Masyarakat Lokal Perlu Dilibatkan

JAKARTA, KOMPAS – Pembangunan sentra kelautan dan perikanan terpadu di 12 pulau terluar mulai tahun ini diharapkan melibatkan masyarakat lokal. Hal ini untuk mengurai belenggu kemiskinan di wilayah pesisir.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim, saat dihubungi di Jakarta, Selasa (22/11), mengemukakan, wilayah pesisir masih menjadi pusat kemiskinan nasional. Terdata 10.606 desa pesisir masih belenggu kemiskinan dan minim perlindungan.

Pemerintah telah menetapkan 12 pulau terluar sebagai sentra kelautan dan perikanan terpadu. Pulau-pulau itu meliputi Natuna, Sabang, Saumlaki, Morotai, Mentawai, Nunukan, Talaud, Merauke, Biak Numfor, Mimika, Rote Ndao, dan Sumba Timur. Kebijakan pengembangan pulau kecil terluar itu sejalan dengan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional.

Untuk bisa memperbaiki kesejahteraan warga pesisir yang didominasi nelayan, ujar Halim, pengelolaan sumber daya ikan sebagai sumber pangan masa depan perlu berbasis masyarakat serta menyambungkan sumber produksi ke pengolahan. Strategi pengelolaan keuangan nelayan juga harus didorong berbasis koperasi.

“Pengembangan pesisir dan pulau-pulau kecil yang membuka peluang investor jangan sampai meminggirkan hak-hak masyarakat pesisir,” katanya.

Hulu hingga hilir

Peningkatan kesejahteraan keluarga miskin di kawasan pesisir tercantum dalam target pembangunan kelautan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019. Arah kebijakan tersebut antara lain menguatkan sumber daya manusia di bidang kelautan, mengurangi dampak pencemaran laut, dan membangkitkan budaya bahari.

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Brahmantya Satyamurti Poerwadi mengemukakan, pembangunan sentra perikanan terpadu mencakup industri hulu hingga hilir. Operasionalnya ditargetkan berlangsung sepenuhnya pada 2017.

Pengembangan industri antara lain mencakup utilitas dasar, pangkalan pendaratan ikan, dan unit pengolahan ikan. Pemerintah telah meminta Perum Perindo (badan usaha milik negara sektor perikanan) untuk mengembangkan investasi di pulau-pulau terluar.

Pihaknya memastikan akan memberdayakan masyarakat untuk industri hulu hingga hilir. Industri pengolahan akan membutuhkan pasokan bahan baku dari nelayan, sedangkan pabrik akan menyerap tenaga kerja masyarakat lokal.

Sementara itu, Halim mengingatkan, masyarakat menantikan komitmen pemerintah dalam menjalankan mandat UU No 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Hal itu diharapkan memberikan jaminan keberpihakan negara terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Sumber: Kompas, 23 November 2016. Halaman 18

Pengelolaan Perikanan Tak Berpihak ke Nelayan

JAKARTA – Pengelolaan sumber daya perikanan nasional belum memberikan pengakuan terhadap kearifan lokal yang tersebar luas di Indonesia. Ironisnya, pemerintah justru memperluas kawasan konservasi laut hingga 20 juta hektare (ha) dan mereklamasi pantai untuk proyek properti skala besar di 30 kabupaten/kota pesisir dengan membatasi akses nelayan/masyarakat adat untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya perikanan tersebut.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat Kedaulatan Perikanan (KIARA), Abdul Halim menyebutkan banyak tradisi pengelolaan sumber daya ikan yang arif dan berkelanjutan. Itu seperti Ola Nua di Lamalera, Nusa Tenggara Timur; Mane’e di Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara; Bapongka di Sulawesi Tengah; Awik-awik di Nusa Tenggara Barat; dan Sasi di Pulau Haruku di Maluku Tengah.

“Namun, tradisi ini terancam oleh kebijakan eko-fasisme yang dikedepankan pemerintah dan sejumlah lembaga asing,” tegasnya dalam aksi memperingati Hari Perikananan Sedunia di Jakarta, Senin (21/11).

Untuk mengantisipasi dampak negatif pengelolaan sumber daya ikan yang eksploitatif dan mendahulukan pendekatan eko-fasisme, pemerintah diminta mengoreksi berbagai tindakan inkonstitusional yang dijalankan pemerintah berkenaan dengan pengelolaan sumber daya perikanan nasional demi tercapainya sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Pemerintah juga diminta untuk memastikan dijalankannya mandat Undang-Undang No 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam dengan memprioritaskan keterlibatan aktif perempuan nelayan.

Selain itu, pemerintah dan DPR mengedepankan tindakan konstitusional dan meminggirkan sikap ekofasisme di dalam pengelolaan sumber daya laut demi tercapainya kesejahteraan bersama, khususnya masyarakat pesisir lintas profesi, meliputi nelayan tradisional, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, dan pelestari ekosistem pesisir.

Perlindungan Kurang

Deputi Bidang Pengelolaan Pengetahuan KIARA, Parid Ridwanuddin menambahkan, selama ini, banyak kebijakan terkesan hendak menghilangkan masyarakat pesisir seperti pemberlakukan lahan konservasi, sekitar 37 lahan yang direklamasi serta privatisasi. Padahal, sudah ada beberapa regulasi yang melindungi masyarakat pesisir tetapi eksekusinya lemah.

Dia menambahkan pemerintah tidak menyadari sekitar 80 persen produksi ikan dalam negeri bersumber dari masyarakat pesisir. Ketika habitatnya diancam, itu berarti mengancam pula jumlah ikan tangkapan dan tentunya mengancam sumber pangan. “Pemerintah pusat dan daerah perlu menemukan skema yang tepat untuk melindungi keberlanjutan masyarakat pesisir,” paparnya.

Staf Ahli Menteri Bidang Kebijakan Publik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Achmad Poernomo mengatakan KKP terus berkomunikasi untuk mensinergikan program terkait wilayah pesisir. ers/E-10

 

Sumber: http://www.koran-jakarta.com/pengelolaan-perikanan-tak-berpihak-ke-nelayan/

KIARA: Negara Mesti Prioritaskan APBN/APBD untuk Peningkatan Usaha Perikanan Skala Kecil yang Menyejahterakan Nelayan

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan
www.kiara.or.id

KIARA: Negara Mesti Prioritaskan APBN/APBD untuk Peningkatan Usaha Perikanan Skala Kecil yang Menyejahterakan Nelayan

 Paris, 19 November 2016. Pengelolaan perikanan skala kecil di Prancis melibatkan 3 bank nasional, yakni Credit Agricole, Credit Maritime, dan Credit Mutuel. Tiga bank ini bertanggung jawab kepada negara untuk memberikan pelayaran kredit usaha maritim dan kelautan dan perikanan yang mudah diakses bagi nelayan skala kecil. Menariknya, penyaluran kredit melibatkan organisasi/badan hukum yang didirikan oleh nelayan, seperti asosiasi/koperasi. Dengan jalan inilah, nelayan skala kecil di Prancis mendapatkan perlindungan dan manfaat dari program peningkatan kesejahteraan bagi pelaku usaha perikanan.

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA yang menghadiri undangan CCFD-Terre Solidaire Prancis dalam rangka Pekan Solidaritas Kelautan (Semaine Ocean Solidaire) di 11 kota di Prancis (Paris, Montaigu, Nantes, Saint-Hilaire de Clisson, Sables d’Olonne, Lorient, Quimper, Saint Guenole, Paimpol, Lannion, dan Rennes) mengatakan, “Pemerintah Prancis menyadari pentingnya peran nelayan skala kecil dalam pemenuhan kebutuhan protein dalam negerinya. Maka nelayan diberi kemudahan untuk mengorganisasi kepentingan politik dan ekonominya. Salah satunya adalah mendirikan asosiasi dan/atau koperasi. Menariknya, bank nasional hanya bisa menyalurkan kredit usaha maritim/kelautan dan perikanan melalui organisasi yang didirikan oleh nelayan untuk memfasilitasi peningkatan usaha yang berujung pada peningkatan kesejahteraan mereka”.

ACAV (Armement Cooperatif Artisanal Vendeen), misalnya, memiliki anggota nelayan skala kecil dengan ukuran kapal antara 18-23 meter seharga 700.000 – 3 juta Euro. Koperasi ini mengajukan kredit pembelian kapal bagi anggotanya kepada 3 bank nasional dengan suka bunga 1,5 persen selama 20 tahun. Menariknya, kredit yang diperoleh mendapatkan fasilitas pelengkap tanpa biaya tambahan, yakni bank memberikan (a) asuransi perlindungan penuh terhadap kapal yang akan dibeli dan (b) asuransi usaha maritim; serta ACAV bertanggung jawab untuk memberikan fasilitas pemeliharaan kapal kepada anggotanya. “Dengan skema ini, nelayan skala kecil di Prancis mendapatkan kepastian usaha, karena negara dan organisasi yang mereka naungi memberikan rasa aman dan nyaman dalam menjalankan usaha perikanan,” tambah Halim.

Di Indonesia, tren penyaluran kredit usaha penangkapan ikan mengalami peningkatan dari tahun 2011-2015 dengan NPL kredit kurang dari 1,8 persen (lihat Tabel 1), meskipun lebih kecil dibandingkan pertumbuhan kredit usaha maritim, yakni 97,759 triliun dengan NPL kredit mencapai 5,37 persen (OJK, April 2016).

Tabel 1. Tren Perkembangan Kredit Usaha Penangkapan Ikan di Indonesia Tahun 2011-2016

Bulan/Tahun Kredit Usaha Penangkapan Ikan (Triliun) NPL (%)
Desember 2011 1,839 4,1
Desember 2012 2,536 2,4
Desember 2013 3,414 1,8
Desember 2014 3,741 2,1
Desember 2015 4,505 2,5
Januari 2016 4,621 2,8
Februari 2016 4,633 2,8

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (November 2016), diolah dari Otoritas Jasa Keuangan (April 2016)

“Melihat perkembangan kredit usaha penangkapan ikan yang terus meningkat dengan resiko gagal bayar yang sangat kecil, mestinya pemerintah berpikir selangkah lebih maju dalam upaya peningkatan kesejahteraan nelayan kecil/tradisional, yakni negara  harus berkomitmen mengalokasikan anggaran peningkatan usaha penangkapan ikan di dalam APBN/APBD untuk usaha perikanan nelayan kecil/tradisional. Karena hal ini sejalan dengan kewajiban pemerintah, baik pusat maupun daerah, sebagaimana diatur di dalam Pasal 59-60 Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam,” jelas Halim.

Oleh karena itu, KIARA mendesak pemerintah untuk melakukan pelbagai terobosan dalam rangka meningkatkan usaha penangkapan ikan skala kecil/tradisional di Indonesia yang berujung pada peningkatan kesejahteraan nelayan sejalan dengan mandat Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam, yakni (1) memprioritaskan pengalokasian anggaran perikanan tangkap bagi usaha penangkapan ikan berbasis organisasi/koperasi nelayan; (2) memberikan fasilitas pendampingan pengelolaan keuangan di bidang perikanan tangkap secara berkala dan reguler; (3) meningkatkan kapasitas nelayan kecil/tradisional untuk mengelola sumber daya ikan melalui pendokumentasian pelbagai aktivitas perikanan skala kecil yang dijalankan, seperti jumlah tangkapan ikan dan mengidentifikasi wilayah tangkapan tradisional mereka; (4) mengadakan pelatihan secara berkala kepada nelayan kecil/tradisional untuk memahami kegunaan informasi cuaca dan wilayah tangkapan ikan (fishing ground); dan (5) memberikan kepastian usaha kepada nelayan kecil/tradisional melalui upaya penyambungan usaha perikanan tangkap dari hulu ke hilir, termasuk hak atas tanah mereka.***

 

Untuk informasi lebih lanjut, bisa menghubungi:

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA di +62 815 53100 259 (WA)

KIARA: Negara Mesti Percepat Reforma Agraria di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan
www.kiara.or.id

KIARA: Negara Mesti Percepat Reforma Agraria di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Makassar, 11 November 2016. KIARA mendesak kementerian/lembaga pemerintah untuk memprioritaskan penyelesaian legalisasi dan redistribusi hak atas tanah bagi masyarakat pesisir (nelayan tradisional, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, dan pelestari ekosistem pesisir). Hal ini terurai di dalam Musyawarah Nasional VII bertajuk “Menegaskan Kembali Pembaruan Agraria Sejati” yang diselenggarakan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) di Asrama Haji Sudiang Makassar, Sulawesi Selatan, pada Selasa (8/11) pagi.

Pusat Data dan Informasi KIARA (November 2016) mencatat, permasalahan pengelolaan agraria di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terjadi dalam pelbagai bentuk, mulai dari mengeksklusi masyarakat pesisir dari pulau-pulau kecil berkenaan dengan pemberian Hak Guna Bangunan untuk investasi pembangunan wisata bahari, reklamasi pantai yang mengenyampingkan hak akses untuk melintas di laut bagi nelayan tradisional, dan tumpang-tindih peruntukan ruang di wilayah pesisir yang merugikan hajat hidup masyarakat pesisir.

Annisa Meutia Ratri, Deputi Bidang Pendidikan dan Penguatan Jaringan KIARA, yang turut hadir di dalam Munas VII KPA mengatakan, “Dalam rangka mengatasi ketimpangan dan konflik agraria di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, pemerintah pusat dan daerah mesti lebih pro aktif dalam memfasilitasi masyarakat pesisir untuk mendapatkan hak atas sumber daya agrarianya, seperti tanah/tambak/perairan pesisir yang menjadi wilayah tangkapan ikannya”.

Seperti diketahui, Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam memberikan mandat kepada Negara untuk memastikan hak atas sumber daya agrarianya.

“Pemerintah wajib memastikan adanya perlakuan yang sama (equal treatment) dan menghindari praktek diskriminasi kepada nelayan tradisional, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pesisir. Terlebih, ada 2 rezim pengaturan hak atas agraria, yakni rezim pertanahan sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan belakangan lahir Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,” tambah Annisa.

Untuk itu, KIARA mendesak kepada pemerintah daerah dan pusat untuk aktif mendatangi desa-desa pesisir dan membuka partisipasi masyarakat pesisir seluas-luasnya dalam penyusunan rencana zonasi guna mewadahi kepentingan mereka dan mempercepat agenda reforma agraria di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.***

Untuk informasi lebih lanjut, bisa menghubungi:

Annisa Meutia Ratri, Deputi Bidang Pendidikan dan Penguatan Jaringan KIARA

Pelaku Usaha Dukung Susi

JAKARTA – Asosiasi Tuna Longline Indonesia akan mendukung penuh proses penegakan hukum atas tiga kapal anggotanya yang terjerat pidana perikanan. Pada Selasa (8/11), Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Satgas 115) mengumumkan nama sembilan kapal asal Teluk Benoa, Bali, yang diduga terlibat berbagai kasus penangkapan ikan secara illegal (illegal fishing). Indikasi pelanggaran pidana itu seperti modifikasi dari kapal eks asing menjadi kapal lokal, penggunaan dokumen kapal dalam negeri secara tidak sah, kabur tanpa proses deregistrasi, hingga tidak tertib dokumen (kapal lokal).

Sekretaris Jenderal Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) Dwi Agus Siswa Putra mengakui, tiga dari sembilan kapal yang ditangani Satgas 115 dimiliki oleh anggotanya. Meski tidak menyebutkan nama secara spesifik, dia memastikan, pelaku usaha akan menaati langkah-langkah penegakan hukum.

“Kami normatif saja. Proses hukum memang harus kalau salah. Kami di sini kan rakyat yang harus taat hukum,” katanya kepada Bisnis, Selasa (8/11).

Menteri Kelautan dan Perikanan yang juga Komandan Satgas 115 Susi Pudjiastuti mengumumkan sembilan kapal tersebut dimiliki baik atas nama korporasi maupun individu. Mereka adalah Kapal Motor (KM) Fransiska milik PT BSN, KM Perintis Jaya 19 milik PT PJI, KM Surya Terang 07 milik PT OISP, KM Fransiska 8 milik PT BTS, KM TKF 8 milik PT AKFI, KM Putra Bahari 18 milik PT BSM. Kapal milik pribadi adalah PT Naga Mas Perkasa 20 milik C, KM Maya Mandiri 128 milik ES, dan KM Bintang Kejora milik Y. Pemerintah menemukan indikasi praktik tindak pidana perikanan di Pelabuhan Benoa, Bali setelah melakukan inspeksi mendadak ke pelabuhan tersebut oleh Menteri Kelautan dan Perikanan bersama dengan anggota Satuan Tugas 115.

“Terima kasih saya ucapkan kepada penyidik 1 Satgas 115 dari Polair Baharkam Polri yang telah bekerja keras dalam mengungkap kejahatan perikanan di Benoa Bali selama tiga bulan terakhir dan masih terus berlanjut,” kata Susi Pudjiastuti dalam konferensi pers, Selasa (8/11).

Berbagai Modus

Dia menjelaskan, sejumlah dugaan kuat praktik tindak pidana perikanan itu antara lain modifikasi atau ‘ganti baju’ kapal eks asing sehingga secara bentuk dan dokumen seolah-olah menjadi kapal dalam negeri. Kapal eks asing itu juga mendaftarkan perizinan kapalnya di Provinsi Bali. Dugaan lainnya, adalah kapal eks asing yang beroperasi menggunakan dokumen kapal dalam negeri, kapal eks asing yang kabur ke luar negeri tanpa melalui proses deregistrasi, dan kapal lokal yang tidak tertib dokumen. “Modus-modus ini secara langsung telah merugikan negara.”

Dia memberikan contoh, melalui praktik pinjam dokumen izin maka kapal dapat menangkap ikan tanpa membayar pungutan pengusahaan perikanan (PPP) dan pungutan hasil perikanan (PHP). Susi menambahkan, hasil tangkapan yang tidak tercatat sebagai bagian dari penghasilan sehingga mengurangi nilai pajak penghasilan yang seharusnya masuk ke kas negara.

Atas koordinasi yang dipimpin oleh tim penyidik 1 Satgas 115, tim gabungan yang terdiri beragam tim penyidik sejumlah instansi telah melakukan upaya penegakan hukum terhadap sembilan kapal yang diduga kuat melakukan tindak pidana perikanan.

“Proses penegakan hukum dilakukan melalui pendekatan multidoor [dengan berbagai perundangan], dengan tidak hanya menggunakan UU No.31/2004 tentang Perikanan, tetapi juga menggunakan UU No.17/2008 tentang Pelayaran dan KUHP,” kata Susi.

Saat ini, penyelidikan terhadap sejumlah pemilik kapal masih terus dilakukan dan tidak berhentian kepada sembilan kapal tersebut. Selain upaya penegakan hukum terhadap sembilan kapal, KKP telah melakukan salah satu upaya perbaikan tata kelola dokumen atau administrasi kapal perikanan, melalui pembukaan gerai perizinan di Pelabuhan Benoa. Gerai perizinan itu melakukan pelayanan antara lain penyederhanaan prasyarat dokumen perizinan dari 35 menjadi 17 dokumen, percepatan penerbitan izin dari maksimal 60 hari menjadi maksimal lima hari kerja, dan penyelenggaraan yang bersifat pro-aktif ke daerah.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim sepakat bahwa masih ditemukannya kasus kapal ikan eks asing di sejumlah daerah dapat menandakan pemberantasan penangkapan ikan secara illegal yang belum memberikan efek jera. “Bisa juga [kurangnya efek jera itu] disebabkan oleh tidak tersambungnya upaya penegakan hukum di tingkat nasional dan daerah,” kata Halim. Susi juga mendorong percepatan proses penegakan hukum terhadap sejumlah kasus terkait dengan penangkapan ikan secara illegal di sejumlah daerah. “Saya akan meningkatkan koordinasi.”

Sumber: http://koran.bisnis.com/read/20161109/452/600586/pelaku-usaha-dukung-susi

Masyarakat Pesisir di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur Belum Mengetahui dan Peroleh Asuransi Jiwa dan Asuransi Perikanan

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan
www.kiara.or.id

Masyarakat Pesisir di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur Belum Mengetahui dan Peroleh Asuransi Jiwa dan Asuransi Perikanan

Maumere, 4 November 2016. Menteri Kelautan dan Perikanan diwajibkan untuk memberikan perlindungan kepada nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam atas resiko yang dihadapi saat melakukan Penangkapan Ikan, Pembudidayaan Ikan, dan Usaha Pergaraman. Hal ini dimandatkan di dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.

Untuk menjalankan mandat tersebut, Menteri Kelautan dan Perikanan telah mengeluarkan peraturan pelaksananya, yakni Peraturan Menteri No. 18 Tahun 2016 Tentang Jaminan Perlindungan atas Resiko kepada Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Sayangnya, aturan ini belum terlaksana dengan baik di desa-desa pesisir.

Pusat Data dan Informasi KIARA (November 2016) mencatat, lebih dari 1.000 nelayan kecil, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam di 6 kabupaten/kota (Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Lombok Timur, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Lombok Barat, Kota Mataram, dan Kabupaten Lombok Utara) di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Kabupaten Sikka di Provinsi Nusa Tenggara Timur belum mengetahui adanya program asuransi perikanan dan asuransi jiwa yang dimandatkan di dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA mengatakan, “Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama-sama dengan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota perlu memperbaiki kinerjanya berkenaan dengan tahapan pelaksanaan program asuransi jiwa dan asuransi perikanan bagi nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam, mulai dari persiapan; sosialisasi; pendataan dan verifikasi; pengusulan calon penerima asuransi; validasi; penetapan penerima Asuransi; hingga pengajuan dan pembayaran klaim, agar penyimpangan kewenangan bisa dihindari”.

Sebagaimana diketahui, Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam memerintahkan kepada pemerintah pusat dan daerah untuk proaktif memfasilitasi nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam untuk memperoleh: (a) kemudahan pendaftaran untuk menjadi peserta; (b) kemudahan akses terhadap perusahaan asuransi; (c) sosialisasi program asuransi terhadap Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, dan perusahaan asuransi; dan/atau (d) bantuan pembayaran premi asuransi jiwa, Asuransi Perikanan, atau Asuransi Pergaraman bagi Nelayan Kecil, Nelayan Tradisional, Pembudi Daya Ikan Kecil, dan Petambak Garam Kecil, sesuai dengan kemampuan keuangan negara”.

“Dengan perbaikan kinerja Kementerian Kelautan dan daerah, penyelenggaraan program asuransi jiwa dan perikanan akan menjangkau dan memberikan manfaat secara langsung kepada 2,7 juta jiwa nelayan, 3 juta jiwa perempuan nelayan, 3,5 juta jiwa pembudidaya ikan, dan 3 juta petambak garam hingga akhir tahun 2018,” tutup Halim.***

Untuk informasi lebih lanjut, bisa menghubungi:

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA di +62 815 53100 259

Masyarakat Pesisir di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur Belum Mengetahui dan Peroleh Asuransi Jiwa dan Asuransi Perikanan

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan
www.kiara.or.id

Masyarakat Pesisir di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur Belum Mengetahui dan Peroleh Asuransi Jiwa dan Asuransi Perikanan

Maumere, 4 November 2016. Menteri Kelautan dan Perikanan diwajibkan untuk memberikan perlindungan kepada nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam atas resiko yang dihadapi saat melakukan Penangkapan Ikan, Pembudidayaan Ikan, dan Usaha Pergaraman. Hal ini dimandatkan di dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.

Untuk menjalankan mandat tersebut, Menteri Kelautan dan Perikanan telah mengeluarkan peraturan pelaksananya, yakni Peraturan Menteri No. 18 Tahun 2016 Tentang Jaminan Perlindungan atas Resiko kepada Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Sayangnya, aturan ini belum terlaksana dengan baik di desa-desa pesisir.

Pusat Data dan Informasi KIARA (November 2016) mencatat, lebih dari 1.000 nelayan kecil, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam di 6 kabupaten/kota (Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Lombok Timur, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Lombok Barat, Kota Mataram, dan Kabupaten Lombok Utara) di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Kabupaten Sikka di Provinsi Nusa Tenggara Timur belum mengetahui adanya program asuransi perikanan dan asuransi jiwa yang dimandatkan di dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA mengatakan, “Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama-sama dengan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota perlu memperbaiki kinerjanya berkenaan dengan tahapan pelaksanaan program asuransi jiwa dan asuransi perikanan bagi nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam, mulai dari persiapan; sosialisasi; pendataan dan verifikasi; pengusulan calon penerima asuransi; validasi; penetapan penerima Asuransi; hingga pengajuan dan pembayaran klaim, agar penyimpangan kewenangan bisa dihindari”.

Sebagaimana diketahui, Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam memerintahkan kepada pemerintah pusat dan daerah untuk proaktif memfasilitasi nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam untuk memperoleh: (a) kemudahan pendaftaran untuk menjadi peserta; (b) kemudahan akses terhadap perusahaan asuransi; (c) sosialisasi program asuransi terhadap Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, dan perusahaan asuransi; dan/atau (d) bantuan pembayaran premi asuransi jiwa, Asuransi Perikanan, atau Asuransi Pergaraman bagi Nelayan Kecil, Nelayan Tradisional, Pembudi Daya Ikan Kecil, dan Petambak Garam Kecil, sesuai dengan kemampuan keuangan negara”.

“Dengan perbaikan kinerja Kementerian Kelautan dan daerah, penyelenggaraan program asuransi jiwa dan perikanan akan menjangkau dan memberikan manfaat secara langsung kepada 2,7 juta jiwa nelayan, 3 juta jiwa perempuan nelayan, 3,5 juta jiwa pembudidaya ikan, dan 3 juta petambak garam hingga akhir tahun 2018,” tutup Halim.***

Untuk informasi lebih lanjut, bisa menghubungi:

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA di +62 815 53100 259