Dairah: Perubahan Dimulai Dari Diri Sendiri

Status waspada dikeluarkan oleh Kantor Pelabuhan Kabupaten Indramayu pada pertengahan Januari 2015 lalu. Status waspada dikeluarkan di perairan Tanjung Indramayu hingga ke arah Kalimantan, Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan tinggi gelombang mencapai 3 meter. Masyarakat Indramayu menyebutnya dengan istilah Baratan, yaitu gelombang tinggi dengan cuaca buruk yang mengancam nyawa nelayan.

Jika 7 tahun silam nelayan masih bisa membaca cuaca, hari ini nelayan kesulitan memprediksi cuaca dan arah angin. Terlebih lagi nelayan sudah tidak bisa melaut sekali pun hanya berjarak satu mil dari muara. Alhasil tidak ada pendapatan bagi keluarga nelayan. Mereka harus bertahan hidup dengan bekal atau simpanan yang mereka miliki.

Bermula air bersih

Tubuhnya kecil dan tidak terlalu tinggi, jika berbicara ia suka sekali tersenyum. Namanya Ibu Dairah, seorang istri nelayan dari Desa Pabean Udik, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Ia adalah seorang ibu dari 3 orang anak, semangatnya beroganisasi dan menggerakan perempuan nelayan diawali oleh kesadaran pentingnya air bersih untuk kehidupan nelayan.

Pada tahun 2009, Ibu Dairah mengawali langkahnya berorganisasi dengan KPI (Koalisi Perempuan Indonesia). Ia mulai aktif berjuang bersama KPI dalam mengadvokasi akses permasalahan air bersih dan naiknya tarif dasar aor yang disuplai PDAM. Setelah menjalani proses advokasi yang panjang, Ibu Dairah bersama dengan KPI akhirnya bisa membuka akses suplai air bersih untuk kampung-kampung pesisir. Selain itu, tarif dasar air pun diturunkan oleh pihak PDAM. Hal inilah yang menjadi cikal bakal semangat Ibu Dairah dalam membuat perubahan.

Seiring berjalannya waktu, permasalahan cuaca ekstrem pun dihadapi oleh Dairah. Pada tahun 2011, suaminya acap kali pulang dengah hasil tangkapan yang tidak seberapa dan tidak cukup untuk dijual.

“Bekal melautnya banyak, tangkapannya sedikit. Mau dijual juga tidak cukup untuk modal lagi melaut,” kata Ibu Dairah.

Pada saat itu, pemerintah melalui dinas kelautan dan perikanan hanya mampu memberikan beras sebagai bekal nelayan dalam menghadapi cuaca ekstrem. Nelayan kian terlilit hutang dan bergantung pada tengkulak.
Dairah sebagai seorang ibu  dan seorang istri harus memikirkan jalan keluar agar anak-anaknya dapat terus melanjutkan sekolah. Terlebih lagi Dairah tidak lulus sekolah dasar dan tida bisa baca tulis. Menyadari kekurangannya, ia mulai mencari alternatif ekonomi yang bahan bakunya tak jauh darinya.

“Saya hanya kepikiran ikan bisa diolah macam-macam. Lah, suami saya kalau pulang melaut bawa ikannya sedikit, jadi saya harus bisa bertahan hidup dengan ikan yang ada. Itulah kenapa akhirnya saya coba buat bakso ikan, kerupuk atau pepes,” kenang Dairah.

Pada tahun 2011, Ibu Dairah mulai berjualan bakso ikan dengan berkeliling kampung. Bakso ikannya pun mulai dikenal banyak orang dan hasil penjualan pun perlahan meningkat. Pengolahan bakso ikan Ibu Dairah saat itu masih menggunakan cara tradisional dan tanpa bantuan alat.

Masyarakat pun mulai mengenal dan menyukai produk olahan Ibu Dairah. Dengan berbagi informasi kepada KPI, akhirnya Ibu Dairah dipertemukan dengan KOMPI (Koalisi Masyarakat Pesisir Indramayu). Ia mulai aktif dalam berbagai kegiatan di Lakpesdam NU.

Pada satu kesempatan, Ibu Dairah pun didorong untuk menerima bantuan dari Lakpesdam NU. Ibu Dairah pun mendapat bantuan lemari pendingin dengan kapasitas cukup besar untuk menaruh stok ikan. Hal ini membuat Ibu Dairah semakin percaya diri untuk memasarkan produknya. Hasil produksinya pun bisa memenuhi kebutuhan pasar.

“Kadang kalau lagi banyak ikannya, saya langsung beli dan masukkan ke dalam lemari es, soalnya sekarang ini stok ikan tidak tentu,” jelas Ibu Dairah.

Berjejaring sebagai kekuatan

Pada tahun 2014, Ibu Dairah mulai terlibat di Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI). Ia pun terpilih sebagai bendahara di PPNI Kabupaten Indramayu.

“Saya percaya kita harus berorganisasi dan membangun jaringan. Tidak bisa bekerja sendiri, harus punya tujuan yang kuat dan tim yang mau kerja,” kata Ibu Dairah.

Ibu Dairah tidak pernah enggan berbagi pengetahuan dan pengalamannya kepada perempuan nelayan lain. Ia menyadari bahwa semua perempuan nelayan mempunyai permasalahan yang sama: kemiskinan, ancaman KDRT, dan minimnya akses dan ruang keterlibatan.

Permasalahan ekonomi sebagai dampak dari cuaca ekstrem tentu bukan hanya dialami oleh perempuan nelayan di Indramayu, Ibu Dairah percaya ini pun dialami oleh perempuan nelayan di seluruh Indonesia. Dalam setiap kesempatan, Ibu Dairah terus mendorong perempuan nelayan untuk mampu mandiri dan menjadi tangguh dalam menghadapi permasalahan yang ada. Kuncinya kemauan dari pribadi setiap orang untuk mau memulai perubahan.

“Kalau mau berubah harus dimulai dari diri sendiri, kemudian mulai berbuat untuk memperbaiki hidup. Nah, untuk memperkuat apa yang sudah kita lakukan, kita butuh orang lain untuk bekerjasama,” imbuh Ibu Dairah berbagi pengalamannya.

Membaca kembali pengalaman Ibu Dairah dalam menghadapi cuaca ekstrem, Negara masih bersifat reaktif dalam menghadapi dampak perubahan iklim, yaitu dengan memberikan sumbangan beras atau pun sembako.
Padahal, akar permasalahan yang memicu terjadinya perubahan iklim, seperti konversi hutan mangrove untuk apartemen dan kawasan wisata berbayar, dibiarkan terjadi dan menggusur masyarakat pesisir, termasuk nelayan dan perempuan nelayan. Untuk itu, pemerintah harus menyegerakan kehadirannya untuk memberikan jaminan perlindungan jiwa.

Ibu Dairah mengajarkan kita satu hal, setiap orang bisa menjadi lebih baik, asal ia sendiri mau berubah menjadi lebih baik.*** (SH)

Pelarangan Alat Tangkap Merusak Harus Dibarengi Solusi

Siaran Pers Bersama

Federasi Serikat Nelayan Nusantara

Persatuan Nelayan Kecil Kota Tarakan

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

 

Jakarta, 26 Februari 2015. Terbitnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia menjadi penegasan atas pentingnya memperhatikan daya dukung dan kelestarian sumber daya perikanan untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan Pasal 9 ayat (1) menyebutkan, “Setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia”. Di dalam undang-undang ini, alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan ermasuk di antaranya jaring trawl atau pukat harimau, dan/atau kompressor.

Pusat Data dan Informasi KIARA (Februari 2015) mencatat, sejak 5 tahun terakhir atas kepemilikan/penguasaan/penggunaan alat tangkap merusak trawl diwarnai konflik di level horisontal dan penegakan hukum yang belum transparan.

Rustan, Ketua Persatuan Nelayan Kecil (PNK) Tarakan menyampaikan, “Di tahun 2014, sedikitnya 20 kapal trawl asal Malaysia yang mempekerjakan nelayan Indonesia ditangkap oleh anggota PNK dan aparat penegak hukum. Sayangnya tidak pernah ada laporan akhir atas sanksi yang diberikan”.

Sanksi atas tindak pidana perikanan terkait penggunaan alat tangkap trawl ini diatur di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan Pasal 100B (lihat Tabel 1).

Tabel 1. Sanksi Tindak Pidana Perikanan Terkait Penggunaan Trawl

Nelayan Kecil (Pasal 100B) Orang (Pasal 85)
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 yang dilakukan oleh nelayan kecil dan/atau pembudidaya ikan kecil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah)” Setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkap ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000 (dua miliar rupiah)

Sumber: Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan

Setali tiga uang, Sutrisno, Ketua Umum Federasi Serikat Nelayan Nusantara mengatakan, “Pelarangan trawl merupakan perwujudan amanah Undang-Undang Perikanan yang dilaksanakan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Konflik berdarah di Sumatera Utara disebabkan oleh pemakaian trawl. Pasca disahkannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015, kami melakukan sosialisasi kepada seluruh anggota serikat nelayan yang berada di bawah FSNN untuk mengawal upaya penegakan hukumnya.”.

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA menegaskan, “Penggunaan alat tangkap merusak trawl berakibat pada hilangnya jiwa nelayan. Selain itu, juga berakibat pada ancaman kriminalisasi pasca dikeluarkannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015. Dalam situasi inilah, Menteri Kelautan dan Perikanan harus mengambil langkah-langkah progresif tanpa mencederai amanah Undang-Undang Perikanan”.

KIARA merekomendasikan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk melakukan: pertama, memastikan masa transisi selama 6-9 bulan (proses pengalihan alat tangkap) tidak diwarnai oleh kriminalisasi terhadap masyarakat nelayan. Hal ini sudah terjadi di Tarakan, sebanyak 9 nelayan ditangkap aparat setempat dikarenakan masih menggunakan trawl. Langkah yang bisa diambil adalah berkoordinasi dengan Satuan Kerja PSDKP KKP, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dan TNI AL.

Kedua, penggunaan APBN-P 2015 untuk memfasilitasi pengalihan alat tangkap bagi nelayan kecil. Langkah yang bisa dipilih adalah berkoordinasi dengan kepala daerah setingkat kota/kabupaten/provinsi untuk menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) Kelautan dan Perikanan. Pilihan ini dapat dilakukan dengan terlebih dahulu berkoordinasi dengan Presiden cq Menteri Keuangan Republik Indonesia.

Ketiga, berkoordinasi dengan perbankan nasional agar menyiapkan skema kredit kelautan dan perikanan yang bisa diakses oleh pelaku perikanan untuk penggantian alat tangkap.

Dengan ketiga langkah di atas, kelestarian sumber daya perikanan terjaga dan kesejahteraan nelayan tidak terancam oleh hadirnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.***

 

Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi:

  • Sutrisno, Ketua Umum Federasi Serikat Nelayan Nusantara di +62 852 7502 1745
  • Rustan, Ketua Persatuan Nelayan Kecil Tarakan di +62 813 4649 9011
  • Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA di +62 815 53100 259 

Kabar Bahari: Bandeng, pangan rakyat yang mendunia

Berkunjung ke Semarang, Jawa Tengah, tanpa membeli produk olahan bandeng di bilangan Pandanaran belumlah sempurna. Umumnya dijual bandeng presto yang bisa dinikmati hingga tak bersisa tulang sekalipun.

Bandeng merupakan salah satu komoditas unggulan perikanan budidaya, khususnya di Indonesia. Selain untuk mendukung ketahanan pangan dan gizi, usaha budidaya bandeng dapat diandalkan untuk meningkatan pendapatan pembudidaya skala kecil dan menengah.

Secara nasional, produksi bandeng mengalami peningkatan yang cukup signifikan 421.757 ton pada tahun 2010 dan meningkat menjadi 621.393 ton pada tahun 2014 atau sebesar 10,4% per tahun.
Pusat Data dan Informasi KIARA (Februari 2015) menemui fakta bahwa produksi bandeng dalam negeri dipasok oleh Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Tenggara, Aceh, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Barat dan Nusa Tenggara Barat. Dari volume produksinya, Jawa Timur menjadi provinsi produsen bandeng terbesar di Indonesia di tahun 2013

Ikuti informasi terkait buletin Kabar Bahari edisi Bandeng >>KLIK DISINI<<

KIARA-DPR Sepakat Percepat RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

 

Jakarta, 22 Februari 2015. Masyarakat nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya, petambak garam dan pelestari ekosistem pesisir berharap RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan disahkan. Di bulan kedua tahun 2015, KIARA-DPR bersepakat untuk mempercepat proses pengesahan RUU tersebut. Kesepakatan ini tercapai melalui Diskusi Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan di Gedung Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta, Jumat (20/02).

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA mengatakan, “Sudah sejak lama masyarakat pesisir menanti hadirnya RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan. Dimasukkannya RUU ini ke dalam prioritas Program Legislasi Nasional Tahun 2015 menjadi pengobat dahaga nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya, petambak garam dan pelestari ekosistem pesisir. Dalam konteks inilah, KIARA akan menyerahkan Naskah Akademik RUU ini kepada DPR RI untuk dibahas. Terlebih di dunia internasional sudah disetujui International Guidelines for Securing Sustainable Small-Scale Fishereies in the Context of Food Security and Poverty Eradication”.

Sebagaimana diketahui, belum ada aturan setingkat undang-undang yang melindungi dan menyejahterakan nelayan. Sementara ancaman terhadap kelangsungan hidup dan kelestarian ekosistem laut yang menjadi wilayah tangkap ikan nelayan terus berlangsung. Fakta lainnya, masyarakat pesisir lintas profesi ditempatkan sebagai warga negara kelas dua dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan. Bertolak dari hal inilah, KIARA menginisiasi hadirnya RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan.

Di dalam Naskah Akademik RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan yang disusun oleh KIARA bersama dengan organisasi masyarakat sipil lainnya untuk kali pertama memberikan pengakuan atas keberadaan dan peran perempuan nelayan. Selama ini, keterlibatan perempuan nelayan di dalam aktivitas perikanan tidak mendapatkan ruang. Aspek lainnya yang juga mendapatkan perhatian di dalam RUU ini adalah pengakuan atas keberadaan dan peran masyarakat adat yang tersebar di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini dilatari oleh kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya laut (tidak hanya ikan) yang terbukti aktif dalam menjaga kelestarian ekosistem laut dan keberlanjutan sumber daya yang terkandung di dalamnya dan terancam oleh pembangunan yang meminggirkan masyarakat adat.

Di samping itu, hak-hak konstitusional nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya, petambak garam dan pelestari ekosistem pesisir juga mendapatkan perhatian ekstra di dalam Naskah Akademik RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, di antaranya perlindungan wilayah tangkap, jaminan kesehatan dan reproduksi perempuan nelayan, permukiman dan sanitasi yang layak, jaminan harga ikan/garam dari pemerintah, dan ganti-untung atas terjadinya bencana ekologis.***

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA di +62 815 53100 259

Susi Pudjiastuti Diminta tak Melunak Terkait Larangan Transhipment

Selasa, 10 Februari 2015 WIB

JAKARTA, GRESNEWS.COM – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) diminta tak melunakkan sikapnya terkait larangan melakukan kegiatan alih muatan di tengah laut atau transhipment. Sekretaris Jenderal KIARA Abdul Halim menegaskan, pengelolaan perikanan di Indonesia jelas diarahkan untuk memajukan pembangunan perikanan nasional dan menyejahterakan para pelaku dalam negeri, khususnya nelayan dan perempuan nelayan.

Pembolehan kembali alih muatan di tengah laut, kata Halim, jelas mencederai amanat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Sebagaimana diketahui, Pasal 41 Ayat (3) UU Perikanan menyebutkan: “Setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan harus mendaratkan ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan”.

Sementara pada Pasal Pasal 25 Ayat (1) ditegaskan: “Usaha perikanan dilaksanakan dalam sistem bisnis perikanan, meliputi praproduksi, produksi, pengolahan dan pemasaran”.

Halim menyayangkan rencana Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti untuk menyusun petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan alih muatan di tengah laut. Juknis itu diperkirakan akan melonggarkan ketentuan-ketentuan di dalam Peraturan Menteri Nomor 57 Tahun 2014 tentang tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
“Mengacu pada klausul-klausul di atas, sudah semestinya Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak membuka peluang sedikitpun terhadap praktik alih muatan di tengah laut,” kata Halim kepada Gresnews.com, Senin (9/2).

Dia mengatakan, Pusat Data dan Informasi KIARA (Februari 2015) menemukan fakta bahwa transhipment berakibat fatal pada pengelolaan perikanan di Indonesia. Pertama, menghilangnya pemasukan negara akibat hilangnya pendapatan bukan pajak di Kementerian Kelautan dan Perikanan seperti diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2006, misalnya jasa pelabuhan perikanan.

“Dalam hal ini, masyarakat pelaku perikanan skala kecil dan industri dalam negeri kehilangan kesempatan untuk ikut mengolah bahan mentah,” tegas Halim.

Kedua, pelabuhan pangkalan dalam negeri dianggap tidak berkualitas dibandingkan pelabuhan di negara lain untuk pendaratan hasil tangkapan ikan. “Hal ini merugikan Negara akibat selisih harga jual dalam mata rantai perdagangan produk perikanan, khususnya upaya negara untuk meningkatkan nilai tambah produk perikanan sebelum diekspor,” ujar Halim lagi.

Ketiga, volume hasil tangkapan ikan yang dialih-muatkan di tengah laut tidak bisa terdata dengan pasti oleh otoritas negara. Hal ini menyulitkan pengambil kebijakan untuk mengevaluasi dan merevisi stok ikan yang masih tersedia.

Pengalaman buruk inilah yang dialami oleh negara-negara di Kepulauan Pasifik berkenaan dengan pengelolaan ikan tuna yang tidak didaratkan ke pelabuhan pangkalan. Diantaranya di Kepulauan Solomon sebanyak 2.201 ton, Republik Kepulauan Mikronesia (2.017 ton), Palau (1.758 ton), Kiribati (1.701 ton), Vanuatu (1.600 ton), Niue (126 ton), Tonga (82 ton), dan Kepulauan Cook (3 ton).

Kerugian negara yang tergambar dan pengalaman negara-negara lain di atas semestinya menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia, khususnya Menteri Kelautan dan Perikanan. “Sudah saatnya Republik ini mengakhiri kutukan sumber daya alam yang tidak menyejahterakan warganya,” tutup Halim.

Sebelumnya, Susi mengatakan, transshipment berdampak langsung pada industri perikanan. Pengiriman ikan ke luar negeri menjadi terhambat. Khususnya pada mereka yang secara langsung tidak melakukan penangkapan ikan.

“Kita buat larangan transshipment 2014, memukul beberapa pemain perikanan yang sebetulnya tidak melakukan transshipment luar negeri,” ucap Susi dalam konferensi pers di Kantornya, Jakarta, Senin (2/2) pekan lalu.

Karena itu Susi kemudian merancang petunjuk teknis (juknis) untuk kondisi tertentu melakukan transshipment. Dalam juknis itu, Susi memberi kelonggaran bagi pelaku industri agar boleh bongkar muat ikan di fishing ground tengah laut.

“Kita tidak cabut pelarangan, tapi buat juknis untuk para pelaku penangkap untuk membawa hasilnya dari fishing ground ke pelabuhan, diperbolehkan dengan ketentuan mengikat diberi sanksi jika itu diselewengkan,” tegas Susi.

Adapun juknis yang dimaksud salah satunya soal pemberian vessel monitoring system (VMS) dan pendataan kapal yang boleh melakukan transhipment. “Juknis tadi akan dilengkapi restriksi, VMS, data kapal, dan sebaginya ,” tutupnya. (*)

Redaktur : Muhammad Agung Riyadi

Sumber: http://gresnews.com/mobile/berita/Sosial/10102-susi-pudjiastuti-diminta-tak-melunak-terkait-larangan-transhipment

KIARA: Menteri Kelautan dan Perikanan Tidak Boleh Kendor dengan Memperbolehkan Kembali Alih Muatan di Tengah Laut

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

 

KIARA: Menteri Kelautan dan Perikanan Tidak Boleh Kendor dengan

Memperbolehkan Kembali Alih Muatan di Tengah Laut

Jakarta, 9 Februari 2015. Rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyusun petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan alih muatan (transhipment) di tengah laut dengan melonggarkan ketentuan-ketentuan di dalam Peraturan Menteri Nomor 57 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA menegaskan, “Pengelolaan Perikanan di Indonesia jelas diarahkan untuk memajukan pembangunan perikanan nasional dan menyejahterakan para pelaku dalam negeri, khususnya nelayan dan perempuan nelayan. Pembolehan kembali alih muatan di tengah laut jelas mencederai amanah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jucnto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan”.

Sebagaimana diketahui, Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan menyebutkan, “Setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan harus mendaratkan ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan”. Ditambah lagi, Pasal 25 ayat (1) bahwa, “Usaha perikanan dilaksanakan dalam sistem bisnis perikanan, meliputi praproduksi, produksi, pengolahan dan pemasaran”.

Mengacu pada klausul-klausul di atas, sudah semestinya Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak membuka peluang sedikitpun terhadap praktek alih muatan (transhipment) di tengah laut. Pusat Data dan Informasi KIARA (Februari 2015) menemukan fakta bahwa transhipment berakibat pada: pertama, menghilangnya pemasukan Negara akibat hilangnya pendapatan bukan pajak di Kementerian Kelautan dan Perikanan seperti diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2006, misalnya jasa pelabuhan perikanan. Dalam hal ini, masyarakat pelaku perikanan skala kecil dan industri dalam negeri kehilangan kesempatan untuk ikut mengolah bahan mentah.

Kedua, pelabuhan pangkalan dalam negeri dianggap tidak berkualitas dibandingkan pelabuhan di negara lain untuk pendaratan hasil tangkapan ikan. Hal ini merugikan Negara akibat selisih harga jual dalam mata rantai perdagangan produk perikanan, khususnya upaya Negara untuk meningkatkan nilai tambah produk perikanan sebelum diekspor.

Ketiga, volume hasil tangkapan ikan yang dialih-muatkan di tengah laut tidak bisa terdata dengan pasti oleh otoritas Negara. Hal ini menyulitkan pengambil kebijakan untuk mengevaluasi dan merevisi stok ikan yang masih tersedia. Pengalaman buruk inilah yang dialami oleh negara-negara di Kepulauan Pasifik berkenaan dengan pengelolaan ikan tuna yang tidak didaratkan ke pelabuhan pangkalan sebagaimana diatur, di antaranya di Kepulauan Solomon sebanyak 2,201 ton, Republik Kepulauan Mikronesia (2,017 ton), Palau (1,758 ton), Kiribati (1,701 ton), Vanuatu (1,600 ton), Niue (126 ton), Tonga (82 ton), dan Kepulauan Cook (3 ton).

Kerugian Negara yang tergambar dan pengalaman negara-negara lain di atas semestinya menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia, khususnya Menteri Kelautan dan Perikanan. Sudah saatnya Republik ini mengakhiri kutukan sumber daya alam yang tidak menyejahterakan warganya.***

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA

di +62 815 53100 259

KIARA: Menteri Kelautan dan Perikanan Tidak Boleh Kendor dengan Memperbolehkan Kembali Alih Muatan di Tengah Laut

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

 

KIARA: Menteri Kelautan dan Perikanan Tidak Boleh Kendor dengan

Memperbolehkan Kembali Alih Muatan di Tengah Laut

Jakarta, 9 Februari 2015. Rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyusun petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan alih muatan (transhipment) di tengah laut dengan melonggarkan ketentuan-ketentuan di dalam Peraturan Menteri Nomor 57 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA menegaskan, “Pengelolaan Perikanan di Indonesia jelas diarahkan untuk memajukan pembangunan perikanan nasional dan menyejahterakan para pelaku dalam negeri, khususnya nelayan dan perempuan nelayan. Pembolehan kembali alih muatan di tengah laut jelas mencederai amanah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jucnto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan”.

Sebagaimana diketahui, Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan menyebutkan, “Setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan harus mendaratkan ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan”. Ditambah lagi, Pasal 25 ayat (1) bahwa, “Usaha perikanan dilaksanakan dalam sistem bisnis perikanan, meliputi praproduksi, produksi, pengolahan dan pemasaran”.

Mengacu pada klausul-klausul di atas, sudah semestinya Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak membuka peluang sedikitpun terhadap praktek alih muatan (transhipment) di tengah laut. Pusat Data dan Informasi KIARA (Februari 2015) menemukan fakta bahwa transhipment berakibat pada: pertama, menghilangnya pemasukan Negara akibat hilangnya pendapatan bukan pajak di Kementerian Kelautan dan Perikanan seperti diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2006, misalnya jasa pelabuhan perikanan. Dalam hal ini, masyarakat pelaku perikanan skala kecil dan industri dalam negeri kehilangan kesempatan untuk ikut mengolah bahan mentah.

Kedua, pelabuhan pangkalan dalam negeri dianggap tidak berkualitas dibandingkan pelabuhan di negara lain untuk pendaratan hasil tangkapan ikan. Hal ini merugikan Negara akibat selisih harga jual dalam mata rantai perdagangan produk perikanan, khususnya upaya Negara untuk meningkatkan nilai tambah produk perikanan sebelum diekspor.

Ketiga, volume hasil tangkapan ikan yang dialih-muatkan di tengah laut tidak bisa terdata dengan pasti oleh otoritas Negara. Hal ini menyulitkan pengambil kebijakan untuk mengevaluasi dan merevisi stok ikan yang masih tersedia. Pengalaman buruk inilah yang dialami oleh negara-negara di Kepulauan Pasifik berkenaan dengan pengelolaan ikan tuna yang tidak didaratkan ke pelabuhan pangkalan sebagaimana diatur, di antaranya di Kepulauan Solomon sebanyak 2,201 ton, Republik Kepulauan Mikronesia (2,017 ton), Palau (1,758 ton), Kiribati (1,701 ton), Vanuatu (1,600 ton), Niue (126 ton), Tonga (82 ton), dan Kepulauan Cook (3 ton).

Kerugian Negara yang tergambar dan pengalaman negara-negara lain di atas semestinya menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia, khususnya Menteri Kelautan dan Perikanan. Sudah saatnya Republik ini mengakhiri kutukan sumber daya alam yang tidak menyejahterakan warganya.***

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA

di +62 815 53100 259