Penamaan Pulau di Indonesia dengan Nama Asing, Bentuk Tergadainya Kedaulatan
Jakarta – Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan yang mengatakan akan memberikan kesempatan bagi asing untuk memberi nama kawasan di pulau-pulau yang ada di Indonesia mengundang banyak kontroversi. Pasalnya, pernyataan itu kian mencerabut Indonesia dari akar-akar budaya yang melekat dengan tanah air Indonesia dan tergadaikannya kedaulatan.
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) melalui Deputi Pengetahuan dan Pengembangan, Parid Ridwanuddin angkat bicara soal ini. Menurutnya, kebijakan itu bukti negara menggadaikan kedaulatannya.
“Ini bukti kedualatan kita tergadaikan, hanya gara-gara mementingkan kepentingan investor,” ujar Parid di Jakarta (13/1/17).
Saat ini Indonesia memiliki sebanyak 4.000 pulau tak bernama yang potensial untuk dikembangkan sebagai tempat wisata.
Luhut mengatakan, kedatangan turis akan membuka lapangan kerja lebih luas bagi masyarakat Indonesia. Negara lain yang berinvestasi di Indonesia, sebut Luhut, juga akan menambah penghasilan negara dari sisi pajak dan menghasilkan pemasukan negara dalam bentuk cepat.
Akan tetapi, realita di lapangan sambung Parid sangat berbahaya. Suatu gambaran jika pulau-pulau di Indonesia dimiliki asing menyebabkan disparitas dan dikotomi kepada masyarakat pesisir setempat.
Di NTT sekitar 3 tahun lalu, Parid menyatakan ada anggota DPR yang berhadapan dengan penjaga pulau yang dimiliki oleh warga Australia saat singgah di pulau tersebut.
“Anggota DPR itu sempat diinterogasi oleh satpam. Untung ada Kapolres dan Kepala Imigrasi NTT, kalau tidak sudah diusir pulang. Itu anggota DPR lalu bagaimana dengan rakyat seperti nelayan,” keluhnya.
Masalah selanjutnya, jika hanya dengan alasan investasi di bidang pariwisata dengan membangun resort, seluruh transaksi akan dilaksanakan di luar negeri. “Resort ini tidak menerima tamu domestik dan seluruh reservasi dan pembayaran dilakukan di luar negeri. Semuanya tamu bookingan internasional,” tambah Parid.
Atas dasar itu, KIARA menentang keras kebijakan Menko Maritim ini demi kedaulatan dan keselamatan bangsa. “Apa masih mau izinkan pesisir dan pulau kecil dikuasai asing?” tandasnya.
Kendati demikian, Menko Luhut sempat menjelaskan bahwa asing hanya memberi nama pulau saja, kalau kepemilikan tetap di Indonesia. Luhut menegaskan kepada seluruh pihak jangan khawatir terhadap penamaan itu.
Senada dengan Parid, Kepala Gardu Besar Pejuang Tanpa Akhir (PETA) Agus Harimurti Kodri menjelaskan bahwa nama juga membawa akar budaya yang bersifat eksansif. “Kalau nama wilayah kita sudah dinamai berdasarkan nama-nama asing tempat investor berasal, artinya wilayah itu secara de facto menjadi wilayahnya,” terang Agus.
Akibat sulitnya kondisi perekonomian bangsa Indonesia saat ini, nilai tawar dan harga diri bangsa besar yang tengah bertransformasi menjadi bangsa maritim ini kian tergadaikan.
Lebih lanjut, lulusan Teknik ITB ini menyatakan bahwa nama adalah bentuk hegemoni budaya dari budaya asing kepada budaya lokal.
“Nama selalu membawa arti, kalau dinamai Yokohama, Tokyo dan sebagainya ini sudah bentuk kooptasi budaya kepada budaya setempat,” pungkasnya. (Tan/MN)