Pencemaran Teluk Balikpapan: 6.596,6 ton Karbon Tidak Terserap, Hukum Tegas Pelaku Kejahatan Pesisir!

Siaran Pers
Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

Pencemaran Teluk Balikpapan: 6.596,6 ton Karbon Tidak

Terserap, Hukum Tegas Pelaku Kejahatan Pesisir!

 

Jakarta, 09 April 2018 – Pencemaran yang terjadi di Teluk Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur, kini telah menginjak hari yang ke-10, terhitung mulai Sabtu, 31 Maret 2018. Namun tanda-tanda penegakan hukum terhadap kasus pencemaran ini belum terlihat. Padahal, cemaran minyak mentah jenis solar milik Pertamina itu telah mencemari 7.000 hektar, dengan panjang pantai terdampak di sisi Kota Balikpapan dan Kabupaten Penajam Pasir Utara mencapai sekitar 60 kilometer. Tak hanya itu, cemaran minyak mentah jenis solar ini telah mencapai perairan Jakarta.

Cemaran minyak mentah ini berasal dari pipa bawah laut terminal Lawe-Lawe ke fasilitas refineery PT Pertamina. Akibatnya, sebanyak lima orang tewas, masyarakat pun mengeluhkan mual dan pusing karena bau minyak menyengat. Pusat Data dan Informasi Kiara mencatat, kawasan mangrove seluas 34 hektar di Kelurahan Kariangau tercemar, 6.000 pohon mangrove di Kampung Atas Air Margasari dan 2.000 bibit mangrove warga Kampung Atas Air Margasari mati. Pada saat bersamaan biota laut seperti kepiting mati di Pantai Banua Patra.

Melihat dampaknya yang sangat massif dan berbahaya, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mempertanyakan langkah penegakan hukum terhadap pelaku pencemaran ini. Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyatakan bahwa pencemaran Teluk Balikpapan tidak bisa dilihat sebagai bencana lokal, melainkan sebagai bencana nasional. “Ini adalah bencana sosial-ekologi nasional. Pelaku pencemaran harus segera diproses secara hukum. Adapun masyarakat terdampak harus segera mendapatkan pemulihan dari Pertamina dan Pemerintah, terlebih lagi sampai menyebabkan 5 orang meninggal dunia, ini kejahatan” tegasnya.

Lebih jauh, Susan mengungkapkan kerugian akibat rusaknya kawasan mangrove di Balikpapan. “KIARA memiliki perhatian khusus terhadap mangrove di Indonesia. Selain karena pohon ini memiliki fungsi sosial, ekonomi, biologi, dan kimiwai, mangrove juga memiliki fungsi yang sangat baik untuk menyerap karbon. Keberadaan mangrove sangat penting untuk menghadapi perubahan (krisis) iklim,” tuturnya.

Pusat Data dan Informasi KIARA mencatat, satu hektar pohon mangrove mampu menyerap karbon sebanyak 38,8 ton pertahun. Artinya jika 34 hektar kawasan mangrove di Teluk Balikpapan rusak, maka sebanyak setiap tahun akan ada 1.319,2 ton karbon yang tidak tidak terserap. “Artinya jika dalam 5 tahun pencemaran tidak diselesaikan maka akan ada 6.596,6 ton karbon yang tidak terserap karena rusaknya mangrove di Teluk Balikpapan,” kata Susan.

Ironinya, pelaku pencemaran laut acap kali tidak mendapatkan sanksi yang seimbang atas kerusakan yang sudah disebabkan, “Contohnya saja Laut Timur, bagaimana sanksi yang diberikan pemerintahan RI kepada PT PTTEP perlu dipertanyakan. Jangan jadikan laut Indonesia sebagai tempat sampah besar. Karena masyarakat pesisir punya hak konstitusional, yaitu hak untuk mendapatkan laut yang bersih dan sehat” tegas Susan. (*)

Informasi lebih lanjut

Susan Herawati, Sekteraris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050
Parid Ridwanuddin, Deputi Pengelolaan Pengetahuan, +62 857-17330-7640

Ombudsman Temukan Maladministrasi, Warga Pulau Pari Sujud Syukur

Jakarta – Ketua Forum Peduli Pulau Pari Syahrul Hidayat langsung sujud syukur setelah Ombudsman RI menyatakan ada maladministrasi dalam penerbitan sertifikat PT Bumi Pari Asri dan PT Bumi Griyanusa. Sejumlah warga Pulau Pari datang untuk berunjuk rasa damai menjelang rilis Laporan Hasil Akhir Pemeriksaan (LHAP) Ombudsman di Jalan H.R. Rasuna Said, Jakarta Pusat, pada Senin, 9 April 2018.

Warga Pulau Pari pun turut bersujud dan menyambut LHAP itu dengan air mata berlinang. Syahrul mengapresiasi keputusan Ombudsman yang berpihak kepada rakyat kecil. “Cuma di sini kita harus tetap mengawal,” katanya. “Kita harus tetap mengawal warga pulau untuk mencapai semua tujuan mereka.”

Tigor Hutapea, kuasa hukum Koalisi Selamatkan Pulau Pari (KIARA), menyambut LHAP Ombudsman mengenai sengketa tanah Pulau Pari. “Intinya ada dua. Satu, BPN (Badan Pertanahan Nasional) harus membatalkan sertifikat yang ada,” kata Tigor. “Yang kedua, pemda (pemerintah daerah) harus bisa memenuhi hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat.”

Ombudsman menyampaikan LAHP mengenai sengketa Pulau Pari dengan temuan maladministrasi berupa penyimpangan prosedur, penyalahgunaan wewenang, dan pengabaian kewajiban hukum oleh Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Utara dalam penerbitan 62 sertifikat hak milik (SHM) atas nama perorangan serta 14 sertifikat hak guna bangunan (SHGB) atas nama PT Bumi Pari Asri dan PT Bumi Griyanusa.

Pihak korporasi pun mengklaim 90 persen dari 42 hektare lahan Pulau Pari sebagai milik mereka, sementara 10 persen lahan pulau merupakan milik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Akibatnya, 329 kepala keluarga penduduk asli yang mengaku telah mendiami Pulau Pari selama empat generasi justru terancam digusur.

Ombudsman memberi waktu 30 hari bagi Inspektur Jenderal Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi DKI Jakarta untuk mengevaluasi penerbitan SHM dan SHGB tersebut. Selain itu, jangka waktu 60 hari juga diberikan bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengembalikan fungsi Pulau Pari sebagai kawasan permukiman penduduk dan nelayan serta melakukan inventarisasi aset dan data warga Pulau Pari

Reporter: SALSABILA PUTRI PERTIWI | TDEditor: Clara Maria Tjandra Dewi H.

Sumber: https://metro.tempo.co/read/1077752/ombudsman-temukan-maladministrasi-warga-pulau-pari-sujud-syukur