Kisruh Nelayan Berujung di Elite
JAKARTA, KOMPAS – Aksi mogok nelayan merefleksikan penanganan masalah perikanan yang berbenturan di antara para pejabat. Kasus ini merupakan refleksi permasalahan di tingkat elite yang merembet ke bawah.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (5/10), mengemukakan, mogoknya pelaku usaha terkesan menunjukkan adanya ketergantungan pada praktik perikanan yang tidak bertanggung jawab, seperti pemakaian alat sejenis pukat harimau dan alih muatan hasil tangkapan ikan di tengah laut (transshipment).
Polemik pelaku usaha perikanan makin meruncing karena perbedaan pandangan antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Kementerian Koordinator Kemaritiman. Kementerian Kelautan dan Perikanan tengah berupaya memperbaiki dan meningkatkan kinerja usaha perikanan di dalam negeri. Sebaliknya, Kementerian Koordinator Kemaritiman mendukung dibuka lebarnya keran investasi, termasuk investasi asing.
“Di sinilah letak masalahnya,” ujar Halim. Terkait hal ini, pihaknya meminta Presiden Joko Widodo segera turun tangan.
Kisruh nelayan antara lain terlihat dari sejumlah masalah, yaitu beberapa pelaku usaha kapal cantrang di pantai utara Jawa serta pengusaha kapal ikan dan pabrik pengolahan ikan di Muara Baru Jakarta menyatakan berhenti beroperasi mulai 10 Oktober 2016. Langkah mogok serentak ini sebagai respons terhadap kebijakan pemerintah di sektor perikanan yang dianggap merugikan pengusaha.
Ketua Paguyuban Pengusaha Perikanan Muara Baru Tachmid Widiasto Pusoro dan Koordinator Front Nelayan Bersatu Bambang Wicaksana, secara terpisah, di Jakarta, mengatakan, aksi mogok juga akan dilakukan Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin) dan Himpunan Nelayan Purse Seine Nusantara (HNPN) selama sebulan.
Menurut Tachmid, penghentian kegiatan operasional pabrik pengolahan dipicu kebijakan Perum Perindo yang menaikkan tarif sewa lahan sebesar 460 persen, dari 236 juta menjadi Rp 1,558 miliar per hektar per tahun. Selain itu, Perum Perindo juga memperpendek jangka waktu sewa lahan dari 20 tahun menjadi 5 tahun sehingg tidak memberikan kepastian usaha.
Saat ini, ada sekitar 70 perusahaan pengolahan perikanan di kawasan Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman Muara Baru, Jakarta, yang dikelola BUMN perikanan, Perum Perindo.
Sementara itu, Bambang mengemukakan, penghentian operasi itu sebagai wujud protes atas perlakuan aparat keamanan laut yang dinilai mengkriminalisasi nelayan cantrang.
Di Sulawesi Utara, ratusan kapal penangkap dan penampung ikan melancarkan aksi mogok melaut terkait tuntutan penerapan kebijakan pemerintah mengenai percepatan industri perikanan.
Ketua Asosiasi Kapal Perikanan Nasional (AKPN) Sulawesi Utara Rudy Walukow dan Ketua Unit Pengolahan Ikan (UPI) Basmi Said mengatakan, aksi mogok nelayan sebagai bentuk protes terhadap sejumlah kebijakan bidang perikanan yang tidak pasti.
Secara terpisah, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan, selama bertahun-tahun, pemasukan sewa dari Pelabuhan Nizam Zachman Muara Baru sangat minim dan pemerintah bahkan tidak bisa melakukan pengelolaan. Sudah saatnya pelabuhan perikanan ditata dan dikelola dengan benar.
Susi menambahkan, pihaknya berjanji memfasilitasi pemilik kapal cantrang dengan perbankan untuk memperoleh kredit penggantian alat tangkap. Kredit alat tangkap yang diberikan minimal Rp 200 juta. Pemakaian alat tangkap cantrang dilarang karena merusak.
“Pemilik kapal cantrang yang ingin berganti alat tangkap saya siapkan posko dari pukul 08.00 sampai pukul 16.00 di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan,” katanya.
Sementara pemilik kapal yang masih memiliki utang perbankan terkait pembelian cantrang pada masa lalu dapat merestrukturisasi utang lama hingga dua tahun, serta diberikan utang baru pembelian alat tangkap.
Namun, pihaknya mewajibkan pemilik kapal yang memanipulasi ukuran kapal dengan mengecilkan ukuran agar segera melakukan pengukuran ulang.
“Saya berharap pemilik cantrang memanfaatkan fasilitas ini. Bertambahnya ikan di mana-mana diharapkan diikuti pengelolaan perikanan yang semakin baik sehingga menguntungkan pemilik kapal dan nelayan,” kata Susi.
Susi mengatakan, pengukuran ulang kapal tidak akan dikenai biaya.
Sumber: Kompas, 6 Oktober 2016. Halaman 1 dan 15