Nasib Dan Kesejahteraan Petani Semakin Terpuruk Harga Pangan Di Desa Dirasakan Lebih Mahal
RMOL. Menjelang berakhirnya pemerintahan SBY-Boediono, nasib dan kesejahteraan petani masih saja terpuruk. Kondisi ini terlihat dari Nilai Tukar Petani (NTP) yang menurun selama enam bulan terakhir.
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) bulan Juni ini, telah terjadi penurunan NTP tanaman pangan dari 98,20 menjadi 97,98. Sementara NTP secara umum sedikit meningkat dari 101,80 menjadi 101,88.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menyebutkan, penurunan NTP ini disebabkan tingginya indeks yang dibayar petani pangan daripada indeks yang diterimanya.
“Sebenarnya ada kenaikan indeks yang diterima petani, baik karena terjadi kenaikan harga gabah petani maupun kenaikan upah buruh tani. Namun, BPS mencatat kenaikan indeks yang dibayar untuk membeli seluruh elemen konsumsi menyebabkan hasil penjualan gabah petani dan kenaikan harga upah buruh tani tidak bisa mengangkat kesejahteraan mereka,” katanya dalam siaran pers yang diterima Rakyat Merdeka, kemarin.
Henry bilang, di dalam indeks yang harus dibayar petani terdapat komponen biaya produksi pertanian. “Oleh karena itu kelangkaan pupuk yang menyebabkan kenaikan harga pupuk membuat biaya produksi pertanian jadi meningkat,” ujarnya.
SPI mencatat, pupuk bersubsidi yang harganya berkisar Rp 70.000 per 50 kg ternyata dijual di pasaran seharga Rp 110.000 – Rp 170.000 per kg. Kenaikan nilai yang harus dibayar itu ditunjukkan pula dari adanya inflasi pedesaan sebesar 0,23 persen dengan komponen terbesar rata-rata untuk bahan makanan.
“Sungguh memprihatinkan, pedesaan sebagai pusat pangan justru menjadi pusat pangan mahal. Tekanan kepada petani pun cenderung akan semakin tinggi menjelang bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri,” jelasnya.
Menurut Henry, langkah konkret yang harus dilakukan pemerintah adalah perbaikan dan pengawasan distribusi pupuk subsidi serta benih untuk jangka pendek dan menjadikan subsidi langsung kepada petani dalam jangka panjang.
“Demikian juga perbaikan distribusi pangan seperti memperpendek jaringan distribusi dan perbaikan infrastruktur, sehingga harga pangan yang ada di pasar-pasar pedesaan tidak mengalami kenaikan yang drastis,” terang Henry.
Sebelumnya, pemantauan BPS terhadap harga di pedesaan di 33 provinsi pada Mei 2014, menunjukkan NTP secara nasional naik 0,08 persen dibandingkan April 2014, yaitu dari 101,80 menjadi 101,88.
“Kenaikan NTP Mei 2014 disebabkan kenaikan indeks harga hasil produksi pertanian relatif lebih tinggi jika dibandingkan kenaikan indeks harga barang dan jasa yang dikonsumsi oleh rumah tangga maupun untuk keperluan produksi pertanian,” jelas Kepala BPS Suryamin di Jakarta, kemarin.
Suryamin menjelaskan, NTP adalah yang diperoleh dari perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani. NTP juga merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani di perdesaan.
“NTP juga menunjukkan daya tukar dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi. Semakin tinggi NTP, secara relatif semakin kuat pula tingkat kemampuan atau daya beli petani,” katanya.
Pemerintahan Baru Diminta Bentuk UU Perlindungan & Pemberdayaan Nelayan
Pelaku Perikanan Sering Jadi Korban Perompak & Tengkulak Di Tengah Laut
Selama 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), para nelayan bekerja tanpa perlindungan yang setara dengan Undang-Undang (UU). Atas dasar itu, aktivis mendesak pemerintahanan baru mendatang membuat UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan.
“Sedikitnya 14,7 juta jiwa pelaku perikanan, mulai dari sektor perikanan tangkap, budidaya, pengolahan dan pemasaran di Indonesia bekerja tanpa kebijakan politik perlindungan dan pemberdayaan setingkat undang-undang. Akibatnya, pengalokasian anggarannya pun minim. Karena rezim SBY nggak sanggup, maka ini harus menjadi Pekerjaan Rumah (PR) pemerintahan selanjutnya,” ujar Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Halim menyatakan, ketiadaan UU itu telah berimbas pada bertumpuknya persoalan dari hulu (pra-produksi dan produksi) ke hilir (pengolahan dan pemasaran). Hal ini melemahkan daya saing Indonesia dalam kompetisi regional dan global, di antaranya Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan mulai berlaku 2015.
“Sudah bukan zamannya negara kelautan terbesar di dunia tidak memastikan perlindungan dan pemberdayaan nelayan melalui kebijakan politik dan penganggarannya. Dalam hal ini, Presiden terpilih Juli 2014 nanti harus menyegerakan pekerjaan rumah ini,” tegas Halim.
“Tanpa politik pengakuan negara, pelaku perikanan nasional hanya akan menjadi penonton di Tanah Airnya sendiri saat Masyarakat Ekonomi ASEAN berlangsung,” imbuhnya.
Bekerja sama dengan Serikat Nelayan Indonesia, kata Halim, Kiara mendapat berbagai temuan klasik dari hulu ke hilir yang dialami pelaku perikanan skala kecil/tradisional.
Dalam tahap pra-produksi misalnya, mereka menemukan kalau nelayan kesulitan mengakses BBM, kesulitan mendapat es untuk penyimpanan ikan, tidak ada alternatif pekerjaan saat cuaca ekstrem, keterbatasan modal dan sulitnya mengakses permodalan. Serta tidak ada informasi mengenai wilayah dan potensi sebaran ikan yang diterima oleh nelayan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota/Kabupaten/Provinsi.
Kemudian dalam tahap produksi, pengolahan dan pemasaran, menurutnya, nelayan juga mengalami kesulitan serius.
“Misalnya beroperasinya kapal besar di wilayah pesisir (1-12 mil), perompakan di laut, beroperasinya tengkulak/bakul di tengah laut dan memaksa nelayan menjual hasil tangkapannya dengan harga murah. Serta tidak tersedianya alat/fasilitas pengolahan hasil tangkapan agar bernilai tinggi,” terang Halim.
Sekjen Serikat Nelayan Indonesia Budi Laksana menyatakan, temuan itu tidak terlepas dari tak adanya aturan perlindungan dan pemberdayaan nelayan. Untuk itu, pihaknya mendesak agar dalam waktu enam bulan, temuan di desa-desa pesisir itu ditangani dengan segera oleh pemerintah.
Langkah awal yang harus dilakukan, saran Budi, yaitu membuka ruang dialog dengan masyarakat nelayan dan perempuan nelayan di 10.666 desa pesisir.
Sebab, hanya dengan cara itu bisa ditemukan kesamaan pandangan dan rekomendasi yang harus ditindaklanjuti bersama.
“Dengan demikian, upaya perbaikan dan pembuatan Rancangan Undang Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan menjadi maksimal. Sehingga hasilnya pun bisa memberikan manfaat yang optimas kepada para nelayan,” katanya.
KPAI Heran Kok Pemerintah Telat Deportasi Guru JIS
Sudah Lama Palsukan Izin Tinggal
Rencana pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) akan mendeportasi 26 guru Taman Kanak-kanak (TK) Jakarta International School (JIS), dipertanyakan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). KPAI menilai langkah itu terlambat.
“KPAI menghargai rencana Kemenkumham yang akan mendeportasi 26 guru JIS. Padahal, banyak yang sudah lama bermasalah,” kata Susanto di Jakarta, kemarin.
Susanto juga mempertanyakan kinerja Direktorat Keimigrasian. Pasalnya, Imigrasi tidak bertindak sebelum kasus sodomi di JIS mencuat ke permukaan.
“Saya curiga, jangan-jangan aturan pelaporan berkala visa kerja cuma di atas kertas. Soalnya keberadaan William Vahey saja baru dapat info dari media,” sesalnya.
KPAI menyarankan agar pemerintah melakukan monitoring berkala terhadap guru asing. Yang dimonitoring tak hanya terkait izin keimigrasian. Profile review guru dan kualitas pembelajaran juga harus diamati. “Hal yang juga perlu dipastikan adalah guru yang direkrut tidak berpotensi sebagai predator anak. Jangan sampai kasus William di JIS terulang lagi,” ingatnya.
Menurutnya, negara tidak boleh kalah dengan segala bentuk pelanggaran. Termasuk dugaan pelanggaran pemalsuan izin tinggal. KPAI minta semua pihak untuk ikut memantau kasus JIS dari berbagai aspek.
“Baik aspek administrasi, Imigrasi, tenaga pendidik dan pendidikannya, aspek izin sekolah, aspek dugaan pelanggaran anak, dan aspek lainnya,” kata Susanto.
Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin, mengatakan, 26 guru TK JIS terancam dideportasi karena memalsukan izin tinggal. Mereka telah melakukan pelanggaran, karena memalsukan keterangan dalam izin tinggal.
Menurut Amir, TK JIS juga dipastikan tak akan dibuka kembali karena tak mendapatkan izin dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pegawai Honorer Tagih Janji Menteri Azwar
Menunggu Diangkat Jadi PNS
Sebanyak ratusan pegawai honorer Katagori dua (K-2) yang gagal tes CPNS kembali mendatangi Kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) di Jakarta, kemarin.
Mereka yang tergabung dalam Forum Honorer K2 Indonesia (FHK2I) ini, menagih janji Menpan-RB Azwar Abubakar untuk mengangkat seluruh honorer K2 yang asli, meski gagal tes, menjadi CPNS. Menpan didesak segera menerbitkan surat edaran yang bisa dijadikan acuan bagi Pemerintah Daerah (Pemda) untuk pengangkatan honorer K2 murni jadi CPNS.
”Untuk kesekian kalinya kami datang ke sini menagih janji pak menteri. Ini sudah masuk Juni, kapan surat edaran itu ada?” kata Ketua FHK2I Titi Purwaningsih saat berorasi di depan 100-an honorer K2 perwakilan tujuh provinsi ini.
Menurut Titi, FHK2I akan tetap bertahan di Kantor Kemenpan-RB sebelum bertemu Azwar. Pasalnya, Azwar menjanjikan akan mengganti honorer bodong dengan yang asli. Itu sebabnya akan dikeluarkan surat edaran agar daerah melakukan verval kepada honorer K2 asli yang tidak lulus tes.
“Kalau pak menteri tidak mau menemui kita di sini, kita akan menunggu sampai kami diterima. Kami butuh kejelasan akan nasib. Mana janji pak menteri kami akan diangkat CPNS dan mengganti yang bodong,” tandasnya.
Badan Kepegawaian Negara (BKN) sudah menerbitkan Nomor Induk Pegawai (NIP) untuk honorer K2 yang lulus tes. Posisinya sekarang berada di masing-masing instansi untuk dituangkan dalam SK pengangkatannya sebagai CPNS.
“Dari 6.635 usulan yang masuk, sudah sekitar 75 persen atau 4976 honorer K2 yang sudah diberi NIP. Itu meliputi honorer K2 pusat dan daerah,” ungkap Kepala Biro Humas dan Protokol BKN Tumpak Hutabarat kepada JPNN, kemarin.
Sedangkan sisanya, lanjut Tumpak, sedang dalam proses pemeriksaan dokumen. Namun, dia memastikan, prosesnya tidak akan lama, paling lambat 21 hari. Itupun jika datanya sangat banyak. “Karena datanya yang masuk tidak terlalu banyak, prosesnya sekitar sepekan lah,” ujarnya. ***
http://www.rmol.co/read/2014/06/04/158062/Nasib-Dan-Kesejahteraan-Petani-Semakin-Terpuruk-