KIARA: KKP Harus lebih Produktif dari Sekedar Makelar Reklamasi dan Investasi

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
www.kiara.or.id

 

Jakarta, 1 November 2019 – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mendesak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk tidak menjadi makelar proyek reklamasi dengan memberikan kemudahan izin bagi investor yang ingin menguasai pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.

Desakan ini disampaikan setelah nelayan di Teluk Jakarta, terus mempersoalkan keberadaan pulau-pulau reklamasi yang mengganggu aktivitas mencari ikan. Tak hanya itu, desakan ini juga disampaikan, setelah Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo berencana mengkaji ulang kebijakan pembatasan reklamasi Teluk Benoa di Bali yang sebelumnya dirancang oleh Susi Pudjiastuti.

“Kementerian Kelautan dan Perikanan adalah rumah bagi masyarakat bahari, khususnya nelayan, perempuan nelayan, petambak garam, pembudidaya ikan, dan masyarakat adat pesisir. Kementerian ini seharusnya menghentikan proyek reklamasi di Teluk Jakarta dan Teluk Benoa. Memberi harapan dan perubahan signifikan bagi kesejahteraan masyarakat bahari.” kata Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati. “Kementerian KKP harusnya bukan agen investasi dan penyangga utama kepentingan modal sambil mengabaikan nasib masyarakat miskin di wilayah bahari indonesia.” Imbuh Susan.

Oleh sebab itu Susan meminta, jangan sampai ada ruang negosiasi antara KKP dengan investor demi kepentingan jangka pendek, yang ujungnya mengorbankan kepentingan hajat hidup orang banyak.

“Pemerintah jangan sampai menjadi makelar reklamasi sekaligus pelindung investor. UUD 1945 jelas-jelas memandatkan, kekuasaan pemerintah dalam mengelola sumberdaya alam dibatasi oleh prinsip penting, yaitu: sebesar-besar kemakmuran rakyat,” tegasnya.

Lebih jauh, KIARA mendesak KKP untuk melakukan evaluasi total terhadap seluruh proyek reklamasi di Indonesia, yang jumlahnya terus meningkat dalam lima tahun terakhir. “Kami mencatat, pada tahun 2016 ada 16 proyek. Pada akhir tahun 2018, jumlahnya lebih dari 40 proyek. Akibat proyek ini, lebih dari 700 ribu keluarga nelayan terdampak,” ungkapnya.

Dalam lima tahun ke depan, jika Pemerintah masih memperlakukan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil sebagai objek investasi, maka proyek reklamasi akan terus bertambah. Pada titik inilah, masyarakat semakin paham bahwa posisi Pemerintah adalah makelar reklamasi sekaligus pelindung investor.

Berbagai fakta di lapangan membuktikan bahwa proyek reklamasi tidak dibutuhkan oleh masyarakat bahari. Selain itu, dalam jangka panjang, dampak destruktif dari proyek reklamasi berupa kehancuran ekosistem laut serta krisis sosial, krisis ekologi, dan krisis pangan takkan dapat dielakan, dimana ongkosnya akan sangat mahal.

“Semua dampak buruk proyek reklamasi dalam jangka panjang hanya akan ditanggung oleh masyarakat. Inilah salah satu alasan kenapa reklamasi harus dihentikan. Investasi tidak boleh berhadapan dengan kepentingan masyarakat sendiri untuk bisa bertahan hidup.” pungkasnya.

Menteri KKP yang baru diharapkan memiliki terobosan. Membangun citra dan komitmen baru yang lebih memihak masyarakat. Memiliki visi kebaharian lebih dari sekedar mendapat investor untuk menaikkan kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap PDB.

“PDB sektor perikanan akan tetap tak lebih dari bermakna angka-angka saja kalau langkah kebijakan yang diambil tidak dampak pada kesejahteraan masyarakat bahari. Harus ada komitmen nyata yang ditunjukkan agar publik bisa mengapresiasi kementerian ini dengan lebih baik.” Pungkas Susan. (*)

Informasi lebih lanjut:
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

Program 100 Hari Kerja Edhy Prabowo, Menteri Kelautan dan Perikanan KIARA: Mengingatkan Menteri Kelautan dan Perikanan Baru Hentikan Ekstensifikasi Budidaya Udang

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
www.kiara.or.id

 

Jakarta, 26 Oktober 2019 – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengingatkan Menteri Kelautan dan Perikanan Periode 2019-2024, Edhy Prabowo, untuk menghentikan ekstensifikasi budidaya udang karena akan mengancam keberadaan hutan mangrove di kawasan pesisir, yang berfungsi sebagai penjaga alami ekosistem pesisir. Sebaliknya, Edhy Prabowo diminta untuk melakukan intensifikasi, yaitu meningkatkan hasil produksi dengan cara meningkatkan kemampuan atau memaksimalkan produktivitas budidaya udang nasional.

Pernyataan ini disampaikan oleh Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati untuk merespon pernyataan Edhy Prabowo yang berencana akan melakukan ekstensifikasi budidaya udang di Indonesia sebagai program kementerian yang dipimpinnya. “Rencana ekstensifikasi sangat tidak sesuai dengan kondisi budidaya udang yang existing di Indonesia,” ungkapnya.

Susan menambahkan, berdasarkan data Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia tahun 2018, untuk pengembangan budidaya air payau memiliki porsi potensi hingga mencapai 2,8 juta hektar. Namun pemanfaatannya diperkirakan baru sekitar 21,64 % atau seluas 605.000 hektar, dimana dari luas tersebut, pemanfaatan lahan tambak produktif untuk budidaya udang diperkirakan mencapai 40 persen atau baru 242.000 hektar saja.

“Dengan demikian, masih ada 60 persen luasan kawasan untuk budidaya udang yang belum dikelola dengan baik di Indonesia. Jadi, yang dibutuhkan adalah intensifikasi bukan ekstensifikasi,” tegas Susan.

Salah satu kawasan budidaya udang yang perlu mendapatkan prioritas intensifikasi adalah Bumi Dipasena, yang terletak di Kecamatan Rawajitu Timur, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung. Luasan kawasan budidaya udang Bumi Dipasena mencapai 17 ribu hektar.

“Bumi Dipasena adalah poros udang dunia. Kawasan ini merupakan wilayah budidaya udang terbesar di Asia bahkan dunia. Di kawasan ini, Menteri Kelautan dan Perikanan harus melakukan intensifikasi supaya produksinya dapat memenuhi kebutuhan saat ini,” tutur Susan.

Hal pertama yang perlu dilakukan segera oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, tambah Susan, berkoordinasi dengan sejumlah kementerian terkait guna memastikan pembangunan jalur distribusi sepanjang 80 km, pembangunan fasilitas listrik serta sanitasi dan infrastruktur dasar untuk akses air bersih bagi lebih dari 6500 keluarga pembudidaya.

Pembangunan jalur distribusi, fasilitas listrik, sanitasi dan infrastruktur dasar untuk akses air bersih merupakan mandat UU No. 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudiaya Ikan, dan Petambak Garam. Pada saat bersamaan, pembudidaya ikan dan udang masih mengalami permasalahan dimana kartel pakan acap kali memainkan harga dan memberikan dampak pada produksi perikanan budidaya. “UU ini harus segera dijalankan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, untuk membangunan sektor perikanan budidaya yang kuat dan berbasis masyarakat pembudidaya,” kata Susan.

“Jika intensifikasi budidaya udang di Bumi Dipasena segera dilakukan, maka tak menutup kemungkinan Indonesia menjadi poros udang dunia yang kuat. Tak hanya itu, masyarakat pembudidaya udang pun akan meningkat kehidupan sosial dan kehidupan ekonominya. Sudah seharusnya Bapak Edhy Prabowo kembali ke mandat UU No 7 tahun 2016 untuk” pungkas Susan. (*)

Informasi lebih lanjut:
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050