Dulu Pengupas Kerang Kini Pemulung

Cangkangkerang itu masih tampak berserakan disepanjang jalan menuju rumahHabibah do kampong Marunda Kepu, Cilincing, Jakarta Utara. Memang itu bukan kulit kerang barumelainkan kulit kerang beberapa bulan lalu. Kini, kulit kerang itu menjadi saksi bisubahwaaktivitas mengupas kerangsempat pernah menjadi pekerjaanpara ibu-ibu nelayan di kampung itu.

Siang itu, 18 April 2011. Habibah baru bangun dari tidur siangnya. Kini ia punya aktivitas baru. Sudah tigahari ini, enamjaring tancap yang dipasangsuaminya tidak menghasilkan apapun. Udang rebon atau jenis ikan lautapapunsama sekali tidak terjaring. Yang ia dapatjustru tumpukan plastik dan sampahindustri. “Apes,kalau sudah begitu,” kata Habibah lirih.

Ibu limaanak ini biasa kerja lebih dari 15 jam sehari. Aktifitasnya sudah dimulai sejak pagi buta, ketika semua orang masih terlelap. Gobang, sang suami,juga sudah keluar rumah sejak pukul 03.00. Ia tidak melaut. Maklum, sudah beberapa tahun ini Gobang tidak punya perahu lagi. Yang dilakukan saat inihanyalah menyuduh alias mencari udang rebon dengan menggunakan serok menyusuri sepanjang pinggir laut utara Jakarta.

Jika mentari sudah mulai keluar dari ufuk timur, pencarian dihentikan. Jaring tancap mulai diambil,berharap ada ikan yang nyangkut. Selanjutnya, hasil tangkapan dijual ke tempat pelelangan ikan (TPI) Cilincing, sekitar limakilometerdari rumahnya. Kadang tangkapannyadijajajakandengan cara berkeliling. “Kalau benar-benar butuh uang, terpaksa dijual beberapa bagian saja,” kata Habibah.

Sementara, udang rebonhasil tangkapan suami, jika masih tersisa dari pasar, akan dibawa pulang. Udang rebon sisa jualan itu bukan untuk dikonsumsi sendiri, melainkan akan diolah lagi menjadi trasi. Trasi udang buatan Habibah inisempat menjadi rebutan di pasar pada era 1980-an. Dulu, dalam seminggu, puluhan kilogramtrasi bisa ia dihasilkan. Begitu juga dengan kerang hasil tangkapan di laut. Begitu melimpah. Namun ini berlangsung hingga sekitar tahun 2000. Lalu, semua itu kini tinggal kenangan. Selama duatahun terakhir, masa keemasannya tak lagi tersisa.

“Sudah beberapa hari ini, tangkapan tidak bagus,” kata Habibah. Entah kemana larinya ikan, rebon dan yang lainnya. Biasanya, April adalah mulai datang musimAngin Timur,yang menjadimasa panen para nelayan. Tapi, hingga bulan April, Angin Barat masih saja ada. Angin Timur tak kunjung datang.

Musimikan berkumpulsudah hilang. Intensitas hujan yang tidak beraturan turut berpengaruh terhadap suhu air laut. Akibatnya, kehidupan di bawah laut juga ikut terpengaruh. Ikan yang biasanya betah menjadi tidak betah. “Itu mempengaruhi kebiasaan ekosistem laut, dan kebiasaan nelayan,” kata Tiarom, nelayan Marunda yang sudah sebulan terakhir hanya mendapatkan tangkapan ikan taklebih dari 10 kg.

Karena penghasilan merosot, Habibah sangat mengkhawatirkan nasib anak bungsunya yang masih duduk di kelas duasekolah dasar (SD). Jika pagi hari ia tidak mempunyai uang Rp 10 ribu, maka si bungsu tidak bisa berangkat sekolah. Tak ada ongkos. “Hari ini tadi tidak sekolah lagi,”katanya.

Anak keempatnya, Faisal, sempat merasakan hal serupa. Iasempatmengenyam pendidikan hingga kelas 5 SD. Hingga saat ini, Faisal masih belum bisa melanjutkan pendidikan. Jangankan memenuhi biaya pendidikan sang anak, untuk urusan dapur saja belum sepenuhnya tercukupi. Setiap hari, keluarga Habibah hanya mampu menghasilkan rata-rata hanya Rp 30 ribu dari hasil tangkapan di laut. Sementara, total kebutuhan minimal untuk menyuapi tujuh anggota keluarganya adalah Rp 50 ribuper hari.

Ini belum termasuk kebutuhan membeli air bersih.  Kondisi air di teluk Jakartasudah tidak layak dikonsumsi. Keluarga Habibah harusmembeli air PAMseharga Rp 1.500 per jirigen. Dalam sehari, keluarganya dibutuhkan sekitar 8 jirigen. “Saya bilang, kalau mandi harus diirit. Kalau nyuci,lebih baik di kali. Karena, air memamg lagi sulit sekarang,” kata Habibah.

Terpaksa Memulung

Penghasilan nelayan makin merosot sejak pembangunan protek Banjir Kanal Timur (BKT) Dermaga tempat berlabuh nelayan telah digusur proyek BKT. Perahu nelayan yang biasa berlabuh di dermaga itukini kesulitan mencari tempat berlabuh.

Bahkan, BKT mengirimi sampah dari tengah kota ke pantai. Sampah menjadi “tangkapan” baru nelayan Cilincing.“Kalau kali dibuka itu kan sampah pada keluar semua. Dan ibu-ibu pada banyak berhamburan keluar rumah,” kata Habibah.

Para perempuanyang profesinya berjualan ikan keliiling, kinimembawa karungan sampah di atas sepedanya usai jualan. Sampah itu merekapungut dijalan sambil berjualan. Hasil pulungan sampa, dijualRp 1.500 per kilogramnya. Sehari, paling tidak hanya dapat 2 kilogram. “Pernah sehari dapat empatkarung, lupa berapa kilongya. Setelah dijual cuma dihargai Rp 20 ribu,” kata Habibah sambil melirik Gobang, yang duduk disampingnya.

Jika sampah memang sedikit didapat, Habibah berendam ke laut. Ia akan mencarikontai (kerang kecil). “Nanti pulangnya digotong berduaan sama bapak. Kadang dapat 20 kg, dijual sekitar Rp 30 ribu. Kalau kosong terus, ya cari kontai itu. Berendam sampai segini,” kata Habibah sambil memegang lehernya.

Beban Ganda

Melaut adalah gantungan hidup satu-satunya bagi keluarganelayan. Sementara, ombak di laut makin terus tidak bersahabat. Nekat melaut nyawa taruhannya, tidak melaut berarti keluargatidak makan.

Perahu nelayan rata-rata hanya mampu menempuh jarak maksimal duamilbdari bibir pantai. Sementara, bibir pantai sudah tergerus reklamasi. Nelayan budidaya ikan kehilangan lahan. Air laut makin tercemar sampai radius dua mil dari bibir pantai.

Ikan-ikan semakin ke tengah laut.  Dan jika nelayan memaksakanberlayarke tengah, maka resiko semakin besar. Ombak besarbisa membalikkan perahu mungil mereka. “Kalau sudah begini, ya pasrah saja. Makanya, mulai muncul pekerjaan alternatif para ibu-ibu,” kata Tiarom, ketika ditemui di perahunya.

Menurut hasilpenelitian Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), perempuan di pesisir utara Jakartabekerja  lebih dari15 jam dalam sehari sejak 2 tahun terakhir. Menurutstudi tersebut,48% pendapatan nelayan dihasilkan dari aktifitas ekonomi perempuan nelayan. “Dan beban perempuan nelayan memang lebih besar,” kata Abdul Halim, Koordinator program Kiara dalam orasinya di  depan Istana Negara beberapa pekan lalu.

Apa boleh buat. Bumi makin panas. Sampah makin membanjiri laut. Nelayan yang menjadi korban.

Dulu Pengupas Kerang Kini Pemulung

Cangkangkerang itu masih tampak berserakan disepanjang jalan menuju rumahHabibah do kampong Marunda Kepu, Cilincing, Jakarta Utara. Memang itu bukan kulit kerang barumelainkan kulit kerang beberapa bulan lalu. Kini, kulit kerang itu menjadi saksi bisubahwaaktivitas mengupas kerangsempat pernah menjadi pekerjaanpara ibu-ibu nelayan di kampung itu.

Siang itu, 18 April 2011. Habibah baru bangun dari tidur siangnya. Kini ia punya aktivitas baru. Sudah tigahari ini, enamjaring tancap yang dipasangsuaminya tidak menghasilkan apapun. Udang rebon atau jenis ikan lautapapunsama sekali tidak terjaring. Yang ia dapatjustru tumpukan plastik dan sampahindustri. “Apes,kalau sudah begitu,” kata Habibah lirih.

Ibu limaanak ini biasa kerja lebih dari 15 jam sehari. Aktifitasnya sudah dimulai sejak pagi buta, ketika semua orang masih terlelap. Gobang, sang suami,juga sudah keluar rumah sejak pukul 03.00. Ia tidak melaut. Maklum, sudah beberapa tahun ini Gobang tidak punya perahu lagi. Yang dilakukan saat inihanyalah menyuduh alias mencari udang rebon dengan menggunakan serok menyusuri sepanjang pinggir laut utara Jakarta.

Jika mentari sudah mulai keluar dari ufuk timur, pencarian dihentikan. Jaring tancap mulai diambil,berharap ada ikan yang nyangkut. Selanjutnya, hasil tangkapan dijual ke tempat pelelangan ikan (TPI) Cilincing, sekitar limakilometerdari rumahnya. Kadang tangkapannyadijajajakandengan cara berkeliling. “Kalau benar-benar butuh uang, terpaksa dijual beberapa bagian saja,” kata Habibah.

Sementara, udang rebonhasil tangkapan suami, jika masih tersisa dari pasar, akan dibawa pulang. Udang rebon sisa jualan itu bukan untuk dikonsumsi sendiri, melainkan akan diolah lagi menjadi trasi. Trasi udang buatan Habibah inisempat menjadi rebutan di pasar pada era 1980-an. Dulu, dalam seminggu, puluhan kilogramtrasi bisa ia dihasilkan. Begitu juga dengan kerang hasil tangkapan di laut. Begitu melimpah. Namun ini berlangsung hingga sekitar tahun 2000. Lalu, semua itu kini tinggal kenangan. Selama duatahun terakhir, masa keemasannya tak lagi tersisa.

“Sudah beberapa hari ini, tangkapan tidak bagus,” kata Habibah. Entah kemana larinya ikan, rebon dan yang lainnya. Biasanya, April adalah mulai datang musimAngin Timur,yang menjadimasa panen para nelayan. Tapi, hingga bulan April, Angin Barat masih saja ada. Angin Timur tak kunjung datang.

Musimikan berkumpulsudah hilang. Intensitas hujan yang tidak beraturan turut berpengaruh terhadap suhu air laut. Akibatnya, kehidupan di bawah laut juga ikut terpengaruh. Ikan yang biasanya betah menjadi tidak betah. “Itu mempengaruhi kebiasaan ekosistem laut, dan kebiasaan nelayan,” kata Tiarom, nelayan Marunda yang sudah sebulan terakhir hanya mendapatkan tangkapan ikan taklebih dari 10 kg.

Karena penghasilan merosot, Habibah sangat mengkhawatirkan nasib anak bungsunya yang masih duduk di kelas duasekolah dasar (SD). Jika pagi hari ia tidak mempunyai uang Rp 10 ribu, maka si bungsu tidak bisa berangkat sekolah. Tak ada ongkos. “Hari ini tadi tidak sekolah lagi,”katanya.

Anak keempatnya, Faisal, sempat merasakan hal serupa. Iasempatmengenyam pendidikan hingga kelas 5 SD. Hingga saat ini, Faisal masih belum bisa melanjutkan pendidikan. Jangankan memenuhi biaya pendidikan sang anak, untuk urusan dapur saja belum sepenuhnya tercukupi. Setiap hari, keluarga Habibah hanya mampu menghasilkan rata-rata hanya Rp 30 ribu dari hasil tangkapan di laut. Sementara, total kebutuhan minimal untuk menyuapi tujuh anggota keluarganya adalah Rp 50 ribuper hari.

Ini belum termasuk kebutuhan membeli air bersih.  Kondisi air di teluk Jakartasudah tidak layak dikonsumsi. Keluarga Habibah harusmembeli air PAMseharga Rp 1.500 per jirigen. Dalam sehari, keluarganya dibutuhkan sekitar 8 jirigen. “Saya bilang, kalau mandi harus diirit. Kalau nyuci,lebih baik di kali. Karena, air memamg lagi sulit sekarang,” kata Habibah.

Terpaksa Memulung

Penghasilan nelayan makin merosot sejak pembangunan protek Banjir Kanal Timur (BKT) Dermaga tempat berlabuh nelayan telah digusur proyek BKT. Perahu nelayan yang biasa berlabuh di dermaga itukini kesulitan mencari tempat berlabuh.

Bahkan, BKT mengirimi sampah dari tengah kota ke pantai. Sampah menjadi “tangkapan” baru nelayan Cilincing.“Kalau kali dibuka itu kan sampah pada keluar semua. Dan ibu-ibu pada banyak berhamburan keluar rumah,” kata Habibah.

Para perempuanyang profesinya berjualan ikan keliiling, kinimembawa karungan sampah di atas sepedanya usai jualan. Sampah itu merekapungut dijalan sambil berjualan. Hasil pulungan sampa, dijualRp 1.500 per kilogramnya. Sehari, paling tidak hanya dapat 2 kilogram. “Pernah sehari dapat empatkarung, lupa berapa kilongya. Setelah dijual cuma dihargai Rp 20 ribu,” kata Habibah sambil melirik Gobang, yang duduk disampingnya.

Jika sampah memang sedikit didapat, Habibah berendam ke laut. Ia akan mencarikontai (kerang kecil). “Nanti pulangnya digotong berduaan sama bapak. Kadang dapat 20 kg, dijual sekitar Rp 30 ribu. Kalau kosong terus, ya cari kontai itu. Berendam sampai segini,” kata Habibah sambil memegang lehernya.

Beban Ganda

Melaut adalah gantungan hidup satu-satunya bagi keluarganelayan. Sementara, ombak di laut makin terus tidak bersahabat. Nekat melaut nyawa taruhannya, tidak melaut berarti keluargatidak makan.

Perahu nelayan rata-rata hanya mampu menempuh jarak maksimal duamilbdari bibir pantai. Sementara, bibir pantai sudah tergerus reklamasi. Nelayan budidaya ikan kehilangan lahan. Air laut makin tercemar sampai radius dua mil dari bibir pantai.

Ikan-ikan semakin ke tengah laut.  Dan jika nelayan memaksakanberlayarke tengah, maka resiko semakin besar. Ombak besarbisa membalikkan perahu mungil mereka. “Kalau sudah begini, ya pasrah saja. Makanya, mulai muncul pekerjaan alternatif para ibu-ibu,” kata Tiarom, ketika ditemui di perahunya.

Menurut hasilpenelitian Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), perempuan di pesisir utara Jakartabekerja  lebih dari15 jam dalam sehari sejak 2 tahun terakhir. Menurutstudi tersebut,48% pendapatan nelayan dihasilkan dari aktifitas ekonomi perempuan nelayan. “Dan beban perempuan nelayan memang lebih besar,” kata Abdul Halim, Koordinator program Kiara dalam orasinya di  depan Istana Negara beberapa pekan lalu.

Apa boleh buat. Bumi makin panas. Sampah makin membanjiri laut. Nelayan yang menjadi korban.