiaraMenteri Kelautan Terapkan Strategi Berantas Pencurian Ikan
/in IUU Fishing, Kampanye & Advokasi, Reformasi Kebijakan /by adminkiaraMenteri Kelautan Terapkan Strategi Berantas Pencurian Ikan
Jakarta, Seruu.com – Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Susi Pudjiastuti, mengatakan pembekuan izin kapal besar penangkap ikan merupakan komitmen guna memberantas tindak pencurian ikan di kawasan perairan Indonesia. “Sampai saat ini tercatat, sebanyak 207 kapal sudah dibekukan izinnya. Upaya ini juga menjadi wujud nyata komitmen KKP atas kapal-kapal yang melanggar aturan seperti penggunaan ABK asing, penggunaan alat tangkap, serta aksi pencurian ikan,” kata Susi Pudjiastuti di Jakarta, Jumat. KKP sendiri untuk pendataan kapal di wilayah perairan, telah menerapkan sistem logbook dan masyarakat dapat bebas mengakses data yang terekam sebagai bentuk komitmen pemerintah terkait transparansi data-data seputar kelautan dan perikanan. Selain itu, KKP juga telah memantau pergerakan kapal-kapal penangkap ikan di wilayah perairan laut Indonesia lewat teknologi “Vessel Monitoring Systems” (VMS) untuk mengawasi koordinat kapal nelayan cegah pencurian ikan. Sistem VMS merupakan salah satu bentuk sistem pengawasan di bidang penangkapan ikan dengan menggunakan peralatan pemantauan kapal perikanan berbasis satelit guna memastikan kepatuhan kapal perikanan. “Sasarannya adalah terwujudnya kelestarian sumber daya perikanan, sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat,” ucapnya. Pada tahun 2013, KKP mencatat pelanggaran oleh kapal perikanan sebanyak 229 kasus. Selain itu, KKP juga telah menggandeng pihak TNI AL dan Polri dalam mengawasi pemberantasan pencurian ikan. Dalam mengajak peran serta masyarakat, KKP telah menjalankan program Sistem Pengawasan Berbasis Masyarakat (Siswasmas) dengan menyiagakan 2.195 Pokmaswas di seluruh wilayah Indonesia. Saat ini, KKP memiliki 31 kapal patroli pengawas dengan 10 kapal beroperasi di wilayah perikanan Indonesia Barat, 11 kapal di Indonesia Timur, dan enam kapal merupakan kapal kecil yang operasionalnya dibagi secara seimbang antara dua wilayah itu. Sebelumnya, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) berharap pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memperkuat pengawasan laut untuk menekan penangkapan ikan secara ilegal yang tinggi. “Penanganan illegal fishing memerlukan komitmen dan tindakan nyata dari pemerintah,” kata Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan Kiara, Selamet Daroyni, di Jakarta, Rabu (22/10). Ia menjelaskan, saat ini, kerugian negara akibat penangkapan ikan secara ilegal mencapai Rp101 triliun, karena volume ikan yang dicuri di perairan Indonesia diperkirakan mencapai 1,6 juta ton atau setara dengan 182 ton per jam. [Ant] Sumber: http://utama.seruu.com/read/2014/10/31/233097/menteri-kelautan-terapkan-strategi-berantas-pencurian-ikanKIARA: Sedikitnya, Dua Nelayan Indonesia Hilang atau Meninggal Dunia
/in IUU Fishing, Kampanye & Advokasi, Reformasi Kebijakan /by adminkiaraKIARA: Sedikitnya, Dua Nelayan Indonesia Hilang atau Meninggal Dunia
Jakarta, JMOL ** Berdasarkan hasil evaluasi tahunan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), jumlah nelayan yang menghilang dan meninggal dunia cukup mengkhawatirkan. Pasalnya, dilihat pada data yang dimiliki KIARA 2010-2014, jumlahnya terus mengalami peningkatan.
“Dalam sehari, sedikitnya terdapat dua jiwa nelayan Indonesia yang hilang dan meninggal dunia. Pada 2010, jumlah nelayan yang hilang sekitar 86 jiwa, sementara pada 2014 meningkat menjadi 210 jiwa, ” ujar Sekretaris Jendral KIARA Abdul Halim, dalam acara evaluasi kinerja Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) 2014 dan Proyeksi 2015, Minggu (19/10/2014).
Halim menuturkan, saat ini yang terjadi di sektor kelautan sangatlah berbanding terbalik dengan berbagai potensi besar di sektor kelautan. Meski terjadi peningkatan cukup signifikan dalam poduksi ikan dan garam, namun peningkatan juga diikuti kuota impor kedua produk kelautan tersebut. Hal tersebut tentu membuat kesejahteraan nelayan dan petani garam mandek.
“Pada tahun 2009-2012, produksi perikanan nasional meningkat, dari 8,8 juta ton menjadi 15,5 juta ton. Peningkatan produksi tersebut juga diikuti dengan peningkatan impor ikan, meski peningkatannya tidak signifikan, yakni dari 333,8 ribu ton tahun 2009 menjadi 337,3 ribu ton pada 2012,” tuturnya.
Sedangkan, untuk impor garam mengalami peningkatan sekitar 50 persen, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan produksi dalam negeri di tahun 2013. Sementara hasil panen garam juga mengalami peningkatan.
“Peningkatan-peningkatan tersebut, justru berbanding terbalik dengan nilai tukar nelayan (NTN) yang mengalami penurunan sebanyak 0,92 persen dari 106,42 (tahun 2009) menjadi 105,5 (tahun 2013),” ucap Halim.
Selain itu, lanjut Halim, terjadi pemiskinan nelayan, meliputi perampasan wilayah tangkap nelayan tradisional untuk apartemen, wisata bahari berlayar, konservasi laut, dan program kelautan. Sementara itu, program kelautan dan perikanan yang bertujuan menyejahterakan nelayan, tidak tepat sasaran. Sering kali nelayan diatasnamakan sebagai penerimanya oleh oknum.
“Akses permodalan dan pengolahan ikan yang minim dan cenderung tidak ada berakibat pada sulitnya nelayan melaut dan mendapatkan harga jual yang tinggi,” tandasnya.
Ia juga menambahkan, terkait proyeksi 2015, produksi perikanan nasional akan terus meningkat, sementara upaya menyejahterakan nelayan menjadi tantangan Presiden jokowi. Negara dapat memberikan jaminan perlindungan wilayan tangkap, permodalan, peningkatan kapasitas, jaminan harga, serta informasi dan akses pasar.
Selanjutnya, sambung Halim, mengutamakan produksi ikan dan garam dalam negeri untuk mencukupi kebutuhan domestik dan menghapus importasi. Terakhir, kelembagaan satu pintu dan memedahkan masyarakat perikanan skala kecil dan tradisional.
Editor: Arif Giyanto

Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan
Jl. Tebet Utara 1 C No.9 RT.08/RW.01, Kel. Tebet Timur, Kec. Tebet, Kota Jakarta Selatan. 12820, Indonesia. Tlp/Fax +62-21 22902055
Tentang KIARA
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) adalah organisasi non-pemerintah yang berdiri pada tanggal 6 april 2003. Organisasi nirlaba ini diinisiasi oleh WALHI, Bina Desa, JALA (Jaringan Advokasi untuk Nelayan Sumatera Utara), Federasi Serikat Nelayan Nusantara (FSNN), dan individu-individu yang menaruh perhatian terhadap isu kelautan dan perikanan.