Siaran Pers KIARA 16 Agustus 2016
Siaran Pers Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan www.kiara.or.id
APBN 2017 MESTI SEJAHTERAKAN MASYARAKAT PESISIR
Jakarta, 16 Agustus 2016. Presiden Joko Widodo akan menyampaikan Pidato Penyampaian Nota Keuangan dan RAPBN 2017 di dalam Rapat Paripurna DPR-RI di Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD Republik Indonesia pada Selasa (16/8) siang nanti.
Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA mengatakan, “APBN 2017 mesti diarahkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan dihambur-hamburkan untuk kebijakan pembangunan yang tidak jelas dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Apalagi tren defisit anggaran negara kian membesar, yakni 2,35 persen di dalam APBN-P Tahun 2016. Oleh karena itu, negara mesti melakukan penghematan terhadap pos-pos belanja modal kementerian/lembaga negara yang tidak bermanfaat secara langsung kepada masyarakat pesisir, seperti perjalanan dinas dan pembangunan infrastruktur yang dipaksakan”.
Pusat Data dan Informasi KIARA (Agustus 2016) mencatat, defisit APBN meningkat dalam 12 tahun terakhir, dari tahun 2005-2016 (lihat Tabel 1). Fakta ini menjadikan anggaran negara amat sangat bergantung kepada utang luar negeri. Di dalam APBN Tahun 2016, jumlah utang luar negeri sebesar Rp330,9 triliun (defisit 2,15 persen). Jumlahnya masih tergolong tinggi pada APBN-P Tahun 2016, yakni sebesar Rp296,7 triliun (defisit 2,35 persen).
Tabel 1. Defisit APBN Tahun 2005-2016 (%)
Uraian |
2005 |
2006 |
2007 |
2008 |
2009 |
2010 |
2011 |
2012 |
2013 |
2014 |
2015 |
2016 |
APBN |
0,77 |
1,28 |
1,55 |
2,11 |
2,40 |
2,14 |
2,09 |
2,23 |
2,38 |
2,40 |
2,15 |
|
APBN-P |
1,90 |
2,35 |
Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Agustus 2016), diolah dari Kementerian Keuangan
“Besarnya defisit APBN disebabkan oleh realisasi pendapatan negara dari PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) mengalami penurunan, di antaranya PNBP Perikanan. Ironisnya, penurunan PNBP Perikanan terjadi di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang giat menggaungkan poros maritim dunia,” tambah Halim.
Pusat Data dan Informasi KIARA (Agustus 2016) juga mencatat, PNBP Perikanan menurun drastis antara tahun 2014-2015, dari Rp. 216,4 miliar menjadi Rp. 79,3 miliar (lihat Tabel 2). Penurunan ini di antaranya disebabkan oleh ketidakpastian usaha perikanan tangkap akibat pemberlakuan regulasi yang tarik-ulur dan tidak diakhiri dengan penegakan hukum yang adil dan terbuka.
Tabel 2. PNBP Perikanan Tahun 2010-2016
TAHUN |
JUMLAH (miliar rupiah) |
2010 |
Rp. 92,0 |
2011 |
Rp. 183,802,161,080 |
2012 |
Rp. 215,766,602,000 |
2013 |
Rp. 229,350,562,720 |
2014 |
Rp. 216,367,232,525 |
2015 |
Rp. 79,3 |
2016 |
Rp. 693,0 (Jumlah PNBP Perikanan Tahun 2016 yang ditargetkan di dalam APBN Tahun 2016 dan APBN-P Tahun 2016) |
Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Agustus 2016), diolah dari Kementerian Keuangan
Oleh karena itu, KIARA mendesak Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk membangun iklim usaha perikanan nasional dengan jalan memperbaiki kinerja regulasi perikanan, mulai dari kemudahan dan keterbukaan perizinan kapal ikan, metode penghitungan dan pembayaran pungutan hasil perikanan yang mudah dan adil, serta penegakan hukum di laut yang berkeadilan. Dengan jalan inilah, realisasi pendapatan negara dari PNBP Perikanan bisa sejalan dengan upaya peningkatan kesejahteraan nelayan tradisional/skala kecil, pembudidaya ikan, perempuan nelayan, dan ABK akan semakin menjauh. Tahun 2017 adalah tahun keberpihakan dan kebangkitan perikanan nasional.***
Untuk informasi lebih lanjut, bisa menghubungi:
Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA di +62 815 53100 259