DPR RI Mengabaikan Hak Konstitusi Warga dalam Proses Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

Rencana Perubahan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PPK

DPR RI Mengabaikan Hak Konstitusi Warga dalam
Proses Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

Jakarta, 12 Juli 2013. Belum genap dua tahun pasca Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan gugatan uji materi 27 nelayan dan 9 LSM terhadap UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP-PPK), Pemerintah justru menyiapkan skema baru untuk melegalisasi pengkaplingan pesisir dan laut. Tiadanya partisipasi aktif masyarakat nelayan tradisional dan masyarakat adat yang tersebar di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, berpotensi besar mengulangi kesalahan penyusunan legislasi, merugikan keuangan Negara, dan akan memicu konflik horisontal.

Sebagaimana diketahui, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 atas uji materi yang telah dilakukan oleh KIARA dan 8 organisasi masyarakat sipil bersama-sama dengan 27 Nelayan Tradisional telah dibacakan pada tanggal 16 Juni 2011 dengan dua bagian penting, yakni pertama, membatalkan keseluruhan pasal-pasal dalam Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang terkait dengan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3); dan kedua, MK telah melakukan penilaian terhadap Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mengatur mengenai partisipasi masyarakat dalam penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3K, RPWP-3-K, dan RAPEP-3-K telah dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan menjadi inisiator untuk merevisi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PPK. Dari draf yang diusulkan, tidak terdapat perubahan substansi mendasar yang seharusnya sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap usulan perubahan Undang-Undang tersebut.

Melalui rapat Paripurna tanggal 25 Juni 2013, DPR RI telah mengesahkan Pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang Undang (RUU) Perubahan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PPK.

Proses Pembentukan Pansus tidak dijelaskan secara terbuka kepada publik, terutama alasan Undang-Undang tersebut mendapat prioritas ketimbang UU lain yang lebih dibutuhkan oleh nelayan tradisional dan masyarakat yang berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, seperti UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Tradisional. Ada kecenderungan DPR RI menutup diri dalam pembahasan Revisi Undang-Undang yang berhubungan dengan kepentingan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil ini.

Iktikad baik KIARA untuk melakukan audiensi guna meminta penjelasan dan memberikan masukan terhadap rencana Revisi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang PWP-PPK tidak mendapatkan tanggapan dari Badan Legislasi DPR RI. Hingga saat ini, KIARA telah melayangkan 2 (dua) surat resmi untuk meminta waktu audiensi dengan Ketua Badan Legilasi DPR RI, yakni tertanggal 3 Juni 2013 dan 4 Juli 2013.

KIARA menyesalkan sikap DPR RI, karena berdasarkan Pasal 96 UU Nomor 12 Tahun 2001 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dinyatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan. Pengabaian terhadap inisiatif warga melakukan konsultasi dan memberikan masukan merupakan tindakan melanggar hukum konstitusi.

Di samping itu, KIARA juga mendesak Ketua DPR RI untuk tidak terburu-buru melakukan pembahasan rencana perubahan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PPK agar kesalahan penyusunan legislasi tidak terulang dan justru merugikan kepentingan pemangku utamanya, yakni nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.***

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:
Abdul Halim, Sekjen KIARA

di +62 815 53100 259

 

Joint Petition: “To Preserve Ocean with Local Wisdom, No To Foreign Debt/Foreign Aid”

Joint Petition: “To Preserve Ocean with Local Wisdom, No To Foreign Debt/Foreign Aid”

 

The management of sustainable marine resource have been applied since the 16th century by the indigenous peoples, scattered along in coastal areas and small islands in Indonesia. The People’s Coalition for Fisheries Justice (KIARA) notes among them are: Sasi in Maluku, Bapongka in Central Sulawesi, Awig-awig in Bali and West Nusa Tenggara, and Ola Nua in East Nusa Tenggara. The management model is practiced independently (without ordered by outsiders) by active participation of all members of society. They do not even require debt funding.

Traditional fishing communities aware that sustainable fishery resources is a prerequisite realization of a prosperous and fair life. Moreover, they found that the magnitude of marine resources for the benefit of life. This is in contrast to marine conservation that the government arbitrarily assign, solely to obtain foreign loans and a positive image at the international level.

Center of Data and Information of KIARA (June 2013) noted that the conservation project conducted in Indonesian sea have gained foreign fund, including:

  1. In the period 2004-2011, Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP II) reached more than 1.3 trillion IDR, most of which comes from foreign loans of the World Bank and Asian Development Bank (ADB);
  2. The U.S. Government through USAID agencies provide grant aid to Indonesia worth USD23 million. In the plan, grants are awarded in the four-year period consisting of the conservation area worth USD 6 million and strengthening fisheries industrialization worth USD 17 million.

In practice, for example, coral reef conservation program fails/isn’t effective and leakage of funds based on BPK (Supreme Audit Agency) Report in 2013. Has proved a failure, KKP (Marine Affair and Fishery Ministry) instead want to continue the project COREMAP III for period of 2014-2019 by adding new conservation debt in amount of USD 80 million from the World Bank and ADB. In line with that, the establishment of marine protected areas also trigger horizontal conflicts.

Currently there are schemes of expansion of marine conservation practices covering 20 million hectares in 2020 which are carried out using foreign debt and put aside the active participation of fisherfolk and indigenous peoples, as well as burying local wisdom which has been run by generations in Indonesia.

In relation to that, KIARA invites Indonesian citizens to urge President Susilo Bambang Yudhoyono to:

  1. Promotes and ensures the management of marine resources based on local wisdom that has been practiced by indigenous peoples and traditional fishing in the coastal areas and small islands in Indonesia;
  2. Evaluating marine conservation projects that are proved burdening state national finance, failed, and castrating the rights of indigenous peoples and fisherfolk; and
  3. Stop the financing schemes of marine conservation based on foreign debt.

Petition Supporters: Write the name, origin country/organization, email/FB/Twitter or click the “like”