Pasca Dicabutnya Status PSN Rempang Eco City, Kini Berjalan Program Transmigrasi Lokal, KIARA: Program Transmigrasi Lokal Adalah Kekeliruan Berpikir Menteri Transmigrasi dan Kedok Baru Relokasi Warga Rempang!

 

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Pasca Dicabutnya Status PSN Rempang Eco City, Kini Berjalan Program Transmigrasi Lokal, KIARA: Program Transmigrasi Lokal Adalah Kekeliruan Berpikir Menteri Transmigrasi dan Kedok Baru Relokasi Warga Rempang!

 

Jakarta, 27 Maret 2025 – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan atau KIARA menilai program transmigrasi lokal sebagai cara baru untuk meneruskan proyek perampasan ruang atau relokasi paksa warga di Pulau Rempang pasca dicabutnya Pulau Rempang dari status Proyek Strategis Nasional (PSN).

Pada tanggal 10 Februari 2025, Presiden Prabowo Subianto menetapkan dan mengundangkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2025 – 2029. Salah satu isi dari Perpres tersebut adalah list terbaru tentang 77 (tujuh puluh tujuh) daftar PSN yang tersebar di Indonesia. Melalui Perpres tersebut, terdapat berbagai wilayah baru yang dibebankan PSN dan juga wilayah-wilayah yang status PSN-nya dibatalkan oleh Presiden Prabowo.

KIARA mencatat bahwa dari 77 PSN yang tersebar di Indonesia, terdapat 29 PSN yang berstatus baru dan 48 PSN yang berstatus carry over (melanjutkan).  Dalam keterangannya disebutkan bahwa daftar Proyek Strategis Nasional tersebut merupakan daftar indikatif yang dapat diubah/ditambah oleh Pemerintah Pusat berdasarkan evaluasi atas Proyek-Proyek Strategis Nasional yang telah ditetapkan sebelumnya dan di-carry over, dan berdasarkan penilaian atas proyek-proyek baru yang memenuhi kriteria sesuai peraturan yang berlaku.

Dalam konteks perampasan ruang hidup melalui PSN yang terdapat di Pulau Rempang, proyek Rempang Eco City tidak lagi terdapat dalam 77 daftar PSN tersebut. Dalam daftar PSN terbaru, Kepulauan Riau di mana Pulau Rempang didalamnya akan dibebankan untuk sebagai berikut:

 

PROYEK

LOKASI

KETERANGAN

(STATUS & PELAKSANA)

Hilirisasi, Industrialisasi dan Transformasi Digital

Program Hilirisasi Kelapa Sawit, Kelapa, Rumput Laut Kepulauan Riau & 19 provinsi lain Baru

 

Swasta

Program Hilirisasi Nikel,

Timah Bauksit, Tembaga

Kepulauan Riau & 15 provinsi lain Baru

 

PT MIND ID, Swasta

Pengembangan KEK Galang Kepulauan Riau Batang Kepulauan Riau Carry Over

 

BUPP KEK Galang Batang

Kawasan Industri Pulau Ladi Kepulauan Riau Swasta
Kawasan Industri Wiraraja Green Renewable Energy &

Smart-Eco Industrial Park

 

Kepulauan Riau

 

Swasta
Pengembangan Kawasan

Industri Toapaya, Pulau

Poto, dan Kampung Masiran

Kepulauan Riau Swasta

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyebutkan bahwa ini menjadi satu kemenangan bagi warga Pulau Rempang karena Rempang Eco City sudah tidak diakomodir dalam Proyek Strategis Nasional. “KIARA memandang bahwa dievaluasinya dan dihapusnya Proyek Rempang Eco City dari daftar PSN menjadi catatan penting yang sudah seharusnya dilakukan oleh Presiden. Akan tetapi, Provinsi Kepulauan Riau akan dibebankan 6 PSN lainnya yang tentu saja berpotensi menciptakan konflik baru, baik yang dikelola langsung oleh Pemerintah maupun yang dikelola oleh swasta. Kepastian hukum lainnya atas tidak diakomodirnya Proyek Rempang Eco City harus diawasi dan dipastikan melalui rencana Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kepulauan Riau yang saat ini tengah disusun oleh Pemerintah Provinsi bersama Pemerintah Pusat. Proyek Rempang Eco City harus dihapus dari rencana pemerintah!” jelas Susan.

KIARA mencatat bahwa luas Pulau Rempang adalah sekitar 165,8 km² dan merupakan pulau kecil berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Saat ini isu perampasan lahan di pulau Rempang telah bertransformasi dari isu relokasi menjadi isu transmigrasi lokal. Hal ini disebutkan oleh Menteri Transmigrasi (Mentrans) Muhammad Iftitah Sulaiman Suryanagara di awal 2025. Mentrans menyebutkan bahwa program transmigrasi lokal bagi warga rempang akan menjadi solusi atas stagnannya Proyek Rempang Eco City. “Mentrans tengah merancang program Transmigrasi Lokal bagi warga Rempang. Program transmigrasi lokal ini disertai dengan iming-iming bahwa masyarakat terdampak proyek Rempang Eco City bisa diserap sebagai tenaga kerja proyek tersebut. Tentu ini adalah modus baru untuk merampas tanah dan laut warga Rempang yang selama ini mereka perjuangkan. Program Transmigrasi lokal oleh Mentrans membuktikan kekeliruan berpikir (logical fallacy) Pemerintah rezim saat ini”, jelas Susan

Bahkan secara terminologi/definisi, transmigrasi adalah perpindahan penduduk dari satu daerah yang berpenduduk padat ke daerah lain yang berpenduduk jarang. Definisi ini jelas dan tegas bisa dilihat di KBBI. Ini membuktikan bahwa mayoritas program-program yang disusun pemerintah untuk warga Rempang adalah program yang sama dengan bungkus yang baru yang pada intinya akan merampas tanah warga dan memindahkan warga. Secara de facto, pemukiman di Pulau Rempang khususnya yang akan terdampak Proyek Rempang Eco City adalah berstatus berpenduduk jarang. Apakah warga Rempang yang berpenduduk jarang akan ditransmigrasikan ke tempat yang lebih sedikit lagi penduduknya? Ini kekeliruan berpikir yang KIARA maksud,” tegas Susan

Alih-alih berpihak pada kepastian hukum pengakuan ruang hidup warga Pulau Rempang, pemerintah lebih memprioritaskan kepastian hukum dan keberlanjutan investasi yang rakus lahan dan semakin memarginalkan masyarakat lokal baik itu masyarakat adat dan komunitas lokal yang mengelola dan memanfaatkan pesisir dan pulau kecil secara berkelanjutan. Prioritas keberlanjutan dan keselamatan hanya menjadi janji manis bagi Presiden, dan Presiden tidak dapat membuktikannya melalui kabinet gemuknya!” pungkas Susan.(*)

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

KABAR BAHARI : NEO-EKSTRAKTIVISME DAN PERLAWANAN MASYARAKAT PESISIR

Pembangunan yang terjadi di Indonesia membutuhkan material seperti pasir, batu dll. Material untuk pembangunan inilah yang menjadi masalah baru. Dalam edisi Kabar Bahari kali ini, KIARA mencoba untuk memberikan gambaran bagaimana pembangunan di Indonesia berujung pada perampasan ruang yang dialami oleh nelayan dan perempuan nelayan Indonesia. KIARA berusaha menggambarkan bagaimana pembangunan di Indonesia sering kali berujung pada perampasan ruang yang dialami oleh nelayan dan perempuan nelayan. KIARA menyerukan kepada mereka, para penjaga laut sejati, untuk kembali melaut, lantang bersuara dan melawan kesewenangan juga ketidakadilan atas nama pembangunan yang bersifat ekstraktif dan eksploitatif. Jangan biarkan laut kalian terampas lagi.

KIARA ingin memanggil nelayan dan perempuan nelayan sebagai penguasa laut Indonesia untuk kembali berlawan
menolak pembangunan yang ekstraktif dan eksploitatif yang ada di Indonesia. KIARA percaya, tata kelola ruang laut harus menjadikan nelayan dan perempuan nelayan sebagai ‘tuan dan puan’ di lautnya sendiri.
KIARA yakin bahwa pengelolaan ruang laut harus menempatkan nelayan dan perempuan nelayan sebagai “tuan dan puan” di lautan mereka sendiri. Mereka adalah pemilik sah yang memahami setiap arus dan ombak, yang hidup selaras dengan alam laut yang kaya dan mempesona.

Selamat Membaca, Tetap berlawan!
Selamat membaca dan mari tetap berdiri tegak untuk keadilan perikanan.

Download Buku Neo – Ekstraktivisme Dan Perlawanan Masyarakat Pesisir  pada link berikut :

https://drive.google.com/file/d/1HC4FZdzTB_xh8eADrgds8XYHjmg1UM-_/view?usp=sharing

 

“Sekejap Datang, Sekejap Pergi” Siaran Pers dan Pernyataan Sikap Perempuan Nelayan Dukuh Timbulsloko Merespons Kunjungan DKP Kabupaten Demak

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

“Sekejap Datang, Sekejap Pergi”

Siaran Pers dan Pernyataan Sikap Perempuan Nelayan Dukuh Timbulsloko Merespons Kunjungan DKP Kabupaten Demak

 

Demak, 18 Maret 2025. Pada 27 Februari 2025, perwakilan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Demak berkunjung ke Dukuh Timbulsloko, Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak. Lima orang perwakilan datang menemui salah seorang perempuan nelayan pasca publikasi media yang mengangkat isu dan cerita tentang keseharian perempuan nelayan Dukuh Timbulsloko. Liputan media ini menggambarkan bagaimana upaya perempuan nelayan bertahan di tengah kondisi lingkungan yang memburuk. Dalam kunjungan DKP Demak, mereka melakukan identifikasi dan mendata 4 (orang) perempuan yang melakukan penangkapan ikan. Melalui data tersebut, DKP Demak menyampaikan rencana akan memberikan bantuan alat tangkap kepada kelompok perempuan nelayan di Dukuh Timbulsloko sebagai bentuk ‘kepedulian’ mereka terhadap perempuan nelayan.

Namun, DKP Demak akan memberikan bantuan tersebut jika keempat perempuan nelayan tersebut bergabung dengan kelompok lain untuk melakukan penyalurannya. DKP Demak berdalih bahwa perempuan yang menjadi nelayan di dalam kelompok hanya 4 (empat) orang dari total 16 orang perempuan anggota kelompok. 4 orang perempuan nelayan tersebut ‘diambil’ dan ‘akan dimasukkan’ ke kelompok lain oleh DKP Demak karena kelompok perempuan nelayan Dukuh Timbulsloko dianggap belum resmi oleh DKP Demak. Belakangan, pada 1 Maret 2025, DKP Demak mulai menghimpun kartu identitas berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) melalui perwakilan kelompok lain yang akan menjadi target penyaluran bantuan.

Menyikapi tindakan DKP Demak tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyatakan bahwa beberapa problem mendasar yang menunjukkan bahwa DKP Demak tidak hadir atau absen selama ini dalam upaya mengembangkan, memajukan, dan menyejahterakan nelayan dan masyarakat pesisir di tengah himpitan ekonomi akibat krisis iklim yang mewujud dalam perubahan-perubahan lanskap yang semakin memburuk.

“Pertama, kunjungan dan rencana pemberian bantuan kepada perempuan nelayan di Dukuh Timbulsloko menunjukkan ketidakseriusan DKP Demak dalam melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. DKP baru mau memberikan fasilitas bantuan alat tangkap kepada perempuan nelayan pasca liputan

media tentang kondisi perempuan nelayan Dukuh Timbulsloko menjadi atensi masyarakat luas. DKP Demak ibarat pemadam kebakaran yang datang ketika api berkobar dan pergi ketika api sudah padam melalui rencana pemberian jaring pengaman sosial berupa fasilitas bantuan-bantuan yang bersifat jangka pendek dan tidak menyentuh akar permasalahan yang dihadapi oleh, khususnya perempuan nelayan dan masyarakat pesisir Desa Timbulsloko pada umumnya,” tegas Susan.

Proses pengidentifikasian DKP Demak terhadap perempuan nelayan sebatas pada aktivitas penangkapan ikan untuk diberikan bantuan menunjukkan cara berpikir yang cenderung mendiskreditkan peran-peran perempuan di dalam aktivitas ekonomi rumah tangga nelayan terutama untuk nelayan skala kecil (small scale fisher) sebagai sebuah unit produksi dalam perikanan tangkap. Perempuan sebagai anggota rumah tangga nelayan kecil merupakan bagian dari unit produksi perikanan tangkap yang berperan penting dan tidak hanya sekadar membantu laki-laki dalam menjalankan kegiatan bernelayan.

Ketidakcermatan DKP Demak dalam melihat bagaimana rumah tangga nelayan berproduksi menyebabkan perempuan seolah hanya membantu lelaki untuk melakukan kegiatan perikanan tangkap. Hal ini sesungguhnya merupakan kegagalan DKP Demak dalam melihat bagaimana produksi perikanan tangkap dijalankan. Melihat bernelayan semata hanya pada saat penangkapan ikan berlangsung, menyebabkan kerja-kerja produktif perempuan dalam rumah tangga nelayan diabaikan sebagai bagian dari produksi perikanan tangkap sejak persiapan melaut, penangkapan ikan, dan pasca penangkapan ikan dilakukan.

“Kedua, perempuan nelayan memiliki peran penting dalam aktivitas ekonomi rumah tangga nelayan. Di Desa Timbulsloko, perempuan turut mempersiapkan kegiatan penangkapan ikan seperti membeli dan mempersiapkan umpan; memperbaiki alat tangkap jebak dan bubu; mencari bahan bakar untuk mesin perahu; dan menyiapkan perbekalan untuk konsumsi selama kegiatan penangkapan ikan; serta aktifitas lainnya selama persiapan. Selain memasang jebak, perempuan nelayan di Desa Timbulsloko mencari hasil laut dengan praktik begogoh yaitu memasukkan tangan kosong ke perairan tepi laut untuk meraba dan menangkap biota laut dengan hasil tangkapan berupa kerang-kerangan. Pasca penangkapan, perempuan di Desa Timbulsloko juga berperan dalam memilah dan menyortir kualitas hasil tangkapan, serta menjual hasil tangkapan. DKP Demak perlu memperhatikan peran-peran tersebut dan bukan sebatas aktivitas penangkapan ikan semata,” tambah Susan.

Setali tiga uang sebagaimana disampaikan Susan, perwakilan kelompok perempuan nelayan Timbulsloko, Laksmi juga menyampaikan bahwa perempuan dan laki-laki di dalam rumah tangga nelayan berbagi peran satu dengan yang lain dalam aktivtas penangkapan ikan. “Semua perempuan nelayan di kelompok kami memiliki alat tangkap jebak dan bubu. Ada perempuan yang melakukan aktivitas melaut sendiri, ada pula yang berbagi peran dengan laki-laki. Perempuan-perempuan nelayan yang tidak melaut biasanya mempersiapkan umpan dengan memotong ikan-ikan kecil serta membersihkan jebak yang akan digunakan,” jelas Laksmi.

Rencana DKP Demak untuk menyatukan kelompok perempuan nelayan Timbulsloko dengan kelompok lain dalam mekanisme penyaluran bantuan semakin memperjelas betapa absennya DKP Demak dalam upaya mendukung dan memajukan kelompok-kelompok rentan, dalam konteks ini adalah perempuan-perempuan nelayan Timbulsloko yang sedang memperkuat diri mereka dengan berorganisasi. DKP Demak hanya terjebak dan berkutat pada persoalan legalitas-formal dengan mempertanyakan pengukuhan kelompok oleh desa. Gagasan penyatuan tersebut seolah mengkerdirkan proses-proses panjang yang telah dilalui kelompok perempuan nelayan Timbulsloko dalam membangun dan menata keorganisasian yang sudah berjalan lebih dari satu tahun, di mana seharusnya DKP Demak hadir untuk mendampingi dan memberikan penguatan kapasitas keorganisasian.

“Kelompok kami sudah berjalan lebih dari satu tahun. Kami memiliki kegiatan pertemuan rutin satu bulan sekali, melakukan kegiatan simpan-pinjam, mengikuti kegiatan pameran, dan sedang merencanakan usaha produksi kelompok. Kami tidak mau dipersatukan dengan kelompok lain. Kalau DKP Demak mau memberi bantuan, libatkan kami secara langsung. Tidak perlu melalui perantara kelompok lain. Karena kami berkelompok, maka semua anggota dari kelompok kami juga harus merasakan manfaatnya bersama. Tidak boleh hanya sebagian saja,” tegas Laksmi.

Susan menambahkan bahwa DKP Demak seharusnya mendorong dan menjalankan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2024 tentang Penumbuhan dan Pengembangan Kelembagaan Pelaku Usaha dan Pelaku Pendukung Sektor Kelautan dan Perikanan yang bertujuan untuk meningkatkan kelembagaan pelaku usaha dan pelaku pendukung sektor kelautan dan perikanan yang kuat dan mandiri serta untuk memfasilitasi pembentukan kelembagaan pelaku usaha dan pelaku pendukung sektor kelautan dan perikanan.

“Alih-alih mempertanyakan aspek legal-formal dan memunculkan gagasan penyatuan kelompok untuk hanya sekadar menyalurkan bantuan, DKP Demak semestinya memfasilitasi dan mendukung upaya penguatan organisasi perempuan nelayan Desa Timbulsloko berdasarkan aspirasi dan gagasan yang disampaikan oleh anggota-anggota di dalamnya. Hentikan cara-cara kerja seperti ‘pemadam kebakaran’ yang datang sambil lalu hanya dengan menjanjikan bantuan-bantuan yang bersifat jangka pendek. Sudah saatnya DKP Demak melihat peran-peran perempuan di dalam aktivitas produksi rumah tangga nelayan secara lebih komprehensif. Tanpa penghormatan dan penghargaan terhadap peran-peran perempuan, baik sebagai bagian dari unit produksi rumah tangga nelayan maupun bagian dari upaya-upaya yang sedang dibangun secara berkelompok hanya akan melahirkan kebijakan dan program yang bermuara pada ketidakadilan,” tambah Susan.

Berdasarkan uraian di atas KIARA bersama kelompok perempuan nelayan Desa Timbulsloko menyatakan sikap:

  • Kami, kelompok perempuan nelayan Timbulsloko adalah organisasi yang berdiri sendiri dan merupakan bagian dari Forum Masyarakat Timbulsloko yang memiliki visi perjuangan yang sama untuk memajukan dan menyejahterakan penghidupan masyarakat Timbulsloko.
  • Kami, kelompok perempuan nelayan Timbulsloko tidak akan menerima bantuan dari DKP Demak yang hanya menyasar sebagian diantara kami yang mana tidak bisa dirasakan manfaatnya secara berkelompok.
  • Kami, kelompok perempuan nelayam Timbulsloko menolak untuk dipersatukan oleh DKP Demak dengan kelompok lain sebagai mekanisme penyaluran bantuan yang kelak dapat mengganggu keberangsungan organisasi kami.
  • Kami, perempuan nelayan Timbulsloko menuntut kepada DKP Demak untuk mengembalikan dokumen identitas berupa KTP dan KK, serta melarang DKP untuk mempergunakan dokumen tersebut untuk kepentingan DKP Demak sendiri.

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

Siaran Pers Bersama Kelompok Pengelola Sumber Daya Alam (KELOLA) Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan Tolak Reklamasi

Siaran Pers Bersama
Kelompok Pengelola Sumber Daya Alam (KELOLA)
Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan Tolak Reklamasi

Manado, 05 Maret 2025 – Pasca semakin masifnya informasi tentang rencana reklamasi pantai publik terakhir di pesisir Manado Utara, masyarakat pesisir Manado Utara semakin mengkhawatirkan keberlanjutan ekosistem esensial di laut dan juga keberlanjutan profesi nelayan tradisional dan kecil yang ada di wilayah tersebut. Rencana reklamasi tersebut akan meliputi 5 pesisir kelurahan di Kecamatan Tuminting, yaitu pesisir Sindulang Satu, Sindulang Dua, Bitung Karang Ria, Maasing, dan Tumumpa Dua.

Salah satu kelompok yang peduli terhadap ekosistem esensial di laut Manado yaitu Manado Scientific Exploration Team, telah melakukan penelitian di Teluk Manado. Penelitian tersebut di-launching/dikeluarkan dengan judul Laporan Khusus tentang Isu Rencana Penciptaan Lahan di Pesisir Utara Teluk Manado. Sejak tahun 2019, Manado Scientific Exploration Team (MSET) telah melakukan kegiatan eksplorasi kondisi oseanografi dan terumbu karang di sepanjang wilayah pantai Teluk Manado termasuk tepian kawasan pantai yang sudah direklamasi.

Berkaitan dengan rencana reklamasi di Teluk Manado yang berlokasi di sepanjang pesisir pantai Kelurahan Maasing hingga Tumumpa, reklamasi di dilokasi tersebut sangat kontroversial karena beberapa faktor: 1) Areal reklamasi merupakan wilayah pantai tersisa di Teluk Manado; 2) Areal reklamasi berbatasan sangat dekat dengan kawasan konservasi Taman Nasional Bunaken; 3) Kawasan reklamasi mencakup wilayah yang luas (sekitar 90 Ha); 4) Sepanjang kawasan reklamasi terdapat masyarakat nelayan dan pesisir yang memiliki karakteristik budaya bahari yang kental dan ketergantungan ekonomi pada sumber daya pantai; 5) Pantai di kawasan reklamasi memiliki ciri fisik, biologis, dan ekologis yang spesifik; 6) Sebagian wilayah pemukiman dekat pantai di kawasan reklamasi merupakan wilayah potensial terdampak bencana banjir.

Dari hasil pengamatan MSET, karang yang ditemukan adalah karang dengan bentuk pertumbuhan massive. Karang ini ditemukan pada hari kedua di samping jetty kelurahan Tumumpa yang terdapat di kedalaman 1 meter saat surut terendah, dengan tipe substrat dasar perairan berpasir. Karang tersebut merupakan salah satu yang mudah ditemukan, bentuknya seperti bongkahan batu dan memiliki permukaan berongga. Jarak antara titik awal snorkling hingga sampai ke lokasi karang berjarak 50 meter. Substrat dasar perairan di sekitar lokasi pengambilan data adalah berpasir. Organisme yang ditemukan selain karang berupa moluska, alga, dan ikan karang.

Dalam konteks ekologis, kawasan pantai Manado Bagian Utara tersebut merupakan tempat hidup terakhir spesies-spesies ikan pantai atau ikan neritik Teluk Manado yang sebelumnya banyak ditemukan di sepanjang pantai berpasir perairan dangkal antara muara Sungai Malalayang hingga muara Sungai Tondano yang telah diubah menjadi daratan. Bahkan, terdapat alat tangkap tradisional soma dampar atau jaring tarik pantai yang masih beroperasi di wilayah pantai Manado Utara menjadi bukti keberadaan spesies-spesies ikan tersebut.

Di perairan pantai Manado Bagian Utara tersebut juga terdapat larva, postlarva, dan juvenile ikan nike (Gobiidae) yang bersifat amfidromus dapat berada di pantai ini sebelum masuk ke Sungai Tondano. Hal tersebut karena karakteristik perairan campuran antara air laut dan air tawar menjadikan pantai ini sangat unik. Sedangkan Sedangkan dalam konteks oseanografi, Pantai ini merupakan tipe pantai konstruksional (sedimented coast). Jika pantai ini hilang akibat ditimbun, maka sedimen yang berasal dari dua mulut sungai besar (Sungai Tondano dan S. Bailang) akan menjauh ke arah laut. Pada situasi selanjutnya, dampak terhadap wilayah sekitar terutama kawasan konservasi Taman Nasional Bunaken menjadi hal yang tidak terelakan. Sehingga pantai ini berperan sangat pentingterkait sistem hidrologi di wilayah pesisir setempat. Sejak pembangunan Jl. Boulevard II fungsi ini telah jauh berkurang sehingga kawasan pemukiman yang rendah menjadi mudah tergenang air saat hujan. Kehadiran konstruksi lahan reklamasi akan memperburuk fungsi hidrologi yang akan berakibat potensi banjir yang lebih serius. Jikapun dibuat jarak antara batas jalan dan tanah timbunan lahan reklamasi tidak akan signifikan mengurangi gangguan hidrologi yang akan terjadi. Dalam konteks sosial, perairan laut dan pesisir pantai Manado Utara merupakan hunian komunitas bahari Orang Manarou atau Suku Babontehu dengan kesatuan adat-istiadatnya, dan tercatat dalam literatur sebagai suku pertama penutur Bahasa Melayu Manado. Selain komunitas tersebut, juga terdapat komunitas lokal masyarakat pesisir lainnya yang menghuni, mengelola dan memanfaatkan kesatuan ekosistem darat dan laut yang ada di pesisir Teluk Manado dan Manado Utara. Masyarakat menyambut baik hasil kajian tersebut. Masyarakat bahkan memvalidasi hasil kajian MSET dan menambahkan bahwa dilokasi tersebut merupakan ruang tangkap nelayan tradisional dan ruang yang akan direklamasi tersebut adalah sumber utama pendapatan nelayan tradisional. “Di laut kelurahan kami tersebut terdapat berbagai jenis ikan yang menjadi tangkapan utama kami. Itu menandakan kalau diperairan laut kelurahan kami tersebut masih ada terumbu karang yang hidup,” jelas Roy Runruwene, yang berprofesi sebagai nelayan tradisonal. Dari pemaparan tersebut, telah jelas bahwa reklamasi di Teluk Manado yang berlokasi di sepanjang pesisir pantai Kelurahan Maasing hingga Tumumpa akan berdampak terhadap perekonomian dan keberlanjutan nelayan yang hidup di wilayah pesisir tersebut. Sedangkan dalam konteks ekologi, akan berdampak terhadap keberlanjutan terumbu karang serta biota lainnya yang hidup di wilayah perairan laut tersebut.

Catatan Akhir Tahun 2019 “MENAKAR KEKECEWAAN MENALAR KESEJAHTERAAN” Kekecewaan Masyarakat Bahari Pada Kinerja Buruk Sektor Kelautan dan Perikanan Indonesia

Dalam pidatonya Presiden Jokowi telah menyebutkan ‘Undang-undang yang menyulitkan rakyat harus kita bongkar’. Tetapi di dalam praktiknya, dia seringkali mengeluarkan kebijakan yang menyulitkan bahkan meminggirkan masyarakat pesisir dari ruang hidup mereka.
Dalam satu tahun terakhir (2019) kinerja Pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi perlu diketahui oleh publik luas, khususnya yang terkait dengan pengaturan sumber daya kelautan, perikanan, pesisir, dan pulau-pulau kecil yang menjadi ruang hidup masyarakat pesisir. Apalagi Jokowi memiliki agenda besar untuk membangun Indonesia sebagai poros maritim dunia. Ironinya, poros maritim dunia diartikulasi menjadi model perampasan ruang hidup baru. Sampai saat ini masyarakat tak pernah tahu sejauh mana capaian poros maritim dunia yang pernah menjadi janji Jokowi pada tahun 2014 lalu. Dalam hal kebijakan pengaturan sumber daya kelautan, perikanan, pesisir, dan pulau-pulau kecil, kinerja Jokowi patut dipertanyakan karena tidak berpihak terhadap masyarakat pesisir, khususnya nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, pelestari ekosistem pesisir, dan masyarakat adat pesisir.

KIARA bersama masyarakat pesisir lainnya menuntut Presiden Jokowi untuk membongkar aturan- aturan yang meminggirkan kehidupan mereka, khususnya PP No. 32 tahun 2019. Pusat Data dan Informasi KIARA juga mencatat, pada tanggal 6 Mei 2019 lalu Presiden Jokowi telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 32 Tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Laut. Tujuan disusunnya PP ini untuk mengakomodasi kepentingan pembangunan infrastruktur skala besar dalam tata ruang laut nasional. Sementara itu aspek keberlanjutan lingkungan dan ruang hidup masyarakat pesisir diletakkan setelah kepentingan infrastruktur. Di dalam PP ini, khususnya Pasal 21 Ayat 4 disebutkan: Rencana pola ruang laut wilayah perairan dilaksanakan berdasarkan prinsip skala prioritas arahan pemanfaatan ruang laut dengan urutan kepentingan:
a. kedaulatan wilayah dan pertahanan dan keamanan negara;
b. keselamatan di laut;
c. infrastruktur strategis dan/atau kegiatan yang bernilai strategis nasional;
d. pelindungan lingkungan laut;
e. ruang penghidupan nelayan kecil, nelayan tradisional, dan pembudi daya ikan kecil.
Perlindungan lingkungan laut dan ruang penghidupan nelayan kecil, nelayan tradisional, dan pembudi daya ikan kecil, diletakkan setelah kepentingan infrastruktur strategis dan/atau kegiatan yang bernilai strategis nasional. PP ini jelas-jelas tidak memihak kepada kepentingan masyarakat.

Dalam Pidato Kenegaraan yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, di Kompleks Parlemen Jakarta, pada Jum’at (16/08/2019), Presiden Jokowi
seharusnya tak hanya terkait dengan hal-hal makro, tetapi juga harus menyampaikan kinerjanya yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Sangat disayangkan, pidato kenegaraan ini hanya membahas persoalanpersoalan makro. Namun minus pembahasan terkait kebijakan yang terkait langsung dengan masyarakat. Kekecewaan masyarakat bahari pada kebijakan bahari Jokowi patut diajukan sebagai respon konstruktif bagi upaya kritis memajukan kesejahteraan nelayan Indonesia. Beberapa point kritik oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) sebagai respon politik kebijakan telah dialamatkan. Dalam catatan tahunan ini kami meringkas beberapa kritik kebijakan tersebut.

 

 

Download CATAHU 2019 pada link berikut :

KIARA – CATAHU 2019

Catatan Akhir Tahun 2018 “PROYEKSI KELAUTAN DAN PERIKANAN 2019 TAHUN PERAMPASAN DAN PEMISKINAN MASYARAKAT BAHARI INDONESIA”

Tahun 2018, produksi perikanan dunia mencapai 170.9 juta ton yang terdiri dari 90.9 juta ton dari perikanan tangkap dan 80.0 juta ton dari perikanan budidaya. Sebelumnya, di tahun 2016 total produksi perikanan dunia hanya mencapai 167.2 juta ton, terdiri dari 93.4 juta ton perikanan tangkap dan 73.8 juta ton perikanan budidaya. Artinya dalam rentang waktu 2 tahun terjadi peningkatan produksi lebih dari 3 juta ton.
Namun, yang menjadi catatan adalah produksi perikanan tangkap mengalami penurunan lebih dari 3 juta ton, sedangkan perikanan budidaya mengalami peningkatan lebih dari 7 juta ton.
Dengan total populasi dunia saat ini sebanyak 7,4 milar jiwa, sektor perikanan tetap menempati
sektor yang sangat strategis. Setidaknya 151,2 juta ton produksi perikanan telah dikonsumsi oleh masyarakat dunia. Adapun konsumsi rata-rata perikanan dunia tercatat sebanyak 20 kg/kapita/tahun. Sementara itu, sebanyak 19,7 juta ton produksi perikanan digunakan untuk kebutuhan non-konsumsi manusia atau untuk kepentingan konsumsi hewan dan lain sebagainya. Data ini menunjukkan bahwa ikan tidak hanya dibutuhkan oleh manusia, tetapi juga hewan sangat membutuhkannya.

Sebagai bagian penting dari masyarakat perikanan dunia, Indonesia memiliki peran penting, karena merupakan produsen perikanan terbesar dengan produksi perikanan tangkap sebanyak 6,109,783 ton. Angka produksi perikanan ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yang tercatat sebanyak 6.016.525 ton. Peningkatan produksi perikanan tangkap tercatat sebanyak 93,258 ton dari tahun sebelumnya. Dalam konteks perikanan budidaya, Indonesia berhasil memproduksi 4.950.000 ton perikanan budidaya. Angka ini mengalami
peningkatan dari sebelumnya yang hanya mencapai 4.343.000 ton. Di dalam logika dagang, tingginya produksi perikanan Indonesia seharusnya memberikan manfaat secara ekonomi bagi 8.077.719 rumah tangga perikanan (nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan petambak garam, pelestari ekosistem pesisir, dan masyarakat adat
pesisir) yang hidup di 12.827 desa pesisir di Indonesia. Namun faktanya, sampai saat ini, setelah empat tahun berlalu (2014-2018) Pemerintahan Jokowi-JK, kehidupan mereka masih jauh dari kata layak karena masih
harus bergulat untuk memenuhi kebutuhan dasar. Selain itu, rumah tangga perikanan atau masyarakat pesisir di Indonesia harus terus menghadapi sejumlah tantangan pembangunan yang tidak berpihak terhadap kehidupan mereka. Diantara tantangan pembangunan yang tidak berpihak kepada masyarakat pesisir adalah perampasan ruang
laut yang massif terjadi di seluruh Indonesia.

Sepanjang tahun 2018, KIARA merekam dinamika isu kelautan dan perikanan yang diwarnai dengan kian jauhnya akses nelayan untuk hidup berdaulat, mandiri dan sejahtera akibat ketidakberpihakan pemerintah dalam penyusunan kebijakan pengelolaan kelautan dan perikanan. Kondisi ini diperburuk dengan tidak adanya kesungguhan pemerintah untuk melibatkan nelayan dalam perumusan kebijakan.
Pada akhirnya nelayan terpasung hak-hak konstitusionalnya melalui kebijakan negara yang kontraproduktif seperti reklamasi, tambang di pesisir dan pulau-pulau kecil, kriminalisasi serta kekerasan terhadap nelayan dan perempuan nelayan, praktik perampasan ruang hidup nelayan melalui konservasi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan,
dan minimnya perlindungan dan pemberdayaan untuk masyarakat bahari di Indonesia.

Di awal tahun 2019, KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) menyampaikan Temuan Kelautan dan Perikanan sebagai evaluasi dan proyeksi bagi negeri bahari dalam menjalankan mandatnya sebagai negeri bahari. Catatan ini berangkat dari analisa kebijakan KIARA sepanjang tahun 2018 di tengah mimpi bersama untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Catatan ini dihimpun dengan tujuan untuk memberikan pandangan, kontrol, koreksi, dan perbaikan bagi kualitas kebijakan publik bagi pemerintah yang ditujukan untuk kehidupan masyarakat pesisir di seluruh Indonesia.

 

Download CATAHU 2018 pada link berikut :

KIARA – CATAHU 2018

 

Tidak Ada Aktor Intelektual Pelaku Pagar Laut yang diungkap KKP, KIARA: Bukti Ketidakseriusan Menteri Kelautan dan Perikanan dalam Mengungkap Pelaku Utama Pemagaran Laut

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Tidak Ada Aktor Intelektual Pelaku Pagar Laut yang diungkap KKP,  KIARA: Bukti Ketidakseriusan Menteri Kelautan dan Perikanan dalam Mengungkap Pelaku Utama Pemagaran Laut

 

Jakarta, 4 Maret 2025 – Komisi IV DPR RI telah melaksanakan rapat kerja dengan Menteri Kelautan dan Perikanan beserta jajarannya pada tanggal 26 Februari 2025. Salah satu fokus utama dalam rapat kerja tersebut adalah membahas hasil investigasi KKP terkait pemagaran laut. Berkaitan dengan pagar laut, Menteri Kelautan dan Perikanan menyebutkan bahwa saat ini telah ditetapkan 2 pelaku yang selaku penanggung jawab yang telah ditindak oleh kepolisian bersama KKP.

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA – Susan Herawati – menyatakan bahwa hingga sampai akhir Februari 2025, Menteri Kelautan dan Perikanan belum mengeluarkan hasil investigasi apapun yang berkaitan dengan pemagaran laut serta pelaku utamanya. Adapun yang disampaikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan adalah Kades dan aparat desa Kohod yang menjadi pelaku selaku yang bertanggung jawab atas pagar laut tersebut. “Apakah Menteri Kelautan dan Perikanan tidak mengetahui bahwa Bareskrim Polri telah menahan 4 orang tersangka yaitu Kepala Desa Kohod, Sekretaris Desa Kohod beserta 2 penerima kuasa atas unsur pelanggaran pidana berupa pemalsuan warkah yang dipakai untuk mengurus SHGB dan SHM. Dugaan tindak pidana ini melanggar Pasal 263 KUHP, Pasal 264 KUHP, Pasal 266 KUHP, serta Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dugaan dan delik tersebut secara jelas bukan karena pemagaran laut,” tegas Susan.

KIARA menilai bahwa untuk melihat aktor/pelaku utama dari kejahatan pemagaran laut sepanjang 30,16 km adalah mencari pihak yang paling diuntungkan dengan adanya pemagaran laut tersebut. Pengungkapan pelaku utama yang paling diuntungkan dengan berjalannya pagar laut ini yang seharusnya menjadi fokus utama KKP dalam investigasinya. Sehingga berdasarkan teori subjektivitas, aktor utama pelaku pemagaran laut yang seharusnya menjadi target utama yang harus diungkap, dan tidak hanya menyasar pada aktor yang turut serta melakukan maupun aktor yang membantu melakukan pemagaran laut tersebut.

Yang perlu dipertegas kembali adalah bahwa pemagaran laut ini memiliki panjang ±30,16 km yang terdapat di 16 desa di 6 kecamatan Kabupaten Tangerang. Sehingga, bukan hanya di Desa Kohod saja pagar laut tersebut berada. Akan tetapi, dari pemaparan Menteri Kelautan dan Perikanan di Raker dengan Komisi IV DPR RI, hanya menyasar peristiwa hukum pemagaran laut di Desa Kohod. Hal ini berkonsekuensi dengan penindakan hukum secara administrasi yang hanya menyasar terduga pelaku yaitu Kepala Desa Kohod, yang menurut kami hanya salah satu aktor pemerintah desa yang memuluskan proyek pemagaran laut tersebut,” jelas Susan.

KIARA mencatat bahwa: pertama, pemagaran laut jelas telah berdampak secara ekologi, dan juga merugikan perekonomian nelayan kecil dan tradisional karena mengganggu aktivitas melaut, bahkan hasil tangkapan yang jauh berkurang karena adanya pagar laut di perairan 16 desa tersebut. Bahkan pemagaran laut ini juga telah merugikan keuangan negara dalam konteks pembongkaran pagar laut sepanjang 30,16 km tersebut.

Kedua, dalam mengungkap pelaku pemagaran laut ini, bukan hanya berujung pada pengungkapan Kepala Desa Kohod dan Sekretaris Desa Kohod sebagai pihak yang dianggap pelaku utama pemagaran laut sepanjang 30,16 km. Hasil pemeriksaan Menteri Kelautan dan Perikanan yang menyebutkan penetapan Kepala Desa Kohod dan Sekretaris Desa Kohod serta 2 orang lainnya sebagai penanggung jawab pemagaran laut di Kabupaten Tanggerang adalah suatu kekeliruan dan bentuk ketidakseriusan Menteri Kelautan dan Perikanan dalam mengungkap pelaku utama/intelektual dan hanya menyasar pada aktor/pelaku lapangan.

Ketiga, Menteri Kelautan dan Perikanan menyebutkan bahwa Kepala Desa Kohod sebagai pelaku pemagaran laut bersedia membayar seluruh denda administratif sebesar 48 miliar rupiah. Akan tetapi, pengacara Kepala Desa Kohod membantah telah menyetujui bersedia denda tersebut. Bahkan mereka belum menerima pemberitahuan resminya dan denda Rp 48 miliar yang ditimpakan kepada kliennya adalah hitung-hitungan ngaco sebagaimana dikutip dari Tempo. KIARA melihat bahwa pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut adalah suatu bentuk dugaan pembohongan publik, dan dugaan bentuk penyembunyian pelaku utama pemagaran laut tersebut.

Keempat, Menteri Kelautan dan Perikanan hingga saat ini juga belum membuka hasil investigasi yang telah dilakukan oleh KKP secara transparan kepada Publik. Publik berhak mengetahui seluruh aktor yang terlibat dalam pemagaran laut ini, mulai dari aktor intelektualnya, pelaku perantara/penghubung aktor intelektual dengan aktor lapangan, yang sesuai dengan tupoksi Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ketidaktranspanan dan ketidaktegasan Menteri Kelautan dan Perikanan dalam mengungkap pelaku utama pemagaran laut ini patut menjadi perhatian publik bahwa ada dugaan ketidakseriusan Menteri Kelautan dan Perikanan dan dugaan kesengajaan/pembiaran yang dilakukan Menteri Kelautan dan Perikanan sehingga pelaku utama pemagaran laut ini tidak akan diungkap.

Kelima, penahanan Kepala Desa Kohod, Sekretaris Desa Kohod beserta 2 penerima kuasa adalah atas unsur pelanggaran pidana berupa pemalsuan warkah yang dipakai untuk mengurus SHGB dan SHM. Dugaan tindak pidana ini melanggar Pasal 263 KUHP, Pasal 264 KUHP, Pasal 266 KUHP, serta Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Sehingga telah jelas bahwa dugaan dan delik tersebut secara jelas bukan karena pemagaran laut. Atas hal tersebut, KKP seharusnya serius dan transparan dalam mengungkap pelaku/aktor utama pemagaran laut yang terjadi sepanjang ±30,16 km yang terdapat di 16 desa di 6 kecamatan Kabupaten Tangerang.

Hal lainnya yang menjadi perhatian KIARA adalah bahwa Menteri Kelautan dan Perikanan dalam rapat kerja bersama Komisi IV DPR RI menyebutkan bahwa 5 kebijakan ekonomi biru KKP kelihatannya berfokus pada ekologi, akan tetapi dibaliknya adalah untuk pendapatan ekonomi. Menteri Kelautan dan Perikanan menyebutkan bahwa PNBP terbesar adalah ruang laut. Dalam kasus pagar laut, reklamasi, pembangunan hotel resort dipulau yg ga ada izin udah dilakukan penghentian dan yg bersangkutan kemudian membayar denda administrasi dan. Hal ini juga telah jelas dan terang terlihat dari tindakan KKP yang memberikan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) untuk berbagai korporasi memanfaatkan ruang laut untuk berbagai kepentingan seperti reklamasi, pembangunan resort dan lain sebagainya. Dari pernyataan tersebut, telah jelas bahwa prioritas Menteri Kelautan dan Perikanan adalah pada peningkatan PNBP dari korporasi, bukan pada tapi perlindungan profesi nelayan kecil dan tradisional serta keberlanjutan ekosistem wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil!” pungkas Susan Herawati. (*)

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502