PTUN Kabulkan Gugatan KSTJ soal Pembatalan Reklamasi Pulau F, I dan K
Jakarta – Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengabulkan gugatan nelayan Teluk Jakarta dan Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ) mengenai pembatalan izin pelaksanaan Reklamasi Pulau F, I, dan K.
Hal tersebut sebagaimana yang tertera dalam tiga surat keputusan gubernur DKI Jakarta, yaitu: pertama, Surat Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2268 Tahun 2015 Tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau F Kepada PT Jakarta Propertindo Tertanggal 22 Oktober 2015; kedua, Surat Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2269 Tahun 2015 Tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau I Kepada PT Jaladri Kartika Pakci Tertanggal 22 Oktober 2015; dan ketiga, Surat Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2485 Tahun 2015 Tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau K Kepada Kepada PT Pembangunan Jaya Ancol, Tbk Tertanggal 17 November 2015.
“Memutuskan mengabulkan seluruh permohonan pihak penggugat. Mencabut SK Gubernur DKI Jakarta tentang Reklamasi Pulau K oleh PT Jaya Ancol,” kata majelis hakim PTUN Jakarta, Adhi Budhi Sulistyo di Gedung PTUN, Jakarta, (16/3).
Duduk sebagai anggota majelis yaitu Adi Budi Sulistyo dan Nani Juliani. Menurut majelis, penerbitan SK tersebut tidak sesuai dengan AMDAL. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) sebagai bagian dari KSTJ menyambut gembira dibacakannya putusan ini.
“Dengan dikabulkannya gugatan pembatalan izin pelaksanaan reklamasi pulau F, I, dan K, masyarakat tahu bahwa proyek ini penuh masalah dilihat dari berbagai sisi, baik sisi hukum, sisi lingkungan, sisi ekonomi dan sisi sosial,” tegas Muhammad Armand Manila, Pelaksana Sekretaris Jenderal KIARA.
Izin Pelaksanaan Proyek Reklamasi Pulau F, I, dan K harus dibatalkan karena sejumlah pertimbangan berikut: 1) Melanggar Hukum karena tidak dijadikannnya UU 27 Tahun 2007 dan UU 1 Tahun 2014 sebagai Dasar; 2) Tidak adanya rencana Zonasi sebagaimana diamanatkan Pasal 7 ayat 1 UU 27 Tahun 2007; 3) Proses penyusunan Amdal tidak partisipatif dan tidak melibatkan nelayan; 4) Reklamasi tidak sesuai dengan Prinsip pengadaan lahan untuk kepentingan umum sebagaimana UU 2/2012; 5) Tidak ada kepentingan umum dalam reklamasi, hanya kepentingan bisnis semata; 6) Menimbulkan dampak fisik, biologi, sosial ekonomi, dan infrastruktur; 7) menimbulkan kerusakan lingkungan, dan berdampak kerugian bagi para penggugat (nelayan).
Selain itu, izin yang dikeluarkan oleh Pemprov DKI itu bertentangan dengan berbagai peraturan perundang-undangan dan juga bertentangan dengan azas-azas umum Pemerintahan yang baik (AUPB), yaitu azas kepastian hukum, azas tertib penyelengara negara, azas kepentingan umum, azas keterbukaan, azas proporsionalistas, azas profesionalitas, dan azas akuntabilitas.
Azas kepastian hukum berarti bahwa izin reklamasi dalam SK Gubernur DKI tersebut di luar kewenangannya dan bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. Selain itu, SK tersebut menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum bagi warga masyarakat pesisir Jakarta yang berprofesi sebagai nelayan serta tidak memberikan kepastian perlindungan lingkungan hidup.
Azas tertib penyelenggara negara, sambung Armand adalah azas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.
“SK tersebut tidak mengacu kepada peraturan perundangan, diantaranya: UU 27/2007, UU 1/2014, UU 32/2009, dan UU 30/2014. Azas kepentingan umum berarti bahwa SK izin reklamasi tidak mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif,” terangnya.
Selain itu, SK tersebut tidak memiliki izin lingkungan hidup, keputusan kelayakan lingkungan hidup, dan AMDAL sebagai bagian penting perlindungan lingkungan serta tidak mengakui adanya partisipasi dari masyarakat.
Sedangkan, azas keterbukaan berarti tidak ada upaya keterbukaan dalam SK tersebut untuk memberikan informasi yang benar dan jujur kepada masyarakat maupun melibatkan masyarakat di sekitar pesisir dan nelayan tradisional skala kecil dalam proses perumusan hingga terbitnya SK tersebut.
Masih kata Armand, azas proporsionalitas adalah azas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara. Dengan terbitnya SK tersebut, Pemprov DKI tidak menjalankan kewenangannya secara proporsional.
“Hal ini disebabkan karena SK Gubernur menimbulkan persoalan dimana masyarakat tidak dipenuhi hak asasinya berdasarkan konstitusi untuk mendapatkan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana diakui dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 2,” bebernya.
Lebih lanjut, Armand menjelaskan azas profesionalitas, yaitu azas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Surat keputusan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi tidak dibuat dengan mendasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, nyata-nyata Pemprov DKI tidak betindak profesional dalam membuat SK sehingga harus dicabut,” tandasnya.
Terakhir, azas akuntabilitas, yaitu azas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelengagra negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bahwa sampai dengan gugatan yang diajukan oleh Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta ini diproses di PTUN, tak pernah sekalipun Pemprov DKI Jakarta mempertanggungjawabkan SK Gubernur tersebut.
Tak ada pengumuman atas keputusan yang diterbitkan Pemprov DKI Jakarta yang diterima oleh Penggugat (Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta dan Nelayan Tradisional Teluk Jakarta) yang terkena secara langsung akibat buruk keputusan izin reklamasi tersebut. Dengan demikian, semakin terang bahwa SK tersebut mengabaikan azas akuntabilitas.
“Dengan dibatalkannya izin pelaksanaan reklamasi pulau F, I, K, kita dapat menyebut hari ini sebagai hari anti reklamasi atau hari kemenangan nelayan Teluk Jakarta. Hari ini adalah hari anti reklamasi karena gugatan nelayan dan KSTJ dikabulkan,” ungkap Armand.
Dengan ini, maka pembangunan reklamasi pulau F, I, dan K dinyatakan ilegal dan melawan hukum. Oleh karena itu KSTJ menyatakan reklamasi Teluk Jakarta tidak dapat dilanjutkan.
ReP: (Adit/MN)
Sumber: http://maritimnews.com/ptun-kabulkan-gugatan-kstj-soal-pembatalan-reklamasi-pulau-f-i-dan-k/