Pemerintah Didesak Lindungi Nelayan dan Perempuan Nelayan Tradisional

Pemerintah Didesak Lindungi Nelayan dan Perempuan Nelayan Tradisional

JAKARTA, GRESNEWS.COM – Masyarakat nelayan di dunia kembali merayakan Hari Perikanan Sedunia pada tanggal 21 November tiap tahunnya. Hari Perikanan Sedunia ini bermula pada keprihatinan masyarakat perikanan dunia yang berkumpul yang dimulai New Delhi India 17 tahun lalu. Keprihatinan ini didasari atas keberlanjutan sumber daya ikan yang memasuki titik eksploitasi berlebih serta upaya menyejahterakan nelayan.

Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Slamet Daroyni mengatakan, perikanan sebagai sektor pangan memerlukan pendekatan ekologis yang tidak hanya sekedar didasarkan stok sumber daya ikan sebagai komoditas yang akan eksploitatif.

“Tetapi, juga bagaimana perikanan dapat menyejahterakan nelayan, masyarakat pesisir laki-laki dan perempuan serta menjaga keberlanjutan sumber daya pesisir seperti hutan bakau, terumbu karang, padang lamun dan pulau-pulau kecil. Ekosistem tersebut akan mempengaruhi sumber daya perikanan,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Sabtu (22/11).

KIARA mendata, setidaknya pada tahun ini, terdapat empat isu strategis yang penting untuk digarisbawahi oleh pemerintahan hari ini. Pertama terkait dengan pengakuan dan perlindungan terhadap nelayan dan petambak tradisional baik Laki-Laki dan Perempuan.

Aktivis Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Taher mengatakan, pengakuan nelayan dan petambak akan terkait erat dengan bagaimana negara memenuhi hak-hak asasi. Baik haknya sebagai warga negara Indonesia yang telah diatur dalam konstitusi UUD 1945 serta aturan lain yang menegaskan hak-hak dasarnya sebagai warga negara.

“Serta juga haknya sebagai bagian dari pekerjaannya selama ini dalam perikanan yang meliputi dukungan dan perlindungan pemerintah dalam tahap pra produksi, saat produksi dan pasca produksi,” ujarnya.

Kedua, nelayan menjadi korban pembangunan di pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini dapat dilihat dari proyek PLTU Batang serta Giant Sea Wall di Teluk Jakarta. Sedikitnya10.961 nelayan tradisional Batang terancam kehilangan penghasilan dan 16.855 nelayan akan tergusur karena proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) proyek senilai Rp600 triliun.

Begitu pula pertambangan di pesisir dan pulau-pulau kecil tidak pernah ada upaya untuk menghentikan eksploitasi. Sebaliknya kriminalisasi berjalan dengan mudah sebagaimana yang dihadapi nelayan nelayan di Taman Nasional Ujung Kulon yang terancam 5 tahun penjara dan denda Rp100 juta hanya karena menangkap ikan dan kepiting.

Ketiga, BBM Subsidi untuk Nelayan Tradisional yang baru saja dinaikkan dari Rp5.500 menjadi Rp7.500. Nelayan tradisional dan petambak adalah sektor yang paling terpukul ketika ada pencabutan subsidi namun tidak ada upaya negara sebagai kompensasi untuk mengantisipasi dampak dari pengurangan subsidi BBM.

Masalah distribusi bbm tidak pernah transparan, tidak terbuka dan terjadi kolusi dan nepotisme tidak pernah diselesaikan. Terlebih BBM subsidi dibuka aksesnya kepada kapal dengan ukuran di atas 30 GT dengan maksimal 25 kilo liter/bulan. Yang sangat gamblang menggambarkan keberpihakan pemerintah terhadap pengusaha perikanan.

Keempat terkait dengan Pencurian Ikan dengan Lima agenda prioritas yang perlu dilakukan pemerintah. Pertama, menyelesaikan tumpang tindih pengawasan. Kedua, memastikan sanksi pelanggaran kewajiban mempekerjakan nakhoda dan anak buah kapal yang berkewarganegaraan Indonesia di dalam kapal berbendera Indonesia.

Ketiga, mewajibkan adanya peningkatan nilai hasil tangkapan dengan mewajibkan usaha perikanan skala besar membuat sarana unit pengolahan ikan. Keempat, menegaskan pelarangan jaring pukat trawl di seluruh perairan Indonesia. Kelima, memastikan hak partisipasi nelayan dalam pengawasan sumber daya perikanan.

Terkait kasus pencurian ikan sendiri, Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Susi Pudjiastuti mengatakan pihaknya akan melakukan pengawasan intensif melalui berbagai cara. Selain dengan kewajiban memasang VMS (Vessel Monitoring System), pencurian ikan juga dilacak via satelit.

“Kita itu tahu apa yang mereka lakukan, selama ini dipikir oleh mereka, kita tidak melihat ini. Pemain pemain ini pikir kita tidak tahu, mereka pikir kita yang tahu hanya VMS (Vessel Monitoring System) saja,” kata Susi di kantor KKP, Jakarta, Jumat (21/11) kemarin.

KKP memiliki alat pendeteksi atau sistem monitoring data (VMS) dan citra satelit radar. Sehingga bisa mengetahui berapa banyak kapal asing yang berada di perairan. “Kita bisa melihat orang yang kita lakukan di laut kita,” sebutnya.

Ia mengakui segala keterbatasan untuk menindaklanjuti aktivitas pencurian ikan di laut Indonesia. “Cuma kita nggak punya kemampuan untuk menangkap semuanya. Itu persoalannya,” tegasnya.

Menurutnya persoalan ini harus segera diakhir, ia optimistis dengan kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). “Apakah kita akan diam dengan gambar-gambar ini? Kan tidak. Makanya kalau Perintah Presiden seperti itu, ya kita harus laksanakan. Kalau kita harus terus menerus menanggapi dan mengawasi itu tidak mungkin. Paling hebat makanya efek jera, dan itu UU,” papar Susi. (dtc)

Redaktur : Muhammad Agung Riyadi

Sumber: http://www.gresnews.com/berita/detail-print.php?seo=1402211-pemerintah-didesak-nelayan-dan-perempuan-nelayan-tradisional

Lindungi Nelayan dan Perempuan Nelayan Tradisional

Siaran Pers Bersama

Komite Aksi Hari Perikanan Sedunia 2014

KIARA, KNTI, PPNI, SNI, IHCS, YLBHI, LBH Jakarta, SP, KRuHA

“Lindungi Nelayan dan Perempuan Nelayan Tradisional”

Jakarta, 21 November 2014. Masyarakat nelayan di dunia kembali merayakan Hari Perikanan Sedunia pada tanggal 21 November tiap tahunnya. Hari Perikanan Sedunia ini bermula pada keprihatinan masyarakat perikanan dunia yang berkumpul yang dimulai New Delhi India 17 tahun lalu. Keprihatinan ini didasari atas keberlanjutan sumber daya ikan yang memasuki titik eksploitasi berlebih serta upaya menyejahterakan nelayan.

Perikanan sebagai sektor pangan memerlukan pendekatan ekologis yang tidak hanya sekedar didasarkan stok sumber daya ikan sebagai komoditas yang akan eksploitatif. Tetapi, juga bagaimana perikanan dapat menyejahterakan nelayan, masyarakat pesisir laki-laki dan perempuan serta menjaga keberlanjutan sumber daya pesisir seperti hutan bakau, terumbu karang, padang lamun dan pulau-pulau kecil. Ekosistem tersebut akan mempengaruhi sumber daya perikanan.

Setidaknya pada tahun ini, terdapat empat isu strategis yang penting untuk digarisbawahi oleh pemerintahan hari ini. Pertama terkait dengan pengakuan dan perlindungan terhadap nelayan dan petambak tradisional baik Laki-Laki dan Perempuan. Pengakuan nelayan dan petambak akan terkait erat dengan bagaimana negara memenuhi hak-hak asasi. Baik haknya sebagai warga negara Indonesia yang telah diatur dalam konstitusi UUD 1945 serta aturan lain yang menegaskan hak-hak dasarnya sebagai warga negara. Serta juga haknya sebagai bagian dari pekerjaannya selama ini dalam perikanan yang meliputi dukungan dan perlindungan pemerintah dalam tahap pra produksi, saat produksi dan pasca produksi.

Kedua, nelayan menjadi korban pembangunan di pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini dapat dilihat dari proyek PLTU Batang serta Giant Sea Wall di Teluk Jakarta. Sedikitnya 10.961 nelayan tradisional Batang terancam kehilangan penghasilan dan 16.855 nelayan akan tergusur karena proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) proyek senilai 600 triliun Rupiah. Begitu pula pertambangan di pesisir dan pulau-pulau kecil tidak pernah ada upaya untuk menghentikan eksploitasi. Sebaliknya kriminalisasi berjalan dengan mudah sebagaimana yang dihadapi nelayan nelayan di Taman Nasional Ujung Kulon yang terancam 5 tahun penjara dan denda 100 juta hanya karena menangkap ikan dan kepiting.

Ketiga, BBM Subsidi untuk Nelayan Tradisional yang baru saja dinaikkan dari Rp. 5.500 menjadi Rp. 7.500. Nelayan tradisional dan petambak adalah sektor yang paling terpukul ketika ada pencabutan subsidi namun tidak ada upaya negara sebagai kompensasi untuk mengantisipasi dampak dari pengurangan subsidi BBM. Masalah distribusi bbm tidak pernah transparan, tidak terbuka dan terjadi kolusi dan nepotisme tidak pernah diselesaikan. Terlebih BBM subsidi dibuka aksesnya kepada kapal dengan ukuran di atas 30 GT dengan maksimal 25 (dua puluh lima) kilo liter/bulan. Yang sangat gamblang menggambarkan keberpihakan pemerintah terhadap pengusaha perikanan.

Keempat terkait dengan Pencurian Ikan dengan: 5 Agenda Prioritas yang perlu dilakukan pemerintah. Pertama, menyelesaikan tumpang tindih pengawasan; Kedua, memastikan sanksi pelanggaran kewajiban mempekerjakan nakhoda dan anak buah kapal yang berkewarganegaraan Indonesia di dalam kapal berbendera Indonesia; Ketiga, mewajibkan adanya peningkatan nilai hasil tangkapan dengan mewajibkan usaha perikanan skala besar membuat sarana unit pengolahan ikan; Keempat, menegaskan pelarangan jaring pukat trawl di seluruh perairan Indonesia; Kelima, memastikan hak partisipasi nelayan dalam pengawasan sumber daya perikanan.

Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi:

  1. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Selamet Daroyni di 0821 1068 3102
  2. Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (INTI), M. Taher di 081314814823
  3. Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), Habibab di 081210116937
  4. Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Budi Laksana di 0813 1971 6775
  5. Indonesia Human Rights Committee For Social Justice (IHCS), Ridwan Darmawan di 0812 8672 8337
  6. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Wahyu Nandang Herawan di 0857 2722 1793
  7. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Hendra Supriatna di 081222345610
  8. Solidaritas Perempuan (SP), Arieska di 081280564651
  9. Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHa), Reza di 081370601441

 

 

Lampiran

 

Kertas Posisi Hari Perikanan Sedunia 2014

“Lindungi Nelayan dan Perempuan Nelayan Tradisional”

Pengantar

Masyarakat nelayan di dunia kembali merayakan Hari Perikanan Sedunia pada tanggal 21 November tiap tahunnya. Hari Perikanan Sedunia ini bermula pada keprihatinan masyarakat perikanan dunia yang berkumpul yang dimulai New Delhi India 17 tahun lalu. Keprihatinan ini didasari atas keberlanjutan sumber daya ikan yang memasuki titik eksploitasi berlebih serta upaya menyejahterakan nelayan.

Perikanan sebagai sektor pangan memerlukan pendekatan ekologis yang tidak hanya sekedar didasarkan stok sumber daya ikan sebagai komoditas yang akan eksploitatif. Tetapi, juga bagaimana perikanan dapat menyejahterakan nelayan, masyarakat pesisir laki-laki dan perempuan serta menjaga keberlanjutan sumber daya pesisir seperti hutan bakau, terumbu karang, padang lamun dan pulau-pulau kecil. Ekosistem tersebut akan mempengaruhi sumber daya perikanan.

Indonesia adalah negara bahari dengan gugusan ribuan pulau yang menyebar dari ujung barat di Sabang hingga Merauke. Dua per tiga kawasannya adalah laut, terdiri dari 17.504 pulau dengan luas laut keseluruhan 5,8 juta km2. Perairan Indonesia memiliki potensi sumber daya perikanan tangkap lebih dari 5 juta ton per tahun. Semestinya laut Indonesia bisa menyejahterakan nelayan, petambak ikan dan udang, baik laki-laki maupun perempuan nelayan, masyarakat pesisir yang berada di kampung-kampung pesisir.

Pengakuan dan Perlindungan: Nelayan dan Petambak baik Laki-Laki dan Perempuan

Data BPS (2010) menyebutkan bahwa terdapat 10.639 desa pesisir yang tersebar di 300 kabupaten/kota dari total sekitar 524 kabupaten/kota se-Indonesia. Dari desa pesisir tersebut jumlah penduduk miskin di pesisir mencapai 7,87 juta jiwa atau 25,14% dari total penduduk miskin nasional yang berjumlah 31,02 juta jiwa. Situasi ini menjadi fakta yang dialami oleh Masyarakat Pesisir yang tersebar di ribuan pulau di Indonesia.

Kondisi buruk tersebut sejalan dengan fakta-fakta yang dialami nelayan. Dari 2,74 juta jiwa nelayan, 92% dari angka tersebut adalah nelayan dengan ciri tradisional namun tidak diakui dan dilindungai tanpa dukungan modal dan teknologi. Tidak ada perlindungan kepada nelayan dilihat dari angka nelayan yang hilang dan meninggal dunia di laut mencapai 255 jiwa (KIARA, Juni 2014) yang terus meningkat sejak tahun 2010 sebanyak 86 orang nelayan. Juga masalah yang dihadapi petambak baik ikan maupun penghasil olahan pesisir seperti garam yang terancam atas kebijakan importasi ikan dan garam.

Meski demikian, 75% pasokan pangan protein nasional merupakan kontribusi mereka. Sangat ironis, ditengah berlimpahnya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil dan peluh keringat nelayan tradisional justru berbanding terbalik dengan tingkat kesejahteraan mereka. Sehingga nelayan merupakan kelompok masyarakat yang rentan dan wajib untuk dilindungi.

Nelayan sebagai Korban Pembangunan

Pembangunan infrastruktur di pesisir dan reklamasi merupakan pendorong utama meningkatnya ancaman bencana di pesisir. Pusat Data dan Informasi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) tahun 2013 mendapati bahwa dalam 10 tahun terakhir, sedikitnya tercatat ada 19 kawasan pesisir yang direklamasi. Secara akumulatif telah terjadi pengkaplingan (penguasaan) wilayah pesisir yang dikonversi menjadi daratan hasil reklamasi seluas 5.775,3 ha. Dari angka tersebut, telah terjadi pengusiran sedikitnya  14.344 nelayan, sedikitnya 18.151 Kepala Keluarga (KK) di delapan kota pesisir dari ruang permukiman dan ruang wilayah penghidupannya (wilayah tangkap nelayan tradisional).

Dampak buruk reklamasi akan mengusir nelayan dan masyarakat pesisir dari ruang permukiman dan ruang penghidupannya (wilayah perikanan tangkap) juga menutup hak akses masyarakat untuk mengakses pantai sebagai ruang terbuka publik karena di privatisasi. Salah satu contoh rencana proyek reklamasi di wilayah pesisir terjadi di Bali yang mengancam Teluk Benoa yang merupakan salah satu ekosistem pesisir yang unik dan harus di konservasi.

Di tempat yang lain, yaitu di Batang Jawa Tengah, pemerintah sedang merencanakan membangun PLTU batubara. Masyarakat nelayan tradisional Kabupaten Batang telah meminta ke Presiden agar proyek ini di batalkan karena melanggar hak konstitusional warga, yakni akses ke laut dan mendapatkan lingkungan hidup dan perairan yang bersih dan sehat. Bila proyek PLTU berkapasitas 2.000 MW tetap dipaksakan, sedikitnya 10.961 nelayan tradisional Batang terancam kehilangan penghasilan. Demikian juga halnya nasib petani yang tersebar di enam desa, yaitu Ponowareng, Karanggeneng, Wonokerso, Ujungnegoro, Sengon (Roban Timur) dan Kedung Segog (Roban Barat) akan mengalami nasib yang sama. Pembangunan proyek ini sangat berseberangan dengan komitmen Pemerintah RI untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen pada tahun 2020.

Begitu pula di Ibukota Jakarta dengan proyek pembangunan Giant Sea Wall atau Tanggul Raksasa Laut yang kontroversial. Dengan tajuk National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) proyek senilai 600 triliun Rupiah akan potensial menggusur 16.855 nelayan Jakarta. Proyek ini seharusnya dihentikan karena tidak layak dari berbagai aspek antara lain aspek lingkungan, ekonomi dan sosial masyarakat. Tidak ada konsultasi publik kepada masyarakat pesisir Teluk Jakarta,  adanya keragu-raguan dari berbagai ahli mengenai proyek ini, adanya keraguan dari Ahok, tidak menjawab akar masalah Jakarta seperti banjir dan krisis air, bahkan tidak ada ijin lingkungan yang menjadi dasar hukum proyek tersebut. proyek ini akan mengancam penghidupan mereka baik karena ancaman penggusuran maupun rusaknya ekosistem pesisir sehingga mereka harus melaut lebih jauh lagi.

Selain itu, pertambangan di pesisir dan pulau-pulau kecil seperti di Teluk Lontar di Serang, Provinsi Banten, Pulau Bangka di Sulawesi Utara dan Pulau Nusakambangan Jawa Tengah dipastikan akan meminggirkan ruang penghidupan nelayan tradisional. Upaya protes dan hingga berlanjut ke sarana hukum melalui pengadilan telah dilalui namun upaya tersebut tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah sehingga nelayan terus menerus menjadi korban dalam pembangaunan. Namun sebaliknya kriminalisasi sangat mudah dilakukan oleh pemerintah ketika berhadapan dengan nelayan. Seperti yang saat ini dihadapi oleh nelayan di Taman Nasional Ujung Kulon yang terancam 5 tahun penjara dan denda 100 juta hanya karena menangkap ikan dan kepiting.

BBM Subsidi untuk Nelayan Tradisional

Baru-baru ini melalui Permen ESDM No. 34 Tahun 2014 harga BBM Solar bersubsidi dinaikkan dari Rp. 5.500 menjadi Rp. 7.500. Asumsi yang dibangun dari kebijakan ini bahwa subsidi anggaran BBM dianggap tidak tepat sasaran sehingga dianggap perlu untuk dialihkan kepada bentuk-bentuk yang produktif dan tepat sasaran. Asumsi ini sangat umum dan berdasarkan fakta-fakta di lapangan, terjadi kondisi sebaliknya, BBM solar adalah kebutuhan primer dan utama bagi nelayan.

Sejak era Pemerintahan Yudhoyono hingga Pemerintahan Jokowi hari ini, pemerintah telah melakukan seringkali melakukan pencabutan subsidi BBM yang memberikan dampak ekonomi yang sangat luas. Bahan bakar minyak merupakan salah satu input utama dalam proses produksi di sektor perikanan yang mencapai 60-70 % dari total biaya produksi sehingga kenaikan harga BBM jelas akan menaikkan biaya produksi secara signifikan.

Fakta di lapangan, pencabutan subsidi sebesar Rp.2000 mendongkrak kenaikan Rp.3000 hingga Rp.6000 per liternya. Kenaikan harga beli BBM jenis Solar di kampung nelayan & petambak bervariasi berdasarkan informasi dari nelayan (KNTI, 18/11/2014). Di Jawa Timur seperti Surabaya, Gresik, Lamongan, Madura dan sekitarnya harga BBM jenis solar mencapai Rp.8500, di kepulauan sapeken kab sumenep Rp.10.000 dan Kepulaan Mesalembo Kab Sumenep Rp.11.000 per liternya. Di Rawajitu, Lampung mencapai Rp 8500-Rp 9000, di Tanjung Balai dan Langkat, Sumatera Utara Rp.7800-8500, di Kendal dan Demak Jawa Tengah masing-masing Rp 7800 dan Rp 8000, di Lombok Timur Rp 9000, dan Lamalera, NTT Rp.12.500. Namun di beberapa tempat terjadi kelangkaan BBM bersubsidi seperti di Tarakan, Kalimantan Utara yang tidak ada sama sekali BBM subsidi.

Dari fakta harga dan ketersediaan BBM bersubsidi, nelayan tradisional dan petambak adalah sektor yang paling terpukul ketika ada pencabutan subsidi. Persoalan distribusi yang menjadi masalah kelangkaan tidak pernah diantisipasi oleh pemerintah. Distribusi BBM tidak pernah transparan, tidak terbuka untuk nelayan tradisional dan terjadi kolusi dan nepotisme. Ditambah lagi akses sumber ikan yang terjadi penurunan jumlah stok ikan membuat wilayah tangkap lebih jauh mengakibatkan konsumsi BBM meningkat. Di sisi lain, BBM subsidi dapat diakses oleh kapal-kapal besar. Dengan aturan yang sangat longgar, kapal dengan ukuran di atas 30 GT yang terdaftar di instansi pemerintahan dapat mengakses bbm bersubsidi dengan pemakaian paling banyak 25 (dua puluh lima) kilo liter/bulan. Walaupun melalui verifikasi dan surat rekomendasi dari Pelabuhan Perikanan atau Kepala SKPD Provinsi/Kabupaten/Kota.

Dapat dipastikan telah terjadi diskriminasi akses BBM subsidi kepada nelayan tradisional dengan membuka akses kepada pengusaha perikanan dengan kapal 30 GT keatas. Selain itu, klaim pemerintah bahwa pencabutan subsidi BBM tidak berdampak buruk bagi nelayan & petambak adalah kesalahan. Ditambah lagi tidak ada upaya negara sebagai kompensasi untuk mengantisipasi dampak dari pengurangan subsidi BBM.

Pencurian Ikan: 5 Agenda Prioritas

Kondisi sumber daya perikanan yang saat ini mengalami over eksploitas, disebabkan banyak faktor. Pertama, sebagai sumber daya terbuka dengan prinsip open access, telah menyebabkan tingginya tingkat penangkapan ikan sehingga terjadi penurunan jumlah stok dari tahun ke tahun. Kedua, masalah pencurian ikan di laut Indonesia menjadi masalah yang tidak dapat diselesaikan walaupun telah ada will (niat) pemerintah dengan dukungan anggaran yang besar.

Penangkapan ikan yang melanggar hukum yang paling umum terjadi adalah pencurian ikan oleh kapal penangkap ikan berbendera asing dengan berkedok kapal ex-asing, dengan wilayah operasi bukan hanya perairan ZEE Indonesia, melainkan masuk sampai ke perairan kepulauan Indonesia bahkan masuk dalam perairan teritorial. Pada umumnya, jenis alat penangkapan ikan yang digunakan berupa purse seine dan trawl, yang merupakan alat-alat tangkap ikan yang paling eksploitatif dan merusak ekosistem.

Mengenai masalah pencurian ikan terdapat beberapa agenda prioritas yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Pertama, menyelesaikan tumpang tindih pengawasan, Pengawasan perikanan Indonesia tidak optimal disebabkan adanya tumpang tindih antar kementerian sektoral sehingga pencurian ikan tidak akan pernah bisa berkurang. Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) bersifat koordinasi 13 kementerian dan lembaga sehingga tidak dapat efektif dalam melakukan pengawasan. Ditambah lagi berdasarkan mandat Peraturan Pemerintah Tentang pengawasan perikanan, keikutsertaan masyarakat dalam membantu pengawasan perikanan berdasarkan Pasal 70 UU No. 31 Tahun 2004 tentang perikanan yang selambat-lambatnya satu tahun sejak diundangkan.

Kedua, memastikan sanksi pelanggaran kewajiban mempekerjakan nakhoda dan anak buah kapal yang berkewarganegaraan Indonesia di dalam kapal berbendera Indonesia tertuang sebagaimana diatur dalam Pasal 35A ayat (1) UU Perikanan No. 45 Tahun 2009, yang berbunyi: “Kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib menggunakan nakhoda dan anak buah kapal berkewarganegaraan Indonesia.” Oleh karena rendahnya kualitas penindakan kejahatan perikanan, kepada para pelanggar Pasal 35A ayat (1) tersebut tidak ada sanksi yang kuat baik denda administratif maupun pidana. Juga terhadap oknum di internal yang bebas

Ketiga,  mewajibkan adanya peningkatan nilai hasil tangkapan dengan mewajibkan usaha perikanan skala besar membuat sarana unit pengolahan ikan. Serta melakukan pemberdayaan nelayan dengan meningkatkan kapasitas pengetahuan dan teknologi dalam pengolahan.

Keempat, menegaskan pelarangan jaring pukat trawl di seluruh perairan Indonesia dengan mencabut Permen KP 2 Tahun 2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan. Permen tersebut malah melegalisasikan pemilikan trawl padahal telah dilarang berdasarkan UU No. 45 Tahun 2009. Permen ini juga telah melanggar Keputusan Presiden No. 39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl di seluruh perairan Indonesia.

Kelima, memastikan hak partisipasi nelayan dalam pengawasan sumber daya perikanan. Hal ini penting untuk menutupi kelemahan sarana infrastruktur pengawasan dengan berbasiskan laporan nelayan tradisional. Sehingga hak partisipasi nelayan untuk penegakan hukum pengawasan dipenuhi oleh negara. Sehingga peluang adanya kolusi dalam pembebasan pencurian ikan dapat diselesaikan.

Akui dan Lindungi Nelayan Dan Petambak Baik Laki-Laki dan Perempuan

Perikanan adalah kegiatan yang mencakup tiga tahap utama yaitu pra produksi, saat produksi dan pasca produksi. Tiap tahap tersebut melibatkan banyak pihak baik laki-laki maupun perempuan dengan peran yang berbeda-beda dan signifikan dalam tiap tahapan. Sehingga penting untuk mengakui setiap pihak yang terlibat dalam tahapan kegiatan perikanan baik laki-laki maupun perempuan terkhusus kepada kelompok yang rentan dan terpinggirkan. Termasuk pengakuan terhadap organisasi nelayan dan petambak yang benar-benar tumbuh dan berkembang dari, oleh dan untuk kepentingan nelayan dan petambak. Sebagaimana amanat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 87/PUU-XI/2013 sebagai hak kebebasan dan berserikat.

Pengakuan nelayan dan petambak akan terkait erat dengan bagaimana negara memenuhi hak-hak asasi. Baik haknya sebagai warga negara Indonesia yang telah diatur dalam konstitusi UUD 1945 serta aturan lain yang menegaskan hak-hak dasarnya sebagai warga negara. Serta juga haknya sebagai bagian dari pekerjaannya selama ini dalam perikanan yang meliputi dukungan dan perlindungan pemerintah dalam tahap pra produksi, saat produksi dan pasca produksi.

Dunia telah bersepakat bahwa nelayan tradisional dan petambak skala kecil berkontribusi besar terhadap pemenuhan ketahanan pangan. Hal ini yang mendasari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa telah memfasilitasi Pedoman Internasional tentang Perlindungan Perikanan Skala Kecil Berkelanjutan (International Guidelines On Securing Sustainable Smallscale Fisheries/IGSSSF) pada Juni 2014. Dokumen IGSSF menjadi bagian dari Tata Laksana Perikanan yang Bertanggung Jawab FAO 1995 (FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries/CCRF) yang menegaskan pentingnya perikanan artisanal dan perikanan skala kecil terhadap kesempatan kerja, pendapatan dan ketahanan pangan. Serta memastikan adanya perlindungan terhadap hak para nelayan dan pekerja perikanan, terutama bagi mereka yang terlibat dalam perikanan “subsisten”, skala kecil dan “artisanal”, dan memastikan hak atas akses istimewa ke daerah penangkapan dan sumberdaya tradisional di dalam perairan dibawah yuridiksi mereka.

Di level nasional, RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan menjadi salah satu prioritas pengesahan dalam Program Legislasi Nasional DPR RI Tahun 2010-2014. Namun tidak pernah ada tindak lanjut untuk melakukan pembahasan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan. Setiap masa prolegnas tahunan, RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan selalu ditunda hingga habis masa periode Anggota DPR RI 2009-2014.

Saat ini terbuka peluang Pemerintahan Jokowi JK untuk melakukan perlindungan kepada nelayan dan petambak dengan mendorong adanya UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan. Hal ini dapat menjadi salah satu indikator positif Pemerintahan Jokowi-JK dalam meneguhkan ideologi kedaulatan pangan.

Komite Aksi Hari Perikanan Sedunia 2014

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (INTI), Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Indonesia Human Rights Committee For Social Justice (IHCS), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Solidaritas Perempuan (SP), Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHa).

 

Lindungi Nelayan dan Perempuan Nelayan Tradisional

Siaran Pers Bersama

Komite Aksi Hari Perikanan Sedunia 2014

KIARA, KNTI, PPNI, SNI, IHCS, YLBHI, LBH Jakarta, SP, KRuHA

“Lindungi Nelayan dan Perempuan Nelayan Tradisional”

Jakarta, 21 November 2014. Masyarakat nelayan di dunia kembali merayakan Hari Perikanan Sedunia pada tanggal 21 November tiap tahunnya. Hari Perikanan Sedunia ini bermula pada keprihatinan masyarakat perikanan dunia yang berkumpul yang dimulai New Delhi India 17 tahun lalu. Keprihatinan ini didasari atas keberlanjutan sumber daya ikan yang memasuki titik eksploitasi berlebih serta upaya menyejahterakan nelayan.

Perikanan sebagai sektor pangan memerlukan pendekatan ekologis yang tidak hanya sekedar didasarkan stok sumber daya ikan sebagai komoditas yang akan eksploitatif. Tetapi, juga bagaimana perikanan dapat menyejahterakan nelayan, masyarakat pesisir laki-laki dan perempuan serta menjaga keberlanjutan sumber daya pesisir seperti hutan bakau, terumbu karang, padang lamun dan pulau-pulau kecil. Ekosistem tersebut akan mempengaruhi sumber daya perikanan.

Setidaknya pada tahun ini, terdapat empat isu strategis yang penting untuk digarisbawahi oleh pemerintahan hari ini. Pertama terkait dengan pengakuan dan perlindungan terhadap nelayan dan petambak tradisional baik Laki-Laki dan Perempuan. Pengakuan nelayan dan petambak akan terkait erat dengan bagaimana negara memenuhi hak-hak asasi. Baik haknya sebagai warga negara Indonesia yang telah diatur dalam konstitusi UUD 1945 serta aturan lain yang menegaskan hak-hak dasarnya sebagai warga negara. Serta juga haknya sebagai bagian dari pekerjaannya selama ini dalam perikanan yang meliputi dukungan dan perlindungan pemerintah dalam tahap pra produksi, saat produksi dan pasca produksi.

Kedua, nelayan menjadi korban pembangunan di pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini dapat dilihat dari proyek PLTU Batang serta Giant Sea Wall di Teluk Jakarta. Sedikitnya 10.961 nelayan tradisional Batang terancam kehilangan penghasilan dan 16.855 nelayan akan tergusur karena proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) proyek senilai 600 triliun Rupiah. Begitu pula pertambangan di pesisir dan pulau-pulau kecil tidak pernah ada upaya untuk menghentikan eksploitasi. Sebaliknya kriminalisasi berjalan dengan mudah sebagaimana yang dihadapi nelayan nelayan di Taman Nasional Ujung Kulon yang terancam 5 tahun penjara dan denda 100 juta hanya karena menangkap ikan dan kepiting.

Ketiga, BBM Subsidi untuk Nelayan Tradisional yang baru saja dinaikkan dari Rp. 5.500 menjadi Rp. 7.500. Nelayan tradisional dan petambak adalah sektor yang paling terpukul ketika ada pencabutan subsidi namun tidak ada upaya negara sebagai kompensasi untuk mengantisipasi dampak dari pengurangan subsidi BBM. Masalah distribusi bbm tidak pernah transparan, tidak terbuka dan terjadi kolusi dan nepotisme tidak pernah diselesaikan. Terlebih BBM subsidi dibuka aksesnya kepada kapal dengan ukuran di atas 30 GT dengan maksimal 25 (dua puluh lima) kilo liter/bulan. Yang sangat gamblang menggambarkan keberpihakan pemerintah terhadap pengusaha perikanan.

Keempat terkait dengan Pencurian Ikan dengan: 5 Agenda Prioritas yang perlu dilakukan pemerintah. Pertama, menyelesaikan tumpang tindih pengawasan; Kedua, memastikan sanksi pelanggaran kewajiban mempekerjakan nakhoda dan anak buah kapal yang berkewarganegaraan Indonesia di dalam kapal berbendera Indonesia; Ketiga, mewajibkan adanya peningkatan nilai hasil tangkapan dengan mewajibkan usaha perikanan skala besar membuat sarana unit pengolahan ikan; Keempat, menegaskan pelarangan jaring pukat trawl di seluruh perairan Indonesia; Kelima, memastikan hak partisipasi nelayan dalam pengawasan sumber daya perikanan.

Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi:

  1. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Selamet Daroyni di 0821 1068 3102
  2. Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (INTI), M. Taher di 081314814823
  3. Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), Habibab di 081210116937
  4. Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Budi Laksana di 0813 1971 6775
  5. Indonesia Human Rights Committee For Social Justice (IHCS), Ridwan Darmawan di 0812 8672 8337
  6. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Wahyu Nandang Herawan di 0857 2722 1793
  7. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Hendra Supriatna di 081222345610
  8. Solidaritas Perempuan (SP), Arieska di 081280564651
  9. Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHa), Reza di 081370601441

 

 

Lampiran

 

Kertas Posisi Hari Perikanan Sedunia 2014

“Lindungi Nelayan dan Perempuan Nelayan Tradisional”

Pengantar

Masyarakat nelayan di dunia kembali merayakan Hari Perikanan Sedunia pada tanggal 21 November tiap tahunnya. Hari Perikanan Sedunia ini bermula pada keprihatinan masyarakat perikanan dunia yang berkumpul yang dimulai New Delhi India 17 tahun lalu. Keprihatinan ini didasari atas keberlanjutan sumber daya ikan yang memasuki titik eksploitasi berlebih serta upaya menyejahterakan nelayan.

Perikanan sebagai sektor pangan memerlukan pendekatan ekologis yang tidak hanya sekedar didasarkan stok sumber daya ikan sebagai komoditas yang akan eksploitatif. Tetapi, juga bagaimana perikanan dapat menyejahterakan nelayan, masyarakat pesisir laki-laki dan perempuan serta menjaga keberlanjutan sumber daya pesisir seperti hutan bakau, terumbu karang, padang lamun dan pulau-pulau kecil. Ekosistem tersebut akan mempengaruhi sumber daya perikanan.

Indonesia adalah negara bahari dengan gugusan ribuan pulau yang menyebar dari ujung barat di Sabang hingga Merauke. Dua per tiga kawasannya adalah laut, terdiri dari 17.504 pulau dengan luas laut keseluruhan 5,8 juta km2. Perairan Indonesia memiliki potensi sumber daya perikanan tangkap lebih dari 5 juta ton per tahun. Semestinya laut Indonesia bisa menyejahterakan nelayan, petambak ikan dan udang, baik laki-laki maupun perempuan nelayan, masyarakat pesisir yang berada di kampung-kampung pesisir.

Pengakuan dan Perlindungan: Nelayan dan Petambak baik Laki-Laki dan Perempuan

Data BPS (2010) menyebutkan bahwa terdapat 10.639 desa pesisir yang tersebar di 300 kabupaten/kota dari total sekitar 524 kabupaten/kota se-Indonesia. Dari desa pesisir tersebut jumlah penduduk miskin di pesisir mencapai 7,87 juta jiwa atau 25,14% dari total penduduk miskin nasional yang berjumlah 31,02 juta jiwa. Situasi ini menjadi fakta yang dialami oleh Masyarakat Pesisir yang tersebar di ribuan pulau di Indonesia.

Kondisi buruk tersebut sejalan dengan fakta-fakta yang dialami nelayan. Dari 2,74 juta jiwa nelayan, 92% dari angka tersebut adalah nelayan dengan ciri tradisional namun tidak diakui dan dilindungai tanpa dukungan modal dan teknologi. Tidak ada perlindungan kepada nelayan dilihat dari angka nelayan yang hilang dan meninggal dunia di laut mencapai 255 jiwa (KIARA, Juni 2014) yang terus meningkat sejak tahun 2010 sebanyak 86 orang nelayan. Juga masalah yang dihadapi petambak baik ikan maupun penghasil olahan pesisir seperti garam yang terancam atas kebijakan importasi ikan dan garam.

Meski demikian, 75% pasokan pangan protein nasional merupakan kontribusi mereka. Sangat ironis, ditengah berlimpahnya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil dan peluh keringat nelayan tradisional justru berbanding terbalik dengan tingkat kesejahteraan mereka. Sehingga nelayan merupakan kelompok masyarakat yang rentan dan wajib untuk dilindungi.

Nelayan sebagai Korban Pembangunan

Pembangunan infrastruktur di pesisir dan reklamasi merupakan pendorong utama meningkatnya ancaman bencana di pesisir. Pusat Data dan Informasi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) tahun 2013 mendapati bahwa dalam 10 tahun terakhir, sedikitnya tercatat ada 19 kawasan pesisir yang direklamasi. Secara akumulatif telah terjadi pengkaplingan (penguasaan) wilayah pesisir yang dikonversi menjadi daratan hasil reklamasi seluas 5.775,3 ha. Dari angka tersebut, telah terjadi pengusiran sedikitnya  14.344 nelayan, sedikitnya 18.151 Kepala Keluarga (KK) di delapan kota pesisir dari ruang permukiman dan ruang wilayah penghidupannya (wilayah tangkap nelayan tradisional).

Dampak buruk reklamasi akan mengusir nelayan dan masyarakat pesisir dari ruang permukiman dan ruang penghidupannya (wilayah perikanan tangkap) juga menutup hak akses masyarakat untuk mengakses pantai sebagai ruang terbuka publik karena di privatisasi. Salah satu contoh rencana proyek reklamasi di wilayah pesisir terjadi di Bali yang mengancam Teluk Benoa yang merupakan salah satu ekosistem pesisir yang unik dan harus di konservasi.

Di tempat yang lain, yaitu di Batang Jawa Tengah, pemerintah sedang merencanakan membangun PLTU batubara. Masyarakat nelayan tradisional Kabupaten Batang telah meminta ke Presiden agar proyek ini di batalkan karena melanggar hak konstitusional warga, yakni akses ke laut dan mendapatkan lingkungan hidup dan perairan yang bersih dan sehat. Bila proyek PLTU berkapasitas 2.000 MW tetap dipaksakan, sedikitnya 10.961 nelayan tradisional Batang terancam kehilangan penghasilan. Demikian juga halnya nasib petani yang tersebar di enam desa, yaitu Ponowareng, Karanggeneng, Wonokerso, Ujungnegoro, Sengon (Roban Timur) dan Kedung Segog (Roban Barat) akan mengalami nasib yang sama. Pembangunan proyek ini sangat berseberangan dengan komitmen Pemerintah RI untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen pada tahun 2020.

Begitu pula di Ibukota Jakarta dengan proyek pembangunan Giant Sea Wall atau Tanggul Raksasa Laut yang kontroversial. Dengan tajuk National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) proyek senilai 600 triliun Rupiah akan potensial menggusur 16.855 nelayan Jakarta. Proyek ini seharusnya dihentikan karena tidak layak dari berbagai aspek antara lain aspek lingkungan, ekonomi dan sosial masyarakat. Tidak ada konsultasi publik kepada masyarakat pesisir Teluk Jakarta,  adanya keragu-raguan dari berbagai ahli mengenai proyek ini, adanya keraguan dari Ahok, tidak menjawab akar masalah Jakarta seperti banjir dan krisis air, bahkan tidak ada ijin lingkungan yang menjadi dasar hukum proyek tersebut. proyek ini akan mengancam penghidupan mereka baik karena ancaman penggusuran maupun rusaknya ekosistem pesisir sehingga mereka harus melaut lebih jauh lagi.

Selain itu, pertambangan di pesisir dan pulau-pulau kecil seperti di Teluk Lontar di Serang, Provinsi Banten, Pulau Bangka di Sulawesi Utara dan Pulau Nusakambangan Jawa Tengah dipastikan akan meminggirkan ruang penghidupan nelayan tradisional. Upaya protes dan hingga berlanjut ke sarana hukum melalui pengadilan telah dilalui namun upaya tersebut tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah sehingga nelayan terus menerus menjadi korban dalam pembangaunan. Namun sebaliknya kriminalisasi sangat mudah dilakukan oleh pemerintah ketika berhadapan dengan nelayan. Seperti yang saat ini dihadapi oleh nelayan di Taman Nasional Ujung Kulon yang terancam 5 tahun penjara dan denda 100 juta hanya karena menangkap ikan dan kepiting.

BBM Subsidi untuk Nelayan Tradisional

Baru-baru ini melalui Permen ESDM No. 34 Tahun 2014 harga BBM Solar bersubsidi dinaikkan dari Rp. 5.500 menjadi Rp. 7.500. Asumsi yang dibangun dari kebijakan ini bahwa subsidi anggaran BBM dianggap tidak tepat sasaran sehingga dianggap perlu untuk dialihkan kepada bentuk-bentuk yang produktif dan tepat sasaran. Asumsi ini sangat umum dan berdasarkan fakta-fakta di lapangan, terjadi kondisi sebaliknya, BBM solar adalah kebutuhan primer dan utama bagi nelayan.

Sejak era Pemerintahan Yudhoyono hingga Pemerintahan Jokowi hari ini, pemerintah telah melakukan seringkali melakukan pencabutan subsidi BBM yang memberikan dampak ekonomi yang sangat luas. Bahan bakar minyak merupakan salah satu input utama dalam proses produksi di sektor perikanan yang mencapai 60-70 % dari total biaya produksi sehingga kenaikan harga BBM jelas akan menaikkan biaya produksi secara signifikan.

Fakta di lapangan, pencabutan subsidi sebesar Rp.2000 mendongkrak kenaikan Rp.3000 hingga Rp.6000 per liternya. Kenaikan harga beli BBM jenis Solar di kampung nelayan & petambak bervariasi berdasarkan informasi dari nelayan (KNTI, 18/11/2014). Di Jawa Timur seperti Surabaya, Gresik, Lamongan, Madura dan sekitarnya harga BBM jenis solar mencapai Rp.8500, di kepulauan sapeken kab sumenep Rp.10.000 dan Kepulaan Mesalembo Kab Sumenep Rp.11.000 per liternya. Di Rawajitu, Lampung mencapai Rp 8500-Rp 9000, di Tanjung Balai dan Langkat, Sumatera Utara Rp.7800-8500, di Kendal dan Demak Jawa Tengah masing-masing Rp 7800 dan Rp 8000, di Lombok Timur Rp 9000, dan Lamalera, NTT Rp.12.500. Namun di beberapa tempat terjadi kelangkaan BBM bersubsidi seperti di Tarakan, Kalimantan Utara yang tidak ada sama sekali BBM subsidi.

Dari fakta harga dan ketersediaan BBM bersubsidi, nelayan tradisional dan petambak adalah sektor yang paling terpukul ketika ada pencabutan subsidi. Persoalan distribusi yang menjadi masalah kelangkaan tidak pernah diantisipasi oleh pemerintah. Distribusi BBM tidak pernah transparan, tidak terbuka untuk nelayan tradisional dan terjadi kolusi dan nepotisme. Ditambah lagi akses sumber ikan yang terjadi penurunan jumlah stok ikan membuat wilayah tangkap lebih jauh mengakibatkan konsumsi BBM meningkat. Di sisi lain, BBM subsidi dapat diakses oleh kapal-kapal besar. Dengan aturan yang sangat longgar, kapal dengan ukuran di atas 30 GT yang terdaftar di instansi pemerintahan dapat mengakses bbm bersubsidi dengan pemakaian paling banyak 25 (dua puluh lima) kilo liter/bulan. Walaupun melalui verifikasi dan surat rekomendasi dari Pelabuhan Perikanan atau Kepala SKPD Provinsi/Kabupaten/Kota.

Dapat dipastikan telah terjadi diskriminasi akses BBM subsidi kepada nelayan tradisional dengan membuka akses kepada pengusaha perikanan dengan kapal 30 GT keatas. Selain itu, klaim pemerintah bahwa pencabutan subsidi BBM tidak berdampak buruk bagi nelayan & petambak adalah kesalahan. Ditambah lagi tidak ada upaya negara sebagai kompensasi untuk mengantisipasi dampak dari pengurangan subsidi BBM.

Pencurian Ikan: 5 Agenda Prioritas

Kondisi sumber daya perikanan yang saat ini mengalami over eksploitas, disebabkan banyak faktor. Pertama, sebagai sumber daya terbuka dengan prinsip open access, telah menyebabkan tingginya tingkat penangkapan ikan sehingga terjadi penurunan jumlah stok dari tahun ke tahun. Kedua, masalah pencurian ikan di laut Indonesia menjadi masalah yang tidak dapat diselesaikan walaupun telah ada will (niat) pemerintah dengan dukungan anggaran yang besar.

Penangkapan ikan yang melanggar hukum yang paling umum terjadi adalah pencurian ikan oleh kapal penangkap ikan berbendera asing dengan berkedok kapal ex-asing, dengan wilayah operasi bukan hanya perairan ZEE Indonesia, melainkan masuk sampai ke perairan kepulauan Indonesia bahkan masuk dalam perairan teritorial. Pada umumnya, jenis alat penangkapan ikan yang digunakan berupa purse seine dan trawl, yang merupakan alat-alat tangkap ikan yang paling eksploitatif dan merusak ekosistem.

Mengenai masalah pencurian ikan terdapat beberapa agenda prioritas yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Pertama, menyelesaikan tumpang tindih pengawasan, Pengawasan perikanan Indonesia tidak optimal disebabkan adanya tumpang tindih antar kementerian sektoral sehingga pencurian ikan tidak akan pernah bisa berkurang. Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) bersifat koordinasi 13 kementerian dan lembaga sehingga tidak dapat efektif dalam melakukan pengawasan. Ditambah lagi berdasarkan mandat Peraturan Pemerintah Tentang pengawasan perikanan, keikutsertaan masyarakat dalam membantu pengawasan perikanan berdasarkan Pasal 70 UU No. 31 Tahun 2004 tentang perikanan yang selambat-lambatnya satu tahun sejak diundangkan.

Kedua, memastikan sanksi pelanggaran kewajiban mempekerjakan nakhoda dan anak buah kapal yang berkewarganegaraan Indonesia di dalam kapal berbendera Indonesia tertuang sebagaimana diatur dalam Pasal 35A ayat (1) UU Perikanan No. 45 Tahun 2009, yang berbunyi: “Kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib menggunakan nakhoda dan anak buah kapal berkewarganegaraan Indonesia.” Oleh karena rendahnya kualitas penindakan kejahatan perikanan, kepada para pelanggar Pasal 35A ayat (1) tersebut tidak ada sanksi yang kuat baik denda administratif maupun pidana. Juga terhadap oknum di internal yang bebas

Ketiga,  mewajibkan adanya peningkatan nilai hasil tangkapan dengan mewajibkan usaha perikanan skala besar membuat sarana unit pengolahan ikan. Serta melakukan pemberdayaan nelayan dengan meningkatkan kapasitas pengetahuan dan teknologi dalam pengolahan.

Keempat, menegaskan pelarangan jaring pukat trawl di seluruh perairan Indonesia dengan mencabut Permen KP 2 Tahun 2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan. Permen tersebut malah melegalisasikan pemilikan trawl padahal telah dilarang berdasarkan UU No. 45 Tahun 2009. Permen ini juga telah melanggar Keputusan Presiden No. 39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl di seluruh perairan Indonesia.

Kelima, memastikan hak partisipasi nelayan dalam pengawasan sumber daya perikanan. Hal ini penting untuk menutupi kelemahan sarana infrastruktur pengawasan dengan berbasiskan laporan nelayan tradisional. Sehingga hak partisipasi nelayan untuk penegakan hukum pengawasan dipenuhi oleh negara. Sehingga peluang adanya kolusi dalam pembebasan pencurian ikan dapat diselesaikan.

Akui dan Lindungi Nelayan Dan Petambak Baik Laki-Laki dan Perempuan

Perikanan adalah kegiatan yang mencakup tiga tahap utama yaitu pra produksi, saat produksi dan pasca produksi. Tiap tahap tersebut melibatkan banyak pihak baik laki-laki maupun perempuan dengan peran yang berbeda-beda dan signifikan dalam tiap tahapan. Sehingga penting untuk mengakui setiap pihak yang terlibat dalam tahapan kegiatan perikanan baik laki-laki maupun perempuan terkhusus kepada kelompok yang rentan dan terpinggirkan. Termasuk pengakuan terhadap organisasi nelayan dan petambak yang benar-benar tumbuh dan berkembang dari, oleh dan untuk kepentingan nelayan dan petambak. Sebagaimana amanat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 87/PUU-XI/2013 sebagai hak kebebasan dan berserikat.

Pengakuan nelayan dan petambak akan terkait erat dengan bagaimana negara memenuhi hak-hak asasi. Baik haknya sebagai warga negara Indonesia yang telah diatur dalam konstitusi UUD 1945 serta aturan lain yang menegaskan hak-hak dasarnya sebagai warga negara. Serta juga haknya sebagai bagian dari pekerjaannya selama ini dalam perikanan yang meliputi dukungan dan perlindungan pemerintah dalam tahap pra produksi, saat produksi dan pasca produksi.

Dunia telah bersepakat bahwa nelayan tradisional dan petambak skala kecil berkontribusi besar terhadap pemenuhan ketahanan pangan. Hal ini yang mendasari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa telah memfasilitasi Pedoman Internasional tentang Perlindungan Perikanan Skala Kecil Berkelanjutan (International Guidelines On Securing Sustainable Smallscale Fisheries/IGSSSF) pada Juni 2014. Dokumen IGSSF menjadi bagian dari Tata Laksana Perikanan yang Bertanggung Jawab FAO 1995 (FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries/CCRF) yang menegaskan pentingnya perikanan artisanal dan perikanan skala kecil terhadap kesempatan kerja, pendapatan dan ketahanan pangan. Serta memastikan adanya perlindungan terhadap hak para nelayan dan pekerja perikanan, terutama bagi mereka yang terlibat dalam perikanan “subsisten”, skala kecil dan “artisanal”, dan memastikan hak atas akses istimewa ke daerah penangkapan dan sumberdaya tradisional di dalam perairan dibawah yuridiksi mereka.

Di level nasional, RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan menjadi salah satu prioritas pengesahan dalam Program Legislasi Nasional DPR RI Tahun 2010-2014. Namun tidak pernah ada tindak lanjut untuk melakukan pembahasan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan. Setiap masa prolegnas tahunan, RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan selalu ditunda hingga habis masa periode Anggota DPR RI 2009-2014.

Saat ini terbuka peluang Pemerintahan Jokowi JK untuk melakukan perlindungan kepada nelayan dan petambak dengan mendorong adanya UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan. Hal ini dapat menjadi salah satu indikator positif Pemerintahan Jokowi-JK dalam meneguhkan ideologi kedaulatan pangan.

Komite Aksi Hari Perikanan Sedunia 2014

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (INTI), Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Indonesia Human Rights Committee For Social Justice (IHCS), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Solidaritas Perempuan (SP), Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHa).

 

PENCURIAN IKAN

PENCURIAN IKAN

Pengawasan Lemah, Regulasi Tak Efektif

JAKARTA, KOMPAS – Sejumlah kalangan mendesak pemerintah mengoptimalkan pengawasan, mulai dari tingkat perizinan sampai pengawasasn operasi kapal penangkap ikan di laut. Pengawasan yang lemah membuat implementasi regulasi selama ini tidak efektif dan pelanggaran  marak terjadi.

Hal itu disampaikan Sekretaris Jendral Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Abdul Halim,dan pengurus Dewan Pimpinan Pusat Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Muhammad Billahmar di Jakarta, Senin (10/11).

Saat ini tercatat 182 kapal kecil impor berukuran di bawah 100 gros ton (GT) mendapat izin menangkap di wilayah pengelolaan perikanan di Indonesia. Sebanyak 14 kapal kecil impor asal Thailand berukuran di bawah 30 GT. Padahal, pemerintah telah menetapkan hanya kapal ikan impor berukuran minimal 100 GT yang boleh beroperasi di wilayah pengolahan perikanan Indonesia.

Abdul Halim menilai, pengamanan laut masih terbelah di banyak instansi dan lembaga. Koordinasi lintas sektor masih lemah karena setiap instansi terikat pada sistem dan aturan masing-masing. Pihaknya mendesak pemerintah membentuk Badan Keamanan Laut yang menyinergikan seluruh sember daya sehingga mampu menangani pelanggaran kejahatan di laut.

Sekretaris Direktorat Jendral Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Abdul Rauf Sam mengemukakan, pihaknya sedang menertibkan semua izin kapal ikan dalam lingkup pemerintah pusat seiring dengan moratorium izin baru kapal ikan impor yang berlaku sampai 30 April 2015.

Pelaksana Harian Direktur Pelayanan Usaha Ditjen Perikanan Tangkap KKP Kosasih menambahkan, yakni menutup celah turun yang membuka potensi pelanggaran oleh pelaku ussaha perikanan.

Jadi penonton

Nelayan di Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, Iksan, menuturkan, nelayan belum bisa   memanfaatkan laut secara maksimal. “Kami cuma bisa melihat nelayan Thailand, Vietnam, Tiogkok mengambil ikan dari sini lalu di bawah ke luar negeri,” ujarnya.

Nelayan asing datang dengan kapal berbobot paling kecil 80 ton dalam rombongan dan mengambil ikan dalam jumlah besar.”kapal-kapal 80 ton itu untuk mencari, lalu diserahkan ke kapal lain yang menampung. Kapal lebih besar biasanya menungguh jauh dari pebatasan Indonesia,” tutur Ikssan.

Nelayan Anambas, Rohman, mengatakan, nelayan Indonesia hanya bisa melaporkan kepada aparat. “Tak bisa segera, harus tunggu sampai dekat ke darat, baru bisa telepon. Kadang mereka (nelayan asing) sudah lari, ujarnya.

Wakil Komandan Satuan 1 Tim Koordinasi Keamana Laut Kolenel UK Agung tidak menampik penjarahan masih marak di Kepri. Bekali-kali aparat menangkap kapal-kapal asing tengah mencuri ikan. “paling banyak di laut Natuna,”katanya.

Aktivis perikanan John Dumais di Kota Belitung, Sulawesi Utara, meminta pemerintah menertibkan kapal ikan asing yang berbendera Indonesia. Kapal ikan asing itu diduga tak  sepenuhnya membongkar  muatan ikan di Pelabuhan Bitung, ikan hasil tangkapan dibongkar hanya separuh. Ia menduga terjadi perdagangan dokumen kapal ikan “bodong”. Dokumen itu diperoleh resmi dari pemerintah, lalu diperjualbelikan ke kapal asing. Sejumlah oknum mendapatkan dokumen itu meski tak memiliki kapal. (LKT/RAZ/FRN/ZAL).

Sumber: KOMPAS, Selasa, 11 November 2014.

DPR Didesak Prioritaskan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan di dalam Prolegnas 2014-2019

Siaran Pers bersama

Persaudaraaan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) I Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Jawa Tengah I Layar Nusantara I Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

DPR Didesak Prioritaskan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan

di dalam Prolegnas 2014-2019

Semarang, 7 November 2014. Sedikitnya 30 nelayan dan perempuan nelayan dari kabupaten/kota di Jawa Tengah mendesak DPR untuk mengagendakan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan sebagai prioritas Program Legislasi Nasional 2014-2019. Hal ini disampaikan pasca Diskusi Terbatas tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan yang diprakarsai oleh KIARA bekerjasama dengan Layar Nusantara pada Kamis (6/11) di Semarang, Jawa Tengah.

Harapan nelayan dan perempuan nelayan agar dapat terpenuhi hak-haknya ternyata masih jauh panggang dari api. Pengabaian dan terlanggarnya hak-hak mereka ditengarai karena minusnya peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus tentang perlindungan dan pemberdayaan nelayan.

Fakta yang disampaikan adalah aktivitas melaut, mulai dari persiapan melaut, saat melaut, pengolahan hingga proses penjualan mengalami berbagai tindakan yang mencederai hak-hak konstitusionalnya, di antaranya penyerobotan wilayah tangkap dan pencemaran pesisir dan laut, meski Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 2011 tentang Perlindungan Nelayan sudah ada.

Hal lain yang tak kalah penting adalah perizinan yang bertele-tele dan memakan waktu dan biaya yang tak sedikit, akses permodalan dan bbm bersubsidi yang hampir mustahil diperoleh dengan ketentuan harga Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2012, yakni Rp4.500 (Empat Ribu Lima Ratus Ribu Rupiah). Parahnya, saat kecelakaan melaut terjadi, justru tidak ada keberpihakan dari pemerintah, misalnya jaminan perbaikan kapal. Di saat yang sama, perempuan nelayan belum diakui peran dan keberadaannya di dalam kebijakan kelautan dan perikanan. Padahal, kontribusinya amat sangat signifikan bagi keluarga-keluarga nelayan, termasuk memastikan sistem ekonomi yang memihak kepentingan perempuan dan keluarganya, bukan tengkulak.***

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Masnuah, Koordinator Nasional PPNI di +62 852 2598 5110

Sugeng Triyanto, Koordinator Nelayan Jawa Tengah di +62 819 0195 1952

Misbakhul Munir, Direktur Eksekutif LBH Semarang di +62 858 6508 9424

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA di +62 815 53100 259

Jakarta suffers subsidence rates of up to 17cm a year in some areas, threatening the homes of 4.5 million people.

Life in Indonesia’s sinking capital
Jakarta suffers subsidence rates of up to 17cm a year in some areas, threatening the homes of 4.5 million people.Jack Hewson
Jakarta, Indonesia – Benjol stirs four blackened tuns of green mussels cooking by the banks of Jakarta’s east flood canal. He kicks over one of the vats – cut from a used oil drum – and the steaming content pours onto the concrete. Female workers pick over the catch, collecting mussels into a grubby sieve.The livelihoods of squatter fishermen such as Benjol – who like many Indonesians uses just one name – have faced multiple threats over the past three decades.Land reclamations in the 1980s and ’90s – primarily for high-end housing developments – have pushed them from their original settlements, and Jakarta Bay’s toxic water containing dangerous levels of lead and mercury has prompted the city administration to ban mussel cultivation on public health grounds.

To make matters worse, the land on which they live is sinking into the sea.

“We don’t want to move from here,” Benjol says, but his community may have no choice. Straddling north Jakarta’s flood defences, they are vulnerable to the high tides that last year breached the dyke, exacerbating the annual wet season floods.

North Jakarta suffers subsidence rates of up to 17cm a year in some areas – caused by the excessive extraction of ground water from the soft soil on which the city is built – meaning whole neighbourhoods will be several metres underwater by 2030. The homes of 4.5 million people are threatened with permanent inundation.

‘Giant seawall’

To avert this disaster, Indonesia’s outgoing government last month rushed to commence the construction of its futuristic $40bn “giant seawall” development, otherwise known as the National Capital Integrated Coastal Development (NCICD).

Comprised of a 25km dyke that will close the bay of Jakarta and 17 man-made islands shaped into a “giant garuda” – a mythical bird used as Indonesia’s national symbol – the development is set to become one of the world’s largest infrastructure projects.

Its first phase of strengthening the city’s existing defences began last month, and the sealing off of Jakarta bay is expected to be completed by 2022.

To bankroll the scheme, predominantly mid and high-end housing developments will be sold off; eventually housing up to 1.5 million people on the giant garuda. The ambitions for the development cannot be understated – with the NCICD master plan pushing for Indonesia’s “seat of government” to be relocated from central Jakarta to the new city.

However, the plans have drawn significant criticism, with detractors claiming the seawall is a bogus solution that will once more displace traditional fishermen and other low-income groups from their communities.

The People’s Coalition for Fisheries Justice Indonesia (KIARA) says thousands of people such as Benjol will be removed from their homes to make way for what they see as just another luxury housing development.

The government has defended the initiative, saying 17 percent of the new development will be devoted to social housing, and will give fishermen closer access to the cleaner waters 6km out to sea – where the seawall is to be constructed.

The likelihood of the city’s poorest being housed on the giant garuda seems limited, but it’s a social injustice most Jakartans are likely to forgive if they can be assured that the seawall will prevent the capital from sliding into the sea.

I hope for Jakarta that the land subsidence will stop because [if it does not] by [2080] you will be talking about another five metres to seven metres of water in front of Jakarta city.– Victor Coenen, Witteveen Bos

That, however, cannot be guaranteed.

The project seeks to prevent Jakarta’s inundation by two means: firstly by blocking out the ocean, and secondly by boosting water supply so that ground water extraction may be reduced – thus reducing average subsidence rates of 7.5cm a year.

Fetid rivers

To achieve this second goal the bay, once sealed, will be converted into a giant “freshwater” reservoir fed by 13 rivers that flow through the city and out into the bay. However, the success of creating this alternative source of potable water – and perhaps the success of the entire project – may rely on the Indonesian government’s ability to clean up West Java’s fetid rivers.

Jakarta’s brown-and-black, plastic-strewn waterways are fed primarily by the Citarum River, cited in 2013 as one of the world’s top 10 most-polluted sites next to the Niger Delta and Chernobyl.

Addressing a seminar recently, acting Governor of Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama said he “had his doubts” about the project, as reported by the Jakarta Post, comparing it to a similar seawall project in South Korea where he said engineers had struggled to prevent the formation of a “lake of mud”.

For the model to work in Jakarta, water pollution levels must be reduced by between 75-95 percent.

If the NCICD fails to convert the bay of Jakarta into a beautiful freshwater reservoir then alternative sources of piped water must be found or ground water extraction will continue and Jakarta will continue to sink. The NCICD master plan concedes that the planned outer wall can only protect Jakarta until 2080, unless the subsidence stops.

Purba Sianipar, assistant deputy minister of economic affairs, seemed unaware the project had such an expiry date when interviewed by Al Jazeera.

“I don’t know in what document you read that,” Sianipar said. “We never designed anything [based] on that short period of time. We would like this seawall dyke to exist for not only 100 but 1,000 years to protect the city.”

‘Limited warranty’

The minister was later disappointed when he conferred with Victor Coenen, project manager for Witteveen Bos, a Dutch engineering firm that has helped Jakarta create the project’s master plan.

“He called me back [to check] actually,” Coenen told Al Jazeera. “But no, infrastructure projects are the same as all products, they have a limited warranty.”

“I hope for Jakarta that the land subsidence will stop because [if it does not] by then [2080] you will be talking about another five metres to seven metres of water in front of Jakarta city, and those are levels that you really have to wonder if you can still protect yourself against.”

Inundation by the sea is also only one front on which Jakarta is fighting a battle to stay above water. Every year, Jakarta’s rivers break their banks as floodwaters surge through from West Java. There are concerns that capping the exits to these rivers may exacerbate seasonal flooding.

The problems of sea inundation, flooding, water pollution, and water supply are intricately interlinked, and the success of the giant sea wall is bound to factors far beyond the control of its project managers.

“It’s about who will own the project. I’m not sure if the companies involved have the capacity to provide a complete solution. Unless the problem is dealt with as a national commitment, it won’t go anywhere,” Arif Shah, a representative for Greenpeace Indonesia, said.

Shah added coordination would be required among the president’s office, national planning agency, the Environment and Forestry Ministry, and the provincial governments of West Java, Banten, and Jakarta.

“Unless all the parties sit down together, then it’s hard to make this solution happen.”

 

Sumber: http://www.aljazeera.com/indepth/features/2014/11/life-indonesia-sinking-capital-201411911594478579.html

Kawasan Konservasi Hanya Hambat Nelayan Tradisional

Kawasan Konservasi Hanya Hambat Nelayan Tradisional

 | Reja Hidayat

Pemerintah atau konsorsium perusahaan sering menggunakan alasan konservasi sebagai modus penghambat penangkapan ikan bagi nelayan tradisional di wilayah tertentu.

“Nelayan lebih tahu dari pada perusahaan kapan waktu menangkap ikan,” kata Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Indonesia, Budi Laksana, saat dihubungi Geotimes di Jakarta, Rabu [5/11].

SNI menuntut alasan konservasi itu tak digunakan lagi, karena mempengaruhi hasil tangkapan para nelayan tradisional.

“Ingat, kearifan lokal nelayan adat sudah turun-temurun di seluruh Indonesia sebelum adanya aturan-aturan privatisasi. Jadi mereka lebih melestarikan laut dibandingkan perusahaan,” katanya.

Dia mencontohkan, pemburuan paus di Lamalera, Nusa Tenggara Timur oleh nelayan tradisional sudah menjadi tradisi. Dalam pemburuan tersebut, nelayan dilarang menangkap paus betina karena spesies itu bisa punah.

Oleh karena itu, nelayan menangkap paus jantan dengan waktu tertentu untuk dibagikan kepada masyarakat sekitar, bukan seperti perusahaan yang mengejar untung sebesar-besarnya tanpa memperdulikan habitatnya.

Sementara itu, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Abdul Halim, mengatakan kawasan konservasi perairan yang ditetapkan semau-mau oleh pemerintah semata-mata untuk mendapatkan pinjaman asing dan citra positif di level internasional.

Pusat Data dan Informasi Kiara (Juni 2013) mencatat proyek konservasi di laut Indonesia yang didanai asing, di antaranya Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (Coremap II 2004-2011) mencapai lebih dari Rp1,3 triliun, sebagian besar bersumber dari utang Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB).

Berdasarkan Laporan BPK 2013, program konservasi terumbu karang justru tak efektif dan ada kebocoran dana. Kini, Kementerian Kelautan dan Perikanan melanjutkan proyek Coremap III periode 2014-2019 dengan menambah utang konservasi baru sebesar 80 juta dollar AS dari Bank Dunia dan ADB.

Upaya konservasi juga menjadi komitmen Indonesia melalui target 20 juta hektar kawasan konservasi laut pada 2020. Kini, luas kawasan baru sekitar 15 juta hektar.

Abdul mengkhawatirkan program ini mengesampingkan nelayan tradisional dan masyarakat adat serta mengubur kearifan lokal. Kiara mendesak pemerintah baru mengedepankan dan memastikan pengelolaan sumber daya laut berdasarkan kearifan lokal.

Pemerintah juga diminta mengevaluasi proyek konservasi laut yang terbukti membebani keuangan negara dan menghentikan skema pembiayaan konservasi laut berbasis utang.[*]

Sumber: http://geotimes.co.id/kebijakan/kelautan/11239-kawasan-konservasi-dinilai-hanya-untuk-hambat-nelayan-tradisional.html

Perempuan Nelayan Minta Prioritaskan RUU Perlindungan

Perempuan Nelayan Minta Prioritaskan RUU Perlindungan

Pekanbaru, (Antarariau.com) –  Sedikitnya 30 nelayan dan perempuan nelayan dari kabupaten dan kota di Jawa Tengah mendesak DPR RI untuk mengagendakan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan sebagai prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2014-2019.

“Kebijakan ini penting karena terlanggarnya hak-hak nelayan dan perempuan nelayan lebih karena minusnya peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus tentang perlindungan dan pemberdayaan nelayan,” kata Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA dalam surat elektroniknya diterima Antara Riau, Jumat.

Ia mengatakan itu bagian dari masukan setelah diskusi terbatas tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan yang diprakarsai oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) bekerjasama dengan Layar Nusantara,  di Semarang, Jawa Tengah baru-baru ini.

Apalagi, katanya, faktanya harapan nelayan dan perempuan nelayan agar dapat terpenuhi hak-haknya ternyata masih belum terealisasi dengan baik.

“Fakta yang disampaikan adalah aktivitas melaut, mulai dari persiapan melaut, saat melaut, pengolahan hingga proses penjualan mengalami berbagai tindakan yang mencederai hak-hak konstitusionalnya, di antaranya penyerobotan wilayah tangkap dan pencemaran pesisir dan laut, meski Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 2011 tentang Perlindungan Nelayan sudah ada,”katanya.

Persoalan lainnya, adalah perizinan yang bertele-tele dan memakan waktu dan biaya yang tak sedikit, akses permodalan dan BBM bersubsidi yang hampir mustahil diperoleh dengan ketentuan harga Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2012, yakni Rp4.500.

Parahnya, saat kecelakaan melaut terjadi, justru tidak ada keberpihakan dari pemerintah, misalnya jaminan perbaikan kapal. Di saat yang sama, perempuan nelayan belum diakui peran dan keberadaannya di dalam kebijakan kelautan dan perikanan.

“Padahal, kontribusinya amat sangat signifikan bagi keluarga-keluarga nelayan, termasuk memastikan sistem ekonomi yang memihak kepentingan perempuan dan keluarganya, bukan tengkulak,”katanya.

Sumber: http://antarariau.com/berita/45626/perempuan-nelayan-minta-prioritaskan-ruu-perlindungan

Perempuan Nelayan Minta Prioritaskan RUU Perlindungan

Perempuan Nelayan Minta Prioritaskan RUU Perlindungan

Pekanbaru, (Antarariau.com) –  Sedikitnya 30 nelayan dan perempuan nelayan dari kabupaten dan kota di Jawa Tengah mendesak DPR RI untuk mengagendakan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan sebagai prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2014-2019.

“Kebijakan ini penting karena terlanggarnya hak-hak nelayan dan perempuan nelayan lebih karena minusnya peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus tentang perlindungan dan pemberdayaan nelayan,” kata Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA dalam surat elektroniknya diterima Antara Riau, Jumat.

Ia mengatakan itu bagian dari masukan setelah diskusi terbatas tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan yang diprakarsai oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) bekerjasama dengan Layar Nusantara,  di Semarang, Jawa Tengah baru-baru ini.

Apalagi, katanya, faktanya harapan nelayan dan perempuan nelayan agar dapat terpenuhi hak-haknya ternyata masih belum terealisasi dengan baik.

“Fakta yang disampaikan adalah aktivitas melaut, mulai dari persiapan melaut, saat melaut, pengolahan hingga proses penjualan mengalami berbagai tindakan yang mencederai hak-hak konstitusionalnya, di antaranya penyerobotan wilayah tangkap dan pencemaran pesisir dan laut, meski Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 2011 tentang Perlindungan Nelayan sudah ada,”katanya.

Persoalan lainnya, adalah perizinan yang bertele-tele dan memakan waktu dan biaya yang tak sedikit, akses permodalan dan BBM bersubsidi yang hampir mustahil diperoleh dengan ketentuan harga Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2012, yakni Rp4.500.

Parahnya, saat kecelakaan melaut terjadi, justru tidak ada keberpihakan dari pemerintah, misalnya jaminan perbaikan kapal. Di saat yang sama, perempuan nelayan belum diakui peran dan keberadaannya di dalam kebijakan kelautan dan perikanan.

“Padahal, kontribusinya amat sangat signifikan bagi keluarga-keluarga nelayan, termasuk memastikan sistem ekonomi yang memihak kepentingan perempuan dan keluarganya, bukan tengkulak,”katanya.

Sumber: http://antarariau.com/berita/45626/perempuan-nelayan-minta-prioritaskan-ruu-perlindungan

Menteri Kelautan Terapkan Strategi Berantas Pencurian Ikan

Menteri Kelautan Terapkan Strategi Berantas Pencurian Ikan

Jakarta, Seruu.com – Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Susi Pudjiastuti, mengatakan pembekuan izin kapal besar penangkap ikan merupakan komitmen guna memberantas tindak pencurian ikan di kawasan perairan Indonesia.

“Sampai saat ini tercatat, sebanyak 207 kapal sudah dibekukan izinnya. Upaya ini juga menjadi wujud nyata komitmen KKP atas kapal-kapal yang melanggar aturan seperti penggunaan ABK asing, penggunaan alat tangkap, serta aksi pencurian ikan,” kata Susi Pudjiastuti di Jakarta, Jumat.

KKP sendiri untuk pendataan kapal di wilayah perairan, telah menerapkan sistem logbook dan masyarakat dapat bebas mengakses data yang terekam sebagai bentuk komitmen pemerintah terkait transparansi data-data seputar kelautan dan perikanan.

Selain itu, KKP juga telah memantau pergerakan kapal-kapal penangkap ikan di wilayah perairan laut Indonesia lewat teknologi “Vessel Monitoring Systems” (VMS) untuk mengawasi koordinat kapal nelayan cegah pencurian ikan.

Sistem VMS merupakan salah satu bentuk sistem pengawasan di bidang penangkapan ikan dengan menggunakan peralatan pemantauan kapal perikanan berbasis satelit guna memastikan kepatuhan kapal perikanan.

“Sasarannya adalah terwujudnya kelestarian sumber daya perikanan, sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat,” ucapnya.

Pada tahun 2013, KKP mencatat pelanggaran oleh kapal perikanan sebanyak 229 kasus. Selain itu, KKP juga telah menggandeng pihak TNI AL dan Polri dalam mengawasi pemberantasan pencurian ikan.

Dalam mengajak peran serta masyarakat, KKP telah menjalankan program Sistem Pengawasan Berbasis Masyarakat (Siswasmas) dengan menyiagakan 2.195 Pokmaswas di seluruh wilayah Indonesia.

Saat ini, KKP memiliki 31 kapal patroli pengawas dengan 10 kapal beroperasi di wilayah perikanan Indonesia Barat, 11 kapal di Indonesia Timur, dan enam kapal merupakan kapal kecil yang operasionalnya dibagi secara seimbang antara dua wilayah itu.

Sebelumnya, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) berharap pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memperkuat pengawasan laut untuk menekan penangkapan ikan secara ilegal yang tinggi.

“Penanganan illegal fishing memerlukan komitmen dan tindakan nyata dari pemerintah,” kata Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan Kiara, Selamet Daroyni, di Jakarta, Rabu (22/10).

Ia menjelaskan, saat ini, kerugian negara akibat penangkapan ikan secara ilegal mencapai Rp101 triliun, karena volume ikan yang dicuri di perairan Indonesia diperkirakan mencapai 1,6 juta ton atau setara dengan 182 ton per jam. [Ant]

Sumber: http://utama.seruu.com/read/2014/10/31/233097/menteri-kelautan-terapkan-strategi-berantas-pencurian-ikan