• 0Shopping Cart
KIARA
  • Beranda
  • Tentang
  • Mandat & Program
  • Publikasi
  • Berita Pesisir
  • Kontak
  • English EN
  • French FR
  • Search
  • Menu

RUU Kelautan Harus Hilangkan Ego-Sektoral dan Perkuat Upaya Pencegahan Pencemaran Laut

September 26, 2014/in Siaran Pers /by adminkiara

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

 

RUU Kelautan Harus Hilangkan Ego-Sektoral dan Perkuat Upaya Pencegahan Pencemaran Laut

 

Jakarta, 26 September 2014. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menjadwalkan pengesahan RUU Kelautan menjadi Undang-Undang Kelautan pada Jumat (26/09) ini. Intensi pengesahan RUU Kelautan tepat jika arahnya ingin mengatasi pengelolaan sumber daya laut yang selama ini sektoral.

Dalam naskah RUU Kelautan tertanggal 15 Agustus 2014, pembangunan bidang kelautan difokuskan pada 7 (tujuh) sektor utama, yaitu (i) perhubungan laut, (ii) industri maritim, (iii) perikanan, (iv) pariwisata bahari, (v) energi dan sumber daya mineral, (vi) bangunan kelautan, dan (vii) jasa kelautan.

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA mengatakan bahwa, “Egosektoral di bidang kelautan adalah persoalan kronis yang harus dipastikan teratasi dengan lahirnya UU Kelautan. Namun disayangkan masih terdapat pasal karet yang melonggarkan praktek pencemaran laut dengan menyebut prinsip pencemar membayar (polluter pays) dan kehati-hatian di dalam Pasal 40 ayat (3). Semestinya RUU Kelautan ini memperkuat upaya melestarikan laut yang tidak diatur di UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)”.

Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mendefinisikan prinsip pencemar membayar (polluter pays) sebagai “pencemar harus menanggung biaya langkah-langkah untuk mengurangi polusi sesuai dengan tingkat kerusakan yang dilakukan, baik kepada masyarakat atau melebihi dari tingkat yang dapat diterima (standard yang diatur oleh UU PPLH)”. Dengan perkataan lain, RUU Kelautan tidak menjawab persoalan pencemaran laut yang selama ini menjadi ancaman serius bagi laut dan masyarakat pesisir di Indonesia.

Tabel 1. Klausul mengenai Pencemaran Laut UU PPLH dan RUU Kelautan

UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH RUU Kelautan
Pasal 20 ayat (3)

Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan: a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan

b. mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan

 

Pasal 60

Setiap orang dilarang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin.

 

Pasal 61

(1) Dumping sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 hanya dapat dilakukan dengan izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

 

(2) Dumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di lokasi yang telah ditentukan.

 

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan dumping limbah atau bahan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 40

(1)      Pencemaran laut meliputi:

a.       pencemaran yang berasal dari daratan; dan

b.       pencemaran yang berasal dari kegiatan di laut.

(2)      Pencemaran laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terjadi:

a.       di perairan yurisdiksi Indonesia;

b.       dari luar perairan yurisdiksi Indonesia; atau

c.       dari dalam perairan yurisdiksi Indonesia keluar perairan yurisdiksi Indonesia.

(3)      Proses penyelesaian sengketa dan penerapan sanksi pencemaran laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan berdasarkan prinsip pencemar membayar dan prinsip kehati-hatian.

(4)      Ketentuan lebih lanjut mengenai proses penyelesaian dan sanksi terhadap pencemaran laut dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (September 2014), diolah dari Naskah RUU Kelautan tertanggal 15 Agustus 2014 dan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH

Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa ada pembolehan membuang limbah ke media lingkungan, termasuk laut, dengan seizin pemerintah, tanpa partisipasi masyarakat melalui prinsip FPIC (free, prior, inform, consent).

Bertolak dari hal di atas, KIARA meminta DPR RI bersama dengan pemerintah untuk menuntaskan pembahasan RUU Kelautan terlebih dahulu, khususnya menyangkut pencemaran laut, dengan memastikan larangan dan sanksi berat bagi  pelaku pencemar laut, sebelum melakukan pengesahan. Karena hal tersebut menyangkut hajat hidup masyarakat nelayan dan mereka yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, seperti yang terjadi di Laut Timor.***

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA

di +62 815 53100 259

 

 

http://www.kiara.or.id/wp-content/uploads/2016/03/kiara-FA-e1652968054749-300x90.png 0 0 adminkiara http://www.kiara.or.id/wp-content/uploads/2016/03/kiara-FA-e1652968054749-300x90.png adminkiara2014-09-26 14:34:502014-09-26 14:34:50RUU Kelautan Harus Hilangkan Ego-Sektoral dan Perkuat Upaya Pencegahan Pencemaran Laut

RUU Kelautan Harus Hilangkan Ego-Sektoral dan Perkuat Upaya Pencegahan Pencemaran Laut

September 26, 2014/in Siaran Pers /by adminkiara

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

 

RUU Kelautan Harus Hilangkan Ego-Sektoral dan Perkuat Upaya Pencegahan Pencemaran Laut

 

Jakarta, 26 September 2014. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menjadwalkan pengesahan RUU Kelautan menjadi Undang-Undang Kelautan pada Jumat (26/09) ini. Intensi pengesahan RUU Kelautan tepat jika arahnya ingin mengatasi pengelolaan sumber daya laut yang selama ini sektoral.

Dalam naskah RUU Kelautan tertanggal 15 Agustus 2014, pembangunan bidang kelautan difokuskan pada 7 (tujuh) sektor utama, yaitu (i) perhubungan laut, (ii) industri maritim, (iii) perikanan, (iv) pariwisata bahari, (v) energi dan sumber daya mineral, (vi) bangunan kelautan, dan (vii) jasa kelautan.

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA mengatakan bahwa, “Egosektoral di bidang kelautan adalah persoalan kronis yang harus dipastikan teratasi dengan lahirnya UU Kelautan. Namun disayangkan masih terdapat pasal karet yang melonggarkan praktek pencemaran laut dengan menyebut prinsip pencemar membayar (polluter pays) dan kehati-hatian di dalam Pasal 40 ayat (3). Semestinya RUU Kelautan ini memperkuat upaya melestarikan laut yang tidak diatur di UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)”.

Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mendefinisikan prinsip pencemar membayar (polluter pays) sebagai “pencemar harus menanggung biaya langkah-langkah untuk mengurangi polusi sesuai dengan tingkat kerusakan yang dilakukan, baik kepada masyarakat atau melebihi dari tingkat yang dapat diterima (standard yang diatur oleh UU PPLH)”. Dengan perkataan lain, RUU Kelautan tidak menjawab persoalan pencemaran laut yang selama ini menjadi ancaman serius bagi laut dan masyarakat pesisir di Indonesia.

Tabel 1. Klausul mengenai Pencemaran Laut UU PPLH dan RUU Kelautan

UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH RUU Kelautan
Pasal 20 ayat (3)

Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan: a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan

b. mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan

 

Pasal 60

Setiap orang dilarang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin.

 

Pasal 61

(1) Dumping sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 hanya dapat dilakukan dengan izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

 

(2) Dumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di lokasi yang telah ditentukan.

 

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan dumping limbah atau bahan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 40

(1)      Pencemaran laut meliputi:

a.       pencemaran yang berasal dari daratan; dan

b.       pencemaran yang berasal dari kegiatan di laut.

(2)      Pencemaran laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terjadi:

a.       di perairan yurisdiksi Indonesia;

b.       dari luar perairan yurisdiksi Indonesia; atau

c.       dari dalam perairan yurisdiksi Indonesia keluar perairan yurisdiksi Indonesia.

(3)      Proses penyelesaian sengketa dan penerapan sanksi pencemaran laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan berdasarkan prinsip pencemar membayar dan prinsip kehati-hatian.

(4)      Ketentuan lebih lanjut mengenai proses penyelesaian dan sanksi terhadap pencemaran laut dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (September 2014), diolah dari Naskah RUU Kelautan tertanggal 15 Agustus 2014 dan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH

Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa ada pembolehan membuang limbah ke media lingkungan, termasuk laut, dengan seizin pemerintah, tanpa partisipasi masyarakat melalui prinsip FPIC (free, prior, inform, consent).

Bertolak dari hal di atas, KIARA meminta DPR RI bersama dengan pemerintah untuk menuntaskan pembahasan RUU Kelautan terlebih dahulu, khususnya menyangkut pencemaran laut, dengan memastikan larangan dan sanksi berat bagi  pelaku pencemar laut, sebelum melakukan pengesahan. Karena hal tersebut menyangkut hajat hidup masyarakat nelayan dan mereka yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, seperti yang terjadi di Laut Timor.***

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA

di +62 815 53100 259

 

 

http://www.kiara.or.id/wp-content/uploads/2016/03/kiara-FA-e1652968054749-300x90.png 0 0 adminkiara http://www.kiara.or.id/wp-content/uploads/2016/03/kiara-FA-e1652968054749-300x90.png adminkiara2014-09-26 14:34:502014-09-26 14:34:50RUU Kelautan Harus Hilangkan Ego-Sektoral dan Perkuat Upaya Pencegahan Pencemaran Laut

Utamakan pelestarian lingkungan, dan selaraskan dengan HAM.

September 26, 2014/in Kampanye & Advokasi, Pengelolaan Pesisir & Pulau - Pulau Kecil, Reformasi Kebijakan /by adminkiara
Utamakan pelestarian lingkungan, dan selaraskan dengan HAM.
Kebijakan poros maritim dan pembangunan tol laut yang didengungkan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) mendapat sorotan koalisi organisasi masyarakat sipil. Koalisi yang terdiri dari Walhi, KIARA, YLBHI, Greenpeace, JATAM dan Change.org itu khawatir kebijakan tersebut akan mempercepat perusakan lingkungan dan meningkatkan konflik sosial.

Menurut Direktur Advokasi YLBHI, Bahrain, Koalisi berharap pembangunan poros maritim dan tol laut ramah lingkungan dan memanusiakan manusia. Sebab, selama ini sering terlihat kepentingan masyarakat kecil tersingkir atas nama pembangunan. Pelanggaran HAM itu semakin meningkat sejak pemerintah SBY menggulirkan kebijakan MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia).

Untuk itu koalisi mengingatkan agar pemerintah baru memperbaiki kebijakan tersebut. “Kami mengingatkan agar pembagunan yang dijalankan pemerintah baru harus mengutamakan perlindungan ekologi dan HAM. Kami harapkan pembangunan berbasis HAM,” kata Bahrain dalam jumpa pers di kantor YLBHI di Jakarta, Selasa (23/9).

Bahrain curiga poros maritim dan tol laut tidak ditujukan untuk kepentingan rakyat, tapi para pengusaha. Jika itu terjadi eksploitasi SDA terus berlangsung, dan keuntungannya lebih dinikmati negara lain.

Menambahkan Bahrain Kepala Greenpeace Indonesia, Longgena Ginting, mengatakan secara geografis dan geopolitik Indonesia adalah poros maritim dunia. Sehingga segala kondisi yang terjadi di laut Indonesia mempengaruhi keadaan regional Asia Tenggara dan dunia. Untuk itu poros maritim dan tol laut yang digagas Jokowi-JK harus memperhatikan pelestarian lingkungan dan HAM.

Ginting berpendapat Indonesia butuh tol laut untuk menghubungkan wilayah yang ada di Indonesia. Namun banyak masalah yang harus dibenahi, seperti kasus pencurian ikan, pencemaran dan dampak perubahan iklim. Karena itu, harap Longgena, pembangunan poros maritim dan tol laut jangan hanya menekankan pada eksploitasi SDA.
“Kami minta pemerintahan Jokowi-JK merancang konsep itu secara transparan dan partisipatif. Utamakan HAM dan kepentingan rakyat diatas kepentingan bisnis,” ujar Ginting.

Koordinator pendidikan dan penguatan jaringan Kiara, Selamet Daroyni, menekankan agar pemerintah Jokowi-JK jangan meneruskan program MP3EI. Program ini dia yakini merusak lingkungan dan menyebabkan bencana. Seperti yang terjadi pada pembangunan PLTU Batang dan reklamasi Teluk Benoa.

Dalam mengimplementasikan poros maritim dan tol laut, Selamet mencatat ada banyak kebijakan yang harus direvisi. Misalnya, UU No.1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Wet ini membuka peluang korporasi asing menguasai SDA yang ada di laut Indonesia.

Padahal, untuk membangun poros maritim, yang utama adalah menyejahterakan nelayan dan penduduk di pesisir dan pulau kecil. “Kami tegaskan kalau mau menjadikan Indonesia poros maritim, pemerintah harus mengutamakan bagaimana menyejahterakan nelayan. Itu yang harus diprioritaskan,” tukasnya.

Manager Kampanye Walhi, Edo Rakhman, mengusulkan agar poros maritim dan tol laut jangan ditujukan untuk distribusi hasil tambang seperti batubara. Karena menyebabkan pencemaran lingkungan di jalur yang dilewatinya. Walhi mencatat tiga sungai besar di Indonesia tercemar karena digunakan sebagai jalur distribusi batubara.

“Tol laut jangan digunakan untuk distribusi barang tambang, tapi meratakan pembangunan dari barat ke timur. Kita harus jaga agar laut kita tidak semakin tercemar,” usul Edo.

sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54211ef7f1087/aktivis-lingkungan-bersuara-untuk-poros-maritim-jokowi
http://www.kiara.or.id/wp-content/uploads/2014/08/perahu-nelayan-tradisional-rusak-dan-mangkrak.jpg 480 720 adminkiara http://www.kiara.or.id/wp-content/uploads/2016/03/kiara-FA-e1652968054749-300x90.png adminkiara2014-09-26 10:55:502014-09-26 10:55:50Utamakan pelestarian lingkungan, dan selaraskan dengan HAM.

Utamakan pelestarian lingkungan, dan selaraskan dengan HAM.

September 26, 2014/in Kampanye & Advokasi, Pengelolaan Pesisir & Pulau - Pulau Kecil, Reformasi Kebijakan /by adminkiara
Utamakan pelestarian lingkungan, dan selaraskan dengan HAM.
Kebijakan poros maritim dan pembangunan tol laut yang didengungkan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) mendapat sorotan koalisi organisasi masyarakat sipil. Koalisi yang terdiri dari Walhi, KIARA, YLBHI, Greenpeace, JATAM dan Change.org itu khawatir kebijakan tersebut akan mempercepat perusakan lingkungan dan meningkatkan konflik sosial.

Menurut Direktur Advokasi YLBHI, Bahrain, Koalisi berharap pembangunan poros maritim dan tol laut ramah lingkungan dan memanusiakan manusia. Sebab, selama ini sering terlihat kepentingan masyarakat kecil tersingkir atas nama pembangunan. Pelanggaran HAM itu semakin meningkat sejak pemerintah SBY menggulirkan kebijakan MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia).

Untuk itu koalisi mengingatkan agar pemerintah baru memperbaiki kebijakan tersebut. “Kami mengingatkan agar pembagunan yang dijalankan pemerintah baru harus mengutamakan perlindungan ekologi dan HAM. Kami harapkan pembangunan berbasis HAM,” kata Bahrain dalam jumpa pers di kantor YLBHI di Jakarta, Selasa (23/9).

Bahrain curiga poros maritim dan tol laut tidak ditujukan untuk kepentingan rakyat, tapi para pengusaha. Jika itu terjadi eksploitasi SDA terus berlangsung, dan keuntungannya lebih dinikmati negara lain.

Menambahkan Bahrain Kepala Greenpeace Indonesia, Longgena Ginting, mengatakan secara geografis dan geopolitik Indonesia adalah poros maritim dunia. Sehingga segala kondisi yang terjadi di laut Indonesia mempengaruhi keadaan regional Asia Tenggara dan dunia. Untuk itu poros maritim dan tol laut yang digagas Jokowi-JK harus memperhatikan pelestarian lingkungan dan HAM.

Ginting berpendapat Indonesia butuh tol laut untuk menghubungkan wilayah yang ada di Indonesia. Namun banyak masalah yang harus dibenahi, seperti kasus pencurian ikan, pencemaran dan dampak perubahan iklim. Karena itu, harap Longgena, pembangunan poros maritim dan tol laut jangan hanya menekankan pada eksploitasi SDA.
“Kami minta pemerintahan Jokowi-JK merancang konsep itu secara transparan dan partisipatif. Utamakan HAM dan kepentingan rakyat diatas kepentingan bisnis,” ujar Ginting.

Koordinator pendidikan dan penguatan jaringan Kiara, Selamet Daroyni, menekankan agar pemerintah Jokowi-JK jangan meneruskan program MP3EI. Program ini dia yakini merusak lingkungan dan menyebabkan bencana. Seperti yang terjadi pada pembangunan PLTU Batang dan reklamasi Teluk Benoa.

Dalam mengimplementasikan poros maritim dan tol laut, Selamet mencatat ada banyak kebijakan yang harus direvisi. Misalnya, UU No.1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Wet ini membuka peluang korporasi asing menguasai SDA yang ada di laut Indonesia.

Padahal, untuk membangun poros maritim, yang utama adalah menyejahterakan nelayan dan penduduk di pesisir dan pulau kecil. “Kami tegaskan kalau mau menjadikan Indonesia poros maritim, pemerintah harus mengutamakan bagaimana menyejahterakan nelayan. Itu yang harus diprioritaskan,” tukasnya.

Manager Kampanye Walhi, Edo Rakhman, mengusulkan agar poros maritim dan tol laut jangan ditujukan untuk distribusi hasil tambang seperti batubara. Karena menyebabkan pencemaran lingkungan di jalur yang dilewatinya. Walhi mencatat tiga sungai besar di Indonesia tercemar karena digunakan sebagai jalur distribusi batubara.

“Tol laut jangan digunakan untuk distribusi barang tambang, tapi meratakan pembangunan dari barat ke timur. Kita harus jaga agar laut kita tidak semakin tercemar,” usul Edo.

sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54211ef7f1087/aktivis-lingkungan-bersuara-untuk-poros-maritim-jokowi
http://www.kiara.or.id/wp-content/uploads/2014/08/perahu-nelayan-tradisional-rusak-dan-mangkrak-1.jpg 480 720 adminkiara http://www.kiara.or.id/wp-content/uploads/2016/03/kiara-FA-e1652968054749-300x90.png adminkiara2014-09-26 10:55:502014-09-26 10:55:50Utamakan pelestarian lingkungan, dan selaraskan dengan HAM.

Impor Ikan Asin dan Garam, Bukti Negara Tak Mampu Kelola Industri Laut

September 26, 2014/in IUU Fishing, Kampanye & Advokasi, Pertambakan dan Mangrove, Reformasi Kebijakan /by adminkiara

Impor Ikan Asin dan Garam, Bukti Negara Tak Mampu Kelola Industri Laut

Penulis: Damar Budi Purnomo

Jakarta, JMOL ** Dengan wilayah perairan yang sangat luas tak lantas membuat industri laut seperti perikanan di Indonesia, tangguh. Pasalnya, pro-kontra impor ikan asin dan garam di Indonesia masih terjadi sejak lima tahun terakhir.

Menurut Data Kementerian Perdagangan (Kemendag), Indonesia sudah rutin mengimpor ikan asin dalam lima tahun terakhir. Bahkan hingga kini, Indonesia tak mampu lepas dari importasi ikan asin tersebut.

Menurut Koordinator Pendidikan & Penguatan Jaringan Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Selamet Daroyni, kebijakan impor ikan asin dan garam dari negara lain sangat tidak relevan dan membuat masyarakat pesisir yang sudah miskin menjadi semakin miskin.

“Untuk itu, kebijakan pemerintah baru yang sudah di depan mata harus secepatnya menghentikan impor ikan asin dan garam secepatnya,” ujarnya saat bertemu di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Menteng Jakarta, Selasa (23/9).

Ia menjelaskan, Indonesia imemiliki lautan sangat luas dan jumlah nelayannya 16,4 juta jiwa, namun belum mampu mandiri di sektor perikanan. Menurutnya, hal itu didasari kurangnya kemampuan nelayan Indonesia dari segi infrastruktur kapal, pengetahuan, alat tangkap, dan dukungan pemerintah untuk men-support nelayan tradisional Indonesia.

Menurut data, importasi ikan asin tertinggi pernah terjadi pada 2009, dengan nilai impor mencapai US$515.752 dan berat 119.380 kg. Pada 2010, impor ikan asin mencapai US$138.169 dengan berat 34.531 kg. Lalu berturut-turut tahun 2011 US$ 29.262 dengan berat 5.490 kg, 2012 US$29.477 dengan berat 6.715 kg, 2013 US$2.372 dengan berat 111 kg.

Periode 2014 dari bulan Januari hingga Juli, importasi ikan asin sudah mencapai US$53.229 dengan berat 1.242 kg.

“Walaupun setelah itu tercatat, impor ikan asin terus mengalami penurunan hingga sekarang, tapi tetap saja impor ikan asin masih berlangsung dan belum dihentikan, dan pemerintah harus berani andil untuk menutup keran impor ini,” pungkasnya.

Editor: Arif Giyanto

Sumber: http://jurnalmaritim.com/2014/8/2263/impor-ikan-asin-dan-garam-bukti-negara-tak-mampu-kelola-industri-laut

http://www.kiara.or.id/wp-content/uploads/2014/09/Petani-Garam-Tradisional-Sumenep-Madura-1.jpg 298 448 adminkiara http://www.kiara.or.id/wp-content/uploads/2016/03/kiara-FA-e1652968054749-300x90.png adminkiara2014-09-26 10:43:302014-09-26 10:43:30Impor Ikan Asin dan Garam, Bukti Negara Tak Mampu Kelola Industri Laut

Jokowi Diminta Tak Tiru MP3EI

September 26, 2014/in IUU Fishing, Kampanye & Advokasi, Pengelolaan Pesisir & Pulau - Pulau Kecil, Reformasi Kebijakan /by adminkiara

Jokowi Diminta Tak Tiru MP3EI

Jakarta – Presiden Terpilih Joko Widodo atau Jokowi diminta tidak mencontoh program pembangunan yang dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pasalnya program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) era SBY itu dinilai cenderung memuluskan investor namun miskin aspek sosial dan kesejahteraan rakyat.

“Kita lihat saja apa pemerintahan Jokowi-JK (Jusuf Kalla) masih menggunakan skema MP3EI. Jelas saja sekarang ini belum separuh jalan (program MP3EI) sudah menyebabkan kerusakan lingkungan kesengsaraan orang,” kata Koordinator bidang Pendidikan dan Jaringan Pemberdayaan Koalisi Masyarakat untuk Perikanan (KIARA), Selamet Daroyni di gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, Selasa siang (23/9).

Pada dasarnya konsep poros maritim dan tol laut Jokowi dinilainya cukup baik. Hanya program itu diminta tak hanya menekankan kepentingan ekonomi yang bakal sama saja sifatnya dengan MP3EI.

Selamet mencontohkan salah satu program sebagai wujud MP3EI yaitu pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Batang. Pembangunan itu kata dia mengganggu aktivitas penghidupan nelayan di sana. Padahal sebelumnya dibandingkan di daerah Jawa lainnya, nelayan Batang relatif cukup tinggi volume hasil tangkapannya.

“Kalau dia (Jokowi) menggunakan itu (MP3EI) artinya menghianati cita-citanya,” kata dia lagi.

Peringatan Koalisi Masyarakat Sipil kepada Jokowi agar memperhatikan aspek lingkungan, sosial dan kesejahteraan masyarakat pesisir dalam konsep poros maritim merupakan peringatan dini agar program itu benar-benar membawa manfaat bagi masyarakat kawasan pesisir.

“Kita harus turut mengawasi bahwa ide poros maritim dan tol laut Jokowi benar-benar hadir untuk meningkatkan keteladanan negara dalam menegakkan hukum dan bukan meneruskan perilaku burukk pembangunan di masa lalu,” kata Ridwan Bakar yang merupakan aktivis dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Penulis: Ezra Sihite/AF

http://www.kiara.or.id/wp-content/uploads/2014/09/tambak-garam-sumenep-madura-1.jpg 298 448 adminkiara http://www.kiara.or.id/wp-content/uploads/2016/03/kiara-FA-e1652968054749-300x90.png adminkiara2014-09-26 10:37:512014-09-26 10:37:51Jokowi Diminta Tak Tiru MP3EI
September 2014
M T W T F S S
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
2930  
« Aug   Oct »

Related Link

  • Pagu Anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan Meningkat Menjadi 13 Triliun, KIARA: Habis Untuk Operasional, Minim Alokasi Untuk Menyejahterahkan Nelayan Tradisional!
  • Privatisasi Laut Dalam Bentuk Pemagaran Laut Kembali Terjadi Kembali Terjadi, KIARA: Dampak Kebijakan KKPRL & Swastanisasi Laut !
  • Pembentukan Badan Otorita Pengelola Pantai Utara Jawa, KIARA: Conflict Of Interest, Tumpang Tindih Kewenangan dan Bertentangan Dengan Efisiensi Yang Dijalankan!
  • Upacara Rakyat Timbulsloko
  • Solar Subsidi Dibatasi 10 liter oleh APMS, Pengeluaran Nelayan Semakin Membengkak : Hak Nelayan Masalembu Atas BBM Dirampas APMS
  • Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional Diwujudkan Presiden Prabowo, KIARA: Tantangan Baru Bagi Keberlanjutan Pesisir dari Presiden Baru!
  • KKP Beri Izin Pemanfaatan Air Laut ke PLTU Batang, KIARA: Orientasi KKP Hanya Pada Peningkatan PNBP, Bukan Pada Perlindungan Nelayan dan Lingkungan Laut!
  • Beranda
  • Tentang
  • Mandat & Program
  • Berita Pesisir
  • Publikasi
  • Kontak

Gratis! Info seputar Pesisir & Laut Indonesia

MANGROVE

adalah sumber kehidupan!

©2022 KIARA. - Enfold WordPress Theme by Kriesi
Scroll to top