Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

Proyek NCICD Lindungi Pengusaha Properti dan Mengabaikan Nasib Nelayan

Jakarta, 24 November 2014,  Ternyata tidak cukup kegagalan proyek Reklamasi dan Revitalisasi pantai utara Jakarta sebagai pelajaran berharga bagi pemerintah dalam menentukan arah pembangunana di Jakarta. Selain gagal mengurangi banjir dan krisis air bersih bagi warga Jakarta, proyek tersebut ternyata hanya untuk melindungi aktivitas bisnis properti yang di kuasai oleh segelintir kelompok semata. Anehnya, meskipun telah terbukti gagal, pemerintah kembali menggulirkan gagasan proyek baru dan semakin jauh dari harapan Jakarta akan terselamatkannya Jakarta dari bencana.

Saat ini, Pemerintah sedang mengusung Proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD), dan  salah satunya adalah pembangunan Giant Sea Wall atau Tanggul Raksasa Laut yang secara jelas tidak memenuhi persyaratan legal sebuah proyek. Proyek ini lemah dari sudut pandang hukum lingkungan dan terindikasi kuat hanya untuk mengakomodasi kepentingan investor. Yaitu guna melindungi properti yang telah dibangun dalam lahan reklamasi sekaligus menaikkan nilai investasi.

Proyek NCICD tak ubahnya akal-akalan investor seperti proyek reklamasi revitalisasi pantura yang dicekal oleh Kementrian LH tahun 2003. Menurut Keputusan MenLH No. 14 tahun 2003, proyek reklamasi dan revitalisasi teluk Jakarta tidak layak secara lingkungan hidup, ekonomi dan sosial budaya serta teknik. Namun, para investor ketika itu tidak menyerah dan balik menggugat Menteri Lingkuang Hidup (Sekarang Kementerian LH dan Kehutanan) dan beberapa LSM lingkungan. Berikut adalah daftar investor pemegang hak konsesi lahan reklamasi pantai utara Jakarta:

No Nama Perusahaan Direksi Alamat
1 PT Bakti Bangun Era Mulia Tjondro Indria Liemonta Mangga Dua Raya Komplek Grand Boutique Center Blok C No. 1 Jakarta Utara
2 PT Taman Harapan Indah Richard S Hartono dan Suhendra Prabowo Gedung Dharmala Sakti Lt. IV Jl. Jend. Sudirman Kav. 32 Jakarta
3 PT Manggala Krida Yudha Arief Setianto Nugroho dan Susanto Rukondo Building Jl. Ancol Baru Jakarta 14310
4 PT Pelabuhan Indonesia II A Syaifudin Jl. Pasoso No. 1 Tanjung Priok Jakarta Utara
5 PT Pembangunan Jaya Ancol Tjahdja B Riabudi Jl. Lodan Timur No. 7 Ancol, Jakarta Utara
6 PT Jakarta Propertindo Ongki Sukasah Gedung Jaya Lt. VIII Jl. MH Thamrin No. 12 Jakarta

Sumber: http://www.menlh.go.id/

Proyek NCICD juga memasukkan rencana pembangunan 17 pulau buatan, rencana ini semakin tidak relevan dan sangat diragukan dari aspek kelayakan lingkungan. Seperti dikutip oleh aljazeera.com, pernyataan Purba Sianipar (Asisten Deputi bidang Infrastruktur Sumberdaya Air Kemenko Perekonomian) bahwa Giant Sea Wall akan melindungi Jakarta dari banjir hingga 1.000 tahun lamanya itu mendapat bantahan dari Victor Coenen (project manager Witteveen Bos). Konsultan dari Belanda yang membantu pembuatan master plan NCICD ini menyatakan tidak ada garansi bahwa dengan pembangunan giant sea wall Jakarta bisa terbebas dari Banjir. Padahal megaproyek infrastruktur dengan biaya yang sangat mahal tersebut seharusnya memiliki batas garansi.

Jika kemudian konsultan Belanda saja tidak dapat menjamin keberhasilan proyek yang akan memerlukan dana hingga 600 triliun rupiah ini. Maka sesuai UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyatakan “jika pemerintah sebagai pihak yang berwenang tidak memiliki bukti ilmiah bahwa tidak akan ada kerusakan lingkungan yang tak dapat dipulihkan, maka kegiatan tersebut harus kembali pada pertimbangan kepentingan kelestarian lingkungan”. Dan secara otomatisproyek Giant Sea Wall ini tidak layak untuk dilanjutkan.

KIARA meminta kepada Presiden Joko Widodo agar  berpihak pada kepentingan nelayan dengan tidak mengulangi kesalahan pemerintahan sebelumnya yang membela kepentingan investor lewat penerbitan Keputusan Presiden untuk melegalkan proyek yang akan menghancurkan ekosistem pesisir utara Jakarta. Proyek NCICD ini juga sangat meragukan dari aspke mitigasi bencana banjir Jakarta, karena jika muara 13 sungai yang melewati Jakarta ditinggikan dasarnya lewat pengurukan, maka laju sedimentasi akan semakin tinggi akibat dasar muara yang semakin tinggi. Banjir akan lebih mudah terjadi jika curah hujan tinggi karena sungai semakin dangkal. Sudah saatnya pemerintah lebih fokus pada pendekatan adaptasi, misalnya lewat perbaikan sistem drainase dan pelibatan masyarakat, daripada pendekatan mitigasi bencana lewat pembangunan infrastruktur.

Untuk informasi lebih lanuut dapat menghubungi:

Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan KIARA, Selamet Daroyni di 082110683102

Koordinator Pengelolaan Pengetahuan KIARA, Rifki Furqan di 085370627782

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

Proyek NCICD Lindungi Pengusaha Properti dan Mengabaikan Nasib Nelayan

Jakarta, 24 November 2014,  Ternyata tidak cukup kegagalan proyek Reklamasi dan Revitalisasi pantai utara Jakarta sebagai pelajaran berharga bagi pemerintah dalam menentukan arah pembangunana di Jakarta. Selain gagal mengurangi banjir dan krisis air bersih bagi warga Jakarta, proyek tersebut ternyata hanya untuk melindungi aktivitas bisnis properti yang di kuasai oleh segelintir kelompok semata. Anehnya, meskipun telah terbukti gagal, pemerintah kembali menggulirkan gagasan proyek baru dan semakin jauh dari harapan Jakarta akan terselamatkannya Jakarta dari bencana.

Saat ini, Pemerintah sedang mengusung Proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD), dan  salah satunya adalah pembangunan Giant Sea Wall atau Tanggul Raksasa Laut yang secara jelas tidak memenuhi persyaratan legal sebuah proyek. Proyek ini lemah dari sudut pandang hukum lingkungan dan terindikasi kuat hanya untuk mengakomodasi kepentingan investor. Yaitu guna melindungi properti yang telah dibangun dalam lahan reklamasi sekaligus menaikkan nilai investasi.

Proyek NCICD tak ubahnya akal-akalan investor seperti proyek reklamasi revitalisasi pantura yang dicekal oleh Kementrian LH tahun 2003. Menurut Keputusan MenLH No. 14 tahun 2003, proyek reklamasi dan revitalisasi teluk Jakarta tidak layak secara lingkungan hidup, ekonomi dan sosial budaya serta teknik. Namun, para investor ketika itu tidak menyerah dan balik menggugat Menteri Lingkuang Hidup (Sekarang Kementerian LH dan Kehutanan) dan beberapa LSM lingkungan. Berikut adalah daftar investor pemegang hak konsesi lahan reklamasi pantai utara Jakarta:

No Nama Perusahaan Direksi Alamat
1 PT Bakti Bangun Era Mulia Tjondro Indria Liemonta Mangga Dua Raya Komplek Grand Boutique Center Blok C No. 1 Jakarta Utara
2 PT Taman Harapan Indah Richard S Hartono dan Suhendra Prabowo Gedung Dharmala Sakti Lt. IV Jl. Jend. Sudirman Kav. 32 Jakarta
3 PT Manggala Krida Yudha Arief Setianto Nugroho dan Susanto Rukondo Building Jl. Ancol Baru Jakarta 14310
4 PT Pelabuhan Indonesia II A Syaifudin Jl. Pasoso No. 1 Tanjung Priok Jakarta Utara
5 PT Pembangunan Jaya Ancol Tjahdja B Riabudi Jl. Lodan Timur No. 7 Ancol, Jakarta Utara
6 PT Jakarta Propertindo Ongki Sukasah Gedung Jaya Lt. VIII Jl. MH Thamrin No. 12 Jakarta

Sumber: http://www.menlh.go.id/

Proyek NCICD juga memasukkan rencana pembangunan 17 pulau buatan, rencana ini semakin tidak relevan dan sangat diragukan dari aspek kelayakan lingkungan. Seperti dikutip oleh aljazeera.com, pernyataan Purba Sianipar (Asisten Deputi bidang Infrastruktur Sumberdaya Air Kemenko Perekonomian) bahwa Giant Sea Wall akan melindungi Jakarta dari banjir hingga 1.000 tahun lamanya itu mendapat bantahan dari Victor Coenen (project manager Witteveen Bos). Konsultan dari Belanda yang membantu pembuatan master plan NCICD ini menyatakan tidak ada garansi bahwa dengan pembangunan giant sea wall Jakarta bisa terbebas dari Banjir. Padahal megaproyek infrastruktur dengan biaya yang sangat mahal tersebut seharusnya memiliki batas garansi.

Jika kemudian konsultan Belanda saja tidak dapat menjamin keberhasilan proyek yang akan memerlukan dana hingga 600 triliun rupiah ini. Maka sesuai UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyatakan “jika pemerintah sebagai pihak yang berwenang tidak memiliki bukti ilmiah bahwa tidak akan ada kerusakan lingkungan yang tak dapat dipulihkan, maka kegiatan tersebut harus kembali pada pertimbangan kepentingan kelestarian lingkungan”. Dan secara otomatisproyek Giant Sea Wall ini tidak layak untuk dilanjutkan.

KIARA meminta kepada Presiden Joko Widodo agar  berpihak pada kepentingan nelayan dengan tidak mengulangi kesalahan pemerintahan sebelumnya yang membela kepentingan investor lewat penerbitan Keputusan Presiden untuk melegalkan proyek yang akan menghancurkan ekosistem pesisir utara Jakarta. Proyek NCICD ini juga sangat meragukan dari aspke mitigasi bencana banjir Jakarta, karena jika muara 13 sungai yang melewati Jakarta ditinggikan dasarnya lewat pengurukan, maka laju sedimentasi akan semakin tinggi akibat dasar muara yang semakin tinggi. Banjir akan lebih mudah terjadi jika curah hujan tinggi karena sungai semakin dangkal. Sudah saatnya pemerintah lebih fokus pada pendekatan adaptasi, misalnya lewat perbaikan sistem drainase dan pelibatan masyarakat, daripada pendekatan mitigasi bencana lewat pembangunan infrastruktur.

Untuk informasi lebih lanuut dapat menghubungi:

Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan KIARA, Selamet Daroyni di 082110683102

Koordinator Pengelolaan Pengetahuan KIARA, Rifki Furqan di 085370627782

Harga BBM Naik, Harga Jual Ikan Melorot, Nelayan Tak Kuat Melaut

Harga BBM Naik, Harga Jual Ikan Melorot, Nelayan Tak Kuat Melaut

KENDAL, KOMPAS.com – Sudah jatuh tertimpa tangga. Barangkali pepatah itulah, yang pas disandangkan kepada nelayan Kendal Jawa Tengah. Pasalnya, selain harus menanggung kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), kini harga ikan hasil tangkapannya turun.

Seminggu yang lalu, ikan tongkol tangkapan bisa laku Rp 15.000 per kilgramo, kini hanya laku Rp 9.000 per kilogramnya.

Pengurus kelompok nelayan Tawang Rowosari Kendal, Sugeng, mengatakan, saat ini sedang musim ikan tongkol. Namun setiap hari, harga ikan tersebut terus turun. Penyebabnya belum diketahui.

“Harga itu, bisa saja kembali turun, bila ikan tongkol tangkapan nelayan terus bertambah,” kata Sugeng, Jumat (21/11/2014).

Sugeng mengaku, meskipun ikan tangkapannya cukup banyak, namun nelayan tidak bisa menikmati hasilnya dengan maksimal. Sebab untuk ongkos melaut, setiap harinya rata-rata nelayan menghabiskan 30-50 liter atau sekitar RP 250.000 untuk kapal kecil.

“Padahal, baru kali ini hasil ikan tangkapan nelayan cukup baik. Kemarin-kemarin, kami hampir frustrasi karena laut sepi ikan tangkapan. Selain itu, akibat cuaca yang tak menentu akhir-akhir ini mengakibatkan pendapatan ikan juga tak menentu,” ujarnya.

Nasib nelayan di Tawang Rowosari Kendal tersebut rupanya lebih baik dibandingkan nelayan Bandengan Kendal. Pasalnya, nelayan Bandengan malah tidak bisa melaut karena tidak kuat membeli BBM.

“Harga ikan rendah, sementara ikan yang kita tangkap tidak melimpah. Kami harus pandai-pandai memilih hari bila mau melaut. Kalau anginnya kencang, kami tidak berangkat. Sebab BBM mahal,” kata salah satu nelayan Bandengan Kendal, Abdul Rosyid (30).

Dia menjelaskan, kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM solar membuat nelayan susah dan putus asa. Pasalnya, tahun ini boleh dibilang merupakan musim paceklik bagi para nelayan di Kendal.

Rosyid mengungkapkan, pilihan untuk tidak melalut seiring naiknya harga BBM itu adalah hal yang tepat. Sebab kalau tetap dipaksakan melaut, maka nelayan rata-rata akan pulang tidak membawa hasil tangkapan.

“Kami berharap, para nelayan ini tetap mendapatkan subsidi baik dari pemerintah daerah, provinsi maupun pusat sehingga beban kami bisa sedikit ringan. Apalagi kenaikan harga BBM, akan diikuti dengan naiknya harga suku cadang mesin maupun perawatan perahu,” tandasnya.

Sumber: http://regional.kompas.com/read/2014/11/21/14052221/Harga.BBM.Naik.Harga.Jual.Ikan.Melorot.Nelayan.Tak.Kuat.Melaut

Harga BBM Naik, Harga Jual Ikan Melorot, Nelayan Tak Kuat Melaut

Harga BBM Naik, Harga Jual Ikan Melorot, Nelayan Tak Kuat Melaut

KENDAL, KOMPAS.com – Sudah jatuh tertimpa tangga. Barangkali pepatah itulah, yang pas disandangkan kepada nelayan Kendal Jawa Tengah. Pasalnya, selain harus menanggung kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), kini harga ikan hasil tangkapannya turun.

Seminggu yang lalu, ikan tongkol tangkapan bisa laku Rp 15.000 per kilgramo, kini hanya laku Rp 9.000 per kilogramnya.

Pengurus kelompok nelayan Tawang Rowosari Kendal, Sugeng, mengatakan, saat ini sedang musim ikan tongkol. Namun setiap hari, harga ikan tersebut terus turun. Penyebabnya belum diketahui.

“Harga itu, bisa saja kembali turun, bila ikan tongkol tangkapan nelayan terus bertambah,” kata Sugeng, Jumat (21/11/2014).

Sugeng mengaku, meskipun ikan tangkapannya cukup banyak, namun nelayan tidak bisa menikmati hasilnya dengan maksimal. Sebab untuk ongkos melaut, setiap harinya rata-rata nelayan menghabiskan 30-50 liter atau sekitar RP 250.000 untuk kapal kecil.

“Padahal, baru kali ini hasil ikan tangkapan nelayan cukup baik. Kemarin-kemarin, kami hampir frustrasi karena laut sepi ikan tangkapan. Selain itu, akibat cuaca yang tak menentu akhir-akhir ini mengakibatkan pendapatan ikan juga tak menentu,” ujarnya.

Nasib nelayan di Tawang Rowosari Kendal tersebut rupanya lebih baik dibandingkan nelayan Bandengan Kendal. Pasalnya, nelayan Bandengan malah tidak bisa melaut karena tidak kuat membeli BBM.

“Harga ikan rendah, sementara ikan yang kita tangkap tidak melimpah. Kami harus pandai-pandai memilih hari bila mau melaut. Kalau anginnya kencang, kami tidak berangkat. Sebab BBM mahal,” kata salah satu nelayan Bandengan Kendal, Abdul Rosyid (30).

Dia menjelaskan, kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM solar membuat nelayan susah dan putus asa. Pasalnya, tahun ini boleh dibilang merupakan musim paceklik bagi para nelayan di Kendal.

Rosyid mengungkapkan, pilihan untuk tidak melalut seiring naiknya harga BBM itu adalah hal yang tepat. Sebab kalau tetap dipaksakan melaut, maka nelayan rata-rata akan pulang tidak membawa hasil tangkapan.

“Kami berharap, para nelayan ini tetap mendapatkan subsidi baik dari pemerintah daerah, provinsi maupun pusat sehingga beban kami bisa sedikit ringan. Apalagi kenaikan harga BBM, akan diikuti dengan naiknya harga suku cadang mesin maupun perawatan perahu,” tandasnya.

Sumber: http://regional.kompas.com/read/2014/11/21/14052221/Harga.BBM.Naik.Harga.Jual.Ikan.Melorot.Nelayan.Tak.Kuat.Melaut

Empat Tuntutan Kiara pada KKP

Empat Tuntutan Kiara pada KKP

Bonita Ningsih

JAKARTA (HN) -Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) melakukan aksi “Lindungi Nelayan dan Perempuan Nelayan Indonesia” di depan pintu gerbang Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bertepatan dengan Hari Ikan Sedunia 21 November.

Dalam aksi tersebut, Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan KIARA, Selamet Daroyni menyatakan empat tuntutan dari para nelayan untuk pemerintah Indonesia.

Tuntutan pertamanya terkait dengan pengakuan dan perlindungan terhadap nelayan dan petambah tradisional baik laki-laki dan perempuan.

“Selama ini kondisi nelayan tradisional kita tidak diakui, tidak dilindungi, dan tidak didukung modal dan teknologinya. Seharusnya negara mempunyai kewajiban untuk melindungi nelayan dan petambak. Karena ini kaitannya dengan memenuhi hak-hak asasi kami yang sudah diatur undang-undang,” cerita Selamet.
Sesuai data dari KIARA tahun 2014, jumlah nelayan yang hilang atau meninggal dunia di laut sudah mencapai 255 jiwa. “Di lihat dari jumlah tersebut dapat dikatakan bahwa tidak adanya perlindungan dari negara untuk nelayan dan petambak di Indonesia,” keluhnya.

Selamet melanjutkan, nelayan Indonesia juga menjadi korban pembangunan di pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini terlihat dari proyek PLTU Batang serta Giant Sea Walk di Teluk Jakarta.

Setidaknya ada 10.961 nelayan tradisional Batang terancam kehilangan penghasilannya dan 16.855 nelayan tergusur karena proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD).

“Pemerintah juga tidak ada upaya untuk menghentikan eksploitas terhadap pertambangan di pesisir dan pulau-pulau kecil,” katanya lagi.

Masalah selanjutnya ialah penolakan terhadap dihapuskannya Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi untuk nelayan tradisional dan petambak.

“Kami sangat terpukul jika BBM bersubsidi dihapuskan namun tidak ada upaya dari pemerintah untuk mengantisipasinya. Ditambah lagi selama ini tidak ada transparasi dan keterbukaan dari pemerintah mengenai distribusi BBM bersubsidi selama ini, karena sebelumnya pun kami mengalami kesulitan untuk mendapatkan BBM bersubsidi tersebut,” ceritanya.

Yang terakhir ialah terkait dengan pencurian ikan yang selama ini terjadi di perairan Indonesia. Selamet mewakili seluruh para nelayan meminta pemerintah untuk menyelesaikan masalah tumpang tindih pengawasan pencurian ikan tersebut, dan memberikan sanksi kepada para pelaku pencurian tersebut.

 

Sumber: http://harnas.co/2014/11/21/empat-tuntutan-kiara-pada-kkp

Pemerintah Didesak Lindungi Nelayan dan Perempuan Nelayan Tradisional

Pemerintah Didesak Lindungi Nelayan dan Perempuan Nelayan Tradisional

JAKARTA, GRESNEWS.COM – Masyarakat nelayan di dunia kembali merayakan Hari Perikanan Sedunia pada tanggal 21 November tiap tahunnya. Hari Perikanan Sedunia ini bermula pada keprihatinan masyarakat perikanan dunia yang berkumpul yang dimulai New Delhi India 17 tahun lalu. Keprihatinan ini didasari atas keberlanjutan sumber daya ikan yang memasuki titik eksploitasi berlebih serta upaya menyejahterakan nelayan.

Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Slamet Daroyni mengatakan, perikanan sebagai sektor pangan memerlukan pendekatan ekologis yang tidak hanya sekedar didasarkan stok sumber daya ikan sebagai komoditas yang akan eksploitatif.

“Tetapi, juga bagaimana perikanan dapat menyejahterakan nelayan, masyarakat pesisir laki-laki dan perempuan serta menjaga keberlanjutan sumber daya pesisir seperti hutan bakau, terumbu karang, padang lamun dan pulau-pulau kecil. Ekosistem tersebut akan mempengaruhi sumber daya perikanan,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Sabtu (22/11).

KIARA mendata, setidaknya pada tahun ini, terdapat empat isu strategis yang penting untuk digarisbawahi oleh pemerintahan hari ini. Pertama terkait dengan pengakuan dan perlindungan terhadap nelayan dan petambak tradisional baik Laki-Laki dan Perempuan.

Aktivis Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Taher mengatakan, pengakuan nelayan dan petambak akan terkait erat dengan bagaimana negara memenuhi hak-hak asasi. Baik haknya sebagai warga negara Indonesia yang telah diatur dalam konstitusi UUD 1945 serta aturan lain yang menegaskan hak-hak dasarnya sebagai warga negara.

“Serta juga haknya sebagai bagian dari pekerjaannya selama ini dalam perikanan yang meliputi dukungan dan perlindungan pemerintah dalam tahap pra produksi, saat produksi dan pasca produksi,” ujarnya.

Kedua, nelayan menjadi korban pembangunan di pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini dapat dilihat dari proyek PLTU Batang serta Giant Sea Wall di Teluk Jakarta. Sedikitnya10.961 nelayan tradisional Batang terancam kehilangan penghasilan dan 16.855 nelayan akan tergusur karena proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) proyek senilai Rp600 triliun.

Begitu pula pertambangan di pesisir dan pulau-pulau kecil tidak pernah ada upaya untuk menghentikan eksploitasi. Sebaliknya kriminalisasi berjalan dengan mudah sebagaimana yang dihadapi nelayan nelayan di Taman Nasional Ujung Kulon yang terancam 5 tahun penjara dan denda Rp100 juta hanya karena menangkap ikan dan kepiting.

Ketiga, BBM Subsidi untuk Nelayan Tradisional yang baru saja dinaikkan dari Rp5.500 menjadi Rp7.500. Nelayan tradisional dan petambak adalah sektor yang paling terpukul ketika ada pencabutan subsidi namun tidak ada upaya negara sebagai kompensasi untuk mengantisipasi dampak dari pengurangan subsidi BBM.

Masalah distribusi bbm tidak pernah transparan, tidak terbuka dan terjadi kolusi dan nepotisme tidak pernah diselesaikan. Terlebih BBM subsidi dibuka aksesnya kepada kapal dengan ukuran di atas 30 GT dengan maksimal 25 kilo liter/bulan. Yang sangat gamblang menggambarkan keberpihakan pemerintah terhadap pengusaha perikanan.

Keempat terkait dengan Pencurian Ikan dengan Lima agenda prioritas yang perlu dilakukan pemerintah. Pertama, menyelesaikan tumpang tindih pengawasan. Kedua, memastikan sanksi pelanggaran kewajiban mempekerjakan nakhoda dan anak buah kapal yang berkewarganegaraan Indonesia di dalam kapal berbendera Indonesia.

Ketiga, mewajibkan adanya peningkatan nilai hasil tangkapan dengan mewajibkan usaha perikanan skala besar membuat sarana unit pengolahan ikan. Keempat, menegaskan pelarangan jaring pukat trawl di seluruh perairan Indonesia. Kelima, memastikan hak partisipasi nelayan dalam pengawasan sumber daya perikanan.

Terkait kasus pencurian ikan sendiri, Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Susi Pudjiastuti mengatakan pihaknya akan melakukan pengawasan intensif melalui berbagai cara. Selain dengan kewajiban memasang VMS (Vessel Monitoring System), pencurian ikan juga dilacak via satelit.

“Kita itu tahu apa yang mereka lakukan, selama ini dipikir oleh mereka, kita tidak melihat ini. Pemain pemain ini pikir kita tidak tahu, mereka pikir kita yang tahu hanya VMS (Vessel Monitoring System) saja,” kata Susi di kantor KKP, Jakarta, Jumat (21/11) kemarin.

KKP memiliki alat pendeteksi atau sistem monitoring data (VMS) dan citra satelit radar. Sehingga bisa mengetahui berapa banyak kapal asing yang berada di perairan. “Kita bisa melihat orang yang kita lakukan di laut kita,” sebutnya.

Ia mengakui segala keterbatasan untuk menindaklanjuti aktivitas pencurian ikan di laut Indonesia. “Cuma kita nggak punya kemampuan untuk menangkap semuanya. Itu persoalannya,” tegasnya.

Menurutnya persoalan ini harus segera diakhir, ia optimistis dengan kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). “Apakah kita akan diam dengan gambar-gambar ini? Kan tidak. Makanya kalau Perintah Presiden seperti itu, ya kita harus laksanakan. Kalau kita harus terus menerus menanggapi dan mengawasi itu tidak mungkin. Paling hebat makanya efek jera, dan itu UU,” papar Susi. (dtc)

Redaktur : Muhammad Agung Riyadi

Sumber: http://www.gresnews.com/berita/detail-print.php?seo=1402211-pemerintah-didesak-nelayan-dan-perempuan-nelayan-tradisional

Pemerintah Didesak Lindungi Nelayan dan Perempuan Nelayan Tradisional

Pemerintah Didesak Lindungi Nelayan dan Perempuan Nelayan Tradisional

JAKARTA, GRESNEWS.COM – Masyarakat nelayan di dunia kembali merayakan Hari Perikanan Sedunia pada tanggal 21 November tiap tahunnya. Hari Perikanan Sedunia ini bermula pada keprihatinan masyarakat perikanan dunia yang berkumpul yang dimulai New Delhi India 17 tahun lalu. Keprihatinan ini didasari atas keberlanjutan sumber daya ikan yang memasuki titik eksploitasi berlebih serta upaya menyejahterakan nelayan.

Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Slamet Daroyni mengatakan, perikanan sebagai sektor pangan memerlukan pendekatan ekologis yang tidak hanya sekedar didasarkan stok sumber daya ikan sebagai komoditas yang akan eksploitatif.

“Tetapi, juga bagaimana perikanan dapat menyejahterakan nelayan, masyarakat pesisir laki-laki dan perempuan serta menjaga keberlanjutan sumber daya pesisir seperti hutan bakau, terumbu karang, padang lamun dan pulau-pulau kecil. Ekosistem tersebut akan mempengaruhi sumber daya perikanan,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Sabtu (22/11).

KIARA mendata, setidaknya pada tahun ini, terdapat empat isu strategis yang penting untuk digarisbawahi oleh pemerintahan hari ini. Pertama terkait dengan pengakuan dan perlindungan terhadap nelayan dan petambak tradisional baik Laki-Laki dan Perempuan.

Aktivis Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Taher mengatakan, pengakuan nelayan dan petambak akan terkait erat dengan bagaimana negara memenuhi hak-hak asasi. Baik haknya sebagai warga negara Indonesia yang telah diatur dalam konstitusi UUD 1945 serta aturan lain yang menegaskan hak-hak dasarnya sebagai warga negara.

“Serta juga haknya sebagai bagian dari pekerjaannya selama ini dalam perikanan yang meliputi dukungan dan perlindungan pemerintah dalam tahap pra produksi, saat produksi dan pasca produksi,” ujarnya.

Kedua, nelayan menjadi korban pembangunan di pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini dapat dilihat dari proyek PLTU Batang serta Giant Sea Wall di Teluk Jakarta. Sedikitnya10.961 nelayan tradisional Batang terancam kehilangan penghasilan dan 16.855 nelayan akan tergusur karena proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) proyek senilai Rp600 triliun.

Begitu pula pertambangan di pesisir dan pulau-pulau kecil tidak pernah ada upaya untuk menghentikan eksploitasi. Sebaliknya kriminalisasi berjalan dengan mudah sebagaimana yang dihadapi nelayan nelayan di Taman Nasional Ujung Kulon yang terancam 5 tahun penjara dan denda Rp100 juta hanya karena menangkap ikan dan kepiting.

Ketiga, BBM Subsidi untuk Nelayan Tradisional yang baru saja dinaikkan dari Rp5.500 menjadi Rp7.500. Nelayan tradisional dan petambak adalah sektor yang paling terpukul ketika ada pencabutan subsidi namun tidak ada upaya negara sebagai kompensasi untuk mengantisipasi dampak dari pengurangan subsidi BBM.

Masalah distribusi bbm tidak pernah transparan, tidak terbuka dan terjadi kolusi dan nepotisme tidak pernah diselesaikan. Terlebih BBM subsidi dibuka aksesnya kepada kapal dengan ukuran di atas 30 GT dengan maksimal 25 kilo liter/bulan. Yang sangat gamblang menggambarkan keberpihakan pemerintah terhadap pengusaha perikanan.

Keempat terkait dengan Pencurian Ikan dengan Lima agenda prioritas yang perlu dilakukan pemerintah. Pertama, menyelesaikan tumpang tindih pengawasan. Kedua, memastikan sanksi pelanggaran kewajiban mempekerjakan nakhoda dan anak buah kapal yang berkewarganegaraan Indonesia di dalam kapal berbendera Indonesia.

Ketiga, mewajibkan adanya peningkatan nilai hasil tangkapan dengan mewajibkan usaha perikanan skala besar membuat sarana unit pengolahan ikan. Keempat, menegaskan pelarangan jaring pukat trawl di seluruh perairan Indonesia. Kelima, memastikan hak partisipasi nelayan dalam pengawasan sumber daya perikanan.

Terkait kasus pencurian ikan sendiri, Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Susi Pudjiastuti mengatakan pihaknya akan melakukan pengawasan intensif melalui berbagai cara. Selain dengan kewajiban memasang VMS (Vessel Monitoring System), pencurian ikan juga dilacak via satelit.

“Kita itu tahu apa yang mereka lakukan, selama ini dipikir oleh mereka, kita tidak melihat ini. Pemain pemain ini pikir kita tidak tahu, mereka pikir kita yang tahu hanya VMS (Vessel Monitoring System) saja,” kata Susi di kantor KKP, Jakarta, Jumat (21/11) kemarin.

KKP memiliki alat pendeteksi atau sistem monitoring data (VMS) dan citra satelit radar. Sehingga bisa mengetahui berapa banyak kapal asing yang berada di perairan. “Kita bisa melihat orang yang kita lakukan di laut kita,” sebutnya.

Ia mengakui segala keterbatasan untuk menindaklanjuti aktivitas pencurian ikan di laut Indonesia. “Cuma kita nggak punya kemampuan untuk menangkap semuanya. Itu persoalannya,” tegasnya.

Menurutnya persoalan ini harus segera diakhir, ia optimistis dengan kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). “Apakah kita akan diam dengan gambar-gambar ini? Kan tidak. Makanya kalau Perintah Presiden seperti itu, ya kita harus laksanakan. Kalau kita harus terus menerus menanggapi dan mengawasi itu tidak mungkin. Paling hebat makanya efek jera, dan itu UU,” papar Susi. (dtc)

Redaktur : Muhammad Agung Riyadi

Sumber: http://www.gresnews.com/berita/detail-print.php?seo=1402211-pemerintah-didesak-nelayan-dan-perempuan-nelayan-tradisional