MENCELAKAI KONSTITUSI
MENCELAKAI KONSTITUSI
Oleh Abdul Halim
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA);
Koordinator Regional SEAFish (Southeast Asia Fisheries for Justice Network)
Bombardir serangan asing mengoyak keteguhan institusi Pemerintah Republik Indonesia (baca: Kementerian Kelautan dan Perikanan) yang bertanggungjawab atas pengelolaan sumber daya kelautan, pesisir dan perikanan nasional. Imbasnya Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi panduan penyelenggaran bangsa dan negara diabaikan dan bahkan dicelakai dalam 10 tahun terakhir.
Dua penanda liberalisasi sumber daya kelautan, pesisir dan perikanan nasional bermuara pada usaha perikanan tangkap dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dua aturan liberalis itu dikeluarkan kementerian negara yang bermarkas di seberang Stasiun Gambir, Jakarta.
Penanda pertama, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Di dalam aturan ini, Menteri Kelautan dan Perikanan secara sengaja meliberalisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil kepada pihak asing hingga 6 dekade dan kepemilikan saham mencapai 80 persen.
Sedikitnya tujuh perubahan yang terindikasi kuat berpotensi melanggar hak-hak nelayan tradisional dan masyarakat pesisir atas ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Tujuh perubahan tersebut antara lain: Pertama, dimasukkannya unsur masyarakat dalam mengusulkan rencana pengelolaanwilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang ‘disetarakan’ dengan pemerintah dan dunia usaha. Revisi tersebut menyalahi Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 dengan melakukan penyetaraan antara masyarakat nelayan tradisional dengan pihak swasta. Padahal sejak awal sudah berbeda subyeknya. Perlakuan diskriminatif ini juga terjadi secara serampangan dengan dimasukkannya nelayan tradisional dalam unsur Pemangku Kepentingan Utama dalam Pasal 1 angka 30 bersama dengan nelayan modern, pengusaha pariwisata, dan pengusaha perikanan. Sangat jelas, DPR bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menghendaki adanya persaingan bebas yang sudah tentu akan mendiskriminasi nelayan tradisional dan pembudidaya ikan kecil. Begitu pula mengenai hak keberatan terhadap rencana pengelolaan yang sudah diumumkan dalam jangka waktu tertentu. Undang-undang tidak menjelaskan Hak keberatan tersebut, bagaimana mekanismenya dan bagaimana ukuran keberatan serta jangka waktu tertentu tersebut.
Kedua, Pasal 21 dan Pasal 22 Revisi UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengecualikan wilayah ruang pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah dikelola masyarakat adat dari kewajiban untuk memiliki perizinan, baik lokasi maupun pengelolaan. Pasal 21 tersebut mengesankan adanya persyaratan bertingkat. Di satu sisi memberikan keleluasaan kepada masyarakat hukum adat untuk mengelola ruang penghidupannya, namun di sisi lain membenturkannya dengan frase “mempertimbangkan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan”. Juga tidak ditegaskan definisi kepentingan nasional di dalam Revisi UU Pesisir ini. Selain itu, masyarakat hukum adat diwajibkan untuk mendapatkan pengakuan status hukum dengan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengakuan status hukum masyarakat adat menjadi potensi masalah terkait dengan sifat pasif negara dalam melakukan pengakuan hukum. Terlebih Revisi UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tidak memandatkan kepada pemerintah untuk aktif melakukan pengakuan terhadap kesatuan hukum adat sebelum penerbitan perizinan. Kondisi ini sangat potensial untuk mengusir masyarakat adat dari wilayah atau ruang penghidupannya di pesisir dan pulau-pulau kecil tanpa mendapat pengakuan status hukum masyarakat adat.
Ketiga, dengan mengubah skema hak menjadi skema perizinan melalui dua tahap, yaitu izin lokasi dan izin pengelolaan, tetap berpotensi melanggar hak nelayan tradisional. Dalam revisi UU Pesisir, skema tersebut tidak memastikan hak persetujuan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir terhadap pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Tanpa hak tersebut, skema ini dapat dipastikan akan tetap melanggar Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang memandatkan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dimanfaatkan untuk ‘sebesar-besar kemakmuran rakyat’. Walaupun Revisi UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil telah mengakui hak akses atas wilayah yang telah diberikan izin lokasi dan izin pengelolaan,namun tidak ada sanksi atas pelanggaran hak-hak masyarakat tersebut. Sehingga undang-undang kembali lagi akan membiarkan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir yang telah tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara turun-temurun akan dilanggar haknya.
Selain itu, kewenangan pemberian perizinan dimiliki setiap tingkat pemerintahan dari kabupaten/kota, provinsi hingga pusat. Hal ini berpotensi melanggar syarat perizinan dan berimbas terhadap keluarnya perizinan secara mudah dan serampangan. Tidak ada pengawasan bertingkat yang dilakukan terhadap pemberian izin lokasi dan izin pengelolaan yang diterbitkan oleh daerah di tingkat lokal. Sehingga potensi terbitnya izin tanpa memenuhi persyaratan minimal dalam Undang-Undang Pesisir sangat besar terjadi.
Keempat, munculnya Pasal 26A yang akan mempermudah penguasaan asing atas pulau-pulau kecil. Pasal 26A mengatur pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya dalam skema investasi penanaman modal dengan dasar izin menteri. Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya wajib “mengutamakan kepentingan nasional”. Namun tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai definisi dari frase “mengutamakan kepentingan nasional”. Undang-undang tersebut seolah-olah ingin melindungi kepentingan rakyat, namun mustahil investor asing akan memprioritaskan kepentingan bangsa Indonesia dalam mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pada Pasal 26A ayat (4), terindikasi kuat adanya praktek jual-beli pulau oleh orang asing. Bahkan terdapat praktek di lapangan yang bertentangan, misalnya di Gili Sunut, Nusa Tenggara Barat. Sebanyak 109 KK tergusur karena investasi pulau kecil oleh PT Blue Ocean Resort asal Singapura.
Pasal 26A terkait erat dengan Pasal 23A yang mengatur pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya. Untuk kegiatan: a. konservasi; b. pendidikan dan pelatihan; c. penelitian dan pengembangan; d. budi daya laut; e. pariwisata; f. usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan secara lestari; g. pertanian organik; h. peternakan; dan/atau i. pertahanan dan keamanan negara. Namun Pasal 26A yang mengatur investasi di pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya tidak mewajibkan adanya proses free prior informed consent(Persetujuan dengan Pemberian Informasi Awal/FPIC) yang dimandatkan Protokol Nagoya dari Konvensi Keanekaragaman Hayati yang telah diratifikasi melalui UU Nomor 10 tahun 2013. Oleh karena itu, Pasal 26A berpotensi menjadi salah satu celah untuk terjadi pembajakan keanekaragaman hayati (biopiracy).
Kelima, Revisi UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengakui adanya hak untuk mengusulkan wilayah penangkapan ikan secara tradisional dan wilayah Masyarakat Hukum Adat dalam RZWP-3K. Namun derajat hak tersebut turun dengan adanya kata “mengusulkan” yang menurunkan derajatnya menjadi ‘pertimbangan’ dalam penyusunan RZWP-3-K. Sehingga hak-hak tersebut potensial dipelintir dan dapat dilanggar dalam proses lebih lanjut. Ditambah lagi wilayah penangkapan nelayan tradisional dan wilayah masyarakat adat di perairan dengan kegiatan penangkapan ikan merupakan wilayah yang tidak bisa disamakan dengan daratan atau tanah karena sifat dari perairan yang dinamis. Sehingga tidak dapat dipastikan lebih lanjut wilayah penangkapan nelayan tradisional dan masyarakat adat dituangkan dalam peta-peta koordinat.
Keenam, Dalam Pasal 30 kewenangan menteri yang terlalu luas dengan kekuasaan untuk menetapkan perubahan peruntukan dan fungsi zona inti pada kawasan konservasi untuk eksploitasi. Hal ini berpotensi untuk memunculkan praktek tukar-guling kawasan konservasi yang pada akhirnya merugikan kepentingan masyarakat setempat, khususnya nelayan tradisional. Apalagi definisi nelayan tradisional di dalam Revisi UU Pesisir ini sangat sempit. Salah satu kasus yang terjadi adalah Kawasan Konservasi Ujungnegoro-Roban di Batang yang diubah karena adanya rencana pembangunan PLTU Batang. Selain itu, juga akan menjadikan proses konservasi menjadi sia-sia karena dengan mengubah zona inti sama saja mengubah upaya konservasi tersebut.
Ketujuh, Pasal 63 mewajibkan pemerintah dan pemerintah daerah didorong untuk memberdayakan masyarakat. Namun mengapa harus melibatkan orang/modal asing? Kenapa tidak membentuk BUMD yang bergerak di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil bersama masyarakat setempat? Pada titik ini, pemerintah dan wakil rakyat di DPR RI beranggapan bahwa masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil lemah, rendah, tidak mandiri, dan tidak berdaya sehingga tidak mampu mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk kesejahteraan bersama sebagaimana diamanahkan di dalam UUD 1945.
Pengesahan Undang-Undang ini pada tanggal 18 Desember 2013 dilakukan tanpa partisipasi masyarakat serta nelayan tradisional dan petambak secara terbuka dengan proses yang sejati dan sepenuhnya. Sebaliknya, komprador asing di Gambir memilih melakukannya secara terbatas dan tertutup dengan hanya melibatkan akademisi, pihak swasta dan cenderung dipercepat. Hal tersebut sejatinya mengakibatkan pelanggaran mendasar atas hak partisipasi setiap warga negara dalam perumusan kebijakan nasional.
Penanda kedua adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 26 Tahun 2013 yang merevisi Permen Nomor 30 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Tak jauh berbeda spiritnya dengan pengesahan Perubahan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Menteri Kelautan dan Perikanan bahkan membolehkan komoditas perikanan bernilai tinggi yang tersebar di perairan Indonesia, yakni tuna, ditangkap dan langsung didagangkan di pasar luar negeri.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 26/PERMEN-KP/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.30/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia tidak menyelesaikan permasalahan pencurian ikan di Indonesia. Bahkan berpotensi tetap melanggar Pasal 25B UU No. 45 Tahun 2009.
Pertama, kewajiban Vessel Monitoring System untuk kapal 30 GT dan asing dilonggarkan. Berdasarkan perubahan Pasal 19 persyaratan permohonan Surat Izin Penangkapan Ikan bagi kapal diatas 30 (tiga puluh) GT tidak diwajibkan memenuhi Surat Keterangan Pemasangan Transmitter vessel monitoring system. Surat keterangan pemasangan transmitter haruslah dikeluarkan oleh Pengawas Perikanan. Kewajiban memenuhi surat keterangan pemasangan transmitter awalanya ditegaskan dalam Permen KP No. 30 Tahun 2012 yang kemudian direvisi dengan Permen 26 Tahun 2013 yang melonggarkan kewajiban menjadi surat pernyataan kesanggupan memasang dan mengaktifkan transmiter sebelum kapal melakukan operasi penangkapan ikan.
Persyaratan tersebut selain kepada kapal penangkapan ikan diatas 30 GT juga kepada usaha perikanan tangkap yang menggunakan modal asing dan/atau tenaga kerja asing. Dengan tidak diwajibkannya pemasangan transmitter vessel monitoring system kepada usaha perikanan tangkap oleh asing akan meningkatkan pencurian ikan di perairan Indonesia. Karena kapal perikanan akan menangkap ikan di luar wilayah penangkapan yang ditetapkan izin yang diberikan. Permen Revisi Usaha Perikanan Tangkap tidak menjawab mandate UU Perikanan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk menetapkan sistem pemantauan kapal perikanan berdasarkan Pasal 7 ayat (1) huruf e UU No. 45 Tahun 2009. Penangkapan ikan diluar daerah atau wilayah yang diberikan izin berarti melakukan pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf e UU No. 45 Tahun 2009 yang mewajibkan penangkapan ikan di daerah yang ditetapkan.
Kedua, transhipment masih diperbolehkan. Pengaturan mengenai transhipment (alih muatan) dari antara kapal di atas perairan masih dimungkinkan dilakukan berdasarkan Permen 26 Tahun 2013. Perubahan pengaturan alih muatan tidak berbeda dengan peraturan yang sebelumnya, yang hanya dipindahkan pasalnya ke Pasal 37 ayat (7), ayat (8), ayat (9) dengan tambahan Pasal 37A, Pasal 37B, dan Pasal 37C yang mengatur persyaratan usaha pengangkutan ikan dengan pola kemitraan. Dengan masih diberikan kebebasan untuk melakukan alih muatan merupakan celah yang berisiko tetap terjadinya pencurian ikan. Terlebih dengan adanya pengecualian terhadap komoditas tuna segar untuk wajib diolah di dalam negeri.
Ketiga, komoditas tuna segar dikecualikan dari Unit Pengolahan Ikan. Pasal 44 ayat (1) Permen 26 Tahun 2013 mengatur setiap perusahaan yang menggunakan kapal penangkap ikan dengan jumlah kumulatif 200 (dua ratus) GT sampai dengan 2.000 (dua ribu) GT wajib bermitra dengan Unit Pengolah Ikan. Namun, berdasarkan Pasal 44 ayat (3a) Permen 26/2013 kewajiban usaha perikanan dengan jumlah kumulatif 200 (dua ratus) GT sampai dengan 2.000 (dua ribu) GT untuk bermitra dengan Unit Pengolah Ikan dikecualikan bagi komoditas tuna segar.
Sebagaimana diketahui bersama wilayah perairan Indonesia merupakan sebagian dari daerah penangkapan tuna (tuna fishing ground) dunia. Aturan Pasal 44 ayat (3a) yang mengecualikan penangkapan komoditas tuna segar tidak diwajibkan untuk diolah dalam negeri merupakan aturan yang akan merugikan sumber daya perikanan Indonesia. Berbagai kapal penangkap ikan tuna dari Jepang melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia dari yang terkecil sebesar 50 GT sampai berukuran lebih besar dari 300 GT. Sehingga pengecualian terhadap komoditas tuna merupakan pelanggaran terhadap Pasal 25B ayat (2) UU No. 45 Tahun 2009.
Pasal 25B ayat (2) UU No. 45 Tahun 2009 mewajibkan kepada pemerintah untuk memprioritaskan produksi dan pasokan ke dalam negeri untuk mencukupi kebutuhan konsumsi nasional. Pasal ini merupakan kebijakan penting mengenai “domestic obligation“ untuk memprioritaskan konsumsi protein bagi setiap warga negara Indonesia.
Dengan adanya klausul Pasal 44 ayat (3a), revisi permen tersebut telah mengelabui tekanan publik terhadap kebijakan pengelolaan perikanan Indonesia. Setelah sebelumnya Pasal 69 ayat (3) dan Pasal 88 Permen KP No. 30 Tahun 2012 memperbolehkan kapal penangkap ikan yang menggunakan alat penangkapan ikan purse seine berukuran diatas 1000 (seribu) GT yang dioperasikan secara tunggal untuk membawa langsung ikan hasil tangkapannya keluar negeri telah dihapuskan. Aturan ini telah dihapus dan ditambahkan dengan kewajiban melaporkan ke syahbandar untuk melakukan perbaikan/docking ke luar negeri. Dihapusnya peraturan Pasal 69 ayat (3) dan Pasal 88 seolah-olah hanya ilusi pengelolaan pangan untuk berdaulat namun kenyataannya hanya menjadi komoditas ekspor tanpa memenuhi hak masyarakat untuk mendapatkan pangan perikanan yang berkualitas.
Dua penanda di atas jelas mencelakai amanah konstitusi: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tak pelak, pekerjaan rumah Presiden 2014-2019 mengoreksi kedua aturan ini dan mengembalikan kedaulatan rakyat dalam mengelola sumber daya perikanan dan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil demi sebesar-besar kemakmuran rakyat melalui koperasi, kerjasama BUMD dan masyarakat pesisir, termasuk di dalamnya nelayan, petambak dan perempuan nelayan skala kecil/tradisional. Sudah saatnya negeri ini berdaulat, Bung!***
Sumber: Majalah Samudra Edisi Juli 2014