TOLAK SERTIFIKASI NELAYAN KIARA: RENCANA SERTIFIKASI NELAYAN MELECEHKAN IDENTITAS BANGSA BAHARI

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
www.kiara.or.id

 

Jakarta, 12 November 2019 – Rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang akan melakukan sertifikasi terhadap profesi nelayan mendapatkan penolakan dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyatakan bahwa masyarakat bahari, khususnya nelayan skala kecil atau nelayan tradisional, nelayan yang menggunakan kapal di bawah 10 GT, tidak membutuhkan sertifikasi untuk menjelaskan identitas sebagai seorang nelayan atau perempuan nelayan.

Menurut Susan Herawati, rencana sertifikasi nelayan yang direncanakan KKP tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan melecehkan identitas bangsa Indonesia sebagai negara bahari dimana mayoritas nelayannya adalah nelayan tradisional dan nelayan kecil.

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA menegaskan “Di 100 hari gebrakan dari Menteri Kelautan dan Perikanan, Bapak Edhi Prabowo seharusnya tidak bicara sekedar sertifikasi nelayan. Nelayan tidak butuh disertifikasi, nelayan butuh laut, tantangannya berani atau tidak menteri baru ini menyelesaikan konflik di Pulau Pari, Pulau Romang, Pulau Wawonii, bukan sekedar mengurus sertifikasi nelayan”.

KIARA menilai sertifikasi ini hanya akan mempersulit kehidupan nelayan skala kecil atau nelayan tradisional, yang merupakan mayoritas pelaku perikanan di Indonesia. “Kami mempertanyakan landasan hukum rencana sertifikasi nelayan, khususnya nelayan skala kecil dan nelayan tradisional,” imbuhnya.

Lebih jauh, Susan mengatakan, sertifikasi yang akan didorong oleh KKP ditujukan untuk memenuhi kepentingan pasar perikanan, khususnya Eropa, Amerika, dan Jepang. Dalam konteks ini, yang perlu disertifikasi oleh KKP adalah pelaku perikanan skala besar, yang menggunakan kapal di atas 30 GT.

“Daripada merencanakan sertifikasi nelayan, KKP seharusnya menjalankan mandat penting yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam,” tegas Susan.

UU No. 7 Tahun 2016 merupakan aturan yang sangat penting dalam rangka melindungi dan memberdayakan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam. Namun, sampai dengan tahun 2019 KKP belum memiliki aturan turunan kecuali Peraturan Menteri KP No. 18 Tahun 2018 tentang Jaminan Perlindungan Atas Risiko Kepada Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.

Berdasarkan hal tersebut, KIARA menilai bahwa setelah tiga tahun diberlakukannya UU N0. 7 Tahun 2016 KKP tidak bekerja serius untuk melindungi dan memberdayakan nelayan. Ironisnya, ditengah ketidakseriusan bekerja, KKP malah berencana melakukan sertifikasi nelayan. “Ini adalah fakta penting yang perlu menjadi perhatian Menteri baru, Edhy Prabowo,” tutur Susan.

Terkait dengan sertifikasi Cara Berbudidaya Ikan yang Baik (CBIB), KIARA menyatakan bahwa sertifikasi memiliki kelemahan yang paling mendasar, yaitu tidak adanya aspek perlindungan hak asasi manusia, aspek lingkungan hidup secara komprehensif dan aspek keadilan gender. CBIB hanya mengatur urusan teknis budidaya semata.

Selain itu, dalam praktiknya CBIB dianggap telah gagal melindungi pembudidaya ikan dari praktik pelanggaran HAM sebagaimana terjadi di pertambakan udang Bumi Dipasena, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung. “Sejak tahun 2015, kami telah melakukan kajian terhadap CBIB. Perlu dilakukan evaluasi terhadap sertifikasi ini. Isinya hanya mengatur teknis budidaya semata. Tetapi isu manusia (keadilan HAM dan keadilan gender) serta lingkungan hidup tak ada di dalamnya,” imbuh Susan.

“KIARA meminta KKP untuk membatalkan rencana sertifikasi nelayan dan sekaligus meninjau ulang CBIB serta berbagai sertifikasi lainnya yang hanya berorientasi pasar semata. Tak hanya itu, KIARA meminta KKP untuk segera mengimplementasikan UU No. 7 Tahun 2016,” pungkas Susan. (*)

Informasi lebih lanjut:
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA di 082111727050

KIARA: Langkah Mundur Jika KKP Revisi Permen KP No. 2 Tahun 2015

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
www.kiara.or.id

 

Jakarta, 8 November 2019 – Menteri Kelautan dan Perikanan Periode 2019-2024, Edhy Prabowo berencana akan merevisi sejumlah kebijakan yang telah ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Periode 2014-2019. Diantara kebijakan yang akan direvisi adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No. 5 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawl) dan Pukat Tarik (Seinen Nets).

Menanggapi hal ini, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati menyebut Edhy Prabowo melakukan langkah mundur jika melakukan revisi terhadap Permen KP No.…

http://www.katta.id/news/2019/11/08/3498/ruang-hidup-masyarakat-bahari-palu-terancam-dirampas-tanggul-dan-tambang
Siaran Pers Bersama
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

KOALISI MASYARAKAT SIPIL MENDESAK IZIN TAMBANG DI PULAU WAWONII DICABUT

Jakarta, 11 November 2019 – Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak izin usaha pertambangan di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Provinsi Sulawesi Tenggara, dicabut. Desakan ini disampaikan dalam kegiatan diskusi media yang digelar di Cikini, Jakarta Pusat.

Permintaan pencabutan izin pertambangan ini didasarkan pada sejumlah alasan, yaitu pelanggaran hukum, kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia. Dari sisi hukum, pertambangan di Pulau Wawonii jelas melanggar UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Pasal 35 yang menyatakan: “Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang untuk melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.”

“Pulau Wawonii adalah pulau kecil, karena luasnya hanya 715 kilometer persegi. Dengan demikian, pertambangan nikel di pulau ini jelas-jelas bertentangan dengan UU No. 27 Tahun 2007,” ungkap Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA.

Dari sisi lingkungan hidup, pertambangan di Pulau Wawonii telah menyebabkan krisis ekologis yang sangat parah. Setiap tahun, banjir bandang selalu terjadi di pulau kecil ini. Padahal sebelum adanya proyek tambang, banjir tidak pernah terjadi. “Saat ini warga sudah mulai merasakan dampak dari daya rusak tambang nikel di Pulau Wawonii. Aktivitas tambang telah menyebabkan gagal panen perkebunan akibat dari debu pertambangan,” ucap Melky Nahar, Kepala Kampanye JATAM.

“Pulau kecil memiliki kerentanan ekologis yang lebih tinggi dibandingkan pulau-pulau besar. Dengan daya rusak pertambangan yang sangat tinggi dan mustahil untuk dipulihkan, maka bisa dipastikan jika tambang nikel tetap beroperasi, kita tinggal menghitung mundur saja kematian Pulau Wawonii,” tambahnya.

Tak hanya di darat, kerusakan lingkungan juga terjadi di kawasan pesisir Wawonii, khususnya di Desa Roko-roko, Kecamatan Wawonii Selatan, tempat dibangunnya pelabuhan khusus. lebih dari dua hektar terumbu karang mengalami kerusakan yang cukup parah. Kini, masyarakat sudah sulit menemukan ikan-ikan karang. Meski pertambangan nikel atas di atas hutan, tetapi limbahnya akan berakhir di pesisir atau laut. dalam jangka waktu lama, kerusakan terumbu karang akan terus meluas jika proyek pertambangan tidak dihentikan. Di Desa Roko-roko, kecamatan Wawonii Selatan, pembangunan pelabuhan khusus untuk tambang dengan lebar 20 meter dan luas 6 meter telah merusak ekosistem pesisir perairan Desa Roko-roko.

Karena ekosistem pesisirnya sudah mulai rusak secara perlahan-lahan, maka ikan sudah mulai sulit didapatkan. Nelayan di Kecamatan Wawonii Selatan dan Wawonii Tenggara melaporkan adanya penurunan hasil tangkapan ikan setelah adanya proyek tambang nikel. Jika sebelum adanya tambang bisa menangkap 50 kg gurita setaip hari, maka setelah adanya proyek tambang nikel, nelayan hanya bisa menangkap gurita sebanyak 5 kg saja. Artinya ada penurunan hasil tangkapan sebanyak 45 kg setiap harinya. Jika sebelum adanya tambang bisa menangkap ekor kuning dan ikan sunu sebanyak 1000 kg setiap hari, maka setelah adanya proyek tambang mereka hanya bisa menangkap di bawah 100 kg. Dengan kata lain, ada penurunan hasil tangkapan lebih dari 900 kg.

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) juga melakukan investigasi terkait dengan upaya kriminalisasi terhadap 27 masyarakat Wawonii. Dalam temuan KontraS, secara umum 27 orang dituduh melakukan perlawanan terhadap kegiatan perusahaan, sehingga pasal yang dikenakan seputar pasal 333 KUHP tentang Perampasaan Kemerdekaan dan pasal 162 UU Mineral dan Batubara tentang penghalangan kegiatan perusahaan.

Kehadiran tambang di tengah tengah kehidupan masyarakat seakan menjadi mimpi buruk buat mereka. Kondisi sekarang sama sekali mereka tidak pernah bayangkan, tanah waris yang mereka telah kelola lebih dari 30 tahun harus menjadi korban ketamakan korporat, konflik sosial mulai tercipta bahkan di tiap malamnya sesama masyarakat dipaksa untuk saling mengintai dan mencurigai satu sama lain, seakan rasa kekeluargaan yang dulu pernah ada hanyalah sekedar masa lalu yang tak patut tuk direnungkan. Namun, yang terparah dari imbas aktivitas pertambangan di sana adalah kriminalisasi dan proses hukum yang tak berpihak.

“Kondisi yang terjadi di Pulau Wawonii saat ini ialah politisasi penegakan hukum. Di saat pihak perusahaan yang melapor cepat di usut, namun di saat rakyat yang melapor proses penegakan hukum tidak berjalan. Atas kejadian ini ada beberapa warga yang sampai sekarang masih trauma, bahkan di saat mereka dimintai keterangannya oleh pihak yang berniat untuk membantu mereka enggan untuk bercerita” ungkap Rivanlee Anandar, Aktivis KontraS.

Dalam hingar-bingar konflik sumber daya alam, Pemerintah merasa perlu menunjukkan sikap dan keberpihakan pada mereka yang kian terpinggirkan suaranya. Angka-angka yang dikutip di atas hanyalah refleksi betapa dalam dan luasnya jangkauan kriminalisasi bagi sesama. Maka, perlu ada langkah yang jelas, terukur, dan masif untuk mencegah jatuhnya lebih banyak korban kriminalisasi karena minimnya keberpihakan serta rendahnya pemahaman pemerintah akan permasalahan yang dihadapi publik sehari-hari.

Penyelamatan ruang hidup warga Pulau Wawonii harus menjadi prioritas utama ke depan oleh Pemerintah. Untuk itu koalisi masyarakat sipil memandang pencabutan seluruh izin tambang di Pulau Wawonii merupakan hal mendesak yang harus segera dilakukan oleh Pemerintah demi menjamin keselamatan warga dan dan ruang hidup di Pulau Wawonii. (*)

Informasi lebih lanjut:
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050
Melky Nahar, Kepala Kampanye JATAM, +62 813-1978-9181
Rivanlee Anandar, Kepala Biro Penelitian, Pemantauan, dan Dokumentasi KontraS, +62 813-9196-9119

KOALISI MASYARAKAT SIPIL MENDESAK IZIN TAMBANG DI PULAU WAWONII DICABUT

Siaran Pers Bersama
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

 

Jakarta, 11 November 2019 – Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak izin usaha pertambangan di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Provinsi Sulawesi Tenggara, dicabut. Desakan ini disampaikan dalam kegiatan diskusi media yang digelar di Cikini, Jakarta Pusat.

Permintaan pencabutan izin pertambangan ini didasarkan pada sejumlah alasan, yaitu pelanggaran hukum, kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia. Dari sisi hukum, pertambangan di Pulau Wawonii jelas melanggar UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Pasal 35 yang menyatakan: “Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang untuk melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.”

“Pulau Wawonii adalah pulau kecil, karena luasnya hanya 715 kilometer persegi. Dengan demikian, pertambangan nikel di pulau ini jelas-jelas bertentangan dengan UU No. 27 Tahun 2007,” ungkap Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA.

Dari sisi lingkungan hidup, pertambangan di Pulau Wawonii telah menyebabkan krisis ekologis yang sangat parah. Setiap tahun, banjir bandang selalu terjadi di pulau kecil ini. Padahal sebelum adanya proyek tambang, banjir tidak pernah terjadi. “Saat ini warga sudah mulai merasakan dampak dari daya rusak tambang nikel di Pulau Wawonii. Aktivitas tambang telah menyebabkan gagal panen perkebunan akibat dari debu pertambangan,” ucap Melky Nahar, Kepala Kampanye JATAM.

“Pulau kecil memiliki kerentanan ekologis yang lebih tinggi dibandingkan pulau-pulau besar. Dengan daya rusak pertambangan yang sangat tinggi dan mustahil untuk dipulihkan, maka bisa dipastikan jika tambang nikel tetap beroperasi, kita tinggal menghitung mundur saja kematian Pulau Wawonii,” tambahnya.

Tak hanya di darat, kerusakan lingkungan juga terjadi di kawasan pesisir Wawonii, khususnya di Desa Roko-roko, Kecamatan Wawonii Selatan, tempat dibangunnya pelabuhan khusus. lebih dari dua hektar terumbu karang mengalami kerusakan yang cukup parah. Kini, masyarakat sudah sulit menemukan ikan-ikan karang. Meski pertambangan nikel atas di atas hutan, tetapi limbahnya akan berakhir di pesisir atau laut. dalam jangka waktu lama, kerusakan terumbu karang akan terus meluas jika proyek pertambangan tidak dihentikan. Di Desa Roko-roko, kecamatan Wawonii Selatan, pembangunan pelabuhan khusus untuk tambang dengan lebar 20 meter dan luas 6 meter telah merusak ekosistem pesisir perairan Desa Roko-roko.

Karena ekosistem pesisirnya sudah mulai rusak secara perlahan-lahan, maka ikan sudah mulai sulit didapatkan. Nelayan di Kecamatan Wawonii Selatan dan Wawonii Tenggara melaporkan adanya penurunan hasil tangkapan ikan setelah adanya proyek tambang nikel. Jika sebelum adanya tambang bisa menangkap 50 kg gurita setaip hari, maka setelah adanya proyek tambang nikel, nelayan hanya bisa menangkap gurita sebanyak 5 kg saja. Artinya ada penurunan hasil tangkapan sebanyak 45 kg setiap harinya. Jika sebelum adanya tambang bisa menangkap ekor kuning dan ikan sunu sebanyak 1000 kg setiap hari, maka setelah adanya proyek tambang mereka hanya bisa menangkap di bawah 100 kg. Dengan kata lain, ada penurunan hasil tangkapan lebih dari 900 kg.

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) juga melakukan investigasi terkait dengan upaya kriminalisasi terhadap 27 masyarakat Wawonii. Dalam temuan KontraS, secara umum 27 orang dituduh melakukan perlawanan terhadap kegiatan perusahaan, sehingga pasal yang dikenakan seputar pasal 333 KUHP tentang Perampasaan Kemerdekaan dan pasal 162 UU Mineral dan Batubara tentang penghalangan kegiatan perusahaan.

Kehadiran tambang di tengah tengah kehidupan masyarakat seakan menjadi mimpi buruk buat mereka. Kondisi sekarang sama sekali mereka tidak pernah bayangkan, tanah waris yang mereka telah kelola lebih dari 30 tahun harus menjadi korban ketamakan korporat, konflik sosial mulai tercipta bahkan di tiap malamnya sesama masyarakat dipaksa untuk saling mengintai dan mencurigai satu sama lain, seakan rasa kekeluargaan yang dulu pernah ada hanyalah sekedar masa lalu yang tak patut tuk direnungkan. Namun, yang terparah dari imbas aktivitas pertambangan di sana adalah kriminalisasi dan proses hukum yang tak berpihak.

“Kondisi yang terjadi di Pulau Wawonii saat ini ialah politisasi penegakan hukum. Di saat pihak perusahaan yang melapor cepat di usut, namun di saat rakyat yang melapor proses penegakan hukum tidak berjalan. Atas kejadian ini ada beberapa warga yang sampai sekarang masih trauma, bahkan di saat mereka dimintai keterangannya oleh pihak yang berniat untuk membantu mereka enggan untuk bercerita” ungkap Rivanlee Anandar, Aktivis KontraS.

Dalam hingar-bingar konflik sumber daya alam, Pemerintah merasa perlu menunjukkan sikap dan keberpihakan pada mereka yang kian terpinggirkan suaranya. Angka-angka yang dikutip di atas hanyalah refleksi betapa dalam dan luasnya jangkauan kriminalisasi bagi sesama. Maka, perlu ada langkah yang jelas, terukur, dan masif untuk mencegah jatuhnya lebih banyak korban kriminalisasi karena minimnya keberpihakan serta rendahnya pemahaman pemerintah akan permasalahan yang dihadapi publik sehari-hari.

Penyelamatan ruang hidup warga Pulau Wawonii harus menjadi prioritas utama ke depan oleh Pemerintah. Untuk itu koalisi masyarakat sipil memandang pencabutan seluruh izin tambang di Pulau Wawonii merupakan hal mendesak yang harus segera dilakukan oleh Pemerintah demi menjamin keselamatan warga dan dan ruang hidup di Pulau Wawonii. (*)

Informasi lebih lanjut:
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050
Melky Nahar, Kepala Kampanye JATAM, +62 813-1978-9181
Rivanlee Anandar, Kepala Biro Penelitian, Pemantauan, dan Dokumentasi KontraS, +62 813-9196-9119