Reklamasi Pantai Ternate Mulai Meresahka

 

Tangkapan nelayan berkurang. Banjir rob menggenani rumah-rumah warga.

TERNATE- Penimbunan di bibir pantai yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Ternate mulai dirasakan berdampak kepada para nelayan tradisional dan lingkungan setempat.

Aidir, nelayan yang tinggal di Sasa, Ternate Selatan mengatakan, reklamasi pantai yang dilakukan pemerintah di Ternate mengakibatkan abrasi pantai di wilayah selatan Ternate.

“Hasil tangkapan kami juga turun jika dibandingkan dengan sebelum ada penimbunan,” kata Aidir.

Reklamasi pantai Ternate juga dirasakan warga telah menimbulkan banjir rob di wilayah tersebut.

“Jika musim ombak, sering terjadi banjir air pasang. Hal ini sangat meresahkan kami karena air laut masuk sampai ke dalam rumah,” kata Ista, ibu rumah tangga.

Sejauh ini warga di Ternate Selatan memasang tumpukan batu di belakang rumah mereka untuk menghalau air laut saat pasang naik.

“Pemerintah kota memang telah membangun penghalau ombak di wilayah Sasa, tapi itu sepertinya belum cukup menghalau banjir saat hujan di hulu dan pasang di hilir,” ungkap Najamudin M. Daud dari Kelompok Sahabat Alam Maluku Utara.

Menurutnya, penimbunan pesisir di suatu wilayah, dapat mengakibatkan terjadinya pengikisan di wilayah lain. Juga sangat berdampak pada perubahan pola arus.

“Di Ternate, terjadi penimbunan besar-besaran di Wilayah Tapak, ini tidak hanya berdampak pada wilayah dalam satu pulau di Ternate, seperti Sasa misalnya, tapi juga sangat berdampak pada pesisir Pulau Maitara. Di Maitara, warga juga mengeluhkan persoalan abrasi pantai seperti yang dikeluhkan warga Sasa,” kata Dino sapaan akrab Najamudin. (Slaveri Boy)

Sumber: http://rumahalir.or.id/dampak-reklamasi-pantai-di-kota-ternate/

Kiara Minta Pemerintah Hentikan Program Rehabilitasi Terumbu Karang

KBR68H,Jakarta – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) meminta pemerintah menghentikan program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang (COREMAP).

Sekjen Kiara, Abdul Halim menilai, program tersebut tidak menyejahterahkan nelayan tradisional. Selain itu, kata dia, penggunaan dan pelaporan dana bergulir dinilai tidak efektif dan rawan diselewengkan.

“Kami melihat dari sisi partisipasi masyarakatnya ini tidak ada. Sehingga hal ini berakibat bagi peminggiran akses masyarakat terhadap pesisir dan lautnya. Dan ini terjadi di Wakatobi Sulawesi Tenggara. Kemudian program ini juga didanai utang luar negeri, sehingga sangat membebani negara,”ujar Abdul Halim saat dihubungi KBR68H.

Sekjen Kiara, Abdul Halim menambahkan, program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang periode 2004 – 2011 lalu mencapai Rp1,3 triliun. Dana tersebut berasal dari utang luar negeri yaitu Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB). Program tersebut akan diperpanjang kembali untuk periode 2014 – 2019 mendatang. Dananya berasal dari utang baru sebesar Rp 750 miliar lebih.

Sumber: http://www.portalkbr.com/berita/nasional/2621526_4202.html

Diplomasi Tuli

Perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap melegalisasi pencurian ikan oleh kapal asing kembali bergulir. Selasa (30/4) siang, kalangan mahasiswa, nelayan, dan lembaga swadaya masyarakat menggelar aksi diam di depan kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan, di Jakarta.

Hanyalah sebuah spanduk ukuran 15 x 1 meter bertuliskan ”Permen KKP No 30/2012: Melegalkan Pencurian Ikan” dan aksi teatrikal menjadi media penyampai pesan. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap, Pasal 69 dan Pasal 88, mengizinkan kapal pukat cincin bertonase lebih dari 1.000 gros ton (GT) yang beroperasi tunggal di perairan lebih dari 100 mil (182,5 km) untuk melakukan penangkapan ikan, alih muatan, serta mendaratkan hasil tangkapan langsung ke luar negeri.

Sejak peraturan menteri itu ditetapkan pada akhir tahun 2012, penolakan atas kebijakan itu terus mengalir dari kalangan akademisi, asosiasi pelaku usaha penangkapan ikan, industri pengalengan ikan, lembaga swadaya masyarakat, serta Komisi IV DPR. Ketentuan itu dipastikan akan memukul kebangkitan industri pengolahan ikan di dalam negeri yang saat ini dihadang krisis bahan baku.

Kebijakan itu juga bertentangan dengan UU Perikanan, yang mengamanatkan pengeluaran hasil produksi perikanan ke luar negeri dilakukan apabila kebutuhan dalam negeri terpenuhi. UU itu juga telah mewajibkan setiap kapal penangkap dan pengangkut ikan untuk mendaratkan ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang telah ditunjuk dalam izin.

”Pemerintah saat ini sudah menjalankan diplomasi tuli terhadap aspirasi masyarakat. Apa pun teriakan nelayan, seolah dibiarkan,” ujar Mida Saragih, Koordinator Pengelolaan Pengetahuan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), yang siang itu ikut berunjuk rasa.

Kebijakan itu dinilai ironi di tengah persoalan hilir perikanan yang belum terpecahkan. Hingga kini, masih banyak unit pengolahan ikan (UPI) yang tidak efektif beroperasi akibat kekurangan bahan baku, minimnya modal dan akses pasar, maupun dibiarkan tak beroperasi. Faktanya, UPI kerap dijadikan alasan untuk mendapat izin penangkapan ikan. Namun setelah izin ada, ikan tidak didaratkan di pabrik untuk diolah.

Di negeri bahari ini, jumlah nelayan berkisar 2,7 juta jiwa dengan 90 persen kapal merupakan kapal kecil berkapasitas di bawah 30 GT. Di tengah kontroversi dan penolakan masyarakat atas kebijakan pemerintah yang dinilai melegalisasi pengurasan sumber daya ikan untuk kepentingan asing, pembuktian keberpihakan pemerintah mendengarkan aspirasi masyarakat, menyelamatkan sumber daya ikan dan memperkuat nelayan dalam negeri sangat dinantikan. (BM Lukita Grahadyarini)

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2013/05/03/03072910/diplomasi.tuli

Kiara Desak Pemerintah Hentikan Coremap

JAKARTA, KOMPAS.com — Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mendesak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) membatalkan kelanjutan Program Manajemen dan Rehabilitasi Terumbu Karang (Coremap) III yang akan dimulai pada 2013 dan berakhir pada 2017.

Program yang awalnya dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ini dinilai sarat utang luar negeri, terindikasi terjadi kebocoran dana, dan tidak menyejahterakan nelayan tradisional.

Sekretaris Jenderal Kiara Abdul Halim, Kamis (2/5/2013), di Jakarta, mengatakan, total anggaran Coremap II 2004-2011 mencapai lebih dari Rp1,3 triliun. Di antaranya berupa utang luar negeri dari Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB). Dalam pelaksanaannya, program konservasi terumbu karang ini justru berjalan tidak efektif/gagal dan rawan kebocoran dana.

Ia menunjukkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berjudul “Laporan Hasil Pemeriksaan Kinerja atas Perlindungan Ekosistem Terumbu Karang Tahun 2011” sampai dengan semester I-2012. Di situ, BPK menemukan fakta, desain dan pelaksanaan kegiatan pengelolaan terumbu karang melalui program Coremap II, antara lain mata pencaharian alternatif (MPA), dana bergulir (seed fund), pembangunan dan pemanfaatan prasarana sosial belum seluruhnya sesuai dengan desain yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat pesisir.

Kedua, BPK mengeluarkan hasil audit terhadap indikator kondisi biofisik yang meliputi terumbu karang dan tutupan karang hidup yang dibandingkan dengan kondisi setelah program EoP tidak mengalami perubahan signifikan atau cenderung mengalami penurunan dibandingkan kondisi awal (baseline).

Selain menggunakan hasil audit BPK, Kiara juga menunjukkan kajiannya pada 2009 di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Kiara menemukan fakta rogram konservasi terumbu karang tersebut membatasi akses nelayan tradisional dan mengabaikan kearifan lokal dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya laut.

“Dengan kata lain, sejak perencanaannya masyarakat nelayan tidak dilibatkan dalam menentukan bentuk pengelolaan konservasi wilayah pesisir. Ironisnya, KKP malah ingin melanjutkan proyek Coremap ke-3 periode 2014-2019 dengan kembali menambah utang konservasi baru sebesar 80 juta dollar AS dari Bank Dunia dan ADB,” kata Selamet Daroyni, juga dari Kiara.

Karena itu, Kiara mendesak Presiden SBY untuk menghentikan program Coremap karena terbukti tidak efektif/gagal menyelamatkan lingkungan dan menyejahterakan masyarakat nelayan. Sebaliknya, justru membebani negara dengan utang luar negeri.

ABK Asing Marak, Negara Rugi Ratusan Juta

Jakarta, Aktual.co — Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengemukakan bahwa terjadi kerugian sekitar Rp382 juta yang seharusnya masuk kepada penerimaan negara akibat maraknya awak buah kapal (ABK) asing di kapal Indonesia.

“Kiara mencatat sedikitnya kerugian yang ditanggung Negara sebesar Rp382,2 juta dari pos pajak penghasilan akibat maraknya nakhoda dan ABK asing di kapal-kapal penangkap ikan berbendera Indonesia,” kata Sekretaris Jenderal Kiara, Abdul Halim, Rabu (1/5).
Menurut Abdul Halim, hal itu ironis karena penegakan hukum terhadap pekerja asing dinilai berjalan mundur.
Data KKP 2009 dan 2011, ujar dia, menyebutkan bahwa tindak pidana terhadap nakhoda dan ABK asing yang beroperasi di wilayah pengelolaan perikanan tidak sesuai dengan SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan).
“Sepanjang tahun 2005-2011 hanya terdapat dua kasus. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada upaya serius negara untuk memberikan kesempatan kerja kepada WNI. Bahkan terkesan dibiarkan,” katanya.
Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa dalam momentum Hari Buruh Internasional yang jatuh tiap tanggal 1 Mei, Kiara mendesak untuk memastikan berlangsungnya penegakan hukum terhadap pelaku usaha perikanan tangkap yang terbukti melanggar sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di NKRI.
Selain itu, Kiara juga mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengevaluasi kinerja Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo, serta menyegerakan pembahasan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Tradisional bersama dengan DPR RI.
Saat ini, diketahui terdapat 1.274 unit kapal eks asing berbobot mati di atas 30 ton dan berbendera Indonesia yang mengantongi surat izin penangkapan ikan.
“Dari jumlah itu, maka diperoleh angka sebanyak 50.960 warga negara Indonesia kehilangan kesempatan kerja di sektor perikanan karena dominasi nakhoda dan ABK asing,” katanya.
Sebagaimana diketahui, KKP pada awal tahun 2013 telah melepaskan 6 kapal penangkap ikan eks asing berbendera Indonesia yang mempekerjakan nakhoda dan ABK asing hingga lebih dari 90 persen.
Pasal 35A Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan menyebutkan, “Kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib menggunakan nakhoda dan anak buah kapal berkewarganegaraan Indonesia”.

Hari Buruh Internasional 2013.

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

 

Hari Buruh Internasional 2013

KIARA: Nakhoda dan ABK Asing Mendominasi,

WNI Menganggur dan Negara Dirugikan

Jakarta, 1 Mei 2013. Hak atas pekerjaan adalah hak asasi setiap manusia yang telah diamanahkan di dalam UUD 1945. Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap warga Negara laki-laki dan perempuan berhak atas pekerjaan.[1] Namun, fakta yang terus terjadi di lapangan menunjukkan bahwa Negara tidak menjamin hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi warganya, khususnya di sektor perikanan.

Di awal tahun 2013, diketahui bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melepaskan 6 kapal penangkap ikan eks asing berbendera Indonesia yang mempekerjakan nakhoda dan ABK asing hingga lebih dari 90%. Padahal, Pasal 35A Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan tegas mengatur, “Kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib menggunakan nakhoda dan anak buah kapal berkewarganegaraan Indonesia”.

Tabel 1. Enam Kapal Penangkap Ikan Eks Asing Berbendera Indonesia

Nama Kapal Pemilik Nakhoda dan Kewarganegaraan ABK dan Kewarganegaraan
KM Laut Barelang-25 (Eks.Umapron) kapal berbendera Indonesia PT. Jaringan Barelang Mr. Wjit Totang (WN Thailand) 44 Orang ABK terdiri atas 40 WN Thailand, 4 WN Indonesia
KM. Laut Barelang-7 (Eks.PAF 45) kapal berbendera Indonesia PT Jaringan Barelang Mr. Dum Lee (WN Thailand) 28 Orang, terdiri atas 27 WN Thailand, 1 WN Indonesia
KM. Laut Barelang-21 (Eks. Sariq) kapal berbendera Indonesia Mr. Wullop Chantchoke (WN Thailand) 45 orang yang terdiri dari 42 (WN Thailand) dan 3 orang (WN Indonesia)  
KM. Laut Barelang-18 (Eks. Raja-03) kapal berbendera Indonesia Mr. Samian Maohor (WN Thailand) 41 orang terdiri dari 40 (WN Thailand) dan 1 orang (WN Indonesia)  
KM Bintang Barelang-12 (Eks.OR. Mongkol) kapal berbendera Indonesia PT. Jaringan Lautan Barat Mr. Tanapat Vanitrat (WN Thailand) 32 orang terdiri dari 30 (WN Thailand) dan 2 orang (WN Indonesia)
KM. Laut Natuna 06 (Eks.BOGANANTA-03) kapal berbendera Indonesia PT. Riswan Citra Pratama Mr. Amnaoy Sertsurin (WN Thailand) 37 orang terdiri dari 34 (WN Thailand) dan 3 orang (WN Indonesia)

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (2012)

Saat ini, diketahui terdapat 1.274 unit kapal eks asing berbobot mati di atas 30 ton dan berbendera Indonesia yang mengantongi surat izin penangkapan ikan (Ditjen Perikanan Tangkap KKP, 8 November 2012). Dari jumlah itu, maka diperoleh angka sebanyak 50.960 warga negara Indonesia kehilangan kesempatan kerja di sektor perikanan karena dominasi nakhoda dan ABK asing.

KIARA mencatat sedikitnya kerugian yang ditanggung Negara sebesar Rp382.200.000 (Tiga Ratus Delapan Puluh Dua Juta Dua Ratus Ribu Rupiah) dari pos pajak penghasilan akibat maraknya nakhoda dan ABK asing di kapal-kapal penangkap ikan berbendera Indonesia. Ironisnya, penegakan hukum terhadap pekerja asing di sektor perikanan berjalan mundur. Data KKP (2009 dan 2011) menyebutkan bahwa tindak pidana terhadap nakhoda dan ABK asing yang beroperasi di wilayah pengelolaan perikanan tidak sesuai dengan SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan) sepanjang tahun 2005-2011 hanya terdapat dua kasus. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada upaya serius Negara untuk memberikan kesempatan kerja kepada WNI. Bahkan terkesan dibiarkan.

Oleh karena itu, dalam momentum Hari Buruh Internasional yang jatuh tiap tanggal 1 Mei, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mendesak kepada Presiden Republik Indonesia untuk:

  1. Memastikan berlangsungnya penegakan hukum terhadap pelaku usaha perikanan tangkap yang terbukti melanggar sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  2. Mengevaluasi kinerja Menteri Kelautan dan Perikanan yang terindikasi merugikan Negara; dan
  3. Menyegerakan pembahasan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Tradisional bersama dengan DPR RI.

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA

di +62 815 5100 259

 

Ahmad Marthin Hadiwinata, Koordinator Divisi Advokasi Hukum dan Kebijakan

di +62 856 2500 181



[1]          Pasal 27 ayat (2) UUD 1945: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” dan Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945: “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.