Presiden: Indonesia Bergantung pada Laut
Presiden: Indonesia Bergantung pada Laut
JAKARTA, KOMPAS – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan Indonesia akan kesulitan besar jika gagal memanfaatkan potensi laut. Jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah membuat upaya pemenuhan kebutuhan mereka tidak bisa melulu mengandalkan sumber daya di daratan.
“Kalau kita mengandalkan hanya yang di daratan saja, kita akan menghadapi persoalan serius pada 20, 30, 50 tahun mendatang,” kata Yudhoyono, Kamis (30/1), di Istana Negara.
Hal itu diungkapkan Presiden ketika menerima peserta Rapat Koordinasi Nasional Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Sidang Dewan Kelautan Indonesia 2014. Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo, Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Marsetio, dan Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutarman hadir dalam acara itu.
Menurut Yudhoyono, pada 2035, penduduk Indonesia diproyeksikan menyentuh angka 305 juta orang, bertambang 65 juta ketimbang jumlah penduduk sesuai sensus pada 2010. Pertambahan penduduk ini membuat kebutuhan akan pangan, sandang, papan, dan energi meningkat drastis.
Yudhoyono menjelaskan, berbeda dengan Amerika Serikat yang seluruh wilayah negaranya berupa daratan, daratan Indonesia hanya seperempat dari luas wilayah. Karena itu, paradigma pembangunan jangka panjang pun harus bersandarkan pada laut.
“Paradigma pembangunan bangsa harus kita ubah. Kita sebut land-maritime based development (pembangunan berbasis darat-maritim). Kalau itu kita jadikan strategi untuk pembangunan jangka panjang, kita tidak perlu cemas. Permintaan yang meningkat tajam di negeri ini bisa kita penuhi,” ungkap Presiden.
Sharif menyatakan, sejumlah kemajuan berhasil dicapai di sektor kelautan dan perikanan. Pada 2010, produksi perikanan mencapai 11 juta ton. Angka ini melesat menjadi 19,56 juta ton pada tahun lalu yang didominasi ikan budidaya.
Produksi garam rakyat juga meningkat. Pada tahun 2013, meskipun ada anomali cuaca, total produksi garam program pemberdayaan usaha garam rakyat mencapai 1,4 juta ton. Indonesia pun surplus 0,52 juta ton sehingga tidak perlu impor garam konsumsi.
Kapal Inka Mina
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim, dalam siaran pers, di Jakarta, Kamis, menyebutkan program pengadaan 1.000 kapal Inka Mina tahun 2010-2014 senilai total Rp1,5 triliun yang digulirkan Kementerian Kelautan dan Perikanan perlu diaudit karena terindikasi masih diwarnai sejumlah penyimpangan hingga tahun terakhir pelaksanaannya. Dari target 787 kapal terbangun selama kurun 2010-2013, terdata sebanyak 52 kapal gagal terbangun, sedangkan kapal yang beroperasi hanya 215 unit.
Kapal Inka Mina adalah kapal yang digunakan untuk kelompok usaha bersama nelayan kecil dengan tujuan memberdayakan nelayan.
Berdasarkan hasil temuan yang dirilis Kiara, penyelenggaraan program Inka Mina menuai sejumlah persoalan, antara lain target alokasi anggaran pengadaan kapal tidak tercapai akibat kegagalan pembangunan kapal, spesifikasi kapal tidak memenuhi standar, baik kualitas kapal, kualitas mesin, maupun sarana tangkap yang disediakan. Anggaran pengadaan setiap kapal mencapai Rp 1,5 miliar per unit, tetapi realisasinya kerap tidak mencapai jumlah anggaran sehingga kapal kerap di bawah standar.
Selain itu, terdapat indikasi kenakalan pemenang tender pengadaan kapal. Hal ini dilakukan dengan mengurangi spesifikasi kapal dan lambat dalam menyelesaikan target terbangunnya kapal. (ATO/LKT)
Sumber: KOMPAS, Sabtu, 1 Februari 2014, Hal. 18.