Nelayan Kepulauan Bangka Belitung Terus Diancam Tambang Timah

Siaran Pers Bersama

Kesatuan Nelayan Tradisional Pesisir (KATIR) Bangka Belitung

WALHI Kepulauan Bangka Belitung

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

 

Nelayan Kepulauan Bangka Belitung Terus Diancam Tambang Timah

 

Pangkal Pinang, 14 November 2013. Sedikitnya 16.000 nelayan tradisional Bangka Belitung saat ini mengalami penurunan pendapatan dan sebagian lagi terancam beralih profesi akibat dampak aktivitas pertambangan timah baik yang dilakukan di daratan maupun pesisir laut. Bahkan Propinsi kepulauan yang terdiri dari 470 pulau ini terancam bangkrut akibat salah urus dalam pengelolaan sumber daya alamnya.

Informasi ancaman serius aktivitas tambang ini terungkap dalam rembuk nelayan “Penyelamatan Pesisir Laut dan Nelayan Tradisional Kepulauan Bangka Belitung” yang dihadiri 20 orang perwakilan nelayan se-Bangka Belitung dan difasilitasi oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dan WALHI Babel pada tanggal 13 November 2013 di kantor WALHI Babel.

Keruk habis tambang timah di daratan Bangka Belitung telah meninggalkan jejak ekologi buruk dan kesengsaraan bagi petani.  Kegiatan ini juga telah berdampak terjadinya sendimentasi dan kerusakan mangrove di muara-muara sungai yang berdampak bagi pendapatan nelayan.

Ironisnya, setelah cadangan timah di daratan mulai menipis, pada tahun 1995 PT. Timah memprakarsai kegiatan tambang di wilayah pesisir laut. Inisiasi ini pun diikuti oleh puluhan perusahaan tambang pesisir laut dengan menggunakan alat kapal keruk dan kapal isap. Sejak tahun 2006 hingga saat ini, tercatat sedikitnya telah terjadi 26 konflik antara nelayan dengan perusahaan yang melakukan aktivitas pertambangan di pesisir laut 7 kabupaten/kota kepulauan Bangka Belitung.

Belum lagi beberapa konflik antara nelayan dengan perusahaan pertambangan timah dalam 2 bulan terakhir. Setidaknya telah terjadi 3 konflik, yakni di wilayah perairan Sungai Liat nelayan dan kelompok pariwisata lokal menolak aktivitas pertambangan pasir dan timah dengan menggunakan kapal isap produksi milik PT. Pulo Mas Sentosa. Juga nelayan pantai pasir padi dan warga kota Pangkalpinang yang memprotes rencana operasi kapal isap produksi PT. Tinindo Internusa karena IUP yang dikeluarkan Pemkot Pangkalpinang bertentangan dengan Perda No. 1 tahun 2012 tentang RTRW kota Pangkalpinang. Terakhir, pada tanggal 07 November 2013 yang lalu, nelayan yang ada di Batu Perahu, Sukadamai, Mempunai dan Dusun Limus Kecamatan Toboali menyampaikan penolakan mereka terhadap rencana beroperasinya kapal Isap milik PT SJI di perairan Gusung dan Mempunai Bangka Selatan.

Di sisi lain, PT. Timah menggandeng pihak lain guna mengoperasikan sekitar 38 kapal isap dari 72 Kapal Isap Produksi yang ada di bangka, dan kapal-kapal tersebut merupakan kapal hisap yang pernah dioperasikan di Phuket, Thailand. Dengan hitungan sederhana, bila dalam satu hari, satu buah Kapal Isap Produksi (KIP) menghasillkan limbah sedimentasi sebesar 2.700 m3, maka PT. Timah dan Perusahaan swasta lainnya telah mengelontorkan sedikitnya 70,9 juta m3 per tahun. Dan partikel sendimen buangan tersebut mengakibatkan menutup dan merusak terumbu karang dan padang lamun serta mangrove di sebagian besar pesisir laut Bangka Belitung.

Penghancuran terhadap ekosistem pesisir laut tersebut secara otomatis menurunkan dan mematikan pendapatan nelayan tradisional. Pak Marta, nelayan yang berada di muara sungai Plaben Desa Batu Rusa Kec. Merawang Kabupaten Bangka mengeluhkan, akibat pertambangan timah yang mengakibatkan sedimentasi dan padang lamun serta mangrove hilang telah berdampak pada pendapat nelayan. Sebelum ada kegiatan pertambangan pendapatan masing-masing nelayan bisa mendapatkan 20 kg udang/hari atau berpenghasilan mencapai 1 juta/hari. Namun setelah ada pertambangan dan puncaknya pada tahun 2011, pendapatan nelayan menurun drastis, mendapatkan 3 kg/hari atau Rp.150.000 sudah merupakan sebuah keberuntungan.

Demikian juga halnya dengan apa yang dialami oleh nelayan di Belitung, sebagaimana disampaikan oleh Pak Sarpan, akibat aktivitas tambang di darat pada kurun waktu tertentu seperti musim penghujan telah mengakibatkan sedimentasi dari di muara-muara sungai.  Partikel limbah tambang timah yang berada di hulu sungai tersebut telah mengakibatkan kekeruhan air di muara dan pesisir telah mencemari pantai hingga 2 mil ke wilayah laut. Nelayan khawatir dengan adanya aktivitas tambang illegal dan rencana dikeluarkan izin kepada 12 perusahaan di 22 titik tambang pesisir laut, maka ini menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan masa depan nelayan Belitung.

Direktur Eksekutif WALHI Babel Ratno Budi menyatakan bahwa kerusakan dan konflik sumber daya alam terjadi akibat buruknya model pengelolaan sumber daya alam yang dicanangkan oleh Pemerintah Propinsi Bangka Belitung. Hal ini dapat dibuktikan dengan mudahnya pemerintah mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) pertambangan meskipun secara lingkungan dan sosial ekonomi sesungguhnya tidak layak.

Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan KIARA, Selamet Daroyni, menegaskan bahwa tambang timah tidak saja mengancam keberlanjutan lingkungan hidup dan nelayan tapi juga mengancam keselamatan dan bencana bagi kepulauan Bangka Belitung. Untuk itu, pemerintah harus segera menghentikan aktivitas pertambangan timah yang merusak lingkungan laut, menyengsarakan rakyat dan melanggar hukum. Segera memberikan prioritas perlindungan bagi keberlanjutan dan kesejahteraan kehidupan nelayan tradisional. Sebagaimana diamanahkan dalam Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil dan dikuatkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang mengakibatkan nelayan tradisional kehilangan akses dan kehilangan hak memanfaatkan sumber daya laut.

Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:

Marta, Nelayan Kabupaten Bangka

di +62 853 6790 8630

Sarpan, Nelayan Kabupaten Belitung selatan

di +62 8592494 7092

Feri Firdaus, Nelayan Kota Pangkal Pinang

di +62 853 8069 5151

Ratno Budi, Direktur Walhi Kepulauan Bangka Belitung

di +62 812 7872 8387

Selamet Daroyni, Koordinator Divisi Pendidikan dan Penguatan Jaringan KIARA

di +62 821 1068 3102