Posts

Penolakan Reklamasi Pantai Minanga oleh PT. Tj Silfanus

PERNYATAAN SIKAP

Sejak 1 Agustus 2022, PT. TJ Silvanus mulai melakukan aktivitas reklamasi di Pantai Minanga, Kelurahan Malalayang 1 Barat, Kecamatan Malalayang, Kota Manado. Terkait dengan rencana kegiatan reklamasi ini, warga telah beberapa kali mengikuti pertemuan dan pembahasan baik secara internal maupun eksternal, langsung maupun tidak langsung.

Hasil berbagai pertemuan tersebut bukan membuat terang apa yang menjadi pertanyaan-pertanyaan, kekawatiran, dan keberatan warga, sementara itu penimbunan terus dilakukan siang dan malam hari. Beberapa kali keberatan warga atas pelaksanaan reklamasi dinyatakan di lapangan baik lewat kelompok maupun melembaga, dan ada juga yang disampaikan terbuka melalui media sosial. Semuanya tidak digubris dan warga terus dibuat bingung dan pasrah menerima semua dampak negatif akibat pekerjaan reklamasi.

Pantai Minanga merupakan bagian penting kehidupan masyarakat sejak dahulu, menghubungkan daratan serta pemukimannya  dengan laut, lokasi pemancingan dan tambatan perahu nelayan, wilayah rekreasi masyarakat dan aktivitas wisata penyelaman. Potensi bawah laut Pantai Minanga terus dijaga sebagai titipan leluhur untuk dijaga dan dikembangkan demi kesejahteraan warga sekarang dan generasi masa akan datang.

Sejak 13 Agustus 2022, kehadiran penegak hukum lingkungan (Gakkum Kementerian Lingkungan Hidup), warga semakin bingung ada apa dengan aktivitas reklamasi yang berlangsung. Penegak hukum yang lain yakni PSDKP (Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan) bersama BPSPL (Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut) Kementerian Kelautan dan Perikanan juga kemudian terlihat melakukan aktivitas penyelamaan di lokasi reklamasi pada tanggal 1 September 2022. Sesuatu yang kemudian diketahui bahwa aktivitas reklamasi telah merusak terumbu karang, dan itu dilakukan secara sengaja bahkan di luar wilayah yang diklaim PT. TJ Silfanus “berizin”. Belum lagi soal dokumen izin dasar PKKPPRL (Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut) sebagai sebuah kewajiban sebagaimana diamanatkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28 Tahun 2021 yang belum dimiliki oleh pengembang.     

Warga menunggu sikap tegas penegak hukum, tetapi ternyata aktivitas reklamasi tetap berjalan dengan intesitas yang dipercepat hingga Rabu 14 September 2022. Warga sadar jangan-jangan ini yang disebut-sebut bahwa pengembang sangat kuat sehingga peraturan perundang-undangan bisa dilanggar dan penegak hukum terkesan sulit bertindak. Semestinya, perusakan segera dihentikan dan pelaku diproses secara hukum.

Dampak reklamasi bersifat permanen sehingga sekali itu terjadi maka tidak ada peluang untuk memperbaiki. Dengan apa yang terjadi di awal kegiatan reklamasi maka semestinya Pemerintah segera mengambil tindakan tegas dengan membatalkan seluruh perizinan yang diberikan kepada PT. TJ Silfanus, baik oleh karena pelanggaran yang telah dilakukan maupun terhadap potensi kerugian dan derita yang akan dialami warga ke depan.

Cukup sudah kerugian yang dialami warga selama aktivitas reklamasi berlangsung. Kami tidak rela Pantai Minanga hilang, nelayan harus tetap melaut, layanan alam Pantai Minanga harus tetap dinikmati, dan biarkan kami terus menjaga, merawat dan memanfaatkan secara bijaksana Pantai Minanga sebagaimana diajarkan orang tua dan leluhur kami. Jangan usik dan rampas ketenangan dan kedamaian kami. Terhitung mulai hari ini, 15 September 2022, tidak boleh ada lagi aktivitas reklamasi yang merusak Pantai Minanga.

 

MASYARAKAT DAN NELAYAN TRADITIONAL YANG MENOLAK

SOP Mitigasi Bencana dan Evakuasi Serta Kesiap Siagaan Bencana Gempa Bumi dan Tsunami

Download SOP-Mitigasi dan Evakuasi Bencana Gempa Bumi dan Tsunami

KIARA-SOP MITIGASI dan EVAKUASI BENCANA ALAM

 

Kisah Cerita Bencana Alam dan Pesan Anak-Anak dari Pantoloan Sulawesi Tengah

https://www.youtube.com/watch?v=W9syeF4oXVk

 

Kapan Nelayan Indonesia Sejahtera?

CATATAN KIARA TERHADAP KEPEMILIKAN PULAU-PULAU KECIL DI KABUPATEN KEPULAUAN SERIBU

Oleh: Susan Herawati

Kepemilikan pulau-pulau kecil di Kabupaten Kepulauan Seribu adalah tragedi. Menunjukkan untuk kesekian kalinya kelemahan pemerintah di hadapan kuasa modal. Meski ada ribuan warga yang menghuni kepulauan tersebut, bahkan secara sah melalui proses peradilan memenangkan gugatan atas kuasa pengelolaan pulau- pulau di Kabupaten Kepulauan Seribu, tak lantas membuat mata pemerintah terbuka.

Upaya melindungi segenap warga, baik atas nama kemanusiaan maupun hak dan legalitas tak menunjukkan pemihakan. Sebaliknya, seperti di banyak tempat, paradigma dan kebijakan publik pemerintah jauh dari upaya dan kesadaran tugas utama mereka sebagai bagian dari negara untuk mensejahterakan rakyat dan melindungi warganya dari penetrasi modal kapitalisme dalam banyak rupa dan wujudnya. Maka alih-alih menyelesaikan sengketa di ranah agrarian di wilayah Kepulaun Seribu dengan pemihakan kepada warga, pemerintah justru memberikan legitimasi terhadap kepemilikan pulau-pulau kecil ini. Tragedi nyata dimulai dari situ.

Pusat Data dan Informasi KIARA (2018) mencatat, sebanyak 86 pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu telah dimiliki, baik oleh perorangan maupun lembaga tertentu (data terlampir).  Kepemilikan  pulau-pulau  kecil  ini memiliki  dampak  yang  sangat  serius bagi keberlangsungan hidup lebih dari 3.375 orang nelayan di Kabupaten Kepulauan Seribu.  Total  kapal  yang  digunakan  oleh  3.375  orang nelayan  sebanyak  1.380  unit, dimana  1.194 adalah  kapal-kapal  berukuran  0-5  GT  dan  186  berukuran  5-10  GT. Dengan  kata  lain,  seluruh  nelayan  di Kabupaten  Kepulauan  Seribu  merupakan nelayan tradisional.

Lalu apa dampak dari privatisasi pulau-pulau ini? Pertama: Terampasnya ruang hidup nelayan. Sebagaimana diketahui, nelayan adalah kelompok masyarakat yang hidupnya sangat tergantung kepada sumberdaya kelautan dan perikanan. Privatisasi pulau-pulau, mendorong para investor untuk melakukan proteksi terhadap pulau dan perairannya atas nama keamanan. Padahal, kawasan itu adalah wilayah tangkapan nelayan sejak lama. Contoh yang paling nyata adalah sulitnya nelayan-nelayan di Pulau Pari untuk melintas dan mengakses sumber daya kelautan dan perikanan di Pulau Tengah serta kawasan perairannya, yang telah dimiliki oleh Hengky Setiawan. Sejak lama, Pulau dan kawasan perairannya adalah tempat nelayan mencari ikan.

Kedua, pulau yang telah dimiliki menjadi kawasan yang sangat privat. Dalam kondisi ini, pulau-pulau kecil yang telah dimiliki tertutup untuk masyarakat. Harga mahal dari kecenderungan watak kapitalisme harus dibayar mahal “wong cilik”.

Karena sedemikian tertutupnya, maka tak jarang ada sejumlah nelayan yang dikriminalisasi karena memasuki kawasan perairan pulau tersebut atau nelayan tersebut melawan kepemilikan pulau-pulau tersebut. Kriminalisasi ini jelas-jelas dialami oleh enam orang nelayan pulau pari yang kini harus berurusan dengan hukum karena mereka melawan kepemilikan Pulau Pari.

Dampak buruk terus dirasakan nelayan di Kabupaten Kepulauan Seribu dengan adanya proyek Pembangunan Kawasan Srategis Pariwisata Nasional (KSPN) yang menetapkan Kepulauan Seribu menjadi salah satu kawasan KSPN. Kondisi pulau- pulau yang telah diprivatisasi ini dianggap menjadi prakondisi yang baik untuk kelancaran proyek KSPN ini.

Hilang  akses  pada  sumber  kehidupan  terutama  ekonomi  berdampak  faktual  pada kemiskinan.  Privatisasi  pulau-pulau  di  Kabupaten   Kepulauan  Seribu  juga  turut berkontribusi terhadap kemiskinan di kawasan ini. Data BPS tahun 2017 mencatat, Kabupaten    Kepulauan    Seribu    merupakan    kawasan    termiskin    di    Kawasan Jabodebatek,  dimana  hampir  3000  orang  hidup  dalam  kondisi  miskin.  Salah  satu penyebabnya   adalah   hilangnya   akses   dan   kontrol   terhadap   sumberdaya   alam, khususnya sumberdaya kelautan dan perikanan.

Pengabaian Konstitusi

Persoalan  ini  pernah  diliput  oleh  sejumlah  media  besar  pada  tahun  2006,  seperti Gatra  dan  beberapa  media lain.  Namun,  pada  tahun  2006  lalu,  Indonesia  belum memiliki perangkat hukum yang bersifat sektoral dan operasional, sehingga persoalan kepemilikan pulau-pulau ini miskin perspektif, selain dari menggunakan UUD 1945 yang sangat bersifat umum.

Namun hari ini, Indonesia memiliki sejumlah perangkat hukum yang sangat spesifik mengatur persoalan ini, diantaranya sebagai berikut: pertama, UU 27 Tahun 2007 dan revisinya UU 1 Tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Di dalam pasal 63 UU ini disebutkan: (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban  memberdayakan  masyarakat  dalam  meningkatkan  kesejahteraannya.

Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban mendorong kegiatan usaha masyarakat melalui peningkatan kapasitas, pemberian akses teknologi dan informasi, permodalan, infrastruktur, jaminan pasar, dan aset ekonomi produktif

Kedua, putusan MK No. 3 Tahun 2010 yang menyatakan: 1) Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki hak untuk melintas dan mengakses laut; 2) Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki hak untuk mendapatkan perairan yang bersih dan   sehat;   3)   Masyarakat   pesisir   dan   pulau-pulau   kecil   memiliki   hak   untuk mendapatkan  manfaat  dari  sumberdaya  kelautan  dan  perikanan;  4)  Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki hak untuk mempraktikkan adat istiadat dalam mengelola laut yang telah dilakukan secara turun temurun.

Ketiga,  UU  No.  7  Tahun  2016  tentang  Perlindungan  dan  Pemberdayaan  Nelayan, Pembudidaya  Ikan,  dan  Petambak  Garam.  Di  dalam  pasal  3,  mandat  Pemerintah terhadap nelayan dinyatakan sebagai berikut:

  1. menyediakan prasarana dan sarana yang dibutuhkan dalam mengembangkan usaha;
  2. memberikan kepastian usaha yang berkelanjutan;
  3. meningkatkan kemampuan dan kapasitas Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam; menguatkan kelembagaan dalam mengelola sumber daya Ikan dan sumber daya kelautan serta dalam menjalankan usaha yang mandiri, produktif, maju, modern, dan berkelanjutan; dan mengembangkan prinsip kelestarian lingkungan;
  4. menumbuhkembangkan sistem dan kelembagaan pembiayaan yang melayani kepentingan usaha;
  5. melindungi dari risiko bencana alam, perubahan iklim, serta pencemaran; dan
  6. memberikan jaminan keamanan dan keselamatan serta bantuan hukum

Saat   ini,   Pemerintah   provinsi   DKI   Jakarta   tengah   menyusun   RZWP3K   yang merupakan mandat dari UU 1 tahun 2014. Melalui RZWP3K, seharusnya pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan reorientasi terhadap penguasaan serta pengelolaan sumberdaya  kelautan  dan  perikanan  di  Kabupaten  Kepulauan  Seribu  yang  sesuai dengan mandat putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2010. Inilah yang harus menjadi jangkar utama perumusan RZWP3K.

Namun, fakta-fakta di lapangan menunjukkan bahwa RZWP3K disusun untuk melanggengkan ketidakadilan penguasaan dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di Kabupaten Kepulauan Seribu. Dengan kata lain, pengaturan ruang laut melalui RZWP3K justru akan melegitimasi kepemilikan pulau-pulau yang selama terbukti meminggirkan kehidupan nelayan. Di dalam Rancangan RZWP3K, kawasan untuk pemukiman nelayan di Kepulauan Seribu tidak diberikan ruang. Selain itu, kawasan perikanan tangkap, hanya dialokasikan di beberapa titik, yaitu: Perairan kepulauan Seribu Utara, Perairan kepulauan Seribu Barat, Sebelah barat Pulau Pari, dan Pulau Putri bagian Timur. Adapun kawasan lainnya diperuntukkan untuk kepentingan pariwisata, konservasi, dan zona lainnya.

Jika menggunakan tiga perangkat hukum yang disebutkan di atas, maka rancangan RZWP3K ini tidak sejalan alias bertentangan. Karenanya penyusunan RZ harus dievaluasi total dan diarahkan untuk sebesar-besar kemakmuran nelayan di Kabupaten Kepulauan Seribu khususnya juga di Kawasan pesisir di banyak wilayah lainnya di indonesia.

Tragedi

Secara umum masalah nelayan dan agrarian di wilayah pesisir tidak hanya menjadi beban Pemerintah Provinsi DKI, tapi juga menjadi beban ekonomi politik yang harus mendapat perhatian utama negara. Tentu, entah sejak kapan dan akan sampai kapan, kelompok nelayan laki-laki dan perempuan adalah kantung utama kemiskinan di indonesia.

Bijak untuk tidak memberantas nelayan miskin dengan menghilangkan akses kehidupan ekonomi politik mereka melainkan tentu saja akar dan masalah struktural kemiskinan nelayan yang harus diselesaikan. Jika tidak, dan masalah ini dibiarkan, kita tak ubahnya anak yang lalai pada ibu pertiwinya, bukankah kita adalah anak-anak dari nenek moyang pelaut? Haruskan nelayan mati kelaparan karena miskin di lautnya sendiri? Sungguh sebuah tragedi!(*)

*) Susan Herawati—Sekjend KIARA

Ratna Sari Keliat: Mengharmonisasikan Manusia dan Hutan Mangrove

Masyarakat pesisir di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, telah melewati jalan panjang menolak ekspansi perkebunan sawit di atas hutan mangrove seluas 1.200 hektar. Perkebunan sawit membuat pendapatan nelayan menurun drastis dan merampas akses nelayan terhadap sumber penghidupan.

Sejak tahun 2012, KIARA bersama dengan KNTI Kabupaten Langkat berjuang mengembalikan fungsi hutan mangrove seperti semula. Perjalanan panjang membuahkan hasil, seluas 1.200 hektar lahan yang telah dikonversi menjadi kebun sawit kembali difungsikan sebagai hutan mangrove oleh nelayan di Langkat, Sumatera Utara. Sedikitnya 400 hektar lahan telah ditanami ratusan ribu mangrove, baik secara swadaya maupun mendapat bantuan dari pihak-pihak lain.

Hingga hari ini, penanaman secara berkala terus dilakukan bersama dengan nelayan dan perempuan nelayan di Kabupaten Langkat. Menariknya, perempuan nelayan memiliki peran penting dalam pengelolaan wilayah pesisir, khususnya Kabupaten Langkat.

Perempuan Penggerak

Suhu di Langkat, Sumatera Utara, mencapai 33 derajat celcius, panasnya udara tidak menghentikan langkah Ratna Sari Keliat untuk menaiki sampan menuju Desa Perlis. Sepanjang mata memandang, pohon mangrove berjajar rapi. Burung Kuntul Kecil (Egretta garzetta) terlihat dari kejauhan, konon sewaktu alih fungsi hutan mangrove terjadi, burung Kuntul Kecil ini seperti hilang ditelan bumi.

Ratna Sari Keliat, perempuan kelahiran Desa Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, telah hidup dekat dengan pesisir. Kehidupan nelayan dan dinamika yang dihadapi menjadi salah satu faktor yang menggerakkan hatinya untuk berjuang bersama nelayan.

Dulu, saya sering mendengar nelayan mengeluh. Hasil tangkapan sulit, bahkan pernah ada yang hanya mendapatkan Rp 15.000 perhari. Dari situ saya sendiri sadar nelayan itu membutuhkan keberadaan hutan mangrove, mangrove pun butuh pengelolaan yang arif oleh manusia,” ujar Ratna.

Di sisi lain, Ratna terus menyaksikan banyaknya nelayan yang beralih profesi menjadi tukang ojek ataupun merantau ke Jakarta dan sampai ke negeri orang. Sebelum ada konversi hutan mangrove, lebih dari 10 orang warga menjadi pencari madu lebah. Namun, setelah hutan mangrove dibabat habis, para pencari lebah kehilangan mata pencaharian.

Kesadaran mulai tumbuh di hati Ratna, ia mulai merasakan apa yang dirasakan oleh nelayan dan perempuan nelayan. Sejak tahun 2015, Ratna mulai terlibat dalam kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat. Ia terus berupaya memastikan masyarakat terdidik dan memiliki pendapatan yang lebih pasti.

Sewaktu mangrove ditebang, kami menangis. Habislah hidup kalau terus dibabat pohonnya, dari situ saya mulai berpikir bagaimana caranya mendorong nelayan untuk mandiri dan sejahtera. Kebetulan saya menjadi penghubung saat itu,” kata Ratna.

Berjejaring

Pada tahun 2015, Ratna menginisiasi dua kelompok perempuan nelayan yang bergabung di bawah payung PPNI, yaitu Tani Abadi Mangrove di Lubuk Kertang dan Mutiara Bahari di Perlis. Menginisiasi gerakan perempuan nelayan bukan perkara mudah, namun tantangan membangun kelompok yang baik diimbangi dengan upaya membangun komunikasi yang baik antara anggota adalah kebahagiaan tersendiri.

Kelompok yang dibina oleh Ratna digerakkan untuk terlibat aktif dalam mendorong kemandirian melalui pelatihan-pelatihan. Salah satunya adalah pelatihan mengolah mangrove bersama dengan Muara Tanjung/PPNI Serdang Bedagai dengan difasilitasi oleh KIARA dan Dompet Dhuafa.

Pasca, pelatihan kelompok perempuan nelayan yang dibina oleh Ratna mulai diakui dan difasilitasi oleh pemerintah daerah. Salah satunya adalah dengan fasilitas kapal dari Pemerintah Daerah untuk kelompok nelayan. Di sisi lain, perempuan nelayan mendapatkan fasilitas alat produksi.

Ini salah satu bentuk upaya membantu saudara dan saudari saya, terlalu sering saya mendengar nelayan mengeluh kesulitan mendapatkan penghasilan. Ketika mereka mendapatkan fasilitas APBN/APBD, saya senang sekali,” cerita Ratna membanggakan capaian masyarakat.

Implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam yang adil menjadi harapan bagi 2,2 juta nelayan Indonesia. Ratna Sari Keliat pun mengharapkan implementasi UU tersebut dapat menghadirkan kesejahteraan nelayan yang ada di Langkat. Tak terkecuali bagi perempuan nelayan.

Mendorong Kemandirian

Ratna sadar jika ia bukan seorang nelayan, namun kepeduliannya  mendorong dirinya untuk terlibat dalam mewujudkan cita-cita kemandirian perempuan nelayan. Saat ini, setidaknya lebih 5 produk mulai diproduksi oleh perempuan nelayan di Langkat. Dari produk yang dihasilkan, perempuan nelayan mulai mendapatkan pendapatan yang cukup.

Hari ini, perempuan menjadi lebih mandiri, mereka memiliki pendapatan tambahan dan cukup untuk jajan anak-anak. Selain itu, perempuan nelayan di sini sudah memiliki posisi yang lebih baik dalam diskusi-diskusi pengambilan keputusan di kampung,” tambah Ratna.

Burung Kuntul Kecil yang sudah mulai datang ke hutan mangrove, menjadi penanda ekosistem di Langkat berangsur pulih. Ratna selalu percaya, mangrove dan manusia memiliki hubungan erat. Manusia menjaga pesisir dan sumber daya pesisir akan memberikan kebaikan kepada masyarakat. Hari ini, Ratna masih memiliki mimpi besar untuk perempuan nelayan. Ia berharap perempuan nelayan dapat diakui oleh negara, yang artinya perempuan memiliki posisi politis yang dilindungi oleh negara.

Perempuan nelayan sudah berkontribusi banyak dalam memenuhi kebutuhan pangan bangsa, mencerdaskan generasi muda, dan menjaga pesisir menjadi lestari, maka selayaknyalah perempuan nelayan diakui oleh negara,” harap Ratna Sari Keliat.*** (SH)

Norng Limheang: Pemimpin Perempuan Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dari Kamboja

Dalam adat Lamalera, Nusa Tenggara Timur, laut bak seorang ibu. Laut yang diumpakan seorang ibu selalu menjaga anak-anaknya, memberikan makanan terbaik, dan memastikan anak-anaknya tumbuh menjadi generasi cerdas dengan mengonsumsi ikan. Relasi satu-kesatuan antara manusia dan laut tidak dapat dipisahkan begitu saja. Sama halnya kehidupan Norng Limheang, perempuan nelayan dari Kamboja.

Di dalam “South East Asia Fisherwomen Symposium and Festival” yang dilaksanakan pada tanggal 29-30 Desember 2015 di Jakarta, Norng Limheang terbang dari negaranya dan turut bergabung dengan perempuan nelayan dari Indonesia, Filipina, dan Malaysia. Kehadirannya bukan hanya untuk menjalin persaudaraan antara sesama perempuan nelayan, ia juga ingin belajar bagaimana perempuan nelayan terus mendorong kemandirian dan kesejahteraan bagi keluarga-keluarganya.

Dari Desa Nesat

Norng Limheang berusia 43 tahun. Ia memang tidak terlalu tinggi, namun dari postur tubuhnya terlihat ia terbiasa bekerja keras. Norng berasal dari sebuah desa pesisir, kampung Nesat, Chroy Svay Commune, Kabupaten Sre Ambel, Provinsi Koh Kong, Kamboja.

Awalnya Norng hanya perempuan nelayan biasa, hidupnya terus berkelindan dengan hal-hal yang berbau pesisir. Dari pagi ia sudah sibuk mengurus kebutuhan melaut, mengurus anak, dan menjual hasil tangkapan. Namun, seiring dengan berjalannya waktu kesadaran pentingnya untuk beroganisasi pun tumbuh.

Sebagai perempuan pesisir, awalnya ia tidak memiliki keberanian untuk membagi ide dan gagasannya. Bahkan untuk bercerita di depan kawan-kawannya pun ia masih kesulitan dan malu. Namun, kegigihannya untuk mewujudkan mimpi, ia mulai mendorong dirinya untuk berani bertindak dan berbicara di dalam forum-forum strategis.

Norng berpikir, perempuan nelayan sebaiknya berorganisasi. Jika kita bermimpi tentang sesuatu hal yang besar, maka kita perlu banyak tangan untuk mendorong mimpi itu menjadi kenyataan. Hal tersebutlah yang menggerakkan Norng untuk mulai berorganisasi pada tahun 2005.

Norng terlibat aktif dalam segala aktivitas yang mendorong kehidupan nelayan lebih mandiri dan sejahtera. Salah satunya adalah keterlibatannya dalam pengembangan masyarakat berkenaan dengan pengelolaan wilayah pesisir. Norng menjadi salah satu aktor kunci dalam merehabilitasi sungai yang berada di tempat tinggalnya.

Dalam hatinya, Norng selalu percaya perubahan harus dibuat hari ini. Sembari berburu dengan waktu, perubahan di tingkat masyarakat harus didorong dengan komitmen bersama-sama masyarakat. Gerakan tidak boleh sepotong-potong, Norng merangkul semua orang untuk bergerak aktif dan memiliki komitmen bersama untuk bersama-sama meraih kehidupan yang lebih baik demi generasi masa depan.

Berjuang

Ada stigma buruk yang hingga saat ini sulit dilepaskan dari nelayan di seluruh Asia Tenggara. Nelayan identik dengan kemiskinan, kebodohan, dan kumuh. Stigma buruk itulah yang ingin Norng lawan, nelayan tidak semuanya bodoh.

Norng dan masyarakat di Kamboja hingga hari ini masih menghadapi permasalahan pendapatan keluarga nelayan. Perubahan iklim membuat nelayan sulit melaut dan pendapatan menurun drastis.
Di saat bersamaan, perempuan kurang memiliki kesempatan berorganisasi. Untuk itulah, Norng mendorong adanya kesempatan yang adil bagi perempuan nelayan.

Norng terlihat seperti perempuan biasa, namun komitmennya dan keberaniannya memimpin masyarakat patut diacungi jempol. Norng mampu menggerakkan komunitas menjaga pesisirnya dari ancaman pengrusakan.
Pada tahun 2008 merupakan awal mula seorang Norng Limheang bertemu dengan Fisheries Action Coalition Team (FACT). Diawali dengan sebuah program yang dilaksanakan di Chroy Svay Commune. Dalam mengembangkan program bersama FACT, peran Norng sangat penting. Hal ini dikarenakan Norng terlibat aktif sejak awal dan terus berbagi ide dan pengetahuan yang dimilikinya. Norng terus meningkatkan kapasitasnya bersama dengan komunitas melalui pelatihan-pelatihan bersama dengan komunitas lain dan pemerintah.

Norng percaya, mengawali gerakan perubahan bukan sekadar wacana. Artinya, butuh upaya konkrit dan perkuat jaringan. Norng bukan hanya memperkuat komunitas, ia pun terus bergandengan tangan untuk mengelola dan menjaga pesisir. Norng yakin bahwa apa yang dilakukannya hari ini mampu memberi kebaikan pada perempuan nelayan dan generasi penerusnya.*** (SH)

Siti Hajar binti Abdul Aziz: Pionir Gerakan Perempuan Nelayan di Malaysia

Perempuan dari Suku Lio, di Kabupaten Ende telah secara turun-temurun berperan sebagai penyimpan hasil panen dan penjaga lumbung (lesu usu wuni kai kebo bela), serta pengelola dapur (tau jila lika banga waja).

Perempuan dari Serdang Berdagai, Sumatera Utara, telah puluhan tahun berjibaku melakukan penyelamatan mangrove secara swadaya. Lebih dari 10.000 batang mangrove ditanam untuk menjaga pesisir dan memastikan perekonomian keluarga nelayan tetap terpenuhi.

Perempuan memiliki peran penting dalam pengelolaan sumber daya alam, perempuan bukan sekadar menjamin kebutuhan gizi keluarganya. Mereka juga berperan memastikan lingkungan dan ekosistem laut tetap lestari.
Di pesisir, perempuan nelayan berperan bukan hanya menjaga lingkungannya tetap terjaga, mereka juga berjwuang memberdayakan perempuan agar tetap mandiri dan sejahtera. Nyatanya, perjuangan memandirikan dan menyejahterakan perempuan nelayan pun dilakukan oleh perempuan nelayan dari Malaysia. Perempuan itu telah berbuat banyak untuk masyarakat pesisir di tempatnya, perjuangannya pun bukan tanpa arah, ia terus memastikan bagaimana perempuan bisa berdikari.

Ide organisasi

Namanya Siti Hajar binti Abdul Aziz, usianya beranjak 31 tahun dan berasal dari Malaysia. Suaminya adalah seorang nelayan dan bergabung di dalam kelompok Inshore Fishermen Welfare Association atau PIFWA. Kehidupan Siti Hajar pun kian dekat dengan pesisir.

“Di tempat saya, banyak juga perempuan ikut pergi melaut, jadi perempuan nelayan memang menjadi bagian penting di dalam kehidupan keluarga,” ungkap Siti Hajar binti Abdul Aziz.

Beranjak 10 tahun pernikahan Siti Hajar, ia mulai gundah melihat bagaimana kehidupan nelayan di daerahnya. Belajar dari pengalaman suaminya dalam berorganisasi, Siti Hajar mulai memahami jika perempuan pun semestinya turut berorganisasi. Ia mengibaratkan organisasi sebuah kendaraan untuk mencapai tujuan.

Tekad Siti Hajar untuk mendirikan dan terlibat dalam kelompok perempuan nelayan kian kuat. Pasalnya Siti Hajar terus menghadapi kesulitan yang dihadapi oleh nelayan di daerahnya. Cuaca buruk, angin kencang yang menyebabkan nelayan tidak bisa melaut secara otomatis membuat pendapatan nelayan turun drastis.

Nelayan di daerahnya pun harus berhadapan dengan maraknya pencemaran dan penangkapan ikan berlebih yang secara langsung membuat stok ikan semakin menurun. Di saat bersamaan, penggunaan trawl pun masih menjadi salah satu kendala yang dihadapi oleh nelayan di daerahnya.

Kondisi nelayan pun diperburuk dengan minimnya infrastruktur bagi nelayan, contohnya fasilitas dermaga yang kurang baik. Penurunan sumber pendapatan kian dirasa perempuan nelayan, karena seringkali suami mereka pulang tanpa hasil yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Memperjuangkan hak

Belajar dari kondisi yang dihadapi, baik oleh nelayan maupun perempuan nelayan, Siti Hajar binti Abdul Aziz turut terlibat ketika PIFWANITA diinisiasi pada tahun 2013. PIFWANITA merupakan kelompok perempuan di bawah Inshore Fishermen Welfare Association – PIFWA.

PIFWANITA beranggotakan 40 orang perempuan dan Siti Hajar merupakan ketua terpilih pertama. Mimpi besar PIFWANITA adalah mendorong pemberdayaan ekonomi perempuan nelayan yang mandiri dan sejahtera.

Perempuan nelayan harus kuat dan bergerak, mereka punya peran besar dan seharusnya didukung oleh semua unsur, seperti pemerintah, CSO, dan lembaga lainnya,” tambah Siti Hajar.

PIFWANITA memiliki beberapa program untuk menyejahterakan perempuan nelayan, di antaranya kampanye, pemberdayaan potensi pesisir berupa mangrove untuk diubah menjadi salah satu ekonomi alternatif keluarga nelayan. Selain itu, PIFWANITA juga terus menyuarakan penyelamatan pesisir dan lingkungan melalui penanaman mangrove.

Siti Hajar pun tidak lupa merangkul generasi muda untuk bergerak bersamanya menjaga pesisir, hal ini terlihat dari salah satu upaya PIFWANITA yang melakukan pendidikan kepada anak-anak dan generasi muda.

Sedari kecil anak-anak harus tahu manfaat pesisir, jika dewasa nanti mereka bisa mencintai pesisir dan terus menjaga keberlanjutannya,” jelas Siti Hajar.

Percaya

Siti Hajar selalu percaya satu hal, perempuan dan alam memiliki relasi integral atau tidak terpisah. Perempuan nelayan memiliki peran penting menjaga pesisirnya tetap lestari, namun pada saat bersamaan potensi yang dimliki oleh alam sepatutnya digunakan secara arif oleh nelayan.

Bersama dengan PIFWANITA, Siti Hajar mulai melirik segala bentuk produk berbahan dasar mangrove. Hal ini berdasarkan dari potensi yang dimiliki dan manfaat mangrove yang beragam. Siti Hajar mengolah mangrove menjadi kue, obat, teh dan lain-lain.

Kami sering diundang oleh pemerintah untuk menunjukkan produk-produk kami,” ucap Siti Hajar senang menceritakan pengalamannya.

Melalui Siti Hajarlah, pengetahuan manfaat mangrove terus digulirkan kepada khalayak umum di Malaysia. Mangrove yang selama ini hanya identik dengan tumbuhan yang tumbuh di pesisir ternyata memiliki beragam fungsi yang bisa dimaksimalkan. Di sisi lain, Siti Hajar dan PIFWANITA mulai mengembangkan pengolahan kerajinan tangan berbahan dasar kerang.

Siti Hajar pun secara intensif membangun komunikasi dengan Sahabat Alam Malaysia (SAM), anggota SEAFish for Justice, agar gerakan perempuan nelayan kian terorganisir.

Banyak rekan-rekan jaringan yang membantu PIFWANITA menjadi besar dan kuat, di antaranya kawan-kawan SAM dan masih banyak lagi. Karena peran jaringan itu penting sekali,” pesan Siti Hajar.

Gerakan perempuan nelayan melalui PIFWANITA didorong menjadi gerakan indepeden di mana perencanaan dan pelaksanaan kegiatan dilakukan oleh perempuan nelayan yang menjadi anggota. Namun, untuk mengembangkan sayap, Siti Hajar pun turut melibatkan instansi pemerintah, seperti Dinas Perikanan, Dinas Kesehatan, dan Dinas Kehutanan.

Siti Hajar pun menjadi peserta aktif pada South East Asia Fisherwomen Symposium and Festival dengan tema “Women and Community Based Coastal Resource Management” yang diselenggarakan oleh KIARA dan SEAFish for Justice pada 29- 30 Desember 2015 di Jakarta.

Siti Hajar percaya perempuan nelayan merupakan agen perubahan di pesisir. Untuk itulah, selayaknya perempuan diakui oleh negara dan menjadi prioritas dalam program pemerintah. Siti Hajar pun percaya, perempuan nelayan adalah sosok yang kuat, mandiri dan selalu berjuang untuk kesejahteraan keluarga nelayan.*** (SH)

Murnihati: Dari Lombok Timur untuk Perempuan Indonesia

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur
-Alinea Kedua Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945-

Negara memegang mandat penting, yakni menyejahterakan kehidupan rakyatnya. Pengharapan yang tertera di dalam Pembukaan UUD 1945 menjadi mimpi rakyat Indonesia: merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Cita-cita besar bangsa ini nyatanya harus terbentur dengan pola perampasan ruang hidup yang masih terus terjadi hingga hari ini. Seperti yang terjadi di Gili Sunut, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 109 keluarga nelayan harus tergusur karena investasi pulau kecil. Ironinya, investasi pulau kecil tersebut dimiliki oleh PT Blue Ocean Resort dari Singapura.

Nelayan kian rentan dengan pemiskinan terstruktur yang dilakukan oleh negara. Hal ini diperburuk dengan adanya kebijakan pro-asing yang menempatkan nelayan dalam kemiskinan.

Berangkat dari kegelisahan yang dihadapi oleh nelayan, seorang perempuan nelayan dari Dusun Jor mulai menggerakkan perempuan di kampungnya untuk mendorong kemandirian nelayan. Kegelisahan yang dipendam merubah dirinya menjadi perempuan yang mampu mendorong perempuan lainnya untuk mulai mengukir kreativitas melawan kemiskinan.

Perempuan sejahtera

Namanya Murnihati, artinya seorang perempuan yang memiliki hati yang baik, murni, seperti mutiara. Murnihati terlahir di desa pesisir, sejauh matanya memandang, ia sering melihat bagaimana kehidupan nelayan lekat dengan kemiskinan.

Ayah bekerja sebagai penjual ikan, jadi tahu bagaimana nelayan suka cerita kehidupan sehari-hari. BBM mahal dan tangkapan susah,” ujar Murnihati.

Murnihati menikah dengan seorang nelayan dan memiliki 4 orang anak perempuan yang jelita. Pengharapannya kian besar seiring dengan buah cintanya yang beranjak dewasa, Murnihati ingin anak-anaknya memiliki hidup yang lebih baik dan sejahtera.

Murnihati kian gelisah, perannya sebagai perempuan nelayan hingga hari ini belum diakui oleh negara. Padahal, perempuan nelayan terlibat aktif dan menjadi aktor penting di dalam aktivitas perikanan skala kecil.

Di dalam perikanan budidaya, misalnya, perempuan nelayan terlibat dari mulai tebar benur, memberi pakan, hingga panen. Di perikanan tangkap, perempuan nelayan terlibat dari mulai suaminya bersiap pergi melaut hingga membantu mengolah atau menjual hasil tangkapan.

Bekerja selama 18 jam perhari itu hal biasa buat kami, tapi ketika bicara siapa kami, kami sering merasa kebingungan. Kami perempuan nelayan, pejuang protein bangsa yang belum diakui Negara hingga detik ini,” tambah Murnihati.

Kesadaran Murnihati tumbuh semenjak ia terlibat pada tahun 2001 dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan di tingkat desa. Ia mulai aktif mengajak ibu-ibu nelayan untuk melakukan perubahan, baik untuk dirinya sendiri dan masyarakat sekitar.

Ambil peran

Murnihati menginisiasi kelompok perempuan nelayan yang diberi nama “Kelompok Pesisir Samudra” dan menggerakkan “Koperasi Nelayan Cemerlang” yang beranggotakan 39 orang. Selain itu, ia juga mendorong perempuan nelayan untuk menciptakan produk, seperti Terasi dan Kerupuk dari Rumput Laut.
Murnihati menyadari geraknya mendorong kesejahteraan perempuan nelayan tidak bisa dilakukan sendiri. Ia butuh ruang yang lebih untuk bergerak, maka pada tahun 2012 Murnihati mulai terlibat di dalam Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI).

Kami ini ibarat ikan yang setiap hari bertumbuh besar, kami butuh ruang yang lebih besar. Untuk itu, kami bergabung dengan PPNI,” jelas Murnihati.

Bagi Murnihati, PPNI menjadi wadah untuk berbagi informasi, memperkuat gerakan dan berbagi suka cita laiknya seorang saudari.

Kami berbagi cerita sedih, cerita gembira, semua dilakukan bersama. Itulah kenapa saya senang betul jika bertemu dengan kawan-kawan PPNI lainnya,” ceritanya.

Murnihati menggerakan perempuan dari pintu ke pintu, menceritakan pengalamannya dengan PPNI dan menuai banyak sekali respon dari perempuan nelayan di tempatnya.

Kalau kita hanya duduk dan menunggu perubahan, itu tidak mungkin terjadi. Tapi kita harus bangkit, mengetuk mereka satu-satu biar bergerak bersama,” ungkap Murnihati.

Murnihati sadar betul, gerakan perempuan yang ada hingga hari ini masih terbilang lambat. Hal ini dikarenakan ruang yang lebih banyak diperuntukkan kepada laki-laki. Untuk itu, Murnihati tanpa kenal lelah terus mengetuk perempuan nelayan untuk bergerak.

Murnihati bersama dengan PPNI dan KIARA terus mendorong negara untuk mengakui perempuan nelayan dan memastikan perlindungan serta pemberdayaan seusai dengan kebutuhan.

Gerakan perubahan dan kreasi terus diukir oleh perempuan nelayan, sekalipun mereka belum diakui oleh negara. Murnihati terus mengetuk pintu-pintu perempuan nelayan untuk bergerak dan melakukan perubahan, kiranya, kapan negara ini mulai tergerak mengakui perempuan nelayan?*** (SH)