KIARA: Cabut Izin Perusahaan Perikanan yang Terlibat Perbudakan

Senin, 30 Maret 2015

KBR,Jakarta – Pemerintah didesak mencabut sementara izin usaha penangkapan ikan PT Pusaka Benjina Resources terkait dugaan kasus perbudakan.

Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim mengatakan, kasus tersebut merupakan pelanggaran serius dan bukan pertama kali terjadi. Selain itu, kasus tersebut juga sarat dengan persoalan ketenagakerjaan.

Kata dia, uu ketenagakerjaan belum mengatur hubungan industrial antara pemilik kapal atau perusahaan dengan anak buah kapal.

“Ini bukan hal baru, di Indonesia pun kita belum punya aturan khusus berkenaan dengan relasi antara ABK dengan pemilik kapal atau perusahaan, di luar isu perbudakannya, sehingga menimbulkan praktik-praktik yang tidak setara antara pekerja dengan pemberi kerja. Iming-iming gaji besar, mereka berbondong-bondong memenuhi iming-iming itu,” kata Abdul Halim di KBR Pagi, (30/3/2015)

Sebelumya, laporan Associated Press menemukan praktik perbudakan di perusahaan perikanan PT Pusaka Benjina Resources di Benjina, Maluku. Perusahaan dari Thailand tersebut merekrut ratusan pekerja, termasuk warga Myanmar dalam kondisi kerja yang tidak layak. Para pekerja dikurung dalam kerangkeng dan dipaksa bekerja selama 20 hingga 22 jam per hari.

Repoter:Ninik Yuniarti

Editor: Antonius Eko

Sumber: http://103.23.22.190/03-2015/kiara__cabut_izin_perusahaan_perikanan_yang_terlibat_perbudakan_/69212.html

Kiara: Ada Banyak Warga Indonesia yang Dijadikan Budak

Senin, 30 Maret 2015

Tidak ada UU ketenagakerjaan yang secara khusus mengatur hubungan kerja antara ABK dengan pemilik kapal.

Suara.com – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menengarai ada banyak warga Indonesia yang dijadikan budak oleh pemilik kapal alias juragan. Sekjen Kiara, Abdul Halim mengungkapkan, perbudakan ini terjadi karena tidak adanya UU yang melindungi para anak buah kapal dari pemilik kapal.

“Kita lihat saja, tidak ada UU ketenagakerjaan yang secara khusus mengatur hubungan kerja antara ABK dengan pemilik kapal. Selama ini, hubungan kerjanya hanya berdasarkan omongan dan jug aiming-iming gaji yang besar. Karena itu, yang terjadi justru mereka dipaksa untuk bekerja 20-22 jam per hari dengan gaji kecil,” kata Abdul Halim kepada suara.com melalui sambungan telepon, Senin (30/3/2015).

Abdul mengatakan, saat ini pemerintah tidak mempunyai data jumlah warga negara Indonesia yang bekerja sebagai anak buah kapal. Data yang ada di Kementerian Kelautan dan Perikanan hanya mencatat 3,5 juta orang bekerja di sektor pengolahan ikan.

Abdul Halim mengatakan,  terungkapnya kasus perbudakan yang dilakukan oleh PT Pusaka Benjina Resources di Maluku merupakan momentum untuk mengungkap praktik perbudakan yang dilakukan di sektor perikanan. Abdul juga meminta pemerintah mencabut izin perusahaan yang melakukan perbudakan itu.

Sebelumnya, Associated Press mengungkap investigasi tentang praktik perbudakan yang dilakukan oleh salah satu perusahaan perikanan itu terhadap ABK yang sebagian besar berasal dari Thailand dan Myanmar.

Rep: Doddy Rosadi

Sumber: http://www.suara.com/bisnis/2015/03/30/072029/kiara-ada-banyak-warga-indonesia-yang-dijadikan-budak

AGO defends light sentence for Hai Fa

Mon, March 30 2015

The Attorney General’s Office (AGO) say its prosecutors should not be blamed for the lenient punishment of a Rp 200 million (US$15,300) fine handed down by the Ambon court to a Chinese vessel of 4,306 gross tons, MV Hai Fa, the biggest ship the government has ever captured for illegal fishing in Indonesia.

The court approved on Friday the Maluku Prosecutor’s Office request to order the captain of the Chinese vessel, identified as Zhu Nian Le, to pay the fine for illegally catching 900 tons of fish and prawns as well as 66 tons of hammerhead sharks and oceanic whitetip sharks, which, according to the Maritime Affairs and Fisheries Ministry, had caused Rp 70 billion in state losses.

The prosecutors did not criminally charge the ship’s captain or operator.

Attorney General M. Prasetyo told The Jakarta Post on Sunday that Maluku prosecutors had crafted their sentence demand based on the evidence and dossiers submitted by Navy investigators and that there was no reason to blame prosecutors for the verdict.

“There is no such a thing as a light sentence as prosecutors made their sentence demands based on the existing law. Those who criticize the verdict actually don’t know anything. We demanded the sentence according to the violated articles,” Prasetyo said.

The NasDem Party politician further said the trial had been conducted according to proper procedures and the panel of judges at the court had supported prosecutors’ arguments that the vessel, which had operated with a Panamanian flag, had been guilty of illegal fishing.

The verdict has disappointed the Maritime Affairs and Fisheries Ministry, the beacon of President Joko “Jokowi” Widodo’s current fight against illegal fishing.

The ministry assigned a team to file an appeal against the verdict, which it said had gone against the strong commitment of the government to curb rampant illegal fishing by foreign vessels in the country.

“I have ordered my subordinates to analyze and evaluate the case to corroborate new evidence. The customs and excise directorate general said the vessel was unregistered and was once spotted flying an Indonesian flag,” said Maritime Affairs and Fisheries Minister Susi Pudjiastuti.

The People’s Coalition for Fisheries Justice Indonesia (KIARA) condemned the ruling saying that such a verdict would not have a deterrent effect on other foreign vessels that stole fish from Indonesia.

KIARA secretary-general Abdul Hakim said the verdict had been marred with irregularities as the Maluku Prosecutors’ Office should have charged the captain under Law No. 45/2009 on fishing vessels, which threatens illegal fishers operating in Indonesian waters with a minimum fine of Rp 2 billion.

“The vessel was only found guilty of catching prohibited fish, but in fact, we know that it lacked a legal permit to operate in our waters. I don’t know where all the charges applied by prosecutors went. The vessel should have instead received a heavier sentence,” he told the Post.

Hakim said the light verdict proved that the AGO had failed to support the ministry’s campaign to combat illegal fishing activities in the country’s waters. He also said that Hai Fa might have violated Article 29 of the Fisheries Law, which only allowed local vessels operated by local companies to fish in Indonesian territory.

“The MV Hai Fa also might have violated the law for employing a captain from China without any crew members from Indonesia as stipulated under Article 35 of the Fisheries Law. The vessel also failed to acquire an operation permit,” he added.

Hakim said that Article 40 of Law No. 5/1999 on natural resources conservation carried a maximum five years behind bars or a fine of
Rp 100 million for fishermen who netted prohibited fish such as hammerhead sharks and oceanic whitetip sharks.

“There is a serious violation here in the sense that the vessel violated our country’s sovereignty as regulated under the United Nations Convention on the Law of the Sea, which was ratified under Law No. 17/1985. Prosecutors failed to see all these violations” he added.

 

Haeril Halim, The Jakarta Post

Larangan Cantrang Masih Jadi Ganjalan Menteri Susi

INILAHCOM, Jakarta – Penerapan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti No 2 Tahun 2015 terus-menerus mendapat tantangan dari sejumlah kelompok nelayan terutama mereka yang berasal di daerah pantai utara Jawa.

Aturan Menteri Susi tersebut terkait dengan penggunaan alat tangkap ikan yang dinilai merusak lingkungan kelautan termasuk cantrang yang banyak digunakan para nelayan di Pantura.

Bahkan, pada 25 Maret 2015, nelayan di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, mendesak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) segera mengeluarkan surat edaran terkait dengan penundaan penerapan aturan soal pelarangan penggunaan alat tangkap ikan jenis pukat hela dan pukat tarik.

“Seharusnya pemerintah juga konsekuen ketika menyatakan menunda, tentunya juga harus diimbangi dengan surat edaran hingga ke daerah agar pelayanan terhadap nelayan juga tetap berjalan,” kata Koordinator Front Nelayan Bersatu Wilayah Pati Bambang Wicaksono di Pati, Rabu (25/3).

Hingga kini, menurut Bambang, surat edaran yang sangat diharapkan nelayan memang belum keluar sehingga menghambat proses pengurusan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI).

Alasan kantor di daerah tidak berani memproses pengajuan SIPI nelayan, kata dia, salah satunya karena belum ada landasan hukum untuk memproses pengajuan tersebut.

“Selama belum ada surat edaran penundaan pemberlakukan PP nomor 2/2015 tersebut, nasib nelayan juga tidak ada kejelasan hingga September 2015 yang merupakan batas waktu penundaan,” ujar Bambang.

Kementerian Kelautan dan Perikanan sendiri juga telah meminta pemerintah daerah untuk tetap konsisten dalam menegakkan larangan penggunaan alat tangkap ikan jenis cantrang karena disinyalir beberapa daerah masih memakluminya.

“Sebagai contoh di Jawa Tengah, dalam perkembangannya jumlah kapal yang menggunakan alat penangkapan ikan cantrang bertambah dari 3.209 pada 2004 menjadi 5.100 pada 2007,” kata Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Gellwynn Jusuf.

Gellwynn memaparkan peraturan larangan penggunaan alat tangkap cantrang sebenarnya sudah dikeluarkan sejak lama, tepatnya sejak Keputusan Menteri Pertanian Nomor 503/Kpts/UM/7/1980.

Hal tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan Dirjen Perikanan Nomor IK.340/DJ.10106/97 sebagai petunjuk pelaksanaan dari larangan penggunaan cantrang. “Pada intinya cantrang hanya diberikan bagi kapal di bawah 5 Gross Tonnage (GT) dengan kekuatan mesin di bawah 15 PK,” katanya.

Menurut dia, berbagai masalah yang timbul terkait penggunaan cantrang ini sudah lama terjadi yang dipicu banyaknya kapal di atas 5 GT yang izinnya dikeluarkan oleh pemerintah daerah dengan alat penangkapan ikan yang lain namun dalam praktiknya menggunakan cantrang.

“Masalah lain yang krusial adalah penurunan produksi sebesar 45 persen dari 281.267 ton pada 2002 menjadi 153.698 ton pada 2007, dan situasi tersebut juga berdampak pada penurunan sumber daya ikan demersial sebanyak 50 persen,” katanya.

Ia juga menjelaskan bahwa telah ditemukan sejumlah modus pelanggaran salah satunya adalah pengecilan ukuran kapal serta spesifikasi teknis alat penangkapan ikan yang tidak sesuai ketentuan baik ukuran mata jaring ikan, ukuran maupun ukuran tali ris.

Memahami akan berbagai permasalahan yang ditimbulkan, pada 24 April 2009 pemerintah daerah Jawa Tengah melakukan pertemuan dengan perwakilan nelayan Kabupaten Rembang, Pati, Batang, dan Kota Tegal dengan difasilitasi Departemen Kelautan dan Perikanan di Balai Besar Penangkapan Ikan Semarang.

Dari hasil pertemuan tersebut diketahui bahwa para nelayan memahami dan sepakat bahwa cantrang merupakan alat penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dan siap mengalihkannya secara bertahap.

Namun fakta di lapangan berbeda, jumlah armada kapal di bawah 30 GT yang menggunakan cantrang malah semakin bertambah. “Permen KP No. 2 Tahun 2015 itu sebenarnya hanya melanjutkan kebijakan lama dan menegaskan bahwa secara prinsip kapal cantrang dilarang beroperasi di seluruh WPP-NRI (Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia),” pungkasnya.

Menahan diri Sementara itu, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyerukan semua pihak agar menahan diri untuk mengambil penyelesaian polemik pelarangan alat tangkap cantrang yang mengakibatkan aksi massa yang sempat melumpuhkan jalur Pantura Jawa pada awal Maret 2015.

“KNTI menyerukan kepada semua pihak untuk menahan diri, sembari mengawal proses transisi berjalan optimal,” kata Ketua Umum KNTI M Riza Damanik di Jakarta, Rabu (4/3).

Menurut Riza, pihaknya sejak awal mendukung efektivitas larangan penggunaan alat tangkap merusak di seluruh perairan Indonesia, namun hal itu harus dilakukan dengan cara benar dan terukur.

Ketum KNTI mengungkapkan sejumlah dokumen menunjukkan upaya peralihan penggunaan cantrang sudah dilakukan sejak 2005.

Namun sejak saat itu, lanjutnya, pemerintah dan pemerintah daerah tidak mengawal proses peralihannya sehingga pada tahun 2014 saja diperkirakan terdapat lebih dari 10 ribu unit di Jawa Tengah.

Ia mengingatkan sedikitnya 100 ribu jiwa yang terkena dampak langsung dan lebih 500 ribu jiwa lainnya terkena dampak tidak langsung akibat terhentinya aktivitas Anak Buah Kapal (ABK) Ikan.

Belajar dari masa lalu, ujar dia, dan guna memastikan efektivitas pengelolaan perikanan, KNTI mendesak Pemerintah Pusat untuk mengawal secara penuh masa transisi, antara lain dengan merangkul organisasi nelayan dan tokoh masyarakat untuk melakukan simulasi dan pemantauan lapangan.

Selain itu, KNTI juga mendesak dilakukannya sosialisasi dan menyelenggarakan pelatihan penggunaan alat tangkap ramah lingkungan. “Siapkan skema pembiayaan untuk membantu peralihan ke alat tangkap ramah lingkungan melalui organisasi nelayan atau kelembagaan koperasi nelayan,” tuturnya.

KKP juga diminta segera menuntaskan pengukuran ulang akta kapal ikan dan memfasilitasi proses penerbitan izin baru, serta bekerja sama dengan organisasi nelayan dan institusi penegak hukum untuk menyiapkan skema pengawasan terpadu dan berbasis masyarakat.

Sedangkan bersama pemerintah daerah, menurut dia, KKP dapat menyiapkan instrumen perlindungan pekerja di atas kapal ikan (ABK), termasuk memastikan ada standar upah minimum bagi ABK Kapal Perikanan.

“KNTI mengusulkan kepada KKP untuk mengintegrasikan perjanjian kerja antara pemilik kapal dengan ABK masuk sebagai syarat perizinan dapat terbit,” ujar Riza.

Sementara selama proses transisi, pemerintah juga diminta KNTI untuk menyiapkan skema perlindungan sosial terhadap para ABK dan keluarganya yang berpotensi terdampak pelarangan tersebut.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sebenarnya juga telah memberikan kelonggaran kepada penggunaan alat cantrang kepada wilayah Jawa Tengah, namun untuk wilayah lainnya penggunaan cantrang tetap dilarang.

“Untuk Jawa Tengah, saya berikan kelonggaran kembali kepada komitmen Pemda Jateng dan para pemilik cantrang dikembalikan (kapal berbobot) di bawah 30 GT dan (kawasan perairan) di bawah 12 mil itu otoritasnya Bapak Gubernur (Jateng),” kata Menteri Susi dalam jumpa pers di KKP, Jakarta, Kamis (5/3).

Ketika ditanyakan kepada wartawan apakah Menteri Susi akan berupaya membebaskan nelayan yang ditangkap dalam aksi demonstrasi di jalur Pantura, Susi menjawab, “Kalau saya membebaskan nelayan yang demo karena mukulin polisi, itu tidak bisa.” Menteri Kelautan dan Perikanan mengingatkan bahwa bila diberlakukan cantrang maka akan terus memicu konflik antarnelayan.

Segerakan solusi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyatakan, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mesti menyegerakan solusi atas pelarangan alat tangkap cantrang yang dinilai tidak ramah lingkungan.

“Menteri Kelautan dan Perikanan mesti memimpin penyelenggaraan peta jalan solusi yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan gejolak di masyarakat, di antaranya di Jawa Tengah, pascalarangan cantrang sebagai alat tangkap bersama dengan Wali Kota, Bupati dan Gubernur,” kata Sekjen Kiara Abdul Halim di Jakarta, Senin (23/3).

Menurut Abdul Halim, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela dan Pukat Tarik masih menimbulkan guncangan terhadap penghidupan sebagian nelayan kecil.

Kiara, ujar dia, telah menyampaikan salah satu solusi kepada Menteri Susi guna menyelesaikan dampak pasca dilarangnya “trawl” dan pukat tarik, yakni penggunaan APBN-P 2015 untuk memfasilitasi pengalihan alat tangkap bagi nelayan kecil.

Langkah yang bisa dipilih, lanjutnya, adalah berkoordinasi dengan kepala daerah setingkat kota/kabupaten/provinsi untuk menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) Kelautan dan Perikanan.

“Pilihan ini dapat dilakukan dengan terlebih dahulu berkoordinasi dengan Presiden cq Menteri Keuangan Republik Indonesia,” kata Sekjen Kiara

Untuk menindaklanjutinya, Kiara menemukan sebesar 16,2 persen dari Rp61,87 miliar DAK yang tersebar di 3 kota, 15 kabupaten dan 1 provinsi di Jawa Tengah dikategorikan tidak terlampau penting dan bisa dialihkan untuk mendukung proses peralihan alat tangkap dan pendampingan nelayan kecil di sentra-sentra perikanan tangkap di Jawa Tengah.

Di samping itu, Menteri Kelautan dan Perikanan bekerja sama dengan Gubernur/Bupati/Wallikota dan masyarakat nelayan skala kecil di Jawa Tengah dapat menyepakati langkah bersama antara lain penggunaan DAK Kelautan dan Perikanan di dalam APBN 2015 untuk program pemberdayaan nelayan kecil dan pelatihan penggunaan alat tangkap ikan yang ramah.

Selain itu, lanjut Halim, penting pula untuk memastikan tidak adanya kriminalisasi nelayan di masa transisi antara pemerintah, pemda dan aparat penegak hukum di laut.

Sebelumnya, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri mengatakan bahwa pemerintah seharusnya memberikan solusi bagi nelayan pasca pelarangan penggunaan jaring cantrang.

“Sebenarnya ada dua solusi yang dapat diberikan oleh pemerintah,” katanya di Purwokerto, Jawa Tengah, Sabtu (14/3).

Menurut dia, solusi pertama adalah larangan penggunaan jaring cantrang itu tdidak diberlakukan di seluruh wilayah perairan Indonesia. Sedangkan solusi yang kedua adalah pemerintah harus memberikan alternatif alat tangkap yang efisien sekaligus ramah lingkungan.

Dengan menjalankan solusi-solusi yang ditawarkan tersebut, diharapkan tidak akan ada lagi ganjalan oleh berbagai pihak terkait termasuk nelayan, sehubungan dengan larangan cantrang yang dicetuskan Menteri Susi. [tar]

Sumber: http://nasional.inilah.com/read/detail/2190230/larangan-cantrang-masih-jadi-ganjalan-menteri-susi

 

Praktik Perbudakan di Perikanan Sudah Berlangsung Lama

Sabtu, 28 Maret 2015

PANGANDARAN, KOMPAS — Indikasi praktik “perbudakan” di kapal ikan yang dioperasikan PT Pusaka Benjina Resources dinilai bukanlah hal baru di usaha perikanan Indonesia. Ini mengingat timpangnya relasi kuasa antara pekerja dan pemberi kerja di sektor perikanan telah berlangsung sejak pemerintahan Orde Baru.

Awak kapal nelayan Thailand ditahan di Dermaga Satuan Kerja Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), di Batam, Kepulauan Riau.
Hal itu dikemukakan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim saat dihubungi dari Pangandaran, Jawa Barat, Sabtu (28/3).

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti semula dijadwalkan menggelar konferensi pers di Pangandaran, Sabtu pagi, terkait dugaan kasus perbudakan yang dilakukan Pusaka Benjina Resources, di Kepulauan Aru, Maluku. Namun, jumpa pers ditunda menjadi Sabtu sore.

Halim menilai, Indonesia hingga kini belum memiliki kebijakan khusus menyangkut relasi pekerja atau anak buah kapal (ABK) dan pemilik kapal atau juragan, termasuk UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

“Kondisi tiadanya payung hukum yang mengatur relasi ABK dengan pemilik kapal inilah berakibat terhadap perbudakan di sektor perikanan,” katanya.

Pemerintah Indonesia patut belajar dari kasus perbudakan yang terjadi di atas kapal-kapal pemasok raw material pakan yang diproduksi Charoen Phokpand Foods di Thailand.

Halim menambahkan, isu ABK kapal dan juragan atau pemilik kapal harus diartikan sebagai urgensi hadirnya payung hukum yang mengatur hak dan kewajiban para pihak, termasuk pemerintah.

Ironisnya, hingga kini Pemerintah RI belum meratifikasi Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) Nomor 188 Tahun 2007 mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan dan Rekomendasi ILO Nomor 199 Tahun 2007 mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan.

Rep: BM LUKITA GRAHADYARINI

Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/03/28/Praktik-Perbudakan-di-Perikanan-Sudah-Berlangsung