Siaran Pers Bersama KIARA dan SEAFish for Justice, 10 Juni 2015

Masyarakat Ekonomi ASEAN

ASEAN Mesti Fokus Sejahterakan 200 Juta Pelaku Perikanan Skala Kecil di Asia Tenggara dalam Pengelolaan Sumber Daya Laut

Nay Pyi Taw, Myanmar, 10 Juni 2015. Masyarakat Ekonomi ASEAN akan resmi diberlakukan di akhir tahun 2015. Dengan jumlah penduduk sebanyak 600 juta jiwa dan luas lautan 13 juta km2, sedikitnya 200 juta jiwa menggantungkan penghidupan dan pangannya kepada pengelolaan sumber daya perikanan secara langsung maupun tidak, baik perikanan tangkap dan budidaya. Dalam pada itu, negara-negara anggota ASEAN menghadapi problem yang sama, di antaranya pencurian ikan, kerusakan ekosistem pesisir dan laut, perdagangan ikan yang tidak memberikan kesejahteraan kepada pelaku perikanan skala kecil, serta tingginya angka kemiskinan di 173,000 km garis pantai tenggara Asia ini.

Di tahun 2012, produksi perikanan budidaya negara-negara ASEAN mencapai 25,5 juta ton. Tak mengherankan jika ASEAN ditempatkan sebagai produsen terbesar makanan laut dunia (lihat Tabel 1). Bertolak dari fakta-fakta tersebut, The 7th ASEAN Fisheries Consultative Forum digelar di Nay Pyi Taw, Myanmar, pada tanggal 8-9 Juni 2015. Di dalam forum regional ini, SEAFish for Justice/KIARA diberi kesempatan untuk menyampaikan pemikirannya tentang Securing Sustainable Small Scale Fisheries.

Tabel 1. Volume Produksi dan Peringkat Negara-Negara ASEAN 2012

No Nama Negara Volume Produksi (Ton) Peringkat Dunia
Perikanan Tangkap
1 Indonesia 5,420,247 2
2 Vietnam 2,418,700 9
3 Myanmar 2,332,790 10
4 Filipina 2,127,046 12
5 Thailand 1,612,073 14
6 Malaysia 1,472,239 15
  TOTAL 15,383,095
Perikanan Budidaya
7 Vietnam 4,209,415 3
8 Indonesia 3,067,660 4
9 Thailand 1,233,877 7
10 Myanmar 855,169 10
11 Filipina 790,894 11
TOTAL 10,157,015

Sumber: Pusat Data dan Informasi SEAFish for Justice/KIARA (Juni 2015), diolah dari SOFIA (FAO, 2014)

Abdul Halim, Koordinator Regional SEAFish for Justice menegaskan, “Pelaku perikanan skala kecil mendominasi profil masyarakat negara-negara di Asia Tenggara. Di dalamnya, perempuan nelayan berperan penting. Dalam pada itu, angka kemiskinan (< USD 2) di wilayah pedesaan juga sangat tinggi, meski mengalami penurunan: dari 90% di tahun 1988 menjadi 60% di tahun 2011. Tingginya angka kemiskinan ini menjadi gambaran mengenai keharusan hadirnya kebijakan dan implementasi program regional di bidang kelautan dan perikanan yang memfasilitasi kepentingan masyarakat pelaku perikanan skala kecil”.

SEAFish for Justice mencatat prosentase celah kemiskinan (poverty gaps) yang menurun drastis dalam kurun waktu 7 tahun, yakni 2005-2011 (lihat Tabel 2). Terkecuali Laos yang trennya negatif: -0,04. Angka ini menunjukkan 2 hal: pertama, celah kemiskinan mulai menipis; dan kedua, dibutuhkan sumber daya khusus untuk lepas dari kemiskinan, misalnya, masyarakat Kamboja membutuhkan USD 1,43 dan seterusnya.

Tabel 2. Celah Kemiskinan (Poverty Gaps) di Asia Tenggara 2005-2011

Negara 2005 2008 2010 2011
Kamboja 6,80 4,39 1,70 1,43
Indonesia 4,59 4,73 3,28 2,68
Laos 7,89 8,71 8,43 7,93
Malaysia 0,01 0,00 0,00 0,00
Filipina 5,53 4,04 3,95 3,86
Thailand 0,19 0,04 0,04 0,03
Timor Leste 9,54 8,66 5,78 7,55
Vietnam 6,63 3,74 0,98 0,85

Sumber: ASEAN, 2011 dan Bank Dunia, 2014

Sebagaimana diketahui, pada tahun 2020 pemimpin negara-negara anggota ASEAN menyepakati adanya visi bersama untuk mewujudkan bangsa-bangsa Asia Tenggara yang berorientasi ke luar, hidup damai, stabil dan sejahtera, serta terikat satu sama lain di dalam kemitraan pembangunan yang dinamis dan komunitas yang saling perduli. Dalam konteks inilah, perikanan memainkan peranan penting.

“Tingginya angka produksi perikanan di ASEAN berbanding terbalik dengan tingkat kesejahteraan pelaku perikanan skala kecilnya, baik nelayan maupun pembudidaya. Untuk itulah, dibutuhkan intervensi kebijakan dan implementasi program perikanan di tingkat ASEAN yang memfasilitasi pelaku perikanan skala kecil, khususnya perempuan nelayan, untuk memastikan: (1) ketersediaan sumber daya ikan; (2) teknologi dan infrastruktur; (3) keterampilan teknis dan fungsional; (4) informasi dan pengetahuan berkenaan dengan produksi dan perdagangan; (5) akses pasar domestik dan internasional; dan (6) pelayanan kesehatan, pendidikan dan keuangan,” tutup Halim yang juga Sekretaris Jenderal KIARA.***

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Abdul Halim, Koordinator Regional SEAFish for Justice/Sekretaris Jenderal KIARA

di +62 815 53100 259