Visi Pemerintah Diuji Pemprov DKI Jakarta Belum Terima Surat Penghentian Reklamasi
JAKARTA, KOMPAS – Konsistensi visi maritim pemerintah tengah diuji melalui polemik reklamasi Teluk Jakarta saat ini. Keputusan pemerintah terkait reklamasi tersebutnya nantinya berdampak sangat besar terhadap masyarakat pesisir, tak hanya di Jakarta, tetapi juga seluruh wilayah Indonesia.
“Jakarta sebagai episentrum akan menjadi pertaruhan besar. Sebab, akan dijadikan contoh bagi para pengembang ataupun pemerintah daerah di sejumlah wilayah (lain) yang bersiap melakukan reklamasi,” kata Abdul Halim, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) dalam diskusi di Jakarta, Senin (25/4).
Pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saat ini dalam proses penghentian sementara reklamasi Teluk Jakarta. Penyelarasan aturan hingga audit lingkungan akan dilakukan komite gabungan lintas kementerian dan instansi yang dibentuk pemerintah pusat. Komite ini nantinya akan memberi rekomendasi terkait kelanjutan reklamasi di Teluk Jakarta.
Meski demikian, hingga Senin, sepekan sejak pemerintah pusat memutuskan moratorium reklamasi Teluk Jakarta, produk hukum yang menjadi dasar penghentian kegiatan reklamasi di lapangan belum terbit. Pemprov DKI dan pengembang masih menanti kepastian terkait keputusan tersebut.
Sebelumnya diberitakan, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli, di Nusa Dua, Bali, Kamis pekan lalu, menyatakan telah menandatangani surat penghentian sementara reklamasi Teluk Jakarta pada 20 April (Kompas, 22/4).
Akan tetapi, Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah, Senin siang, menegaskan belum menerima surat itu. “Saya belum menerima suratnya. Yang pasti, kalau ada perintah moratorium, kami tindak lanjuti. Namun, kami belum terima (surat),” ujarnya di Balai Kota Jakarta.
Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Penataan Ruang dan Lingkungan Oswar Mungkasa menambahkan, tanpa dasar hukum jelas, Pemprov DKI tak bisa menghentikan reklamasi. Pengembang yang telah mengantongi izin prinsip, izin pelaksaan, dan izin lain tetap bisa jalan sebelum ada produk hukum penghentian.
“Kami tak bilang bahwa reklamasi tak ada masalah. Namun, kalau (reklamasi) ada masalah, masalahnya di mana, seperti apa, dan bagaimana solusinya? Selama belum ada produk hukum yang mendasari penghentian, Pemprov DKI tidak bisa serta-merta meminta pengembang berhenti,” kata Oswar.
Seluruh Indonesia
Menurut data Kiara, ada 30 daerah yang melakukan reklamasi di seluruh Indonesia. Sebanyak 10 daerah telah jadi, 7 sedang berlangsung, dan 13 akan melakukan reklamasi.
Menurut Halim, ada empat daerah yang paling mungkin terpengaruh keputusan reklamasi Teluk Jakarta, yakni reklamasi Teluk Benoa di Bali, reklamasi pesisir di Kota Semarang, Manado dan Palu.
Proyek-proyek reklamasi ini, tambah Halim, sangat ironis mengingat salah satu visi pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla adalah menempatkan laut sebagai halaman depan negara untuk memberi kemakmuran bagi semua pihak.
“Reklamasi Teluk Jakarta hanya bermotif ekonomi. Karena itu, komite gabungan jangan hanya fokus pada penyelarasan aturan semata, tapi benar-benar kembali pada bagaimana lingkungan itu dilestarikan dan nelayan disejahterakan,” kata Halim.
Secara terpisah, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan akan terus memantau berbagai penggusuran yang dilakukan Pemprov DKI. Pemantauan khususnya dilakukan terhadap penggusuran warga di Luar Batang, Jakarta Utara, dan warga pesisir yang terkena dampak reklamasi.
Ketua KPAI Asrorun Ni’am Sholeh menjelaskan, sebaiknya sebelum menggusur, pemerinah melakukan langkah-langkah pra kondisi supaya anak-anak siap dengan perubahan. Selain itu, juga harus diperhatikan hak interaksi anak-anak yang bisa mendukung tumbuh kembang anak.
Sumber: Kompas, 26 April 2016. Halaman 28