Pernyataan Sikap KIARA-KELOLA-ANTRA Sulut
Jakarta 6 Desember 2020- Dalam satu dekade belakangan, pembangunan di wilayah pesisir nyaris berbanding lurus dengan angka perampasan ruang hidup dan ruang kelola masyarakat pesisir dan nelayan tradisional. Kondisi ini ditandai dengan lahirnya Peraturan Presiden nomor 32 tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
Tak lama setelah terbitnya Perpres 32 tahun 2011, Pemerintah telah mengidentifikasi 29 peraturan yang dinilai menghambat keberhasilan MP3EI, di antaranya 7 Undang-Undang, 7 Peraturan Pemerintah, 6 Peraturan Presiden, Keputusan dan Instruksi Presiden, serta 9 Peraturan Menteri.
Seiring pergantian tampuk kekuasaan, MP3EI sebagai terma politik tak banyak disebut-sebut. Meski demikian, kebijakan pembangunan Presiden Joko Widodo masih menampakan konsep serupa. Contohnya, revisi sejumlah Undang-Undang lewat Omnibus Law Cipta Kerja adalah suatu metode yang dalam MP3EI disebut debottlenecking atau deregulasi. Dengan kata lain, peraturan maupun Undang-Undang yang dianggap menghambat investasi harus segera diganti bahkan ditiadakan.
Pada kenyataannya, banyak kalangan menilai, proses penyusunan Omnibus Law Cipta Kerja tidak menunjukkan keberpihakan pada mayoritas rakyat Indonesia yang sedang menghadapi persoalan pandemi Covid-19. Di samping itu padanan kata ‘Cipta Kerja’ dalam UU Omnibus Law, tak lebih dari cara membuka seluas-luasnya pintu bagi investasi privat-multi nasional, namun pada saat bersamaan, menutup peluang mayoritas rakyat Indonesia untuk menunjukkan kedaulatan di negerinya sendiri.
Fakta-fakta itu mendorong Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Perkumpulan Kelompok Pengelola Sumber Daya Alam (KELOLA) dan Asosiasi Nelayan Tradisional (ANTRA) Sulawesi Utara, untuk menggelar konsolidasi. Sepanjang 10 hingga 14 November 2020, konsolidasi nelayan tradisional secara berturut-turut digelar di Kabupaten Minahasa, Kota Manado, Kabupaten Minahasa Utara serta Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan.
Muhamad Afif, Deputi Advokasi dan Program KIARA menyatakan, konsolidasi itu bertujuan memetakan ancaman di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, serta memperkuat gerakan masyarakat sipil, terutama masyarakat pesisir dan nelayan tradisional di Sulawesi Utara.
Dalam pertemuan itu, dia menjabarkan, warisan MP3EI terlihat dari penetapan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Bitung seluas 534 hektar – belakangan Pemerintah juga menetapkan KEK Pariwisata Likupang (359 hektar).
Skema ini akan berdampak pada kehidupan masyarakat pesisir di lokasi pembangunan, yang berdasarkan riset Kelola, rencana reklamasi 1000 hektar di Bitung (yang menjadi konsekuensi lanjutan dari KEK) akan berdampak pada 2.400 lahan kepala keluarga.
Pemerintah sendiri melegitimasi pengembangan kawasan ini lewat UU 39 tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus dan UU 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. Sebagai alat untuk melegitimasi proyek-proyek ambisius tersebut, Pemerintah Daerah membuat alas hukum melalui Perda nomor 1 tahun 2017 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Sulawesi Utara, yang kini memasuki tahap revisi.
“Nelayan perlu saling menguatkan. Bisa juga bikin gugatan ke Mahkamah Konstitusi, syaratnya mesti kuat. Berarti ke depan, informasi lebih intens harus tetap dijaga. Kita harus duduk sama-sama, cuma itu caranya. Tidak ada cara lain,” terang Afif.
Dalam kesempatan itu Susan Herawati, Sekretaris Jendral KIARA menyatakan ancaman pada masyarakat pesisir dan nelayan tradisional juga berpotensi ditimbulkan oleh UU Omnibus Law Cipta Kerja. Sebab, berbagai kemudahan investasi yang diatur dalam UU tersebut dibuat tanpa mempertimbangkan hajat hidup masyarakat pesisir. Misalnya, pengaburan definisi nelayan tradisional yang akan berdampak sulitnya mengakses subsidi, pembinaan hingga perlindungan.
UU Cipta Kerja juga mendorong pembangunan pelabuhan skala besar untuk industri, penghapusan wewenang pemerintah daerah dalam izin peruntukan ruang, izin bagi kapal asing untuk memasuki perairan Indonesia, izin alih muatan di tengah laut, izin perubahan kawasan zona inti hingga tidak adanya pembatasan industri di pulau-pulau kecil. Sementara sanksi bagi perusak lingkungan hanyalah bersifat administratif, yang dianggap tidak memberi efek jera.
“Dalam hal apapun, apa yang kita lakukan adalah memastikan bahwa kita adalah tuan dan puan di tanah sendiri. Karena kita bukan turis. Saya tidak mau menakut-nakuti, tapi kedepannya ada hal yang harus kita perjuangkan bersama,” tegas Susan.
Sejumlah ancaman di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, pada akhirnya, mengharuskan nelayan tradisional untuk memperkuat diri, hingga mempererat solidaritas. Seperti dikatakan Rignolda Djamaluddin, Direktur Perkumpulan Kelola, kedepannya nelayan tradisional harus lebih solid dan waspada dalam menghadapi konsep pembangunan yang bias darat. Dia mengajak nelayan tradisional untuk bersama-sama mempertahankan ruang hidup yang tersisa di pesisir Sulawesi Utara. Sebab, konstitusi menjamin kehidupan nelayan.
“Omnibus Law tidak bisa menggugurkan UU HAM. Bahwa mereka (investor) berizin, mereka harus tahu kita bernelayan di sana. Jangan biarkan satu ruangpun diambil. Kalau itu terjadi, selesai. Tapi yang paling penting kita perlu melakukan konsolidasi untuk menyusun langkah strategis,” tegas Rignolda Djamaluddin.