Archive for date: July 5th, 2013
Banjir Impor Pangan, Mendag Gita Justru Lindungi Kartel, AS dan WTO
/in Kampanye & Advokasi, Reformasi Kebijakan /by adminkiaraBanjir Impor Pangan, Mendag Gita Justru Lindungi Kartel, AS dan WTO
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Gerakan Rakyat Melawan Neokolonialisme dan Imperialisme (Gerak Lawan) yang beranggotakan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) menilai sederet mega skandal dan kerugian negara di sepanjang paruh pertama 2013, tidak cukup membuat Menteri Perdagangan (Mendag) Gita Wiryawan mencabut fasilitasi impor pangan. Hal ini, menurut Gerak Lawan, mengindikasikan Mendag Gita lebih takut menghadapi gugatan Amerika Serikat (AS) ke WTO, ketimbang melindungi petani, nelayan, pekebun, peternak serta segenap rakyat Indonesia baik laki-laki maupun perempuan. Pada Januari 2013 Pemerintah AS menggugat Pemerintah Indonesia ke Mekanisme Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Mechanism) WTO karena mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor 60 Tahun 2012 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura dan Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 60 Tahun 2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura yang dianggap terlalu protektif dari masuknya produk holtikultura. “Padahal, aturan pembatasan hortikultura ini dikeluarkan setelah Indonesia diserbu berbagai komoditas pertanian murah terutama produk hortikultura seperti bawang putih dan kentang dari AS, Australia, Kanada, serta Cina terkait implementasi penuh Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA) yang menghantam keras petani kecil dan keamanan pangan (food safety) rakyat Indonesia,” papar Abdul Halim, Sekjen Kiara Indonesia salah satu LSM yang tergabung dalam Gerak Lawan, dalam keterangan tertulisnya kepada ROL, Kamis (4/7). Merespon gugatan AS tersebut, Mendag Gita bukannya bertahan untuk petani kecil namun justru merevisi ketentuan pembatasan impor hortikultura ini melalui Permendag No 16 tahun 2103 dengan memberlakukan pengaturan perijinan impor satu pintu guna memudahkan aliran impor barang masuk, mengurangi komoditas, pos tariff dan kuota. Konteks ini pula, menurut Abdul, yang hendak dipromosikan oleh Kementerian perdagangan saat berlangsungnya KTM WTO ke 9 di Bali bulan Desember 2013 mendatang. “Hal ini ditandai juga dengan keengganan RI mendukung proposal anggota G-33 dalam perundingan WTO. Ke-46 negara anggota G-33 saat ini tengah mendesak dihapusnya pembatasan subsidi untuk stok pangan dalam negeri dalam rangka melindungi petani kecil di negaranya,” ungkap Abdul. Namun, lanjut Abdul, yang terjadi justru sebaliknya pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Perdagangan mengatakan akan mencoba menjembatani polarisasi AS dengan anggota G-33 dalam pertemuan Konferensi Tingkat Menteri ke-9 WTO di Bali. “Pilihan yang diambil ini semakin menegaskan sikap pemerintah Indonesia yang tidak berpihak pada rakyatnya,” ujarnya. Sumber: http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/ritel/13/07/04/mpe69n-banjir-impor-pangan-mendag-gita-justru-lindungi-kartel-as-dan-wtoHentikan Jebakan Utang Luar Negeri Berkedok Konservasi
/in Kampanye & Advokasi, Reformasi Kebijakan /by adminkiaraDemikian dikatakan Direktur Eksekutif Institute for Global Justice (IGJ), Riza Damanik, kepada SH, Rabu (26/6). “Berhentilah menggunakan utang luar negeri untuk kegiatan konservasi. Ini perbuatan amoral yang tidak pantas dipromosikan aparatur negara,” ujarnya.
Berdasarkan catatan IGJ, untuk periode 2014-2019 melalui Proyek COREMAP (Coral Reef Management and Rehabilitation) pemerintah akan kembali menambah utang konservasi baru sebesar US$ 80 juta dari Bank Dunia dan ADB.
Pemerintah harus menghentikan semua upaya lembaga asing yang membangun kerja sama pengelolaan wilayah adat laut secara langsung. Praktik ini mulai marak di kawasan timur Indonesia dengan kedok konservasi. “Investasi dengan kedok konservasi laut bukanlah peluang, melainkan bahaya laten yang perlu disikapi dengan serius,” tegasnya.
Selain itu, desentralisasi pengelolaan sumber daya pesisir tidak boleh hanya sebatas pemerintah daerah, tetapi harus didesentralisasikan ke organisasi nelayan maupun insitusi lokal yang berlaku di masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.
Masyarakat pesisir dan nelayan sanggup menjaga lingkungannya, sebab mereka sadar jika lingkungan perairan laut sehat maka ekonomi mereka pasti akan membaik.
Sebelumnya, berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Kinerja oleh BPK tahun 2013 atas Proyek Perlindungan Ekosistem Terumbu Karang 2011 hingga semester I/2012, kinerja KKP dan dinas kelautan dan perikanan provinsi/kabupaten/kota belum optimal.
Ditemukan 17 kelemahan proyek, di antaranya belum terselesaikannya dokumen perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan terumbu karang, tidak dimanfaatkannya radio sistem MCS seharga Rp 1,8 miliar di Kabupaten Buton, hingga tidak tercapainya perbaikan ekonomi dan lingkungan di lokasi COREMAP II.
Pada periode 2004-2011, total anggaran COREMAP II mencapai lebih dari Rp 1,3 triliun, di antaranya berupa utang luar negeri dari Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB).
Masyarakat Pantau
Seperti diberitakan SH sebelumnya, masyakarat pesisir diminta terus ikut berpartisipasi dan memantau pengelolaan kawasan-kawasan konservasi.
Pada kawasan konservasi, masyarakat harus menjaga ekosistem laut dan pulau-pulau kecil, sebab selalu ada peluang investasi baru, seperti ekowisata dan budi daya perairan (aquaculture). Demikian dikatakan Dirjen Kelautan dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K), Sudirman Saad sebelum membuka Lokakarya Nasional Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Jakarta, Selasa (25/6).
“Dalam forum ini kita hasilkan kesepahaman dalam mengembangkan konservasi ke depan,” ujarnya.
Pemerintah pusat mempunyai kepentingan, yaitu supaya kawasan konservasi yang legal dapat dikelola secara efektif. Pasalnya, menurut Sudirman, kawasan konservasi sangat beragam dan juga memiliki banyak pengelola.
Sementara itu, pemerintah Indonesia dalam forum Conference of the Parties Convention on Biological Diversity (COP-CBD) di Brasil pada 2006, telah berkomitmen menetapkan dan mengelola Kawasan Konservasi Perairan seluas 10 juta hektare (ha) pada 2010 dan 20 juta ha pada 2020.
Komitmen ini dipertegas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada acara World Ocean Conference pada 2009 di Manado. Dari komitmen tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) optimistis mampu mencapai target yang sudah ditetapkan.
Apalagi, pada 2012 Indonesia telah memiliki 15,78 juta ha kawasan konservasi yang hari ini telah mencapai 16 juta ha, yang artinya telah melebihi target capaian luas 15,5 juta ha pada 2014. Demikian dikatakan Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Sharif C Sutardjo, ketika membuka Lokakarya Nasional Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, di Jakarta, Selasa.
Namun, Sharif mengakui masih ada pihak yang beranggapan konservasi hanya memuat pelarangan pemanfaatan sumber daya sehingga kerap dipandang sebagai beban bagi kemajuan pembangunan ekonomi. Padahal, konservasi dan pemanfaatan sumber daya alam bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan sehingga memiliki nilai sebagaimana mestinya.
Sumber: http://m.shnews.co/index.php/web/read/21328/hentikan-jebakan-utang-luar-negeri-berkedok-konservasi.html#.UdaKGay7HKc

Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan
Jl. Rawa Jati Timur Blok AM No. 7
Ruko Kalibata Indah, Jakarta 12750,
Indonesia. Tlp/Fax +62-21 2503 2147
Tentang KIARA
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) adalah organisasi non-pemerintah yang berdiri pada tanggal 6 april 2003. Organisasi nirlaba ini diinisiasi oleh WALHI, Bina Desa, JALA (Jaringan Advokasi untuk Nelayan Sumatera Utara), Federasi Serikat Nelayan Nusantara (FSNN), dan individu-individu yang menaruh perhatian terhadap isu kelautan dan perikanan.