Susi Pudjiastuti Diminta tak Melunak Terkait Larangan Transhipment

Selasa, 10 Februari 2015 WIB

JAKARTA, GRESNEWS.COM – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) diminta tak melunakkan sikapnya terkait larangan melakukan kegiatan alih muatan di tengah laut atau transhipment. Sekretaris Jenderal KIARA Abdul Halim menegaskan, pengelolaan perikanan di Indonesia jelas diarahkan untuk memajukan pembangunan perikanan nasional dan menyejahterakan para pelaku dalam negeri, khususnya nelayan dan perempuan nelayan.

Pembolehan kembali alih muatan di tengah laut, kata Halim, jelas mencederai amanat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Sebagaimana diketahui, Pasal 41 Ayat (3) UU Perikanan menyebutkan: “Setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan harus mendaratkan ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan”.

Sementara pada Pasal Pasal 25 Ayat (1) ditegaskan: “Usaha perikanan dilaksanakan dalam sistem bisnis perikanan, meliputi praproduksi, produksi, pengolahan dan pemasaran”.

Halim menyayangkan rencana Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti untuk menyusun petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan alih muatan di tengah laut. Juknis itu diperkirakan akan melonggarkan ketentuan-ketentuan di dalam Peraturan Menteri Nomor 57 Tahun 2014 tentang tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
“Mengacu pada klausul-klausul di atas, sudah semestinya Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak membuka peluang sedikitpun terhadap praktik alih muatan di tengah laut,” kata Halim kepada Gresnews.com, Senin (9/2).

Dia mengatakan, Pusat Data dan Informasi KIARA (Februari 2015) menemukan fakta bahwa transhipment berakibat fatal pada pengelolaan perikanan di Indonesia. Pertama, menghilangnya pemasukan negara akibat hilangnya pendapatan bukan pajak di Kementerian Kelautan dan Perikanan seperti diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2006, misalnya jasa pelabuhan perikanan.

“Dalam hal ini, masyarakat pelaku perikanan skala kecil dan industri dalam negeri kehilangan kesempatan untuk ikut mengolah bahan mentah,” tegas Halim.

Kedua, pelabuhan pangkalan dalam negeri dianggap tidak berkualitas dibandingkan pelabuhan di negara lain untuk pendaratan hasil tangkapan ikan. “Hal ini merugikan Negara akibat selisih harga jual dalam mata rantai perdagangan produk perikanan, khususnya upaya negara untuk meningkatkan nilai tambah produk perikanan sebelum diekspor,” ujar Halim lagi.

Ketiga, volume hasil tangkapan ikan yang dialih-muatkan di tengah laut tidak bisa terdata dengan pasti oleh otoritas negara. Hal ini menyulitkan pengambil kebijakan untuk mengevaluasi dan merevisi stok ikan yang masih tersedia.

Pengalaman buruk inilah yang dialami oleh negara-negara di Kepulauan Pasifik berkenaan dengan pengelolaan ikan tuna yang tidak didaratkan ke pelabuhan pangkalan. Diantaranya di Kepulauan Solomon sebanyak 2.201 ton, Republik Kepulauan Mikronesia (2.017 ton), Palau (1.758 ton), Kiribati (1.701 ton), Vanuatu (1.600 ton), Niue (126 ton), Tonga (82 ton), dan Kepulauan Cook (3 ton).

Kerugian negara yang tergambar dan pengalaman negara-negara lain di atas semestinya menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia, khususnya Menteri Kelautan dan Perikanan. “Sudah saatnya Republik ini mengakhiri kutukan sumber daya alam yang tidak menyejahterakan warganya,” tutup Halim.

Sebelumnya, Susi mengatakan, transshipment berdampak langsung pada industri perikanan. Pengiriman ikan ke luar negeri menjadi terhambat. Khususnya pada mereka yang secara langsung tidak melakukan penangkapan ikan.

“Kita buat larangan transshipment 2014, memukul beberapa pemain perikanan yang sebetulnya tidak melakukan transshipment luar negeri,” ucap Susi dalam konferensi pers di Kantornya, Jakarta, Senin (2/2) pekan lalu.

Karena itu Susi kemudian merancang petunjuk teknis (juknis) untuk kondisi tertentu melakukan transshipment. Dalam juknis itu, Susi memberi kelonggaran bagi pelaku industri agar boleh bongkar muat ikan di fishing ground tengah laut.

“Kita tidak cabut pelarangan, tapi buat juknis untuk para pelaku penangkap untuk membawa hasilnya dari fishing ground ke pelabuhan, diperbolehkan dengan ketentuan mengikat diberi sanksi jika itu diselewengkan,” tegas Susi.

Adapun juknis yang dimaksud salah satunya soal pemberian vessel monitoring system (VMS) dan pendataan kapal yang boleh melakukan transhipment. “Juknis tadi akan dilengkapi restriksi, VMS, data kapal, dan sebaginya ,” tutupnya. (*)

Redaktur : Muhammad Agung Riyadi

Sumber: http://gresnews.com/mobile/berita/Sosial/10102-susi-pudjiastuti-diminta-tak-melunak-terkait-larangan-transhipment

Darinah: Perempuan Perkasa Dari Rembang

Apa yang bisa kita bayangkan tentang rasa lapar? Di benak kita tentu melintas perasaan tidak nyaman di bagian perut dan tidak jarang disertai dengan perasaan melilit yang tidak tertahankan. Lapar adalah ketakutan bagian semua manusia.

Seorang pemenang nobel sastra dari Norwegia di tahun 1920, Knut Hamsun, menceritakan rasa lapar dalam bukunya yang berjudul Lapar (Sult). Dalam novel itu Knut Hamsun bercerita tentang pengalaman kelaparan teramat sangat, di mana ia harus memamah serpihan kayu untuk mengganjal perutnya dari rasa lapar. Hingga Knut pun harus menggadaikan selimutnya hanya untuk mendapatkan pinjaman uang dari seorang mahasiswa filsafat. Dalam kelaparannya Knut Hamsun pun pernah merampas kue yang dirampasnya dari seorang nenek tua. Ya, kelaparan adalah simbol dan bentuk paling menakutkan dari kemiskinan itu sendiri.

1 dari 7 orang di dunia harus tidur dalam keadaan perut kelaparan. Ironisnya 80% dari mereka adalah nelayan, petani atau pun para produsen pangan skala kecil. Setali tiga uang, kemiskinan di 10.444 desa pesisir membuat nelayan tradisional Indonesia acap kali harus tidur dalam keadaan lapar.

Seorang perempuan dari Desa Karanggeneng, Rembang, sedari kecil berjuang untuk melawan rasa laparnya. Namanya Darinah, anak nelayan dari Ratman dan Rumini yang sedari kecil menjadi tulang punggung keluarga. Darinah anak ke-4 dari 7 bersaudara, ketiga kakaknya telah meninggal dunia. Maka tidak heran beban keluarga menjadi tanggung jawab Darinah di usia yang cukup belia. Darinah bukan sekadar berjuang untuk bertahan hidup. Hingga hari ini, Darinah menjadi potret perempuan nelayan yang berjuang melawan rasa lapar.

Menunda kebahagiaan

Darinah duduk bersama 10 orang perempuan lainnya. Tubuhnya dibalut pakaian panjang berwarna hijau dan celana panjang berwarna cokelat yang dikenakannya terlihat kotor di bagian paha. Sepatu boots berbahan karet yang dikenakannya pun tidak luput dari kotoran lumpur yang menempel di sisi kiri dan kanannya. Sesekali Darinah tampak merapikan topi yang dikenakannya. Sarung tangan putih yang digunakannya pun sesekali melorot hingga batas pergelangan tangannya.

Rembang baru saja diguyur hujan, keadaan TPI di siang itu terlihat becek. Hujan rintik yang masih turun tidak mengurangi geliat TPI. Sekumpulan perempuan sedang duduk sembari menunggu kapal-kapal sandar di dermaga.
Darinah adalah seorang perempuan berperawakan tinggi besar dan berkulit sawo matang. Fisiknya yang terlihat kekar dan kejujurannya membuat dia pernah dipercaya membantu juragan pemilik kapal dalam mengelola hasil tangkapan nelayan.

Darinah seperti kebanyakan perempuan yang tinggal di pesisir lainnya. Kemiskinan membuat ia harus menjadi tulang-punggung keluarga. Sejak ditinggal ibunya di usia 12 tahun, Darinah semakin giat membantu adik-adiknya untuk bersekolah. Darinah mulai membantu mengasinkan ikan atau membantu berjualan ikan ke pasar. Darinah menikah dengan Moch. Solikin di usia 37 tahun. Darinah memilih mengalah dan terlambat menikah.

“Saya Cuma mau lihat adik-adik saya dulu menikah, punya keluarga, punya kehidupan. Setelah itu saya baru mau menikah,” ujar Darinah sembari tersenyum.

Kini, ia dikaruniai seorang putri jelita yang baru berusia 2 tahun. Kehidupan baginya sudah terasa lengkap.

Bongkar Muat Kapal

Ada fenomena baru yang terjadi di Rembang dalam kurun waktu dua tahun terakhir. Perempuan menjadi bagian dari aktivitas bongkar muatan kapal. Rupanya kesulitan perekonomian keluarga nelayan mendorong perempuan untuk bekerja sebagai buruh bongkar muat kapal.

Darinah dan perempuan lainnya memulai pekerjaan bongkar muat kapal dari jam 11.00-14.00 WIB. Tugas perempuan termasuk Darinah adalah menarik ikan di dalam keranjang keluar dari kapal, lalu mereka akan membersihkan ikan-ikan tersebut.

“Untuk yang manggul-manggul memang laki-laki, tapi kadang kami juga membantu,” ujar Darinah sembari menyiram keranjang ikan dengan air.

Upah yang diterima oleh perempuan pun tidak sama dengan yang diterima oleh laki-laki. Upah perempuan yang melakukan bongkar muat kapal sekitar Rp. 40.000 sampai Rp. 50.000, sedangkan untuk laki-laki sekitar Rp50.000-Rp60.000. Hal ini pun bergantung kepada juragan kapal dan hasil tangkapannya.

“Yang penting kami mendapatkan nasi sebungkus setiap bongkar muat,” tutur Darinah.

Sebelumnya perempuan tidak ikut dalam aktivitas bongkar muat kapal. Mereka cenderung malu dan sungkan bergabung dengan nelayan laki-laki. Namun, beban hidup yang semakin berat membuat para perempuan tersebut turun tangan mengais rezeki lewat bongkar muat kapal. Hasil yang didapat pun cukup lumayan.

Harapan Darinah

Di tengah kehidupannya yang tidak pernah jauh dari gambaran kemiskinan, Darinah selalu menyimpan harapan demi harapan. Seperti kebanyakan orang, bermimpi adalah hal yang membuat Darinah terus berjuang setiap hari.

“Mimpi orang seperti saya sederhana, setidaknya kami jauh dari rasa lapar. Apalagi usia saya yang sudah tua, sedangkan anak saya masih berumur 2 tahun. Saya ndak mau anak saya pernah merasakan apa yang saya rasakan. Dia harus sekolah tinggi,” ujar Darinah sambil menatap kapal-kapal yang baru saja sandar di dermaga.

Bagi Darinah, pemerintah harus menghapuskan kemiskinan dari kampung-kampung nelayan. Bukan lagi sekadar wacana yang digelontorkan ketika rapat teknis kepemerintahan, namun aksi konkrit dalam memastikan kesejahteraan bagi seluruh nelayan tradisional Indonesia.*** (SH)

Kiara: Nelayan Masih Alami Kesulitan Perizinan Melaut

Metrotvnews.com, Jakarta: Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyatakan masih banyak nelayan yang mengalami kesulitan dalam mengurus perizinan untuk melaut. “Hingga hari ini nelayan masih mengalami kesulitan ketika mengurus
perizinan melaut,” kata Sekjen Kiara Abdul Halim dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu (20/7/2014).

Menurut Abdul Halim, birokrasi yang berbelit dan minimnya pengetahuan nelayan tradisional Indonesia dalam mengurus izin membuat nelayan menjadi rentan untuk dikriminalisasi.

Hal itu, ujar dia, secara langsung berdampak bagi kesejahteraan nelayan tradisional Indonesia dan mengakibatkan kemiskinan semakin merajalela di kampung nelayan di berbagai daerah di Tanah Air.

Dia menilai bahwa sampai masa bakti anggota DPR periode 2009-2014 akan berakhir belum ada upaya konkret untuk memberikan payung hukum bagi perlindungan dan pemberdayaan nelayan Indonesia.

“Nelayan masih dianggap masyarakat kelas dua, padahal kontribusi mereka dalam pemenuhan gizi bangsa bisa dirasakan setiap hari di piring-piring masyarakat Indonesia,” ujarnya.

Sebelumnya, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menginginkan pemerintah mendatang dapat menuntaskan permasalahan kemiskinan nelayan tradisional serta bisa mengangkat tingkat penghasilan masyarakat pesisir di berbagai daerah.

Ketua Dewan Pembina KNTI Riza Damanik mengatakan, dengan menanggulangi persoalan kelautan dan akar kemiskinan nelayan maka hal itu merupakan langkah awal yang diyakini membawa Indonesia sebagai negara kepulauan yang kuat kedepannya.

Selain itu, ujar dia, presiden terpilih juga diminta untuk berkomitmen melaksanakan Instrumen Internasional Perlindungan Nelayan Kecil (International Guidelines on Small Scale Fisheries/IGSSF) yang telah disahkan FAO pada Juni 2014.

Pemberdayaan nelayan tradisional juga dinilai perlu menjadi prioritas pembangunan nasional karena selama ini masih terpinggirkan dalam arus utama perencanaan pembangunan di Tanah Air.

Direktur Pusat Studi Oseanografi dan Teknologi Kelautan Universitas Surya Alan F Koropitan mengingatkan bahwa Indonesia ketika merdeka hanya memiliki luas perairan laut sekitar 100 ribu kilometer persegi, namun dengan adanya Deklarasi Djuanda dan diakui secara internasional maka total luas perairan laut Indonesia menjadi sekitar 5,8 juta kilometer persegi.

Jadi, lanjut dia, luas perairan laut mencapai 70 persen dari total wilayah kedaulatan RI, namun total pekerja di sektor laut dan pesisir hanya berkisar 5,6 juta orang yang terbagi atas 2,3 juta nelayan dan 3,3 juta petambak di Tanah Air. 

Kiara: Nelayan Masih Alami Kesulitan Perizinan Melaut

Metrotvnews.com, Jakarta: Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyatakan masih banyak nelayan yang mengalami kesulitan dalam mengurus perizinan untuk melaut. “Hingga hari ini nelayan masih mengalami kesulitan ketika mengurus
perizinan melaut,” kata Sekjen Kiara Abdul Halim dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu (20/7/2014).

Menurut Abdul Halim, birokrasi yang berbelit dan minimnya pengetahuan nelayan tradisional Indonesia dalam mengurus izin membuat nelayan menjadi rentan untuk dikriminalisasi.

Hal itu, ujar dia, secara langsung berdampak bagi kesejahteraan nelayan tradisional Indonesia dan mengakibatkan kemiskinan semakin merajalela di kampung nelayan di berbagai daerah di Tanah Air.

Dia menilai bahwa sampai masa bakti anggota DPR periode 2009-2014 akan berakhir belum ada upaya konkret untuk memberikan payung hukum bagi perlindungan dan pemberdayaan nelayan Indonesia.

“Nelayan masih dianggap masyarakat kelas dua, padahal kontribusi mereka dalam pemenuhan gizi bangsa bisa dirasakan setiap hari di piring-piring masyarakat Indonesia,” ujarnya.

Sebelumnya, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menginginkan pemerintah mendatang dapat menuntaskan permasalahan kemiskinan nelayan tradisional serta bisa mengangkat tingkat penghasilan masyarakat pesisir di berbagai daerah.

Ketua Dewan Pembina KNTI Riza Damanik mengatakan, dengan menanggulangi persoalan kelautan dan akar kemiskinan nelayan maka hal itu merupakan langkah awal yang diyakini membawa Indonesia sebagai negara kepulauan yang kuat kedepannya.

Selain itu, ujar dia, presiden terpilih juga diminta untuk berkomitmen melaksanakan Instrumen Internasional Perlindungan Nelayan Kecil (International Guidelines on Small Scale Fisheries/IGSSF) yang telah disahkan FAO pada Juni 2014.

Pemberdayaan nelayan tradisional juga dinilai perlu menjadi prioritas pembangunan nasional karena selama ini masih terpinggirkan dalam arus utama perencanaan pembangunan di Tanah Air.

Direktur Pusat Studi Oseanografi dan Teknologi Kelautan Universitas Surya Alan F Koropitan mengingatkan bahwa Indonesia ketika merdeka hanya memiliki luas perairan laut sekitar 100 ribu kilometer persegi, namun dengan adanya Deklarasi Djuanda dan diakui secara internasional maka total luas perairan laut Indonesia menjadi sekitar 5,8 juta kilometer persegi.

Jadi, lanjut dia, luas perairan laut mencapai 70 persen dari total wilayah kedaulatan RI, namun total pekerja di sektor laut dan pesisir hanya berkisar 5,6 juta orang yang terbagi atas 2,3 juta nelayan dan 3,3 juta petambak di Tanah Air. 

Mau Melaut Harus Urus 19 Izin, Nelayan Rentan Kriminalisasi

NEFOSNEWS, Jakarta – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyatakan, birokrasi berbelit dan minimnya pengetahuan nelayan dalam mengurus izin membuat membuat nelayan rentan dikriminalisasi.

Untuk bisa melaut, seorang nelayan harus mengurus sederet perizinan yang jika ditotal jumlahnya mencapai sekitar 19 sampai 21 item izin. Izin ini tidak hanya berlaku bagi nelayan kapal besar, nelayan sopek atau kapal kecil bermesin temple juga harus minta izin.

Parahnya lagi, tiap perizinan mesti diurus di berbagai instansi pemerintah, bukan lewat satu atap. Masa berlaku semua perizinan juga berbeda-beda. Jadi untuk urusan birokrasi ini saja, nelayan harus membuang banyak waktu dan energi.

“Hingga hari ini nelayan masih mengalami kesulitan ketika mengurus perizinan melaut,” kata Sekjen Kiara, Abdul Halim, di Jakarta, Minggu (20/7/14).

Kondisi ini secara langsung berdampak bagi kesejahteraan nelayan tradisional Indonesia dan mengakibatkan kemiskinan semakin merajalela di kampung nelayan di berbagai daerah di Tanah Air.

Kiara sangat kecewa, sebab DPR tidak bisa memenuhi janjinya mengesahkan UU Kelautan sebagai upaya konkret untuk memberikan payung hukum bagi perlindungan dan pemberdayaan nelayan Indonesia.

DPR lebih mementingkan urusan lain seperti membahas UU MD3 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang sangat kontroversial, dibanding mengurusi nelayan yang jumlahnya sangat banyak.

“Nelayan masih dianggap masyarakat kelas dua, padahal kontribusi mereka dalam pemenuhan gizi bangsa bisa dirasakan setiap hari di piring-piring masyarakat Indonesia.”

Sementara itu, Ketua Dewan Pembina KNTI, Riza Damanik, meminta presiden terpilih nantinya mau menuntaskan persoalan nelayan. Tidak sekedar menjadikan program nelayan sebagai agenda kampanye.

“Presiden terpilih untuk mempertimbangkan atau tidak mengulang kesalahan persoalan mendasar kelautan dan akar kemiskinan nelayan,” kata Riza.

Dengan menanggulangi persoalan kelautan, maka KNTI yakin hal itu merupakan langkah awal untuk membawa Indonesia sebagai negara kepulauan yang kuat di masa mendatang. (anila)

Salmi Rodi: Peran dan Keberadaan Perempuan Nelayan Belum Diakui

“Kami gelisah melihat suami melaut di tengah cuaca yang tidak menentu. Dalam situasi itulah, kaum perempuan nelayan di Gresik tergerak mencari penghasilan untuk mencukupi kebutuhan keluarga, terutama pendidikan anak,” ujar Salmi Rodli, Koordinator Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) yang tinggal di Ujung Pangkah, Kabupaten Gresik.

salmi rodiDesa Ujung Pangkah, Gresik, Jawa Timur tidak pernah senyap dari aktivitas warganya. Apalagi jika nelayan baru pulang melaut dan membawa hasil tangkapannya, perempuan nelayan dan penjual ikan akan berkerumun menyambut kapal-kapal yang datang.

Keterlibatan perempuan nelayan dalam aktivitas perikanan skala kecil di Desa Ujung Pangkah kian terasa saat mereka tidak sekadar memainkan peran sebagai orang yang membantu mempersiapkan kebutuhan nelayan melaut, namun juga tulang punggung perekonomian keluarga.

Salmi memulai harinya dengan mempersiapkan keperluan suaminya miyang (melaut). Sosoknya yang mungil tidak mengurangi kelihaiannya dalam mengurus segala kebutuhan melaut. Sore hari Salmi bergabung dengan perempuan nelayan lainnya, menunggu nelayan-nelayan datang dan mendaratkan kapal-kapalnya.

Ujung Pangkah juga disebut Estuari atau tempat bertemunya air tawar dan air laut, maka tidak heran jika pemijahan telur ikan dapat berkembang dengan baik. Di sisi lain, nelayan dari Demak, Rembang dan Lamongan acapkali melaut di Gresik.

Salmi Rodli, yang lahir pada tanggal 15 September 1972 merupakan pejuang hak-hak perempuan nelayan dari Ujung Pangkah. Keterlibatannya dalam gerakan perempuan nelayan dilatari keprihatinannya melihat kehidupan perempuan nelayan yang miskin dan terlilit hutang. Alasan lainnya adalah kondisi anak-anak balita yang tinggal di Ujung Pangkah berada dalam kondisi yang kurang baik. Kedua hal inilah yang mendorong Salmi untuk aktif dan terlibat di Posyandu.

Tergerak

Salmi selalu meyakini tempatnya memiliki potensi besar. Pada tahun 1997 daerahnya menjadi tempat penghasil ikan bandeng terbesar di Jawa Timur. Tahun itu menjadi masa cemerlang Ujung Pangkah, di mana penghasilan nelayan cukup baik. Namun, hal ini berubah drastis saat perusahaan datang dan mencemari laut. Kondisi ini membuat penghasilan mereka menurun dan alih profesi sebagai buruh pabrik.

“Miris saya, banyak yang terus jadi buruh pabrik, anak-anak juga jadi sering sakit,” ucap Salmi prihatin.

Kehadiran perusahaan pengeboran minyak di Desa Ujung Pangkah kian memburuk ketika cuaca ekstrem dan musim yang tidak menentu. Kondisi ini merugikan masyarakat nelayan.

Pada tahun 2007, Salmi aktif di dalam Organisasi Tanggung Renteng. Organisasi ini merupakan kumpulan dari 6 kelompok usaha industri rumah tangga. Keterlibatannya di organisasi inni tidak lantas membuat Salmi non-aktif sebagai kader PKK dan Posyandu.

“Saya mulai berbuat dengan hal sederhana, seperti membantu ibu-ibu nelayan mengolah hasil tangkapan suami atau membantu pengobatan anak-anak yang sakit. Sederhana saja, tapi bermanfaat bagi orang lain,” jelas Salmi sembari tersenyum.

Salmi kian aktif membantu perempuan nelayan yang mulai memproduksi dan menjual kerupuk udang, keripik teri, keripik udang, terasi dan ikan asap. Kreativitas perempuan nelayan di Ujung Pangkah semakin beragam, terlebih lagi dengan adanya produk pangan inovatif, seperti kepiting bumbu saus atau kepiting balado.

Banyaknya aktivitas perempuan nelayan di Ujung Pangkah belum terwadahi, misalnya melalui koperasi. Apalagi akses informasi dan harga di pasaran acapkali menjadi kendala dalam pemasaran produk olahan kelompok.

Pada tahun 2011, Salmi terlibat di dalam organisasi Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI). Beragam pelatihan dan pertukaran informasi telah ia ikuti, hasilnya perempuan nelayan di Ujung Pangkah kian paham pentingnya berorganisasi dan semakin giat mengembangkan potensi sumber daya perikanan yang ada.

 “Perempuan nelayan juga menjadi tulang punggung keluarga. Mereka harus mendapat perlindungan dan pemberdayaan. Kami juga tidak hanya berperan di belakang suami. Negara harus mengakui peran dan keberadaan perempuan nelayan,” harap Salmi.

Oleh karena itu, PPNI tengah mendorong hadirnya RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan bersama dengan KIARA.

“Perempuan nelayan ibarat estuari”, kata Salmi. Simbol yang bukan sekadar tempat pertemuan air laut dan air tawar, menjadi sumber daya penopang kehidupan manusia. “Karena itu, peran dan keberadaan perempuan nelayan harus segera diakui dan didukung oleh Negara,” tegas Salmi mengulangi pernyataannya.

*** (SH)

Petisi : TOLAK GUGATAN PT. ARUNA WIJAYA SAKTI/CHAROEN POKPHAND TERHADAP 385 PETAMBAK UDANG EKS DIPASENA

Petisi

MAHKAMAH AGUNG:

TOLAK GUGATAN PT. ARUNA WIJAYA SAKTI/CHAROEN POKPHAND TERHADAP 385 PETAMBAK UDANG EKS DIPASENA

Baru-baru ini, media The Guardian melansir hasil investigasinya berkenaan dengan penggunaan pakan udang hasil perbudakan oleh PT. Charoen Pokphand Foods asal Thailand. Bertolak dari publikasi tersebut, sejumlah pelaku pasar udang internasional, seperti Walmart, Carrefour, Tesco, dan Casco, mengembargo udang asal perusahaan tersebut.

Di Indonesia, sebanyak 385 petambak udang eks Dipasena yang terletak di Kecamatan Rawajati Timur, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung, digugat oleh PT. Aruna Wijaya Sakti, anak perusahaan Charoen Pokphand dari Thailand. PT. Aruna Wijaya Sakti/Charoen Phokpand (PT. AWS/CP) menuduh petambak telah wanprestasi dalam perjanjian inti-plasma yang curang dan tidak adil kepada petambak.

PT. AWS/CP memonopoli semua kebutuhan usaha budidaya udang, seperti benih udang, pakan, obat-obatan hingga pupuk sebagai hutang yang dijual dengan harga mahal. Kebutuhan lain seperti listrik juga disediakan dan dibebankan sebagai hutang.

Untuk tetap mengikat petambak agar terus bergantung, perusahaan memaksakan adanya hutang bulanan sebesar Rp. 900.000/bulan sebagai Biaya Hidup Petambak Plasma (BHPP) sebagai terhutang. Sistem pelunasan hutang dilakukan dengan pemotongan hasil panen sebesar 20% seusai panen. Udang hasil panen hanya boleh dijual kepada perusahaan, jika tidak maka hal itu dianggap sebagai pelanggaran pidana (dikriminalisasi). Penetapan harga beli udang hasil panen dilakukan secara sepihak oleh perusahaan dengan harga sangat rendah. Hingga kini, keseluruhan hutang yang tidak transparan tersebut menjadi dalih perusahaan bahwa petambak berutang dan tambak tersebut dapat disita untuk melunasi hutang ke perusahaan.

Kejahatan PT. AWS/CP semakin nyata dengan tidak melaksanakan kewajibannya merevitalisasi/memperbaiki tambak udang agar dapat berproduksi. Kewajiban tersebut timbul dari perjanjian pembelian aset Group Dipasena yang dimandatkan oleh Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK). Hingga awal 2011, PT. AWS/CP hanya merevitalisasi lima blok saja dari keseluruhan 16 blok. Padahal perjanjian antara PT. AWS/CP dengan masing-masing petambak adalah jenis perjanjian timbal balik yang mewajibkan PT. AWS/CP harus terlebih dahulu melaksanakan kewajibannya merevitalisasi tambak. Oleh karena itu, sebenarnya PT. AWS/CP terlebih dahulu wanprestasi dengan tidak pernah melakukan revitalisasi pertambakan sebagai kewajiban untuk menyediakan sarana-prasarana tambak untuk berjalannya usaha budidaya udang.

Harapan keadilan dapat berpihak kepada petambak sempat mencuat pada pengadilan tingkat pertama, yang menyatakan itikad buruk gugatan PT. AWS/CP ditolak dan tidak dapat diterima oleh Pengadilan Negeri Menggala pada tanggal 17 Januari 2013. Pertimbangan putusan majelis menitikberatkan kepada substansi keadilan dalam penyelesaian persoalan yang disengketakan. Bahwa tidak beralasan secara hukum adanya 400 Tergugat Petambak Plasma Bumi Dipasena ditarik sebagai Para Tergugat dalam satu gugatan.

Namun, Pengadilan Tinggi Tanjung Karang bertindak sebaliknya dengan mengalahkan 385 petambak Dipasena. Pada tanggal 20 Desember 2013, Pengadilan Tinggi Tanjungkarang memutuskan bahwa 2 petak lahan tambak seluas 2.000 meter persegi dari 385 petambak akan disita pengadilan dan dibebankan untuk membayar hutang sebesar lebih dari Rp. 26,8 miliar. Hutang tersebut adalah hutang kredit yang tidak pernah diketahui transparansinya dan bahkan tidak pernah dinikmati oleh petambak. Ironisnya, Sisa Hasil Usaha (SHU) petambak eks-Dipasena senilai lebih dari Rp. 38 miliyar tidak pernah dibayarkan kepada petambak.

Proses penyelesaian sengketa pertambakan ini telah diupayakan melalui jalur mediasi yang difasilitasi Komnas HAM. Dalam proses mediasi terakhir pada 4 Mei 2012, petambak telah menyatakan itikad baik untuk menyelesaikan kewajiban kepada pihak bank dengan syarat dilakukan dialog untuk menjelaskan posisi sebenarnya dari hutang-hutang petambak. Namun sayangnya, PT. AWS/CP tidak menunjukkan keinginan untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Bahkan mengabaikan hasil kesepakatan mediasi yang difasilitasi oleh Komnas HAM.

Ribuan petambak saat ini sedang bergeliat mandiri pasca hengkangnya PT AWS/CP dari Bumi Dipasena secara de facto. Petambak mulai menata pertambakan dengan melakukan budidaya secara mandiri dan berkomitmen menjalankan model ekonomi kerakyatan di bekas pertambakan udang terbesar di dunia ini.

Untuk itu, kami mengajak Saudara sebangsa dan se-Tanah Air mendukung petisi ini sebagai solidaritas untuk kemandirian dan martabat sebagai sesama manusia yang telah dipermainkan oleh perusahaan multi nasional, seperti Charoen Pokphand.***

 

Untuk informasi tambahan:

http://www.theguardian.com/global-development/2014/jun/10/supermarket-prawns-thailand-produced-slave-labour

http://www.gresnews.com/berita/hukum/120203-petambak-dipasena-resmi-ajukan-kasasi/

http://lampung.tribunnews.com/2013/11/10/petambak-udang-dumi-dipasena-jaya-bangun-jembatan-secara-swadaya

http://www.radarlampung.co.id/read/lampung-raya/lampura-tuba/64507-jembatan-swadaya-rp500-juta

http://www.teraslampung.com/2014/02/tanpa-pt-cp-prima-petambak-dipasena.html

 Bentuk Petisi:

 Kepada :  Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia

Bapak Dr. H. Hatta Ali, SH., MH.

di Jl. Medan Merdeka Utara No. 9-13, Jakarta Pusat.

 Tolak Gugatan PT. Aruna Wijaya Sakti/Charoen Pokphand Terhadap 385 Petambak Udang Dipasena

 Salam, [Nama Anda]

 Catatan:

  1. Penggalangan dukungan atas petisi ini berlangsung hingga tanggal 21 Juli 2014 dan selanjutnya akan diserahkan kepada Mahkamah Agung.
  2. Dukungan atas petisi ini dapat diberikan dengan hanya mencantumkan alamat email/FB/twitter atau mengklik “like” pada laman petisi yang tersedia di website dan FB KIARA.

Sulyati: Sarjana Pendidikan di Kampung Nelayan

“Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang,” demikian pesan Bung Karno yang mengilhami Sulyati, perempuan bertubuh mungil dari Desa Gempolsewu, Kecamatan Rowosari, Kabupaten Kendal. Ia bermimpi, suatu hari nanti akan ada anak nelayan yang bisa lulus kuliah dan menjadi sarjana. Pasalnya, pendidikan tinggi di kampung-kampung nelayan masih dianggap ‘barang’ mahal. Cap buruk tentang kebodohan pun masih melekat di kampung-kampung nelayan.

sulyati OKIa biasa dipanggil Mbak Sul, istri nelayan dan ibu dari tiga anak yang hingga hari ini melawan kebodohan dan kemiskinan di kampungnya.

Sarjana Pendidikan

Di kebanyakan kampung nelayan, pendidikan bukan hal yang diprioritaskan. Angka putus sekolah yang terjadi di kampung nelayan pun kian meningkat setiap tahunnya. Mbak Sul memperkirakan di kampungnya saja tiap tahun sekitar 20 anak nelayan putus sekolah. Biaya hidup yang kian tinggi dan biaya pendidikan yang kian mahal menjadikan pendidikan seperti barang eksklusif.

Banyak yang putus sekolah, biaya sekolah mahalnya minta ampun. Nelayan Gempolsewu banyak yang hidup miskin, musim rendeng semakin membuat nelayan hidup sulit. Apalagi sekarang anak-anak suka main hape, sekolah bukan hal penting. Jadi banyak juga dari mereka pengen cepat kerja, jadi buruh-buruh supaya bisa beli hape itu,” cerita Mbak Sul sambil tersenyum.

Melihat angka putus sekolah yang kian tinggi menggerakkan Mbak Sul mendobrak stigma buruk tentang kebodohan. Ia dan suaminya bekerja keras bersama agar bisa meraih gelar sarjana. Mulanya Mbak Sul mulai mengajar di tahun 2001 sebagai guru TK yang bergaji Rp.20.000 per bulan. Gaji yang diterima Mbak Sul tentu tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Namun dedikasinyalah yang terus membuat Mbak Sul terus mengajar. Hingga akhirnya ia harus berhenti menjadi guru TK untuk mengurus anaknya yang sakit. Mbak Sul kembali mengajar mengajar anak-anak TK baru dilanjutkan pada tahun 2005, setelah anaknya pulih dari sakit flek yang dideritanya.

“Waktu mulai mengajar lagi tahun 2005 gajinya sudah naik jadi Rp. 50.00 per bulan,” katanya penuh semangat.

Hingga di tahun 2012 impian Mbak Sul untuk melanjutkan ke jenjang kuliah tidak tertahankan. Ia ingin membuktikan bahwa istri nelayan pun bisa bermimpi menjadi sarjana dan perlahan meraihnya.

“Ndak mudah mendapatkan gelar, pinjam uang sana sini untuk bayar SPP. Apalagi waktu mulai kuliah saya baru melahirkan anak ketiga, kalau saya kuliah anak saya titipkan ke saudara-saudari. Nah kalau pulang itu baru saya ambil. Kadang sudah pada tidur saya gendong bawa pulang,” kenang Mbak Sul.

Masa-masa kuliah konon menjadi masa paling sulit bagi Mbak Sul. Suaminya harus menjadi TKI untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kehidupan nelayan belum mampu menutupi kebutuhan sehari-hari Mbak Sul dan keluarga kala itu. Praktis ia yang mengurus anak-anaknya sembari kuliah. Namun, perjuangannya membawa hasil, Mbak Sul menjadi sarjana dan mendapat gelar S.Pd (Sarjana Pendidikan).

Sanitasi Gempolsewu

Apa yang kita bayangkan ketika mengukur seseorang itu kaya atau tidak? Uang, jabatan, titel, atau berbatas materi? Bagi Mbak Sul, di tengah kampungnya Gempolsewu, kekayaan seseorang dinilai dari apakah rumahnya memiliki WC atau tidak.

“Orang kaya di kampung kami itu artinya punya WC sendiri di rumah, ndak perlu repot lari-lari ke jamban dan antri,” ujar Mbak Sul sembari tertawa.

Terlebih lagi di kampungnya tidak ada tempat pembuangan sampah, semua dibuang ke sungai yang berakhir ke laut. Tanpa dipungkiri, kondisi kampung Gempolsewu kian kumuh dan masyarakatnya rentan penyakit. Jika banjir rob datang, semua sampah dan isi dari sungai masuk ke rumah-rumah nelayan.

Anak-anak kecil banyak yang terserang penyakit. Pada tahun 2012 seorang anak kecil yang merupakan murid didik Mbak Sul meninggal dunia karena terkena DBD (Demam Berdarah). Mbak Sul dan kawan-kawan menjadi motor penggerak melakukan aksi  untuk meminta fogging (Penyemprotan jentik-jentik nyamuk) di kampungnya.

“Saya kehilangan dan sedih, rasanya sulit sekali meminta pemerintah peduli kepada kesehatan nelayan,” harap Mbak Sul.

Hingga hari ini, warga sekitar Gempolsewu selalu datang ke rumah Mbak Sul jika keluarganya sedang sakit dan membutuhkan informasi fasilitas kesehatan dari pemerintah. Namun, kebutuhan dasar untuk mendapatkan fasilitas kesehatan, lingkungan dan sanitasi bersih masih menjadi hal mahal untuk didapat oleh nelayan Gempolsewu.

“Kebanyakan nelayan ndak ngerti harus kemana dan gimana kalau mereka sakit, mereka punya kartu nelayan tapi ndak ada fungsi,” kesal Mbak Sul.

Sekar Wilujeng

Nelayan Gempolsewu pun harus terus berhadapan dengan perubahan iklim yang semakin tidak menentu. Musim rendeng atau musim paceklik kerap membuat nelayan terjebak pada lintah darat. Melihat banyaknya nelayan yang terjebak hutang, Mbak Sul mulai melakukan perubahan melalui Sekar Wilujeng, kelompok perempuan nelayan yang beranggotakan 50 orang perempuan nelayan.

Mbak Sul bersama kelompoknya mulai mengembangkan tabungan rendeng. Tabungan yang dapat digunakan oleh nelayan jika musim paceklik tiba. Melalui tabungan inilah anggotanya mulai perlahan-lahan terlepas dari lintah darat. Terpenting budaya menabung sudah tumbuh dan membuat kelompok Sekar Wilujeng kian bersemangat untuk lepas dari lilitan hutang.

Tidak sampai di situ, Mbak Sul pun mulai menggerakan perempuan nelayan untuk membuat hasil olahan laut, seperti kerupuk, ikan asin, dan terasi. Hasil produknya dijual di sekitar kampung dan pasar terdekat. Mbak Sul menilai panganan sehat hanya berasal dari olahan sendiri, bukan dari tradisi membeli makanan cepat saji ataupun instan.

“Sulit menemukan pasar yang mau menerima produk kami, karena memang kemasannya masih tradisional dan sederhana. Tapi kelompok Sekar Wilujeng selalu semangat dan ndak pernah menyerah,” imbuh Mbak Sul.

Pada tahun 2012, Mbak Sul bergabung dalam PPNI atau Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia. Mimpinya telah tergabung bersama kelompok perempuan nelayan dari seluruh Indonesia adalah perempuan nelayan haruslah sejahtera.

“Perempuan nelayan itu tahu, mampu dan mau—ia harus mendapatkan keadilan dalam hak dan akses terhadap sumber daya alam yang bersih, sehat dan berkelanjutan untuk hidup mereka yang lebih sejahtera. Ini seperti mimpi, tapi mimpi yang harus jadi kenyataan,” tutup Sulyati, sarjana pendidikan.*** (SH)

Gugatan Ditolak, Nelayan Jepara Kecewa

MANYARAN – Ratusan masyarakat yang tergabung dalam Forum Nelayan Jepara Utara (Fornel) kembali mendatangi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang di Jalan Abdulrahman Saleh Semarang, Rabu (11/6). Mereka menuntut pencabutan izin usaha penambangan pasir besi oleh PT Alam Mineral Lestari (AML) di Jepara.
Dengan menumpang lima bus, warga Kecamatan Donorojo Jepara itu tiba di lokasi sekitar pukul 11.00. Mereka sebenarnya ingin mengikuti sidang gugatan yang beragendakan putusan. Namun keinginan mereka kandas lantaran sidang telah digelar sekitar pukul 09.00. Hasilnya, gugatan mereka ditolak oleh majelis hakim yang diketuai Wahyuning Nurjayati, beserta dua anggota, yakni Bambang Soebiyantoro dan Pengki Nurpanji.
Ratusan warga akhirnya menggelar orasi dan doa bersama, di halaman pengadilan tata usaha negara (PTUN) Semarang, Rabu (11/). Bahkan, satu di antara mereka, Sudarni, tampak menitikkan air mata, tak kuasa menahan tangis. ”Kami sangat kecewa dan sedih, ini menyangkut kelangsungan hidup kami. Tambang telah merusak mata pencarian dan lingkungan tempat tinggal kami,” ungkap Sudarni sembari mengusap air matanya.
Lukman Hakim, salah satu anggota kuasa hukum Fornel mengatakan bahwa pihaknya akan tetap melawan terhadap adanya pertambangan pasir besi tersebut. Pasalnya keberadaan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diterbitkan Pemerintah Kabupaten Jepara melalui Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) bersifat ilegal. Sebab, tidak melibatkan warga yang terkena dampaknya.
”Majelis hakim hanya mempertimbangkan prosedur izin pertambangan. Tanpa mempertimbangkan fakta lainnya, bahwa perusahaan tidak pernah memberikan sosialisasi kepada warga. Selain itu, analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dari izin tambang ini cacat hukum,” bebernya.
Usai melakukan aksi di PTUN, mereka kemudian melakukan pengaduan atas kalahnya gugatan tersebut kepada pemerhati pesisir yang tengah menggelar Focus Discussion Group (FGD) di ruang seminar kampus Universitas Stikubank (Unisbank) Semarang. Acara yang juga dihadiri sejumlah nelayan dari Rembang, Pati, Kendal, Semarang, dan sejumlah LSM dan dosen Fakultas Hukum Unisbank membedah UU No 1 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (PWP-PPK).
Ketua BKBH Fakultas Hukum Unisbank, Sukarman mengatakan diskusi diselenggarakan sebagati bentuk respons untuk menelaah secara kritis bagaimana implikasi UU ini terhadap nelayan dan masyarakat pesisir. ”Seperti kita ketahui, UU ini lahir karena putusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi yang dilakukan oleh 36 NGO dan perwakilan nelayan nusantara. Mereka menggugat UU No 27 Tahun 2007 tentang PWP-PPK karena mengatur Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) yang maknanya adalah komersialisasi pesisir dan menyingkirkan hak nelayan untuk mengakses sumber daya pesisir,” bebernya.
Dalam putusan MK tahun 2011 lalu, imbuh Sukarman, semua pasal yang terkait dengan HP3 bertentangan dengan UUD 45, khsususnya pasal 33. Putusan ini adalah kemenangan bagi perjuangan nelayan di seluruh nusantara. ”Sayangnya, UU no 1 Tahun 2014 tentang perubahan UU Pesisir kembali membuka ruang bagi investasi asing untuk mengeksploitasi sumber daya pesisir,” imbuhnya. (fai/ton/ce1)

http://www.kiara.or.id/gugatan-ditolak-nelayan-jepara-kecewa/

Nasib Dan Kesejahteraan Petani Semakin Terpuruk Harga Pangan Di Desa Dirasakan Lebih Mahal

RMOL. Menjelang berakhirnya pemerintahan SBY-Boediono, nasib dan kesejahteraan petani masih saja terpuruk. Kondisi ini terlihat dari Nilai Tukar Petani (NTP) yang menurun selama enam bulan terakhir. 

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) bulan Juni ini, telah terjadi penurunan NTP tanaman pangan dari 98,20 menjadi 97,98. Sementara NTP secara umum sedikit meningkat dari 101,80 menjadi 101,88.

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menyebutkan, penurunan NTP ini disebabkan tingginya indeks yang dibayar petani pangan daripada indeks yang diterimanya.

“Sebenarnya ada kenaikan indeks yang diterima petani, baik karena terjadi kenaikan harga gabah petani maupun kenaikan upah buruh tani. Namun, BPS mencatat kenaikan indeks yang dibayar untuk membeli seluruh elemen konsumsi menyebabkan hasil penjualan gabah petani dan kenaikan harga upah buruh tani tidak bisa mengangkat kesejahteraan mereka,” katanya dalam siaran pers yang diterima Rakyat Merdeka, kemarin.

Henry bilang, di dalam indeks yang harus dibayar petani terdapat komponen biaya produksi pertanian. “Oleh karena itu kelangkaan pupuk yang menyebabkan kenaikan harga pupuk membuat biaya produksi pertanian jadi meningkat,” ujarnya. 

SPI mencatat, pupuk bersubsidi yang harganya berkisar Rp 70.000 per 50 kg ternyata dijual di pasaran seharga Rp 110.000 – Rp 170.000 per kg. Kenaikan nilai yang harus dibayar itu ditunjukkan pula dari adanya inflasi pedesaan sebesar 0,23 persen dengan komponen terbesar rata-rata untuk bahan makanan. 

“Sungguh memprihatinkan, pedesaan sebagai pusat pangan justru menjadi pusat pangan mahal. Tekanan kepada petani pun cenderung akan semakin tinggi menjelang bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri,” jelasnya.

Menurut Henry, langkah konkret yang harus dilakukan pemerintah adalah perbaikan dan pengawasan distribusi pupuk subsidi serta benih untuk jangka pendek dan menjadikan subsidi langsung kepada petani dalam jangka panjang.
 
“Demikian juga perbaikan distribusi pangan seperti memperpendek jaringan distribusi dan perbaikan infrastruktur, sehingga harga pangan yang ada di pasar-pasar pedesaan tidak mengalami kenaikan yang drastis,” terang Henry.

Sebelumnya, pemantauan BPS terhadap harga di pedesaan di 33 provinsi pada Mei 2014, menunjukkan NTP secara nasional naik 0,08 persen dibandingkan April 2014, yaitu dari 101,80 menjadi 101,88. 

“Kenaikan NTP Mei 2014 disebabkan kenaikan indeks harga hasil produksi pertanian relatif lebih tinggi jika dibandingkan kenaikan indeks harga barang dan jasa yang dikonsumsi oleh rumah tangga maupun untuk keperluan produksi pertanian,” jelas Kepala BPS Suryamin di Jakarta, kemarin.

Suryamin menjelaskan, NTP adalah yang diperoleh dari perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani. NTP juga merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani di perdesaan. 

“NTP juga menunjukkan daya tukar dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi. Semakin tinggi NTP, secara relatif semakin kuat pula tingkat kemampuan atau daya beli petani,” katanya. 

Pemerintahan Baru Diminta Bentuk UU Perlindungan & Pemberdayaan Nelayan 
Pelaku Perikanan Sering Jadi Korban Perompak & Tengkulak Di Tengah Laut

Selama 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), para nelayan bekerja tanpa perlindungan yang setara dengan Undang-Undang (UU). Atas dasar itu, aktivis mendesak pemerintahanan baru mendatang membuat UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan.

“Sedikitnya 14,7 juta jiwa pelaku perikanan, mulai dari sektor perikanan tangkap, budidaya, pengolahan dan pemasaran di Indonesia bekerja tanpa kebijakan politik perlindungan dan pemberdayaan setingkat undang-undang. Akibatnya, pengalokasian anggarannya pun minim. Karena rezim SBY nggak sanggup, maka ini harus menjadi Pekerjaan Rumah (PR) pemerintahan selanjutnya,” ujar Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim kepada Rakyat Merdeka, kemarin. 

Halim menyatakan, ketiadaan UU itu telah berimbas pada bertumpuknya persoalan dari hulu (pra-produksi dan produksi) ke hilir (pengolahan dan pemasaran). Hal ini melemahkan daya saing Indonesia dalam kompetisi regional dan global, di antaranya Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan mulai berlaku 2015. 

“Sudah bukan zamannya negara kelautan terbesar di dunia tidak memastikan perlindungan dan pemberdayaan nelayan melalui kebijakan politik dan penganggarannya. Dalam hal ini, Presiden terpilih Juli 2014 nanti harus menyegerakan pekerjaan rumah ini,” tegas Halim.

“Tanpa politik pengakuan negara, pelaku perikanan nasional hanya akan menjadi penonton di Tanah Airnya sendiri saat Masyarakat Ekonomi ASEAN berlangsung,” imbuhnya.

Bekerja sama dengan Serikat Nelayan Indonesia, kata Halim, Kiara mendapat berbagai temuan klasik dari hulu ke hilir yang dialami pelaku perikanan skala kecil/tradisional. 

Dalam tahap pra-produksi misalnya, mereka menemukan kalau nelayan kesulitan mengakses BBM, kesulitan mendapat es untuk penyimpanan ikan, tidak ada alternatif pekerjaan saat cuaca ekstrem, keterbatasan modal dan sulitnya mengakses permodalan. Serta tidak ada informasi mengenai wilayah dan potensi sebaran ikan yang diterima oleh nelayan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota/Kabupaten/Provinsi.

Kemudian dalam tahap produksi, pengolahan dan pemasaran, menurutnya, nelayan juga mengalami kesulitan serius.

“Misalnya beroperasinya kapal besar di wilayah pesisir (1-12 mil), perompakan di laut, beroperasinya tengkulak/bakul di tengah laut dan memaksa nelayan menjual hasil tangkapannya dengan harga murah. Serta tidak tersedianya alat/fasilitas pengolahan hasil tangkapan agar  bernilai tinggi,” terang Halim.

Sekjen Serikat Nelayan Indonesia Budi Laksana menyatakan, temuan itu tidak terlepas dari tak adanya aturan perlindungan dan pemberdayaan nelayan. Untuk itu, pihaknya mendesak agar dalam waktu enam bulan, temuan di desa-desa pesisir itu ditangani dengan segera oleh pemerintah.

Langkah awal yang harus dilakukan, saran Budi, yaitu  membuka ruang dialog dengan masyarakat nelayan dan perempuan nelayan di 10.666 desa pesisir.

 Sebab, hanya dengan cara itu bisa ditemukan kesamaan pandangan dan rekomendasi yang harus  ditindaklanjuti bersama.

“Dengan demikian, upaya perbaikan dan pembuatan Rancangan Undang Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan menjadi maksimal. Sehingga hasilnya pun bisa memberikan manfaat yang optimas kepada para nelayan,” katanya. 

KPAI Heran Kok Pemerintah Telat Deportasi Guru JIS
Sudah Lama Palsukan Izin Tinggal 
 
Rencana pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) akan mendeportasi 26 guru Taman Kanak-kanak (TK) Jakarta International School (JIS), dipertanyakan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). KPAI menilai langkah itu terlambat.

“KPAI menghargai rencana Kemenkumham yang akan mendeportasi 26 guru JIS. Padahal, banyak yang sudah lama bermasalah,” kata Susanto di Jakarta, kemarin.

Susanto juga mempertanyakan kinerja Direktorat Keimigrasian. Pasalnya, Imigrasi tidak bertindak sebelum kasus sodomi di JIS mencuat ke permukaan. 
“Saya curiga, jangan-jangan aturan pelaporan berkala visa kerja cuma di atas kertas. Soalnya keberadaan William Vahey saja baru dapat info dari media,” sesalnya.

KPAI menyarankan agar pemerintah melakukan monitoring berkala terhadap guru asing. Yang dimonitoring tak hanya terkait izin keimigrasian. Profile review guru dan kualitas pembelajaran juga harus diamati. “Hal yang juga perlu dipastikan adalah guru yang direkrut tidak berpotensi sebagai predator anak. Jangan sampai kasus William di JIS terulang lagi,” ingatnya.

Menurutnya, negara tidak boleh kalah dengan segala bentuk pelanggaran. Termasuk dugaan pelanggaran pemalsuan izin tinggal. KPAI minta semua pihak untuk ikut memantau kasus JIS dari berbagai aspek.

“Baik aspek administrasi, Imigrasi, tenaga pendidik dan pendidikannya, aspek izin sekolah, aspek dugaan pelanggaran anak, dan aspek lainnya,” kata Susanto.

Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin, mengatakan, 26 guru TK JIS terancam dideportasi karena memalsukan izin tinggal. Mereka telah melakukan pelanggaran, karena memalsukan keterangan dalam izin tinggal.
 
Menurut Amir, TK JIS juga dipastikan tak akan dibuka kembali karena tak mendapatkan izin dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.  

Pegawai Honorer Tagih Janji Menteri Azwar
Menunggu Diangkat Jadi PNS

Sebanyak ratusan pegawai honorer Katagori dua (K-2) yang gagal tes CPNS kembali mendatangi Kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) di Jakarta, kemarin.

Mereka yang tergabung dalam Forum Honorer K2 Indonesia (FHK2I) ini, menagih janji Menpan-RB Azwar Abubakar untuk mengangkat seluruh honorer K2 yang asli, meski gagal tes, menjadi CPNS. Menpan didesak segera menerbitkan surat edaran yang bisa dijadikan acuan bagi Pemerintah Daerah (Pemda) untuk pengangkatan honorer K2 murni jadi CPNS.

”Untuk kesekian kalinya kami datang ke sini menagih janji pak menteri. Ini sudah masuk Juni, kapan surat edaran itu ada?” kata Ketua FHK2I Titi Purwaningsih saat berorasi di depan 100-an honorer K2 perwakilan tujuh provinsi ini.

Menurut Titi, FHK2I akan tetap bertahan di Kantor Kemenpan-RB sebelum bertemu Azwar. Pasalnya, Azwar menjanjikan akan mengganti honorer bodong dengan yang asli. Itu sebabnya akan dikeluarkan surat edaran agar daerah melakukan verval kepada honorer K2 asli yang tidak lulus tes.

“Kalau pak menteri tidak mau menemui kita di sini, kita akan menunggu sampai kami diterima. Kami butuh kejelasan akan nasib. Mana janji pak menteri kami akan diangkat CPNS dan mengganti yang bodong,” tandasnya.

Badan Kepegawaian Negara (BKN) sudah menerbitkan Nomor Induk Pegawai (NIP) untuk honorer K2 yang lulus tes. Posisinya sekarang berada di masing-masing instansi untuk dituangkan dalam SK pengangkatannya sebagai CPNS. 

“Dari 6.635 usulan yang masuk, sudah sekitar 75 persen atau 4976 honorer K2 yang sudah diberi NIP. Itu meliputi honorer K2 pusat dan daerah,” ungkap Kepala Biro Humas dan Protokol BKN Tumpak Hutabarat kepada JPNN, kemarin.

Sedangkan sisanya, lanjut Tumpak, sedang dalam proses pemeriksaan dokumen. Namun, dia memastikan, prosesnya tidak akan lama, paling lambat 21 hari. Itupun jika datanya sangat banyak. “Karena datanya yang masuk tidak terlalu banyak, prosesnya sekitar sepekan lah,” ujarnya. ***

http://www.rmol.co/read/2014/06/04/158062/Nasib-Dan-Kesejahteraan-Petani-Semakin-Terpuruk-