MENCELAKAI KONSTITUSI

MENCELAKAI KONSTITUSI

Oleh Abdul Halim

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA);

Koordinator Regional SEAFish (Southeast Asia Fisheries for Justice Network)

Bombardir serangan asing mengoyak keteguhan institusi Pemerintah Republik Indonesia (baca: Kementerian Kelautan dan Perikanan) yang bertanggungjawab atas pengelolaan sumber daya kelautan, pesisir dan perikanan nasional. Imbasnya Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi panduan penyelenggaran bangsa dan negara diabaikan dan bahkan dicelakai dalam 10 tahun terakhir.

Dua penanda liberalisasi sumber daya kelautan, pesisir dan perikanan nasional bermuara pada usaha perikanan tangkap dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dua aturan liberalis itu dikeluarkan kementerian negara yang bermarkas di seberang Stasiun Gambir, Jakarta.

Penanda pertama, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Di dalam aturan ini, Menteri Kelautan dan Perikanan secara sengaja meliberalisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil kepada pihak asing hingga 6 dekade dan kepemilikan saham mencapai 80 persen.

Sedikitnya tujuh perubahan yang terindikasi kuat berpotensi melanggar hak-hak nelayan tradisional dan masyarakat pesisir atas ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Tujuh perubahan tersebut antara lain: Pertama, dimasukkannya unsur masyarakat dalam mengusulkan rencana pengelolaanwilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang ‘disetarakan’ dengan pemerintah dan dunia usaha. Revisi tersebut menyalahi Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 dengan melakukan penyetaraan antara masyarakat nelayan tradisional dengan pihak swasta. Padahal sejak awal sudah berbeda subyeknya. Perlakuan diskriminatif ini juga terjadi secara serampangan dengan dimasukkannya nelayan tradisional dalam unsur Pemangku Kepentingan Utama dalam Pasal 1 angka 30 bersama dengan nelayan modern, pengusaha pariwisata, dan pengusaha perikanan. Sangat jelas, DPR bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menghendaki adanya persaingan bebas yang sudah tentu akan mendiskriminasi nelayan tradisional dan pembudidaya ikan kecil. Begitu pula mengenai hak keberatan terhadap rencana pengelolaan yang sudah diumumkan dalam jangka waktu tertentu. Undang-undang tidak menjelaskan Hak keberatan tersebut, bagaimana mekanismenya dan bagaimana ukuran keberatan serta jangka waktu tertentu tersebut.

Kedua, Pasal 21 dan Pasal 22 Revisi UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengecualikan wilayah ruang pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah dikelola masyarakat adat dari kewajiban untuk memiliki perizinan, baik lokasi maupun pengelolaan. Pasal 21 tersebut mengesankan adanya persyaratan bertingkat. Di satu sisi memberikan keleluasaan kepada masyarakat hukum adat untuk mengelola ruang penghidupannya, namun di sisi lain membenturkannya dengan frase “mempertimbangkan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan”. Juga tidak ditegaskan definisi kepentingan nasional di dalam Revisi UU Pesisir ini. Selain itu, masyarakat hukum adat diwajibkan untuk mendapatkan pengakuan status hukum dengan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengakuan status hukum masyarakat adat menjadi potensi masalah terkait dengan sifat pasif negara dalam melakukan pengakuan hukum. Terlebih Revisi UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tidak memandatkan kepada pemerintah untuk aktif melakukan pengakuan terhadap kesatuan hukum adat sebelum penerbitan perizinan. Kondisi ini sangat potensial untuk mengusir masyarakat adat dari wilayah atau ruang penghidupannya di pesisir dan pulau-pulau kecil tanpa mendapat pengakuan status hukum masyarakat adat.

Ketiga, dengan mengubah skema hak menjadi skema perizinan melalui dua tahap, yaitu izin lokasi dan izin pengelolaan, tetap berpotensi melanggar hak nelayan tradisional. Dalam revisi UU Pesisir, skema tersebut tidak memastikan hak persetujuan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir terhadap pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Tanpa hak tersebut, skema ini dapat dipastikan akan tetap melanggar Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang memandatkan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dimanfaatkan untuk ‘sebesar-besar kemakmuran rakyat’. Walaupun Revisi UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil telah mengakui hak akses atas wilayah yang telah diberikan izin lokasi dan izin pengelolaan,namun tidak ada sanksi atas pelanggaran hak-hak masyarakat tersebut. Sehingga undang-undang kembali lagi akan membiarkan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir yang telah tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara turun-temurun akan dilanggar haknya.

Selain itu, kewenangan pemberian perizinan dimiliki setiap tingkat pemerintahan dari kabupaten/kota, provinsi hingga pusat. Hal ini berpotensi melanggar syarat perizinan dan berimbas terhadap keluarnya perizinan secara mudah dan serampangan. Tidak ada pengawasan bertingkat yang dilakukan terhadap pemberian izin lokasi dan izin pengelolaan yang diterbitkan oleh daerah di tingkat lokal. Sehingga potensi terbitnya izin tanpa memenuhi persyaratan minimal dalam Undang-Undang Pesisir sangat besar terjadi.

Keempat, munculnya Pasal 26A yang akan mempermudah penguasaan asing atas pulau-pulau kecil. Pasal 26A mengatur pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya dalam skema investasi penanaman modal dengan dasar izin menteri. Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya wajib “mengutamakan kepentingan nasional”. Namun tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai definisi dari frase “mengutamakan kepentingan nasional”. Undang-undang tersebut seolah-olah ingin melindungi kepentingan rakyat, namun mustahil investor asing akan memprioritaskan kepentingan bangsa Indonesia dalam mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pada Pasal 26A ayat (4), terindikasi kuat adanya praktek jual-beli pulau oleh orang asing. Bahkan terdapat praktek di lapangan yang bertentangan, misalnya di Gili Sunut, Nusa Tenggara Barat. Sebanyak 109 KK tergusur karena investasi pulau kecil oleh PT Blue Ocean Resort asal Singapura.

Pasal 26A terkait erat dengan Pasal 23A yang mengatur pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya. Untuk kegiatan: a. konservasi; b. pendidikan dan pelatihan; c. penelitian dan pengembangan; d. budi daya laut; e. pariwisata; f. usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan secara lestari; g. pertanian organik; h. peternakan;  dan/atau i. pertahanan dan keamanan negara. Namun Pasal 26A yang mengatur investasi di pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya tidak mewajibkan adanya proses free prior informed consent(Persetujuan dengan Pemberian Informasi Awal/FPIC) yang dimandatkan Protokol Nagoya dari Konvensi Keanekaragaman Hayati yang telah diratifikasi melalui UU Nomor 10 tahun 2013. Oleh karena itu, Pasal 26A berpotensi menjadi salah satu celah untuk terjadi pembajakan keanekaragaman hayati (biopiracy).

Kelima, Revisi UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengakui adanya hak untuk mengusulkan wilayah penangkapan ikan secara tradisional dan wilayah Masyarakat Hukum Adat dalam RZWP-3K. Namun derajat hak tersebut turun dengan adanya kata “mengusulkan” yang menurunkan derajatnya menjadi ‘pertimbangan’ dalam penyusunan RZWP-3-K. Sehingga hak-hak tersebut potensial dipelintir dan dapat dilanggar dalam proses lebih lanjut. Ditambah lagi wilayah penangkapan nelayan tradisional dan wilayah masyarakat adat di perairan dengan kegiatan penangkapan ikan merupakan wilayah yang tidak bisa disamakan dengan daratan atau tanah karena sifat dari perairan yang dinamis. Sehingga tidak dapat dipastikan lebih lanjut wilayah penangkapan nelayan tradisional dan masyarakat adat dituangkan dalam peta-peta koordinat.

KeenamDalam Pasal 30 kewenangan menteri yang terlalu luas dengan kekuasaan untuk menetapkan perubahan peruntukan dan fungsi zona inti pada kawasan konservasi untuk eksploitasi. Hal ini berpotensi untuk memunculkan praktek tukar-guling kawasan konservasi yang pada akhirnya merugikan kepentingan masyarakat setempat, khususnya nelayan tradisional. Apalagi definisi nelayan tradisional di dalam Revisi UU Pesisir ini sangat sempit. Salah satu kasus yang terjadi adalah Kawasan Konservasi Ujungnegoro-Roban di Batang yang diubah karena adanya rencana pembangunan PLTU Batang. Selain itu, juga akan menjadikan proses konservasi menjadi sia-sia karena dengan mengubah zona inti sama saja mengubah upaya konservasi tersebut.

Ketujuh, Pasal 63 mewajibkan pemerintah dan pemerintah daerah didorong untuk memberdayakan masyarakat. Namun mengapa harus melibatkan orang/modal asing? Kenapa tidak membentuk BUMD yang bergerak di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil bersama masyarakat setempat? Pada titik ini, pemerintah dan wakil rakyat di DPR RI beranggapan bahwa masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil lemah, rendah, tidak mandiri, dan tidak berdaya sehingga tidak mampu mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk kesejahteraan bersama sebagaimana diamanahkan di dalam UUD 1945.

Pengesahan Undang-Undang ini pada tanggal 18 Desember 2013 dilakukan tanpa partisipasi masyarakat serta nelayan tradisional dan petambak secara terbuka dengan proses yang sejati dan sepenuhnya. Sebaliknya, komprador asing di Gambir memilih melakukannya secara terbatas dan tertutup dengan hanya melibatkan akademisi, pihak swasta dan cenderung dipercepat. Hal tersebut sejatinya mengakibatkan pelanggaran mendasar atas hak partisipasi setiap warga negara dalam perumusan kebijakan nasional.

Penanda kedua adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 26 Tahun 2013 yang merevisi Permen Nomor 30 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Tak jauh berbeda spiritnya dengan pengesahan Perubahan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Menteri Kelautan dan Perikanan bahkan membolehkan komoditas perikanan bernilai tinggi yang tersebar di perairan Indonesia, yakni tuna, ditangkap dan langsung didagangkan di pasar luar negeri.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 26/PERMEN-KP/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.30/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia tidak menyelesaikan permasalahan pencurian ikan di Indonesia. Bahkan berpotensi tetap melanggar Pasal 25B UU No. 45 Tahun 2009.

Pertama, kewajiban Vessel Monitoring System untuk kapal 30 GT dan asing dilonggarkan. Berdasarkan perubahan Pasal 19 persyaratan permohonan Surat Izin Penangkapan Ikan bagi kapal diatas 30 (tiga puluh) GT tidak diwajibkan memenuhi Surat Keterangan Pemasangan Transmitter vessel monitoring system. Surat keterangan pemasangan transmitter haruslah dikeluarkan oleh Pengawas Perikanan. Kewajiban memenuhi surat keterangan pemasangan transmitter awalanya ditegaskan dalam Permen KP No. 30 Tahun 2012 yang kemudian direvisi dengan Permen 26 Tahun 2013 yang melonggarkan kewajiban menjadi surat pernyataan kesanggupan memasang dan mengaktifkan transmiter sebelum kapal melakukan operasi penangkapan ikan.

Persyaratan tersebut selain kepada kapal penangkapan ikan diatas 30 GT juga kepada usaha perikanan tangkap yang menggunakan modal asing dan/atau tenaga kerja asing. Dengan tidak diwajibkannya pemasangan transmitter vessel monitoring system kepada usaha perikanan tangkap oleh asing akan meningkatkan pencurian ikan di perairan Indonesia. Karena kapal perikanan akan menangkap ikan di luar wilayah penangkapan yang ditetapkan izin yang diberikan. Permen Revisi Usaha Perikanan Tangkap tidak menjawab mandate UU Perikanan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk menetapkan sistem pemantauan kapal perikanan berdasarkan Pasal 7 ayat (1) huruf e UU No. 45 Tahun 2009. Penangkapan ikan diluar daerah atau wilayah yang diberikan izin berarti melakukan pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf e UU No. 45 Tahun 2009 yang mewajibkan penangkapan ikan di daerah yang ditetapkan.

Kedua, transhipment masih diperbolehkan. Pengaturan mengenai transhipment (alih muatan) dari antara kapal di atas perairan masih dimungkinkan dilakukan berdasarkan Permen 26 Tahun 2013. Perubahan pengaturan alih muatan tidak berbeda dengan peraturan yang sebelumnya, yang hanya dipindahkan pasalnya ke Pasal 37 ayat (7), ayat (8), ayat (9) dengan tambahan Pasal 37A, Pasal 37B, dan Pasal 37C yang mengatur persyaratan usaha pengangkutan ikan dengan pola kemitraan. Dengan masih diberikan kebebasan untuk melakukan alih muatan merupakan celah yang berisiko tetap terjadinya pencurian ikan. Terlebih dengan adanya pengecualian terhadap komoditas tuna segar untuk wajib diolah di dalam negeri.

Ketiga, komoditas tuna segar dikecualikan dari Unit Pengolahan Ikan. Pasal 44 ayat (1) Permen 26 Tahun 2013 mengatur setiap perusahaan yang menggunakan kapal penangkap ikan dengan jumlah kumulatif 200 (dua ratus) GT sampai dengan 2.000 (dua ribu) GT wajib bermitra dengan Unit Pengolah Ikan. Namun, berdasarkan Pasal 44 ayat (3a) Permen 26/2013 kewajiban usaha perikanan dengan jumlah kumulatif 200 (dua ratus) GT sampai dengan 2.000 (dua ribu) GT untuk bermitra dengan Unit Pengolah Ikan dikecualikan bagi komoditas tuna segar.

Sebagaimana diketahui bersama wilayah perairan Indonesia merupakan sebagian dari daerah penangkapan tuna (tuna fishing ground) dunia. Aturan Pasal 44 ayat (3a) yang mengecualikan penangkapan komoditas tuna segar tidak diwajibkan untuk diolah dalam negeri merupakan aturan yang akan merugikan sumber daya perikanan Indonesia. Berbagai kapal penangkap ikan tuna dari Jepang melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia dari yang terkecil sebesar 50 GT sampai berukuran lebih besar dari 300 GT. Sehingga pengecualian terhadap komoditas tuna merupakan pelanggaran terhadap Pasal 25B ayat (2) UU No. 45 Tahun 2009.

Pasal  25B ayat (2) UU No. 45 Tahun 2009 mewajibkan kepada pemerintah untuk memprioritaskan produksi dan pasokan ke dalam negeri untuk mencukupi kebutuhan konsumsi nasional. Pasal ini merupakan kebijakan penting mengenai “domestic obligation“ untuk memprioritaskan konsumsi protein bagi setiap warga negara Indonesia.

Dengan adanya klausul Pasal 44 ayat (3a), revisi permen tersebut telah mengelabui tekanan publik terhadap kebijakan pengelolaan perikanan Indonesia. Setelah sebelumnya Pasal 69 ayat (3) dan Pasal 88 Permen KP No. 30 Tahun 2012 memperbolehkan kapal penangkap ikan yang menggunakan alat penangkapan ikan purse seine berukuran diatas 1000 (seribu) GT yang dioperasikan secara tunggal untuk membawa langsung ikan hasil tangkapannya keluar negeri telah dihapuskan. Aturan ini telah dihapus dan ditambahkan dengan kewajiban melaporkan ke syahbandar untuk melakukan perbaikan/docking ke luar negeri. Dihapusnya peraturan Pasal 69 ayat (3) dan Pasal 88 seolah-olah hanya ilusi pengelolaan pangan untuk berdaulat namun kenyataannya hanya menjadi komoditas ekspor tanpa memenuhi hak masyarakat untuk mendapatkan pangan perikanan yang berkualitas.

Dua penanda di atas jelas mencelakai amanah konstitusi: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tak pelak, pekerjaan rumah Presiden 2014-2019 mengoreksi kedua aturan ini dan mengembalikan kedaulatan rakyat dalam mengelola sumber daya perikanan dan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil demi sebesar-besar kemakmuran rakyat melalui koperasi, kerjasama BUMD dan masyarakat pesisir, termasuk di dalamnya nelayan, petambak dan perempuan nelayan skala kecil/tradisional. Sudah saatnya negeri ini berdaulat, Bung!***

Sumber: Majalah Samudra Edisi Juli 2014

MENYAMBUNGKAN NUSANTARA

MENYAMBUNGKAN NUSANTARA

Oleh Abdul Halim

Sekretaris Jenderal KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan)

Pemilu 2014 sudah di depan mata. Keliru memilih pemimpin bervisi kelautan akan berimbas pada kian kelamnya masa depan bangsa Indonesia selang 5 tahun ke depan.

Negeri dengan 75% lautnya, namun masih dihadapkan pada persoalan pokok pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang tak kunjung menghadirkan kesejahteraan di tingkat masyarakatnya: 6,2 juta jiwa keluarga nelayan. Tak hanya itu, ikan yang dihidangkan di meja makan keluarga Indonesia juga diimpor. Belum lagi garam sebagai penyedap masakannya. Sudah impor, harganya pun mahal. Tak ayal, nelayan dan pembudidaya terus dimiskinkan. Ironis. Apa yang keliru dengan kita?

Pertama, sebagai negara produsen perikanan (ketiga di sektor perikanan tangkap dan keempat di sektor perikanan budidaya), tantangan yang dihadapi adalah menyambungkan sektor hulu (pra-produksi dan produksi) dan hilir (pengolahan dan pemasaran) yang tidak hanya menyumbangkan devisa kepada negara, melainkan harus merembes kepada produsen perikanan skala kecil. Hanya saja, kenaikan ini tidak dibarengi dengan turut meningkatnya kesejahteraan masyarakat nelayan.

Kesejahteraan nelayan masih jauh panggang dari api. Hal ini terlihat dari sejumlah fakta tidak terhubungnya program pemerintah dengan upaya penyejahteraan nelayan di desa pesisir/perkampungan nelayan, di antaranya nelayan masih dihadapkan pada perkara terputusnya tata kelola hulu ke hilir; tidak berfungsinya TPI/PPI sebagaimana mestinya dalam melayani nelayan; tiadanya jaminan perlindungan jiwa dan sosial (termasuk pendidikan dan kesehatan) bagi nelayan dan keluarganya; semakin sulitnya akses melaut akibat praktek pembangunan yang tidak ramah nelayan, seperti reklamasi pantai, konservasi laut yang membatasi akses nelayan, dsb; serta ancaman bencana yang terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Lebih parah lagi, akses BBM bersubsidi masih menjadi perkara laten bagi masyarakat nelayan. Padahal, dari tahun 2008-2012, misalnya, kenaikan nilai ekspor ikan Indonesia mencapai 9,97% atau dari US$ 2,69 juta menjadi US$3,85 juta. Lebih parah lagi, angka impor ikan segar/beku juga terus meningkat: 19,33% sejak 2008 – Juni 2013.

Kedua, belum terhubungnya pusat produksi, distribusi dan konsumsi Indonesia. Ditandai dengan tercecernya daya saing logistik Indonesia di peringkat ke-59 dunia atau berada jauh di bawah Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam. Padahal, mandat Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan mengamanahkan pengelolaan sumber daya perikanan berbasis sistem bisnis perikanan yang menghubungkan sektor hulu (pra-produksi dan produksi) dan hilir (pengolahan dan pemasaran). Adakah jalan keluarnya?

Pemimpin nasional harus mengarahkan peningkatan angka produksi perikanan ini untuk: pertama, menyejahterakan pelaku perikanan Indonesia, khususnya masyarakat nelayan, dengan model ekonomi kerakyatan, misalnya kerja sama BUMN dengan organisasi-organisasi nelayan, bukan menggadaikan kekayaan laut kepada asing yang terus terjadi 10 tahun terakhir; kedua, mengubah orientasi ekspor dengan memaksimalkan potensi demografi dalam negeri seperti yang kini dilakukan oleh China; dan ketiga, menghidupkan kemandirian sektor perikanan nasional melalui reaktivasi BUMN perikanan.

Tak hanya itu, pemimpin nasional lima tahun ke depan harus secara sungguh-sungguh menjalankan mandat Undang-Undang Nomo 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan yang diturunkan melalui Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional lintas kementerian/lembaga. Dalam konteks perikanan, juga terdapat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 5 Tahun 2014 tentang Sistem Logistik Ikan Nasional. Dengan jalan inilah, menyambungkan Nusantara tidak hanya dikenal sebatas sejarah Deklarasi Djuanda 1957,  melainkan menjejak dari Miangas hingga Rote.***

Sumber: Majalah Resources, April 2014

KELIRU ANGKA MENGHEMPAS CITA-CITA

KELIRU ANGKA MENGHEMPAS CITA-CITA

Oleh Abdul Halim

Sekretaris Jenderal KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan)

Ironis! Kementerian Kelautan dan Perikanan diminta segera mengklarifikasi data produksi perikanan budidaya yang dinilai tidak wajar. Kekeliruan data disinyalir juga terjadi di semua kementerian sehingga mengancam arah kebijakan dan program kerja pemerintah (Kompas, 6/03).

Melihat situasi di atas, David Brooks membuka alinea pertama kolomnya berjudul The Philosophy of Data di harian The New York Times tertanggal 4 Februari 2013 dengan kalimat tanya-jawab, “Jika Anda bertanya mengenai pemikiran filsafat yang berkembang belakangan ini, saya akan menjawabnya: data-isme”.

Jamak dipahami bahwa berkat keintiman manusia abad modern dengan teknologi informasi, jutaan data bisa didapatkan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Bagi Brooks, kemajuan ini mengandaikan adanya asumsi-asumsi kultural, seperti (i) segala sesuatu yang dapat diukur sudah seharusnya diukur; (ii) data merupakan sesuatu yang transparan dan lensa yang handal untuk menyaring emosi dan ideologi; serta (iii) data dapat membantu kita melakukan hal-hal yang luar biasa, di antaranya memprediksi masa depan (foretell the future).

Menempatkan data

Tak dimungkiri bahwa data faktual dan valid merupakan barang langka, tak hanya di Indonesia, melainkan juga dialami oleh organisasi multilateral setingkat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun demikian, kekeliruan dalam penyajian data adalah perilaku koruptif yang mesti dikoreksi.

Dalam kajian kebijakan publik, data menjadi ujung tombak yang dapat menghadirkan hal-hal positif atau sebaliknya justru mencelakakan. Karena bekal data menjadi sarana awal proses penyusunan kebijakan dilakukan.

Brooks menambahkan, ada dua pendekatan yang dapat dipraktekkan dalam menempatkan data. Pertama, data membantu penyusun kebijakan untuk mengoreksi intuisinya yang keliru dalam memahami fakta di lapangan. Hal ini mutlak dibutuhkan oleh para pengambil kebijakan mengingat adanya kecenderungan hampir setiap orang yang menjalankan jabatan politik beranggapan bahwa mereka memiliki intuisi yang kuat untuk mempengaruhi fakta. Dalam konteks ini, data yang dihasilkan terkadang tak kongruen dengan fakta.

Dalam perundingan FAO Sub-Komisi tentang Perdagangan Ikan di Bergen, Norwegia, pada tanggal 24-28 Februari 2014, misalnya, seluruh delegasi dari sedikitnya 27 Negara yang hadir menyepakati pentingnya kajian dengan dukungan data faktual dan valid menyangkut kontribusi perikanan terhadap pendapatan sebuah negara dan jumlah pekerja yang mendapatkan penghasilan dari sektor perikanan. Harapannya, kesepakatan multilateral yang diambil benar-benar mewakili kepentingan bangsa-bangsa di dunia.

Kedua, berbekal data yang faktual dan valid, pola perilaku masyarakat dapat dikenali. Pada titik ini, data harus selalu diperbarui dan didialogkan dengan fakta di lapangan.

Di tahun 2013, dinamika pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan tidak mengalami perubahan berarti. Pemerintah terus menggaungkan industrialisasi perikanan dengan fokus utama peningkatan produksi perikanan (tangkap dan budidaya), namun berjarak kepada masyarakat nelayan dan pembudidaya.

Setali tiga uang, anggaran kelautan dan perikanan yang terus meningkat, justru kian memperlebar jurang kemiskinan: nelayan dan pembudidaya kecil diposisikan sebagai buruh, sementara pemilik kapal/lahan berkubang dana program pemerintah.

Program revitalisasi tambak udang melalui tambak demfarm yang digulirkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sejak tahun 2012, misalnya, menciptakan kesenjangan sosial yang kian tinggi di kalangan masyarakat pembudidaya. Pusat Data dan Informasi KIARA (Oktober 2013) mencatat sedikitnya lima temuan lapangan. Pertama, penerima proyek demfarm tahun 2013 di Indramayu, Jawa Barat, pada umumnya adalah juragan tambak.

Kedua, format pengerjaan proyek tidak berbasis kelompok, melainkan buruh-majikan. Tenaga kerja didatangkan dari luar desa atau bahkan berasal dari kecamatan lainnya. Temuan ini menyalahi Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Nomor 84 Tahun 2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan Percontohan Usaha Budidaya (Demfarm) Udang dalam Rangka Industrialisasi Perikanan Budidaya. Di dalam Bab II tentang Kelembagaan, Tugas, dan Fungsi, Kelompok Pembudidaya Ikan didefinisikan sebagai kumpulan pembudidaya ikan yang terorganisir, mempunyai pengurus dan aturan-aturan dalam organisasi kelompok, yang mengembangkan usaha produktif untuk mendukung peningkatan pendapatan dan penumbuhan wirausaha di bidang perikanan budidaya.

Di samping itu,  praktek penyelenggaraan program demfarm ini juga menyalahi Pasal 39 ayat (3) Undang-undang Ketenagakerjaan, “Semua kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah di setiap sektor diarahkan untuk mewujudkan perluasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja”.

Ketiga, sistem penggajian menyalahi standar UMR, yakni sebesar Rp700.000/orang. Padahal, UMR Kabupaten Indramayu pada tahun 2013 senilai Rp1.125.000.  Keempat, para pekerja tidak diberikan hak-hak dasarnya, seperti perlindungan jiwa dan jaminan kesehatan, serta standar keselamatan kerja di tambak. Kedua hal ini melanggar ketentuan Pasal 88-89 UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Kelima, semangat yang dibangun proyek demfarm hanya memperkaya para juragan pemilik tambak, sementara kelompok pembudidaya ikan (pokdakan) yang menjadi sasaran utama justru dikesampingkan. Hal ini kian memperlebar jurang kesejahteraan di tingkat masyarakatpembudidaya.

Kelima fakta di atas adalah cermin tidak sejalannya data dan fakta yang dirujuk oleh pengambil kebijakan. Jikapun menjadi rujukan, mentalitas koruptif masih menjangkiti para penyelenggara negara. Singkatnya, revolusi data memberikan kita cara yang indah untuk memahami masa kini dan masa lalu. Apakah akan mengubah kemampuan kita untuk memprediksi dan membuat keputusan tentang masa depan rakyat Indonesia yang lebih sejahtera, adil dan makmur? Mari menjadi pemilih cerdas dan bervisi kelautan di Pemilu 2014.***

Sumber: Majalah Samudra, Edisi 132, Tahun XII, April 2014

Australia Sadap (Udang) Indonesia

Australia Sadap (Udang) Indonesia

Oleh: ABDUL HALIM, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA); Alumnus Sekolah Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina, Jakarta

Edward J Snowden, eks intelijen NSA (National Security Agency) Amerika Serikat (AS), kembali buka mulut. Dia ungkap dokumen rahasia penyadapan Australia terhadap kantor pengacara Pemerintah Indonesia dinegeri Paman Sam di antaranya menyangkut kepentingan dagang udang sebagaimana dilaporkan oleh The New York Times(15 Februari 2014).

Sebagai mitra apik, Australia enteng menyampaikan bahwa ekspor udang Indonesia ke Amerika Serikat memiliki dampak bagi keamanan Australia. Tengok pernyataan Perdana Menteri Australia Tony Abbot, ”Kami menggunakan perangkat penyadapan untuk memberikan keuntungan dan meningkatkan makna keberadaan kami kepada seorang teman. Kami menggunakannya untuk melindungi warga negara Australia dan negara lain. Kami pasti tidak menggunakannya untuk kepentingan komersial,” (ABC News, 16/02).

Menyikapi pernyataan tersebut, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Marty Natalegawa menyindir, ”Australia menyampaikan alasan yang tidak masuk akal dan berlebihan. Mestinya sebagai negara tetangga harus saling membantu dan bukan berbalik menjadi musuh.” Dalam kacamata penulis, penyadapan yang dilakukan Australia adalah bentuk barter kepentingan dengan Amerika Serikat.

Dalam konteks geopolitik, Indonesia memainkan peranan strategis seiring membesarnya pengaruh China di kawasan Asia-Pasifik. Untuk memastikan tiadanya gangguan eksternal, Australia menyiapkan pangkalan khusus bagi tentara AS yakni di Pulau Cocos (Selatan Barat Daya Pulau Jawa), yang hanya berjarak 1270 kilometer dari Jakarta dan Darwin (Australia Utara).

Sebaliknya, informasi apa pun yang dimiliki Australia sangat bermanfaat bagi kepentingan Amerika Serikat sekalipun dalam hubungan diplomatik penyadapan dikategorikan sebagai aktivitas terlarang.

Selisih Subsidi

Dengan dukungan anggaran dan program yang diarahkan untuk meningkatkan kapasitas produksi perikanan nasional sebagaimana tercantum di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 untuk prioritas kelima pembangunan yakni ketahanan pangan bukan mustahil bagi Indonesia untuk mencapai target meski kerusakan lingkungan pesisir menjadi fakta yang seringkali dinomorduakan.

Peningkatan produksi perikanan budidaya berimbas terhadap menyusutnya sebaran hutan bakau. Ini setidaknya terjadi di enam negara yang disebut-sebut sebagai kawasan Segitiga Karang. FAO (2006) memperkirakan sebesar10% hutan bakau dunia hilang akibat perluasan tambak udang. Fenomena ini juga terjadi di Asia dengan hilangnya 40% hutan bakau. Separuh di antaranya hilang akibat ekstensifikasi tambak. Sejak 2008 hingga 2012 produksi udang Indonesia mengalami peningkatan drastis.

Dari sektor perikanan tangkap diperoleh sebesar 236.922 ton pada 2008 dan mengalami kenaikan pada 2012 sebesar 260.618 ton. Setali tiga uang, produksi udang di sektor perikanan budi daya juga terus membesar: 409.950 ton (2008) naik hingga 415.703 ton (2012). Dengan jumlah produksi yang besar, tak ayal pasar Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa menjadi destinasi pemasaran.

Pada 2012 jumlah udang yang diekspor ke Amerika Serikat mencapai 62.194 ton dengan nilai USD500.307. Diikuti Jepang sebesar 33.521 ton atau setara nilai USD372.825 dan Uni Eropa sebesar 16.359 ton atau senilai USD111.911 (Kelautan dan Perikanan 2012, Kementerian Kelautan dan Perikanan). Besarnya udang yang dipasok ke Amerika Serikat membuat khawatir sejumlah pedagang di Amerika Serikat.

Ini ditimbulkan oleh keberadaan indikasi pemberian subsidi kepada produsen udang dalam negeri. Karena itu, Coalition of Gulf Shrimp Industries (COGSI) mengajukan petisi kepada Pemerintah Amerika Serikat tertanggal 28 Desember 2012 untuk mengenakan countervailing duties (CvD) atas impor frozen warmwater shrimp yang dianggap mengandung subsidi dari tujuh negara yaitu China, Ekuador, India, Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

Tuduhan pengenaan CvD dimaksudkan untuk mengganti kerugian yang ditimbulkan dari perdagangan tidak adil (unfair trade) akibat ada subsidi dari pemerintah yang dilakukan tujuh negara tersebut. Petisi tersebut telah diperiksa kelayakannya oleh Otoritas Amerika Serikat yaitu Komisi Perdagangan Internasional AS (US ITC) dan Departemen Perdagangan AS (US DOC).

Karena ada indikasi kerugian tersebut, US DOC mengirimkan petugas pada 3–21 Juni 2013. US DOC telah melakukan verifikasi lapangan ke Jakarta dan Lampung. Namun, setelah melaksanakan verifikasi lapangan, US DOC mengeluarkan ketetapan akhir (final determination) pada 13 Agustus 2013 bahwa tidak terdapat indikasi subsidi terhadap ekspor udang Indonesia (Antara, 20 Agustus 2013).

Dagang Bebas

Penyadapan yang dilakukan Australia (dengan atau tanpa Permintaan Amerika Serikat) dan petisi yang diajukan COGSI adalah gambaran perdagangan ekonomi internasional yang terus diarahkan pada mekanisme perdagangan bebas, di mana peran negara sebatas memastikan bahwa pelbagai restriksi perdagangan harus dikurangi dan bahkan dihapuskan sesuai aturan WTO di antaranya subsidi.

Fenomena di atas representasi salah satu aspek di dalam struktur perdagangan internasional yakni tingkat keterbukaan (thedegreeofopenness) untuk pergerakan barang sebagaimana modal, tenaga kerja, teknologi, dan faktor-faktor produksi lainnya. Di sinilah letak kekuatan sebuah negara diuji. Kepentingan dan tindakan yang dipilih negara untuk memaksimalkan kepentingan nasionalnya turut menentukan struktur perdagangan internasional (Krasner, 1976).

Keberhasilan sebuah negara mengendalikan struktur perdagangan internasional terhadap tingkat keterbukaan pergerakan barang dan jasa ditopang oleh empat faktor yaitu pendapatan nasional, stabilitas sosial, kekuatan politik, dan pertumbuhan ekonomi. Empat hal ini setidaknya diamini China. Terlepas dari ada indikasi pelanggaran terhadap hak asasi manusia di dalamnya.

Tak mengherankan jika pelbagai negara, terutama Amerika Serikat, amat memperhitungkan kepentingan dan tindakan yang dipilih China, negara produsen utama perikanan dunia. Apa yang harus dilakukan Indonesia? Pertama, Pemerintah Indonesia harus menafsir ulang perkembangan geoekonomi- politik yang terjadi di kawasan Asia-Pasifik dan meresponsnya secara strategis demi tercapainya kepentingan nasional.

Kedua, sebagai negara produsen perikanan (ketiga di sektor perikanan tangkap dan keempat di sektor perikanan budi daya), tantangan yang dihadapi adalah menyambungkan sektor hulu (praproduksi dan produksi) dan hilir (pengolahan dan pemasaran) yang tidak hanya menyumbangkan devisa kepada negara, tapi juga harus merembes kepada produsen perikanan skala kecil.

Presiden Republik Indonesia Soekarno di depan Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa pada 30 September 1960 tegas mengemukakan, ”Kami (bangsa Indonesia) tidak berusaha mempertahankan dunia yang kami kenal (baca: penuh penindasan atas yang lemah dan kecil, pengabaian terhadap rasa kemanusiaan), kami berusaha membangun dunia baru, yang lebih baik! Kami berusaha membangun dunia yang sehat dan aman. Kami berusaha membangun dunia, di mana setiap orang dapat hidup dalam suasana damai. Kami berusaha membangun dunia, di mana terdapat keadilan dan kemakmuran untuk semua orang.” Untuk mengejawantahkan pesan ini, Pemilihan Umum 2014 adalah momentum korektif perjalanan bangsa Indonesia di tengah kompetisi global! ●

Sumber: http://m.koran-sindo.com/node/373363, Sabtu 08 Maret 2014

MENGGENAPKAN JANJI KEPADA NELAYAN

MENGGENAPKAN JANJI KEPADA NELAYAN

Oleh Abdul Halim

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

Dinamika pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan sepanjang tahun 2013 tidak mengalami perubahan berarti. Pemerintah terus menggaungkan industrialisasi perikanan, namun berjarak kepada masyarakat nelayan dan pembudidaya. Padahal, secara esensial tidak ada ubahnya dengan konsep minapolitan ala Menteri Kelautan dan Perikanan sebelumnya.

Tidak hanya itu, anggaran kelautan dan perikanan juga terus meningkat. Ironisnya justru kian memperlebar jurang kemiskinan: nelayan dan pembudidaya kecil diposisikan sebagai buruh, sementara pemilik kapal/lahan berkubang dana program pemerintah.

Anggaran meningkat

Sejak tahun 2008-2014, anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengalami peningkatan (lihat Tabel 1). Bahkan pada tahun 2011, terdapat tambahan sebesar Rp1.137.763.437.000 dari APBN Perubahan.

Tabel 1. Anggaran KKP Tahun 2008-2013

No Tahun Jumlah (Triliun)
1 2008 Rp3,20 Triliun
2 2009 Rp3,70 Triliun
3 2010 Rp3,19 Triliun
4 2011 Rp4,91 Triliun
5 2012 Rp5,99 Triliun
6 2013 Rp7,07 Triliun
7 2014 Rp5,60 Triliun

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember 2013)

Jika dirata-rata, anggaran KKP sebesar Rp4,97 Triliun per tahun, dengan kenaikan rata-rata sebesar Rp0,4 Triliun/Tahun. Kecenderungan peningkatan anggaran ini mestinya dibarengi dengan visi kesungguhan untuk menyejahterakan masyarakat nelayan dan perempuan nelayan. Lebih pahit lagi, kenaikan anggaran justru tidak disertai dengan kreativitas program.

Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember 2013) mencatat, program yang tertera di dalam Rincian Anggaran Belanja Kementerian/Lembaga Tahun Anggaran 2013 dan 2014 tidak jauh berbeda, misalnya: (1) Pengembangan Pembangunan dan Pengelolaan Pelabuhan Perikanan; (2) Pembinaan dan Pengembangan Kapal Perikanan, Alat Penangkap Ikan dan Pengawakan Kapal Perikanan. Ironisnya, manfaat dari pelaksanaan anggarannya justru tidak dirasakan nelayan tradisional. Pada titik ini, pola pelaporan pelaksanaan program harus direvisi: tidak sebatas menuntaskan program, melainkan berbasis analisis rinci program, meliputi pra, proses, dan pasca program. Dengan jalan inilah, pengulangan dan kecenderungan penyimpangan penyaluran program tidak berulang dari tahun ke tahun.

Belum terhubung

Tidak terhubungnya fakta di perkampungan nelayan dengan penganggaran di Kementerian Kelautan dan Perikanan menjadi penyebab utama terkendalanya keseriusan pemerintah dalam menyejahterakan masyarakat nelayan.

Sejumlah fakta tidak terhubungnya program pemerintah dengan upaya penyejahteraan nelayan di desa pesisir/perkampungan nelayan, di antaranya nelayan masih dihadapkan pada perkara terputusnya tata kelola hulu ke hilir; tiadanya jaminan perlindungan jiwa dan sosial (termasuk pendidikan dan kesehatan) bagi nelayan dan keluarganya; semakin sulitnya akses melaut akibat praktek pembangunan yang tidak ramah nelayan; serta ancaman bencana yang terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Lebih parah lagi, akses BBM bersubsidi masih menjadi perkara laten bagi masyarakat nelayan.

Kontroversi pengaturan BBM bersubsidi untuk nelayan seiring penerbitan surat dari Badan Pengatur Hilir Minyak Bumi dan Gas (BPH Migas) Nomor 29/07/Ka.BPH/2014 yang mengatur penyaluran subsidi BBM oleh Pertamina dan melarang kapal di atas 30 gros ton menerima subsidi BBM menunjukkan ketidakcermatan pemangku kebijakan dalam menyelami kehidupan pelaku perikanan skala kecil.

Pertama, Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2012 tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis BBM Tertentu tertanggal 7 Februari 2012 menyebutkan, hanya kapal dengan bobot maksimum 30 GT yang boleh menggunakan BBM bersubsidi. Mengacu pada aturan ini, nampak tidak ada koordinasi antarkementerian atau antarlembaga yang menaungi nelayan atau pekerja sektor perikanan tangkap.

Kedua, di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, nelayan kecil didefinisikan sebagai mereka yang menangkap ikan di laut dan menggunakan perahu di bawah 5 GT. Di lapangan, justru nelayan berkapasitas maksimal 5 GT inilah yang kesulitan mengakses BBM bersubsidi. Terkadang mereka terpaksa mengeluarkan Rp. 20.000 untuk 1 liter solar akibat tiadanya akses dan jauhnya SPDN (Solar Packed Dealer Nelayan). Fakta ini terjadi di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah.

Ketiga, pemerintah harus memastikan kuota BBM bersubsidi untuk sektor perikanan, baik tangkap maupun budidaya, tiap tahunnya dan menjamin regularitas pasokannya hingga ke wilayah kepulauan. Agar tepat sasaran, maksimalkan fungsi kartu nelayan!

Keempat, perlu ada intervensi khusus dari pemerintah menyangkut keberadaan ABK yang berada di kapal-kapal besar, karena besar kemungkinan akan menerima dampak pengurangan pembagian hasil dan hak-hak dasar layaknya pekerja sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Oleh karena itu, pengkajian kembali atas beleid BPH Migas sudah seharusnya dilakukan. Pendataan secara akurat dan terverifikasi bersama antarkementerian/lembaga menyangkut jumlah armada kapal penangkap ikan di Indonesia, skala kecil dan skala besar. Dengan basis data dan fakta lapangan itulah, kebijakan subsidi energi kepada pelaku perikanan akan tepat sasaran.

Di tahun 2014, berbagai fakta yang belum dituntaskan harus menjadi prioritas pemerintah untuk diselesaikan. BBM adalah 70 persen kebutuhan masyarakat nelayan. Tanpa kesungguhan menyelesaikan kebutuhan dasar nelayan ini, mustahil persoalan tidak terhubungnya rantai pasokan bahan baku perikanan, sistem logistik, dan persaingan kualitas akan teratasi. Di sisa waktu Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid 2, tinta emas Menteri Kelautan dan Perikanan (terus) diimpikan nelayan: sekarang atau tidak sama sekali!

Sumber: Majalah Samudra Edisi 131, Tahun XII, Maret 2014

Presiden Negeri Daratan

Presiden Negeri Daratan

Oleh Abdul Halim, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

Saat menerima peserta Rapat Koordinasi Nasional Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Sidang Dewan Kelautan Indonesia 2014 pada Kamis (30/1), di Istana Negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan Indonesia akan kesulitan besar jika gagal memanfaatkan potensi laut pada 20, 30, 50 tahun mendatang.

Dalam pertemuan tersebut, Presiden menyebut istilah land-maritime based development (pembangunan berbasis darat-maritim). Pengenalan istilah ini seraya dipertegas dengan pentingnya mengubah paradigma pembangunan. Apalagi pada tahun 2035, penduduk Indonesia diproyeksikan menyentuh angka 305 juta orang, bertambah 65 juta ketimbang jumlah penduduk sesuai sensus pada 2010. Pertambahan penduduk ini membuat kebutuhan akan pangan, sandang, papan, dan energi meningkat drastis.

Mengubah paradigma pembangunan merupakan sine qua non bagi bangsa Indonesia untuk menguasai pentas dunia. Sebaliknya, menafikan kemestian paradigma bahwa “laut adalah masa depan bangsa” berakibat pada lumpuhnya daya produktif dan saing raksasa kelautan dunia ini. Apalagi masih bergantung pada daratan (land-based development). Tengok bencana ekologis yang serentak dialami oleh rakyat! Akses transportasi menjadi sulit, pasokan pangan menjadi tersendat dan membubungnya hutang-hutang rakyat. Sudah lama kita melupakan laut.

Tak ada yang memungkiri 70% wilayah Indonesia adalah laut. Pertanyaannya, sekadar mendistribusikan alat produksi pelaku perikanannya, Pemerintah Indonesia dihadapkan pada persoalah remeh-temeh. Sejak tahun 2010-2014, pengadaan kapal Inka Mina menjadi program Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan target 1.000 kapal, di mana harga per unit Rp 1,5 miliar dan total nilai APBN sebesar Rp 1,5 triliun. Pada tahun 2014, sebanyak 100 kapal ditargetkan terbangun.

Temuan lapangan menunjukkan bahwa penyelenggaraan program Inka Mina menuai persoalan, di antaranya target pelaksanaan anggaran pengadaan kapal tidak tercapai, kemudian spesifikasi kapal tidak sesuai dengan jumlah alokasi yang dianggarkan tiap unitnya, baik kualitas kapal, kualitas mesin, dan sarana tangkap yang disediakan serta berdasarkan perhitungan nelayan, terdapat indikasi kenakalan pemenang tender pengadaan kapal.

Persoalan lain adalah terdapat beberapa kapal Inka Mina yang rusak atau tidak bisa dioperasikan, seperti Inka Mina 199 dan 198 di Kalimantan Timur. Akibatnya KUB nelayan memiliki beban moral tanpa ada mekanisme pengembalian kepal kepada Negara. Lebih parah lagi, Inka Mina 63 dipergunakan untuk mengangkut bawang impor dari Malaysia dan kemudian tenggelam di perairan Sialang Buah, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara.

Ketidakadilan terhadap nelayan adalah perintang utama kemajuan bangsa ini. Ingat perkataan Pramoedya Ananta Toer dalam novel Anak Semua Bangsa, “Kekuatan yang kita miliki mungkinlah tidak sebanding dengan ketidakadilan yang ada, tapi satu hal yang pasti: Tuhan tahu bahwa kita telah berusaha melawannya”. Tunggu apalagi!

Sumber: http://www.neraca.co.id/article/38046/Presiden-Negeri-Daratan

 

EMPAT TANDA TANYA MENTERI KELAUTAN

EMPAT TANDA TANYA MENTERI KELAUTAN

Oleh Abdul Halim

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

Klaim Menteri Kelautan dan Perikanan atas keberhasilannya mengelola sumber daya kelautan dan perikanan sepanjang tahun 2013 bak kacang lupa kulitnya. Penilaian ini setidaknya bertolak dari 4 tolak ukur “sebesar-besar kemakmuran rakyat” sebagaimana diuraikan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Pertama, kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat. Dengan 70% lautan dan kandungan sumber daya perikanan di dalamnya, bukan mustahil bagi bangsa Indonesia untuk menjadi produsen perikanan utama dunia. Apalagi didukung dengan anggaran yang terus membesar dan regulasi yang berlandasan prinsip survival of the fittest.

Sudah sejak tahun 2010, anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengalami peningkatan sebesar 140% (lihat Tabel 1): dari Rp3,139,5 Triliun (2010) menjadi Rp7.077,4 (2013). Bahkan pada tahun 2011, terdapat tambahan sebesar Rp1.137.763.437.000 dari APBN Perubahan. Tak mengherankan, peningkatan produksi perikanan, baik dari sektor perikanan tangkap maupun budidaya, terus dipacu: 11.662.342 ton (2010); 13.643.234 ton (2011); 15.504.747 ton (2012); dan 19,56 juta ton (2013).

Tabel 1. Anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2010-2013

Tahun Anggaran Jumlah
2010 Rp3.139,5
2011 Rp5.176,0
2012 Rp6.014,1
2013 Rp7.077,4

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Mei 2013), diolah dari Data Pokok APBN 2007-2013, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia

Kenaikan produksi perikanan bukanlah prestasi, melainkan kelumrahan laiknya negara kelautan. Sebaliknya, sejumlah fakta tidak terhubungnya program pemerintah dengan upaya penyejahteraan nelayan di desa pesisir/perkampungan nelayan, di antaranya nelayan masih dihadapkan pada perkara terputusnya tata kelola hulu ke hilir; tiadanya jaminan perlindungan jiwa dan sosial (termasuk pendidikan dan kesehatan) bagi nelayan dan keluarganya; semakin sulitnya akses melaut akibat praktek pembangunan yang tidak ramah nelayan; serta ancaman bencana yang terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Lebih parah lagi, akses BBM bersubsidi masih menjadi perkara laten bagi masyarakat nelayan. Jika demikian, adakah manfaat sumber daya perikanan yang dirasakan oleh pelaku perikanan skala kecil?

Kedua, tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat. Tatkala kenaikan produksi perikanan justru kian memperlebar jurang kemiskinan: nelayan dan pembudidaya kecil diposisikan sebagai buruh, sementara pemilik kapal/lahan bak majikan berkubang dana program pemerintah (KIARA, Desember 2013), sulit untuk menyebut ada keberhasilan di balik pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan.

Temuan KIARA (Oktober 2013) menyebutkan: (i)  penerima proyek demfarm tahun 2012 di Indramayu, Jawa Barat, pada umumnya adalah juragan tambak dengan kepemilikan lahan berkisar 20-40 hektar; (ii) format pengerjaan proyek tidak berbasis kelompok, melainkan buruh-majikan; (iii) sistem penggajian menyalahi standar UMR, yakni sebesar Rp. 700.000/orang. Padahal, UMR Kabupaten Indramayu pada tahun 2012 senilai Rp. 994.864; dan (iv) para pekerja tidak diberikan hak-hak dasarnya, seperti jaminan perlindungan jiwa dan kesehatan, serta standar keselamatan kerja di tambak. Jika situasinya seperti ini, benarkah manfaat pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan sudah merata dirasakan oleh masyarakat nelayan tradisional?

Ketiga, tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam. Sudah sejak tahun 2010, jumlah nelayan yang hilang dan meninggal dunia di laut akibat dampak perubahan iklim mengalami peningkatan (lihat Tabel 2).

Tabel 2. Jumlah Nelayan Hilang dan Meninggal Dunia di Laut 2010-2012

No Tahun Jumlah Nelayan
1 2010 86
2 2011 149
3 2012 186

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember 2013)

Tak hanya itu, ancaman bencana (gempa, banjir bandang, banjir rob, gelombang tinggi, dan angin kencang) yang berakibat pada tidak bisa melautnya masyarakat nelayan tradisional terus mengancam.

Pusat Data dan Informasi KIARA (Februari 2013) menerima laporan sedikitnya 20.726 nelayan tidak bisa melaut di 10 kabupaten/kota di Indonesia tanpa perlindungan dari ancaman bencana. Sayangnya, kedua fakta ini tidak dianggap sebagai hal penting oleh Negara.

Mengingat kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana produksi nelayan, dan luasnya wilayah yang terkena dampak cuaca ekstrem memberi dampak terhadap aktivitas ekonomi sosial nelayan tradisional dan mengacu pada Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, status cuaca ekstrem semestinya dikategorikan sebagai bencana nasional. Apalagi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sudah memberikan informasi prakiraan cuaca sebelumnya.

Ironisnya, informasi yang disediakan oleh BMKG tidak dijadikan sebagai panduan KKP untuk melindungi nelayan. Akibatnya, sepanjang tahun 2013, sebanyak 225 nelayan mengalami kecelakaan, hilang dan meninggal dunia di laut tanpa jaminan perlindungan jiwa (lihat Tabel 3).

Tabel 3. Jumlah Nelayan Mengalami Kecelakaan, Hilang dan Wafat di Laut 2013

No

Bulan

Jumlah Kecelakaan

Jumlah Nelayan Wafat

1 Januari 8 kasus 49 orang
2 Februari 1 kasus 1 orang
3 Maret 1 kasus 1 orang
4 April 3 kasus 60 orang
5 Mei 2 kasus 11 orang
6 Juni 3 kasus 14 orang
7 Juli 5 kasus 16 orang
8 Agustus 9 kasus 10 orang
9 September 9 kasus 18 orang
10 Oktober 5 kasus 6 orang
11 November 5 kasus 15 orang
12 Desember 6 kasus 24 orang
Jumlah total 57 Kasus 225 orang

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember  2013)

Dalam kasus Inka Mina tahun 2012 di Kalimantan Timur, ditemui fakta bahwa: (1) Proses pembuatan kapal amburadul. Dengan perkataan lain, pengerjaan kapal dilakukan secara sungguh-sungguh saat Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi datang. Di luar itu, pekerja kapal terkesan main-main; (2) Sejak diterima, Kapal Inka Mina 198 (beroperasi 4 kali) dan Inka Mina 199 (hanya dipergunakan memancing) tidak pernah mendapatkan hasil apapun; (3) Mata jaring pukat terlalu kecil (hanya 1 inch). Mestinya mata jaring pukat 2-2,5 inch sehingga dapat dipakai untuk menangkap ikan besar, seperti tongkol, bukan ikan-ikan kecil; dan (4) Kedua kapal, menurut nakhoda Kapal Inka Mina 198, tidak sesuai dengan karakter nelayan yang beroperasi di perairan Kalimantan Timur bagian Utara.

Berdasarkan temuan-temuan di atas, kelompok penerima kapal mengusulkan: (1) Kapal harus dilengkapi dengan alat pendingin; (2) Sejak awal, nelayan harus dilibatkan dalam pengadaan kapal sehingga bisa dipergunakan sesuai tujuan program; dan (3) Pengadaan alat tangkap harus disesuaikan dengan karakteristik wilayah tangkap. Dalam bahasa nakhoda Kapal Inka Mina 198, desain kapal harus memperhatikan arus air di Laut Sulawesi yang bertingkat mulai dari bagian permukaan, tengah, hingga dasar laut. Tanpa kesungguhan memperbaiki, program pemberian kapal Inka Mina di Provinsi Nusa Tenggara Timur di tahun 2014 hanya akan mengulangi kekeliruan yang pernah dilakukan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, partisipasi diartikan sebagai “turut berperan-serta di dalam suatu kegiatan”. Berkaca pada ketiga fakta di atas, dapatkah nelayan tradisional berpartisipasi dalam mengelola sumber daya perikanan?

Keempat, penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam bagi rakyat. Tiga tahun pasca Putusan Mahkamah Konstitusi terkait pembatalan Pasal-pasal HP3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir) di dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang menegaskan adanya 4 hak konstitusional masyarakat nelayan, KIARA menemukan sedikitnya 50 Kepala Daerah, terdiri dari: (i) 4 Gubernur; (ii) 36 Bupati; dan (iii) 10 Walikota yang memberlakukan kebijakan tidak  ramah terhadap nelayan, di antaranya memberikan izin tambang pasir laut/besi di wilayah pesisir; alih konversi mangrove; reklamasi pantai; dan alih fungsi kawasan konservasi untuk PLTU  (lihat Tabel 4). Terakhir, Menteri Kelautan dan Perikanan membolehkan asing ikut serta memanfaatkan pulau strategis dan perairan sekitarnya sembari mendiskriminasi masyarakat nelayan dan pembudidaya. Benarkah ada penghormatan terhadap hak-hak konstitusional masyarakat nelayan tradisional?

Tabel 4. Daftar Kepala Daerah Tidak Ramah Nelayan

No Kepala Daerah Bentuk Kebijakan Tidak Ramah Nelayan
  Gubernur  
1 Jawa Timur Perizinan Tambang Pasir Laut
2 Sumatera Utara Alih konversi mangrove
3 DKI Jakarta Reklamasi Pantai
4 Bali Reklamasi Pantai
Bupati
5 Batang Alih fungsi kawasan konservasi untuk PLTU
6 Serang Perizinan Tambang Pasir Laut
7 Jepara Perizinan Tambang Pasir Besi
8 Pandeglang Perizinan Tambang Pasir
9 Bangka Perizinan Tambang Timah
10 Belitung Perizinan Tambang Timah
11 Langkat Pembolehan/Pembiaran Pemakaian Trawl
12 Asahan Pembolehan/Pembiaran Pemakaian Trawl
13 Tangerang Reklamasi Pantai
14 Minahasa Utara Reklamasi Pantai
15 Bolaang Mongondow Timur Perizinan Tambang Pasir Besi
16 Bolaang Mongondow Utara Perizinan Tambang Pasir Besi
17 Kepulauan Sangihe Perizinan Tambang Pasir Besi
18 Gresik Reklamasi Pantai
19 Mamuju Reklamasi Pantai
20 Donggala Reklamasi Pantai
21 Pangandaran Perizinan Tambang Pasir Besi
22 Tasikmalaya Perizinan Tambang Pasir Besi
23 Bandung Barat Perizinan Tambang Pasir Besi
24 Minahasa Selatan Perizinan Tambang Pasir Besi
25 Minahasa Tenggara Perizinan Tambang Pasir Besi
26 Morowali Reklamasi Pantai
27 Aceh Besar Perizinan Tambang Pasir Laut
28 Seluma, Bengkulu Perizinan Tambang Pasir Besi
29 Belitung Perizinan Tambang Pasir Laut
30 Bangka Perizinan Tambang Timah
31 Garut Perizinan Tambang Pasir Besi
32 Kulon Progo Perizinan Tambang Pasir Besi
33 Kebumen Perizinan Tambang Pasir Besi
34 Cilacap Perizinan Tambang Pasir Besi
35 Tulungagung Perizinan Tambang Pasir Besi
36 Lumajang Perizinan Tambang Pasir Besi
37 Jember Perizinan Tambang Pasir Laut
38 Blitar Perizinan Tambang Pasir Laut
39 Ende Perizinan Tambang Pasir Besi
40 Konawe Perizinan Tambang Pasir Besi
Walikota
41 Balikpapan Perizinan Tambang Pasir Laut dan Reklamasi Pantai
42 Manado Reklamasi Pantai
43 Palu Reklamasi Pantai
44 Makasar Reklamasi Pantai
45 Lampung Reklamasi Pantai
46 Padang Reklamasi Pantai
47 Semarang Reklamasi Pantai
48 Surabaya Reklamasi Pantai
49 Kupang Reklamasi Pantai
50 Bau-bau Reklamasi Pantai

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember 2013)

Empat tanda tanya di atas adalah ruang introspeksi bangsa Indonesia, terlebih bagi Menteri Kelautan dan Perikanan. Bung Hatta mengingatkan, “Sanubari rakyat Indonesia penuh dengan rasa-bersama, kolektivitas. Maka jelaslah bahwa persekutuan asli di Indonesia memakai asas kolektivisme. Bukan kolektivisme yang berdasar(kan) sentralisasi, melainkan desentralisasi. Apalagi mendasarkannya pada ideologi individualiasme, paham yang mendahulukan orang-seorang, bukan masyarakat”.

Seyogianya Menteri Kelautan dan Perikanan di sisa waktu pengabdiannya meneladani syair Rene de Clerq yang disitir oleh Bung Hatta dalam pelayanannya kepada masyarakat: “Hanya satu tanah yang bernama tanah airku. Ia makmur karena usaha, dan usaha itu ialah usahaku”. Dengan jalan inilah, ia akan dikenang tanpa tanda tanya!

 

Sumber: Majalah Samudra Edisi 130 Tahun XII, Februari 2014), Halaman 32-33

MASYARAKAT PESISIR SEMAKIN MENDERITA

JAKARTA-Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) melansir kerugian nelayan, petambak dan masyarakat pesisir sudah mencapai angka Rp. 100,99 miliar akibat cuaca buruk di awal 2014.

 

Kerugian itu dialami oleh sekitar 90,500 orang nelayan dan petambak dari 10 kabupaten yang tersebar di Pulau Jawa sebanyak lima kabupaten, dua di Sumatera, dan masing-masing satu kabupaten di Kalimantan dan Sulawesi.

 

“Akibatnya, persediaan pangan habis dan utang menumpuk. Sebagian nelayan memaksakan diri untuk tetap melaut agar bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga,” jelas Kiara dalam siaran pers,  Senin (27/1).

 

Karena memaksakan melaut, Kiara menyatakan jumlah kecelakaan yang dialami oleh nelayan meningkat. Sepanjang Januari 2014, ada 12 orang nelayan hilang di perairan Indramayu, Jawa Barat.

 

Selain itu tercatat seorang nelayan meninggal dan dua lainnya terluka karena terhempas ombak setinggi 2-3 meter di perairan Batang, Jawa Tengah. (Bisnis/65)

 

Sumber: Harian Koran Bisnis Indonesia, Selasa, 28 Januari 2014 – Agribisnis (Hal. 22)

Nelayan Rugi Miliaran Rupiah karena Cuaca Buruk

Nelayan Rugi Miliaran Rupiah karena Cuaca Buruk

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyatakan bahwa masyarakat pesisir yaitu nelayan dan petambak mengalami kerugian miliaran rupiah karena tidak bisa melaut dan berbudidaya akibat cuaca buruk.

“Sedikitnya Rp100 miliar kerugian material diderita oleh 90.500 masyarakat pesisir, khususnya nelayan dan petambak, di 10 kabupaten akibat bencana cuaca ekstrem yang terjadi sepanjang Januari 2014,” kata Sekretaris Jenderal Kiara Abdul Halim di Jakarta, Senin.

Menurut Abdul Halim, situasi itu mengakibatkan nelayan dan petambak tidak bisa berproduksi, baik melaut maupun berbudidaya.

Ia mengingatkan bahwa semenjak bencana cuaca ekstrem melanda wilayah pesisir dan laut di Tanah Air, nelayan di Pantai Utara Jawa tidak bisa melaut akibat ombak setinggi 3 meter.

“Nelayan Bengkalis (Kepulauan Riau) dan Sumatera Utara selama sebulan terakhir juga tidak bisa melaut akibat angin kencang dan gelombang yang mencapai 1 hingga 2,5 meter. Kondisi serupa juga dialami oleh nelayan di Tarakan, Kalimantan Utara, selama 1 pekan terakhir. Lebih parah lagi, rumah-rumah nelayan di pesisir Teluk Manado juga rusak akibat banjir bandang,” ucapnya.

Menurut dia, bencana cuaca ekstrem yang menimpa masyarakat pesisir, khususnya nelayan dan pembudidaya terus berulang tiap tahunnya tanpa kesiapsiagaan dan upaya pencegahan bencana yang memadai padahal ancaman bencana cuaca ekstrem sudah bisa diperkirakan sebelumnya.

Untuk itu, Kiara mendesak pemerintah guna mendistribusikan informasi secara tertulis dan lisan tentang kebijakan penanggulangan bencana, melibatkan nelayan dan petambak secara aktif dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan komunitasnya.

Sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan memperingatkan potensi terjadinya kematian massal komoditas perikanan akibat dampak dari cuaca buruk yang melanda berbagai daerah di Indonesia akhir-akhir ini.

“Bencana banjir yang akhir-akhir ini melanda beberapa wilayah Indonesia ternyata juga berdampak buruk pada budidaya ikan,” kata Plt Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Achmad Poernomo di Jakarta, Rabu (22/1).

Menurut Poernomo, dampak buruk tersebut bisa terjadi berupa kematian massal ikan akibat peristiwa “umbalan” atau pembalikan air dari lapisan bawah naik ke permukaan dan sebaliknya seperti fenomena alam yang dapat terjadi seperti di Waduk Djuanda Jatiluhur Purwakarta, Jawa Barat.

Ia mengingatkan bahwa menurut data BMKG mengenai informasi prakiraan bulanan sifat hujan, intensitas hujan akan terjadi sampai akhir Februari.

“Kondisi ini mengakibatkan penurunan kadar oksigen terlarut dan dapat memicu terjadinya kematian massal ikan di Waduk Djuanda,” katanya.

Poernomo memaparkan, kematian massal ikan di Waduk Djuanda yang terjadi pada awal Januari 2013 hampir mirip kondisi cuaca Januari 2014. Untuk itu, KKP telah membentuk tim peneliti dari BP2KSI melakukan monitoring kualitas air secara intensif.

“Tim bertugas memantau kualitas perairan sebagai bahan perhatian masyarakat pembudidaya dan pemangku kepentingan terkait. Upaya ini guna menghindari dampak kerugian besar akibat kematian massal ikan yang kemungkinan akan terjadi,” ujarnya.

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/01/27/n02240-nelayan-rugi-miliaran-rupiah-karena-cuaca-buruk

Kiara: nelayan rugi miliaran rupiah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyatakan bahwa masyarakat pesisir yaitu nelayan dan petambak mengalami kerugian miliaran rupiah karena tidak bisa melaut dan berbudidaya akibat cuaca buruk.

“Sedikitnya Rp 100 miliar kerugian material diderita oleh 90.500 masyarakat pesisir, khususnya nelayan dan petambak, di 10 kabupaten akibat bencana cuaca ekstrem yang terjadi sepanjang Januari 2014,” kata Sekretaris Jenderal Kiara Abdul Halim di Jakarta, Senin (27/1).

Menurut Abdul Halim, situasi itu mengakibatkan nelayan dan petambak tidak bisa berproduksi, baik melaut maupun berbudidaya. Ia mengingatkan bahwa semenjak bencana cuaca ekstrem melanda wilayah pesisir dan laut di Tanah Air, nelayan di Pantai Utara Jawa tidak bisa melaut akibat ombak setinggi 3 meter.

Menurut dia, bencana cuaca ekstrem yang menimpa masyarakat pesisir, khususnya nelayan dan pembudidaya terus berulang tiap tahunnya tanpa kesiapsiagaan dan upaya pencegahan bencana yang memadai padahal ancaman bencana cuaca ekstrem sudah bisa diperkirakan sebelumnya.

Untuk itu, Kiara mendesak pemerintah guna mendistribusikan informasi secara tertulis dan lisan tentang kebijakan penanggulangan bencana, melibatkan nelayan dan petambak secara aktif dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan komunitasnya.