INFRASTRUKTUR BENCANA

INFRASTRUKTUR BENCANA

Bendungan di Teluk Jakarta Berlebihan

JAKARTA, KOMPAS – Bendung laut raksasa yang akan dibangun di Teluk Jakarta dinilai tak layak berdasarkan analisis ekologis dan ekonomis. Pembangunannya bukan solusi tepat mengatasi banjir dan penurunan permukaan tanah di kawasan pantai teluk tersebut.

Ketua Kelompok Keahlian Teknik Kelautan Institut Teknologi Bandung (ITB) Muslim Muin menjelaskan, bendung laut raksasa (giant sea wall/GSW), selain menelan biaya sangat besar, biaya operasionalnya juga mencapai Rp. 1 Triliun per tahun.

Biaya itu terutama guna memasok listrik 300 megawatt untuk menggerakan pompa, sebesar Rp. 600 Miliar per tahun. Pompa raksasa untuk membuang air dari sungai yang permukaannya lebih rendah karena penurunan muka tanah. “Biaya sebesar itu siapa yang menanggung?”ujar Muslim, jumat (25/10).

Jika harus ditanggung masyarakat di kawasan Teluk yang berjumlah 60.000 jiwa, masing-masing menanggung Rp. 100 juta per tahun. Gubernur DKI diharapkan berfikir ulang soal GSW.

Menurut pakar geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jan Sopaheluwakan, pangkal masalah di kawasan Teluk Jakarta adalah kepadatan penduduk. Banjir dan genangan telah mendorong beberapa industri merelokasi pabrik.

Ia mengingatkan pemda-pemda dalam satu daerah aliran sungai (DAS) bekerja sama merehabilitasi-merekonstruksi daerah hulu dan bantaran sungai. Penataan ulang kawasan hulu DAS yang bermuara di Jakarta juga perlu terkait pembangunan bendungan di Sungai Ciliwung.

Perhatian juga pada sungai lain yang kerap banjir, seperti Pesanggrahan dan Cipinang, sebab mendangkal dan menyempit.

Menurut Muslim, pemerintah tak perlu membangun GSW untuk atasi penurunan muka laut. Lebih perlu dibangun tanggul dekat pantai untuk menahan sedimen masuk ke laut sehingga meningkatkan permukaan. Namun, itu harus disertai dengan relokasi permukiman. (YUN)

Sumber : KOMPAS,Senin, 28 oktober 2013,halaman 13

Siaran Pers Bersama: Program Jual Tanah Air Menteri Kelautan dan Perikanan Bertentangan dengan UUD 1945

Siaran Pers Bersama

Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

Program Jual Tanah Air Menteri Kelautan dan Perikanan

Bertentangan dengan UUD 1945

Jakarta, 1 November 2013. KIARA mengingatkan Menteri Kelautan dan Perikanan bahwa rencana pembukaan investasi di 100 pulau kecil yang kaya potensi di Indonesia untuk swasta atau asing bertentangan dengan UUD 1945. Tahun 2013 terdapat 6 wilayah di 5 provinsi yang dipromosikan menjadi tujuan investasi swasta atau asing (lihat Tabel 1), yakni Kepulauan Selayar dan Pangkajene dan Kepulauan di Sulawesi Selatan; Banyuwangi, Jawa Timur; Lombok Timur dan Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat; dan Ketapang, Kalimantan Barat.

Tindakan Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut harus ditegur oleh Presiden SBY dikarenakan prinsip “dikuasai oleh negara” tidak hanya diartikan sebagai pemilikan dalam arti privat oleh negara, sehingga tidaklah mencukupi untuk mencapai tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Apalagi diarahkan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam konteks “sebesar-besar kemakmuran rakyat”, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 terhadap UUD 1945 memberikan 4 tolak ukur: (1) kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat; (2) tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat; (3) tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam, dan (4) penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.

Fakta di lapangan juga sudah membuktikan bahwa program ini justru kontradiktif dengan keempat tolak ukur tersebut. Sebanyak 109 kepala keluarga digusur dari Gili Sunut yang terletak di Dusun Temeak, Desa Pemongkong, Kecamatan Jerowaru, Kabupdate Lombok Timur. Penggusuran ini berkaitan dengan rencana investor (Ocean Blue Resorts) membangun infrastruktur wisata bahari, seperti hotel, resor, titik penyelaman, dengan nilai investasi sebesar USD120 miliar. Saat ini Gili Sunut sudah dikosongkan. Sementara masyarakat setempat yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan harus meninggalkan tanah air kelahirannya.

Mestinya Pemerintah memprioritaskan masyarakat setempat untuk mengelola sumber daya pesisir dan laut, bukan apriori dan justru membuka partisipasi asing untuk mengelola area seluas lebih kurang 7 hektar di Gili Sunut.

Tabel 1. Potensi Sumber Daya Alam di 6 Kabupaten

No.

Kabupaten dan Potensi Perikanan

Jumlah Penduduk

(jiwa)

1.

Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan

–  Luas laut 87% dari total wilayahnya.

–  Kepulauan Selayar memiliki komoditas perikanan andalan: Tuna dengan produsi 408,5 ton, Kerapu Sunu (673.2 ton), Cakalang (180 ton), Tongkal (62,1 ton), Layang (177,5 ton), Terbang (92,9 ton), Bandeng (86,9 ton), dan Udang (42,81 ton).

123.283

2.

Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan

–  Hasil tangkapan perikanan laut mencapai 7.944,3 ton dan budidaya rumput laut 7.174 ton.

–  Adapun jenis ikan di perairan Pangkep adalah kakap merah, kerapu, lencam, cucut, pari, layang, cakalang, rajungan, udang putih, cumi-cumi, bawal putih, senanging, tuna, dan teri.

205.000

3.

Banyuwangi, Jawa Timur

–  Pada tahun 2012, jumlah produksi perikanan di Banyuwangi mencapai    44.469.348 ton atau setara dengan Rp406.031.616.605.

–  Jumlah nelayan di Kabupaten Banyuwangi sebanyak 25.598 jiwa.

2.100.000

4.

Kabupaten Lombok Timur

–  Memiliki luas laut mencapai 1.0743,33 km2 atau  40,09% dari luas wilayahnya. Bentangan pantai mencapai 220 km dari selatan ke utara. Potensi pengembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil itu mencakup 6 kecamatan dan 22 desa/kelurahan pantai.

–  Jumlah nelayan perikanan tangkap sebanyak 16.434 jiwa.

–  Potensi perikanan tangkap di Lombok Timur mencapai 12.691,5 ton. Tahun 2009 nilai produksi perikanan tangkap sebesar Rp.150.709.100.000.

1.200.000

5.

Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat

–  Memiliki garis pantai sepanjang 982 kilometer dengan potensi luas laut sebesar ± 3.831,72 kilometer persegi (13,14 % dari perairan NTB) dan produksi lestari sumber daya ikan sebesar 33.353.ton terdiri dari ikan Pelagis 15.406 ton dan ikan Demersal 17.947 ton.

–  Potensi Tambak seluas 10.375 Ha, Potensi Budidaya Rumput Laut 14.950 Ha, Potensi Budidaya Mutiara 5.700 Ha dan Potensi Budidaya Kerapu 1.200 Ha; sedangkan potensi Budidaya air tawar seluas 1.491 Ha serta potensi pengembangan usaha garam seluas 350 Ha.

117.526

6.

Ketapang, Kalimantan Barat

– Potensi lestari perikanan tangkap di laut sebesar 403.660,8

ton yang terdiri dari sumber pelagis dan demersal.

543.384

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Oktober 2013)

Melihat potensi yang dimiliki 6 kabupaten yang tersebar di 5 provinsi tersebut, semestinya bisa dikelola oleh lebih dari 4,3 juta jiwa dengan model pengelolaan kolektif dengan fasilitasi pemerintah daerah. Hal ini sudah terbukti di Bumi Dipasena. Setelah tidak lagi bermitra dengan PT Central Proteina Prima (melalui PT Aruna Wijaya Sakti), 7.512 petambak mendirikan koperasi dan perusahaan untuk mewadahi kepentingannya hingga bangkit dan berhasil. Bukan malah dikuasai atau diambil-alih oleh pihak swasta apalagi asing yang sudah jelas bertentangan dengan UUD 1945.

Dalam rancangan revisi UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil pun, Menteri Kelautan dan Perikanan bersama DPR RI juga hanya mengubah klausul Hak Pengelolaan menjadi Izin Lokasi dan Izin Pemanfaatan Sumber Daya Perairan Pesisir. Jika dicermati, perubahan ini memiliki kesamaan makna, yakni tetap mengkapling, mengomersialisasi, dan bahkan mengkriminalisasi masyarakat pesisir. Program Investasi 100 Pulau juga menempatkan masyarakat lokal hanya menjadi buruh di Tanah Airnya.***

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Ning Swatama Putridhanti, Koordinator Pengelolaan Pengetahuan KIARA

di +62 878 8172 1954

Amin Abdullah, KNTI Nusa Tenggara

Di +62 818 0578 5720

Abdul Halim, Sekjen KIARA

di +62 815 53100 259

 

10 Nelayan Langkat Dipenjara di Malaysia

10 Nelayan Langkat Dipenjara di Malaysia

Jumat, 01 November 2013, 09:57 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, LANGKAT, SUMATERA UTARA — Sebanyak 10 nelayan asal Kabupaten Langkat Sumatera Utara, yang ditahan pihak berwajib di Pulau Penang terancam hukuman penjara tiga hingga enam bulan, dengan tuduhan melakukan penangkapan ikan di wilayah laut Malaysia.

“Kita mendapat kabar 10 nelayan asal Langkat yang ditangkap tersebut kini dihukum di penjara Pulau Penang Malaysia,” kata Presidium Region Sumatera Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Tajruddin Hasibuan di Stabat, Jumat.

“Mereka sekarang ini menjalani hukuman penjara, karena tidak adanya pembelaan terhadap mereka,” katanya. Padahal 10 nelayan tersebut sudah membantah bahwa mereka tidak mencuri ikan di perairan Malaysia, tapi mencari ikan di peraiaran Indonesia.

Tajruddin menjelaskan bila merujuk pada nota kesepahaman antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Malaysia mengenai pedoman umum tentang penanganan terhadap nelayan oleh Lembaga Penegak Hukum di laut Republik Indonesia dan Malaysia yang ditandatangani pada tanggal 27 Januari 2012, maka nelayan tersebut harus dilindungi.

sesungguhnya Pemerintah Indonesia memiliki peluang besar untuk melindungi dan memulangkan para nelayan tersebut sebelum terjadinya proses peradilan, ungkapnya.

Tajruddin juga menjelaskan penangkapan dan pemenjaraan terhadap nelayan tradisonal yang berada di batas negara tersebut sudah sering terjadi.

Hal ini terjadi karena pemerintah tidak memiliki kepedulian dan keseriusan dalam menjaga perbatasan negara. Di sisi lain, pemerintah juga tidak memberikan perlindungan dan pengayoman kepada nelayan tradisional yang beraktivitas dan menggantungkan hidupnya di laut lepas, termasuk di wilayah perbatasan.

Untuk itulah, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) meminta agar Ketua Komisi I, Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat RI, Menteri Luar Negeri, Menteri Keluatan dan Perikanan, Gubernur Sumatera Utara dan Bupati Langkat Ngogesa Sitepu, dapat segera memperjuangkan pemulangan para nelayan ini.

“KNTI berharap agar 10 nelayan Langkat tersebut segera dibebaskan dan dipulangkan, karena tidak layak dan pantas untuk dihukum,” katanya.

Seperti diketahui Kamis (19/9), 10 nelayan yang berasal dari Sei Bilah dan Kelantan Kecamatan Sei Lepan dan kecamatan Brandan Barat ditangkap Polisi Maritim Malaysia.
Mereka yang ditahan: Iqbal Rinanda (35), Suwardi (32), Zainal Arifin (35), Hemdra MG (35), Iswadi (37), Ervan (21) yang kesemuanya nelayan penduduk Kecamatan Sei Lepan.

Di waktu yang hampir bersamaan ditahan nelayan yang berasal dari Desa Kelantan Kecamatan Brandan Barat oleh Polisi Maritim Malaysia.

Mereka itu: Ali Akbar (27), Syahril (26), Syafrianda (25), dan Farlan (35), kini juga mendekam dalam tahanan di Pulau Penang, kata Tajruddin Hasibuan.

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/11/01/mvkdjz-10-nelayan-langkat-dipenjara-di-malaysia