Siaran Pers Kiara 19 Agustus 2016

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan
www.kiara.or.id

 

Hanya 0,97% dan Membuka Praktek Korupsi, Pemerintah Mesti Terbuka mengenai Pelayanan Perizinan Kapal Perikanan

Jakarta, 19 Agustus 2016. Sejak Juni 2015 hingga Juli 2016, ribuan perizinan kapal perikanan yang diajukan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebanyak 1.165 untuk SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan), 2.274 untuk SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan), dan 186 untuk SIKPI (Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan).

Pada perkembangannya, KKP telah mengeluarkan 265 izin dengan rincian: 214 untuk SIUP, 22 untuk pengajuan SIPI yang telah disetujui, dan 2 untuk pengajuan SIKPI yang telah disetujui per Agustus 2016. Dengan perkataan lain, hanya 18 persen pengajuan SIUP yang telah disetujui; 0,97 persen SIPI; dan 1,08 persen untuk SIKPI.

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA mengatakan, “Minimnya jumlah izin kapal perikanan yang disetujui berimplikasi terhadap upaya memandirikan usaha perikanan nasional. Terlebih lagi, fakta tersebut mengindikasikan lemahnya fungsi kelembagaan dalam menjalankan prosedur perizinan kapal perikanan, yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Perhubungan”.

Di dalam Peraturan Menteri No. 30 Tahun 2012 Tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Peraturan Menteri No. 11 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Minimum Gerai Perizinan Kapal Penangkap Ikan Hasil Pengukuran Ulang, jumlah hari yang dibutuhkan untuk mengurus kelengkapan dokumen kapal perikanan (SIUP, SIPI, SIKPI, dan Buku Kapal Perikanan) selama 37 hari atau 1 bulan 1 pekan.

Sammy Soendoro, nelayan asal Rembang, Jawa Tengah, mengatakan, “Jika pemerintah sungguh-sungguh berpihak kepada kepentingan nelayan dan kemandirian usaha perikanan nasional, maka sudah seharusnya perizinan kapal perikanan dipermudah, prosesnya terbuka, dan memakan waktu yang lebih singkat memakai sistem daring (online). Apalagi ada 2 kementerian yang terkait langsung (KKP dan Kementerian Perhubungan), sehingga dibutuhkan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah agar semangat perubahan yang diinginkan oleh masyarakat perikanan sejalan”.

Pusat Data dan Informasi KIARA (Agustus 2016) menemukan fakta, Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak secara jelas menyampaikan status dan keterangan penolakan pengajuan perizinan kapal perikanan. Setidaknya ada 3 jenis penolakan yang disampaikan, yakni (1) Tidak ada alasan; (2) Masih memerlukan verifikasi antara data kapal di atas kertas dengan kondisi riil; dan (3) belum memiliki kelengkapan dokumen kapal.

“Ketidakterbukaan pemerintah di dalam perizinan kapal perikanan berdampak serius terhadap keberlanjutan usaha perikanan rakyat. Bahkan sebagiannya sudah menghentikan operasional kapal sejak 1-2 tahun terakhir. Imbasnya, para ABK menganggur atau beralih profesi,” tambah Halim.

Selain itu, praktek suap-menyuap/korupsi yang melibatkan oknum birokrasi juga rentan terjadi di dalam pengurusan perizinan kapal perikanan. KIARA (Agustus 2016) mencatat, dana sebesar Rp. 5-20 juta dikeluarkan oleh pemilik kapal untuk ‘melicinkan’ proses perizinan. Padahal, praktek ini tidak perlu terjadi apabila pelayanan pemerintah mudah, terbuka, dan memakan waktu yang lebih singkat memakai sistem daring (online).***

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Sammy Soendoro, Nelayan asal Rembang, Jawa Tengah di +62 812 2502 489
Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA di +62 815 53100 259