KIARA: Sosialisasi Proyek Giant Sea Wall Batal, Bukti Program NCICD Tidak Transparan dan Tidak Layak Dilanjutkan

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.i

KIARA: Sosialisasi Proyek Giant Sea Wall Batal, Bukti Program NCICD Tidak Transparan dan Tidak Layak Dilanjutkan

Jakarta, 30 Oktober 2014. Kementerian Koordinator Ekonomi dalam surat bernomor UND-107/D.VI.M.EKON.1/10/2014 menyampaikan undangan terkait sosialisasi program NCICD yang seharusnya dilaksanakan pada 29 Oktober 2014. Namun, tanpa pemberitahuan yang sesuai ternyata kegiatan tersebut batal. Pembatalan sosialisasi tersebut mengindikasikan ketidaksiapan pemerintah untuk membuka informasi terkait beberapa aspek penting tentang layak tidaknya program NCICD ini dilanjutkan.

Proyek pembangunan Giant Sea Wall atau Tanggul Raksasa Laut yang kontroversial ini termasuk dalam program NCICD (National Capital Integrated Coastal Development). Program yang akan memakan biaya hingga 600 triliun Rupiah ini seharusnya dihentikan karena tidak layak dari berbagai aspek antara lain aspek lingkungan, ekonomi dan sosial masyarakat. Pemerintah selama ini juga terindikasi tidak membuka informasi kepada publik, bahkan masyarakat nelayan di Jakarta Utara yang nantinya akan terdampak oleh proyek Giant Sea Wall ini tidak pernah diajak berdiskusi atau diberikan informasi. Dalam diskusi dengan masyarakat nelayan, KIARA menemukan fakta bahwa masyarakat nelayan menolak proyek Giant Sea Wall ini karena akan mengancam penghidupan mereka baik karena ancaman penggusuran maupun rusaknya ekosistem pesisir sehingga mereka harus melaut lebih jauh lagi.

Keterbukaan informasi dan diskusi seharusnya dilakukan secara terbuka karena program NCICD tersebut masih diragukan efektivitasnya dalam menjawab permasalahan banjir dan berkurangnya ketersediaan bahan baku air minum di Jakarta. Pada 21 Oktober 2014 lalu, KIARA telah mengirimkan surat permohonan kepada BPLHD DKI Jakarta untuk mendapatkan informasi publik terkait KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) dan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) program NCICD ini. Tanpa kajian tersebut, dipastikan proyek Giant Sea Wall tidak layak dan harus dihentikan.

Selain itu, proyek Giant Sea Wall ini potensial menggusur 16.855 nelayan Jakarta baik yang menetap maupun pendatang. Alternatif solusi yang coba disampaikan oleh pemerintah dengan pembangunan rumah susun untuk nelayan sangat tidak relevan. Nelayan tidak mungkin cocok dengan rumah susun karena mereka memiliki perahu dan biasa memperbaiki jaring. Lalu akan ditambat dimana perahu nelayan? Atau bagaimana mereka akan memperbaiki jaringnya di rumah susun? Sementara itu, persoalan banjir dan krisis air yang menjadi ancaman serius bagi keselamatan warga Jakarta tetap tidak terjawab dengan pembangunan bendungan raksasa. Pencemaran 13 aliran sungai yang melewati Jakarta seharusnya diselesaikan dengan memperbaiki sistem drainase dan menghijaukan kembali daerah hulu sungai.

Untuk itu, Pemerintah sudah seharusnya menghentikan rencana pembangunan Giant Sea Wall di Teluk Jakarta. Akan lebih tepat pemerintah segera menjalankan pembangunan kota Jakarta secara partisipatif yang dapat meningkatkan daya dukung lingkungan hidup dan menyelamatkan Jakarta dari bencana ekologis berupa banjir, krisis air dan lain-lain.

Untuk Informasi lebih lanjut dapat menghubungi:

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA di +62 815 53100 259

Empat Kriteria Utama Menteri Kelautan Era Jokowi

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

 

Empat Kriteria Utama Menteri Kelautan Era Jokowi

Jakarta, 18 Oktober 2014. Presiden Jokowi bakal resmi dilantik dalam 3 hari ke depan. Banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan, di antaranya memilih sosok yang tepat untuk menjabat sebagai Menteri Kelautan agar visi poros maritim dunia mampu diejawantahkan.

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengedepankan 4 kriteria utama kepada Presiden Jokowi sebagai panduan dalam memilih Menteri Kelautan, yakni pertama, memahami dan sanggup menjalani mandat UUD 1945 sesuai tupoksinya; kedua, memiliki rekam jejak yang baik; ketiga, memahami persoalan nelayan, perempuan nelayan dan petambak, serta memiliki kesanggupan untuk mengatasinya dalam bentuk program dan alokasi anggarannya; dan keempat, tidak pernah terlibat dalam perumusan kebijakan kelautan dan perikanan nasional yang terindikasi kuat memihak kepentingan asing.

Sebagaimana diketahui, dalam 10 tahun terakhir pemerintahan Presiden Yudhoyono, arah kebijakan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan banyak memihak kepentingan asing, misalnya pembolehan alih muatan di tengah laut (transhipment) dan pengecualian tuna untuk langsung diekspor; pemberian izin lokasi dan izin pemanfaatan pesisir dan pulau-pulau kecil kepada asing seperti yang terjadi di Gili Sunut, Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Persoalan lain yang juga belum teratasi adalah nihilnya sarana mobilisasi warga antarpulau, khususnya di Indonesia bagian timur; pencurian ikan; penggusuran masyarakat pesisir untuk didirikan permukiman mewah dan berbayar; pencemaran laut; dan kapasitas pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan yang lemah dan tumpah-tindih.

Empat kriteria utama di atas harus dipenuhi oleh menteri kelautan periode Presiden Jokowi selama 2014-2019. Pasca dilantik, langkah pertama yang dapat dilakukan adalah melakukan harmonisasi dan mengoreksi kebijakan kelautan dan perikanan yang tidak memihak nelayan dan kepentingan bangsa lebih luas; diikuti dengan perumusan program yang mampu menyejahterakan pelaku perikanan skala kecil/tradisional; dan menempatkan nelayan, perempuan nelayan dan petambak sebagai prioritas kebijakan dan politik anggarannya.***

 

Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:

Abdul Halim, Sekjen KIARA

di +62 815 53100 259

Proyek Giant Sea Wall Rugikan Warga Jakarta

Siaran Pers Bersama

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Jakarta

 

Proyek Giant Sea Wall Rugikan Warga Jakarta

Jakarta, 15 Oktober 2014. Proyek MP3EI, Giant Sea Wall bernilai Rp. 600 triliun yang telah di resmikan pelaksanaannya (groundbreaking) pada tanggal 9 Ok tober 2014 lalu ternyata memiliki banyak masalah serius. Selain akan menggusur ribuan warga dan nelayan, juga tidak dapat menyelesaikan persoalan banjir dan krisis air yang selama ini menjadi langganan bagi warga Jakarta. Lebih dari itu, proyek ini melanggar ketentuan perundang-undangan, karena tidak memiliki izin lingkungan serta tidak berbasis hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).

Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) merupakam cara baru untuk penghancuran sumber daya alam sekaligus memicu bancana ekologis dan menyingkirkan warga dari ruang hidupnya. Giant Sea Wall merupakan bagian dari skema MP3EI setelah pemerintah DKI Jakarta gagal melindungi bisnis properti perumahan dan pergudangan dilahan hasil reklamasi pantai.

Pemerintah tidak pernah secara serius memperhatikan hak-hak nelayan tradisional Jakarta. Dalam pelaksanaan proyek Reklamasi pantai Jakarta seluas 2500 ha, sepanjang tahun 2000-2011, sedikitnya 3.579 Kepala Keluarga nelayan tergusur. Dalam proyek Giant Sea Wall ini sedikitnya 16.855 nelayan akan kembali lagi digusur dari ruang hidup dan ruang usahanya.

Proyek ini sangat merusak ekosistem pesisir Teluk Jakarta. Kerusakan hutan mangrove dan terumbu karang akan menyebabkan bencana ekologis yang lebih besar, antara lain hilangnya ikan di perairan utara Jakarta, mengurangi potensi pariwisata bahari karena rusaknya laut, serta abrasi di pesisir teluk Banten maupun pantai utara Jawa karena tambang pasir untuk pembuatan pulau buatan.

Proyek ini menggunakan jasa konsultasi dan juga pinjaman hutang luar negeri dari Belanda. Hal ini didasarkan pada kemampuan kota Rotterdam untuk mengatasi banjir. Padahal kondisi Belanda dan Indonesia sama sekali berbeda. Belanda yang berada di kawasan sub-tropis tentu karakteristik pesisirnya tidak sama dengan Indonesia yang berada di perairan tropis. Nilai ekologis, ekonomis dan sosial ekosistem pesisir sub-tropis tidak lah setinggi nilai ekosistem pesisir tropis. Oleh karena itu, pendekatan reklamasi dan pembangunan tembok raksasa di Teluk Jakarta juga menjadi tidak relevan dan lemah secara argumentasi ketika harus mengorbankan ekosistem pesisirnya.

 

Beberapa dampak yang akan muncul akibat Pembanguna Giant Sea di teluk Jakarta bagi nelayan di utara Jakarta antara lain:

Isu Penjelasan Perkiraan Dampak
Konsultasi Publik Perwakilan nelayan menyatakan bahwa mereka tidak pernah diinformasikan dan dilibatkan dalam perencanaan proyek GSW. Konflik sosial, penggusuran sebanyak 16.855 nelayan
Degradasi Lingkungan Proyek GSW diyakini akan semakin memperparah pencemaran di Teluk Jakarta, juga menghancurkan ekosistem mangrove dan terumbu karang yang tersisa. Jika ekosistem pesisir rusak, maka tidak akan ada lagi ikan di pesisir sehingga biaya melaut semakin tinggi dan beresiko
Akses Sumberdaya Masyarakat pesisir mempunyai hak dasar untuk mengakses sumber daya alam pesisir. Tetapi hak tersebut terhalang oleh kegiatan pengkaplingan pantai dan reklamasi yang menjadi bagian dari proyek GSW. Perempuan nelayan sebagai tulang punggung kegiatan perikanan tradisional di pesisir utara Jakarta akan semakin sengsara
Relokasi Nelayan Solusi memindahkan kampung nelayan ke rumah susun sangat tidak berpihak pada kepentingan nelayan. Pembangunan kanal sebagai “pintu masuk dan keluar” nelayan untuk melaut justru akan menganggu keberadaan sumberdaya ikan di utara Jakarta. Karakteristik kehidupan nelayan tidak dapat di jauhkan dari laut, dengan merelokasi ke rusun sama halnya dengan membunuh budaya melaut para nelayan.
Pencemaran Belum adanya kajian AMDAL dan studi komprehensif KLHS membuat proyek GSW ini lebih berpotensi mencemari lingkungan daripada penyediaan bahan baku air tawar. Debit air sungai yang melambat akan mempercepat proses pembusukan air sehingga berpotensi menyebarkan penyakit bagi masyarakat nelayan

Sumber: Pusat Data dan Indormasi KIARA, Oktober 2014.

Proyek GSW ini juga akan mengorbankan perempuan nelayan yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga nelayan. Jika proyek yang tak berpihak pada nelayan ini dilanjutkan maka berbagai perkiraan dampak yang telah dijelaskan di atas sangat mungkin menjadi kenyataan. Sumber daya ikan yang hilang di pesisir membuat nelayan harus melaut jauh dari pantai sehingga memakan biaya sangat tinggi dan juga sangat beresiko dalam hal keselamatan melaut.

Belum adanya skema asuransi nelayan membuat perempuan nelayan akan menanggung semua dampak buruk jika kecelakaan laut terjadi. Akibatnya, ekonomi masyarakat nelayan yang sudah memprihatinkan akan membuat perempuan nelayan semakin menderita. Selama ini, perempuan nelayan ikut membantu mengolah ikan secara tradisional, sebuah usaha rumah tangga yang terancam karena proyek GSW tersebut. Pemerintah juga masih belum berpihak dan memberikan perhatian pada perempuan nelayan meski hanya lewat pemberian kemudahan untuk mengakses modal usaha. Sebuah ketidakadilan yang terus dipelihara oleh negara.

Jakarta perlu dibenahi, namun menyelesaikan banjir dan krisis air Jakarta bukan dengan membangun tanggul laut. Salah satu solusi alternative yang dapat dilakukan adalah dengan menjalankan konsep River Dike, seperti yang disampaikan oleh Muslim Muin dari ITB. Juga segera memperbaiki tata ruang Jakarta dan kota di sekitarnya. Lebih baik memperbaiki hulu 13 sungai daripada membendungnya di hilir (teluk Jakarta). Bendungan raksasa memungkinkan menjadi “comberan raksasa” daripada wadah penyedia bahan baku air minum.

 

Untuk Informasi lebih lanjut dapat menghubungi:

  1. Abdul Halim (Sekjend KIARA) di 0815 5310 0259
  2. Muhammad Taher (KNTI Jakarta) di 0813 1481 4823

KIARA: Giant Sea Wall Untungkan Pengusaha Properti, Melanggar Hak Warga dan Merusak Daya Dukung Lingkungan

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

KIARA: Giant Sea Wall Untungkan Pengusaha Properti, Melanggar Hak Warga dan Merusak Daya Dukung Lingkungan

Jakarta, 7 Oktober 2014, Proyek Giant Sea Wall menuai keragu-raguan yang kuat dari banyak pihak baik dari akademisi dan masyarakat sipil untuk membuat bendungan raksasa di teluk Jakarta. Bahkan belakangan wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Putra (Ahok) mulai tidak percaya diri untuk melanjutkan proyek bernilai Rp.250 Triliun lebih tersebut. Keraguan Ahok dapat dipahami setelah melihat langsung kegagalan proyek bendungan laut Semaguem di Korea Selatan. Secara faktual kota tersebut hanya dilalui oleh satu sungai saja dan berakhir dengan kondisi bendungan yang tercemar. Hal tersebut jelas tidak sesuai dengan rencana pemerintah untuk menjadikan Giant Sea Wall yang selain sebagai penahan gelombang juga sebagai tempat penampuangan bahan baku air minum. Kondisi dimana Teluk Jakarta merupakan muara dari 13 sungai akan semakin memperbesar kemungkinan pencemaran di Teluk Jakarta karena proses sedimentasi secara alami yang terganggu.

Belakangan Ahok ingin menjadikan bendungan laut di Rotterdam Belanda sebagai referensi untuk memuluskan proyek yang diklaim bisa mencegah Jakarta dari langganan banjir. Padahal pendekatan “keras” terhadap solusi banjir di wilayah pesisir sudah tidak lagi menjadi trend, bahkan di Belanda sekalipun yang konon sebagian besar wilayahnya berada di bawah permukaan laut. Dalam sebuah tulisan berjudul “The Transition in Dutch Water Management” (van der Brugge, et al, 2005) menyebutkan bahwa pendekatan teknis dengan membangun konstruksi untuk melawan air seharusnya diimbangi dengan pendekatan kolaboratif antara aspek teknis dan sosial serta ekologi. Di Belanda sendiri, pernah terjadi banjir besar pada 1953 yang mengakibatkan kerugian hebat khususnya kota Rotterdam. Tercatat kurang lebih 2000 orang meninggal dan 47.300 rumah hancur disapu banjir.

Dalam buku tersebut juga di sebutkan. Merespon bencana tersebut, dibangunlah dam atau bendungan raksasa yang mengawal pesisir Belanda. Pada perkembangannya, banyak bangunan bersejarah dan ruang hijau yang dikorbankan akhirnya membuat masyarakat melakukan protes (contohnya pada 1970 yaitu proyek Eastern Scheldt Dam di Oosterschelde). Sejak saat itu, pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda adalah mengedepankan konsep adaptasi dibanding mitigasi. Misalnya melalui pembahasan bersama rencana menanggulangi banjir dengan berbagai pihak terkait seperti antar pemerintah, masyarakat, akademisi, pemilik tanah, pengusaha.

Kecendrungan mengadopsi teknologi dengan pendekatan kaca mata kuda dan merusak keseimbangan alam tentu akan merugikan kota Jakarta itu sendiri. Belanda yang berada di kawasan sub-tropis tentu karakteristik pesisirnya tidak sama dengan Indonesia yang berada di perairan tropis. Nilai ekologis, ekonomis dan sosial ekosistem pesisir sub-tropis tidak lah setinggi nilai ekosistem pesisir tropis. Oleh karena itu, pendekatan reklamasi dan pembangunan tembok raksasa di Teluk Jakarta juga menjadi tidak relevan dan lemah secara argumentasi ketika harus mengorbankan ekosistem pesisirnya.

Secara logis, bendungan tentu akan memperlambat debit air yang mengakibatkan pendangkalan sungai-sungai yang bermuara di Teluk Jakarta. Akibatnya, biaya yang besar  juga diperlukan untuk normalisasi sungai-sungai tersebut. Belum lagi kemunduran garis pantai yang diakibatkan proses sedimentasi yang berkurang seiring rusaknya hutan mangrove sebagai perangkap alami sedimen dari daratan maupun lautan.

Dari masalah tersebut, pendekatan prinsip kehati-hatian (the precautionary principle) mutlak diberlakukan sebagaimana tercantum dalam prinsip ke 15 dalam Deklarasi Rio tahun 1992 yang juga menjadi landasan dari Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam prinsip tersebut dinyatakan bahwa, “Where there are threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific certainty shall not be used as a reason for postponing cost-effective measures to prevent environmental degradation”.

Prinsip tersebut muncul jika terdapat ancaman kerugian yang serius atau tidak bisa dipulihkan, pengambil keputusan tidak dapat menggunakan kurangnya kepastian atau bukti ilmiah sebagai alasan untuk menunda dilakukannya upaya pencegahan atas ancaman tersebut. Jika pihak yang berwenang tidak mempunyai cukup bukti yang meyakinkan tentang akibat sebuah kegiatan terhadap lingkungan, maka izin kegiatan tersebut tidak boleh dikeluarkan. Intinya, jika pemerintah sebagai pihak yang berwenang tidak memiliki bukti ilmiah bahwa tidak akan ada kerusakan lingkungan yang tak dapat dipulihkan, maka kegiatan tersebut harus kembali pada pertimbangan kepentingan kelestarian lingkungan.

Selain itu, proyek giant sea wall ini potensial menggusur 16.855 nelayan Jakarta baik yang menetap maupun pendatang. Sementara itu, persoalan banjir dan krisis air yang menjadi ancaman serius bagi keselamatan warga Jakarta tetap tidak terjawab. Dengan ongkos pemeliharaan Rp. 1 triliun setiap tahun dan diambil dari uang negara, maka sesungguhnya pemerintah telah melakukan tindakan yang sangat tidak adil dan tidak manusiawi.

Untuk itu, Pemerintah sudah seharusnya menghentikan rencana pembangunan Giant Sea Wall di Teluk Jakarta. Akan lebih tepat pemerintah segera menjalankan pembangunan kota Jakarta secara partisipatif yang dapat meningkatkan daya dukung lingkungan hidup dan menyelamatkan Jakarta dari bencana ekologis berupa banjir, krisis air dan lain-lain.

Untuk Informasi lebih lanjut dapat menghubungi:

Abdul Halim (Sekjend KIARA) di +62815 5310 0259

RUU Kelautan Harus Hilangkan Ego-Sektoral dan Perkuat Upaya Pencegahan Pencemaran Laut

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

 

RUU Kelautan Harus Hilangkan Ego-Sektoral dan Perkuat Upaya Pencegahan Pencemaran Laut

 

Jakarta, 26 September 2014. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menjadwalkan pengesahan RUU Kelautan menjadi Undang-Undang Kelautan pada Jumat (26/09) ini. Intensi pengesahan RUU Kelautan tepat jika arahnya ingin mengatasi pengelolaan sumber daya laut yang selama ini sektoral.

Dalam naskah RUU Kelautan tertanggal 15 Agustus 2014, pembangunan bidang kelautan difokuskan pada 7 (tujuh) sektor utama, yaitu (i) perhubungan laut, (ii) industri maritim, (iii) perikanan, (iv) pariwisata bahari, (v) energi dan sumber daya mineral, (vi) bangunan kelautan, dan (vii) jasa kelautan.

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA mengatakan bahwa, “Egosektoral di bidang kelautan adalah persoalan kronis yang harus dipastikan teratasi dengan lahirnya UU Kelautan. Namun disayangkan masih terdapat pasal karet yang melonggarkan praktek pencemaran laut dengan menyebut prinsip pencemar membayar (polluter pays) dan kehati-hatian di dalam Pasal 40 ayat (3). Semestinya RUU Kelautan ini memperkuat upaya melestarikan laut yang tidak diatur di UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)”.

Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mendefinisikan prinsip pencemar membayar (polluter pays) sebagai “pencemar harus menanggung biaya langkah-langkah untuk mengurangi polusi sesuai dengan tingkat kerusakan yang dilakukan, baik kepada masyarakat atau melebihi dari tingkat yang dapat diterima (standard yang diatur oleh UU PPLH)”. Dengan perkataan lain, RUU Kelautan tidak menjawab persoalan pencemaran laut yang selama ini menjadi ancaman serius bagi laut dan masyarakat pesisir di Indonesia.

Tabel 1. Klausul mengenai Pencemaran Laut UU PPLH dan RUU Kelautan

UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH RUU Kelautan
Pasal 20 ayat (3)

Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan: a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan

b. mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan

 

Pasal 60

Setiap orang dilarang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin.

 

Pasal 61

(1) Dumping sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 hanya dapat dilakukan dengan izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

 

(2) Dumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di lokasi yang telah ditentukan.

 

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan dumping limbah atau bahan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 40

(1)      Pencemaran laut meliputi:

a.       pencemaran yang berasal dari daratan; dan

b.       pencemaran yang berasal dari kegiatan di laut.

(2)      Pencemaran laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terjadi:

a.       di perairan yurisdiksi Indonesia;

b.       dari luar perairan yurisdiksi Indonesia; atau

c.       dari dalam perairan yurisdiksi Indonesia keluar perairan yurisdiksi Indonesia.

(3)      Proses penyelesaian sengketa dan penerapan sanksi pencemaran laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan berdasarkan prinsip pencemar membayar dan prinsip kehati-hatian.

(4)      Ketentuan lebih lanjut mengenai proses penyelesaian dan sanksi terhadap pencemaran laut dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (September 2014), diolah dari Naskah RUU Kelautan tertanggal 15 Agustus 2014 dan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH

Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa ada pembolehan membuang limbah ke media lingkungan, termasuk laut, dengan seizin pemerintah, tanpa partisipasi masyarakat melalui prinsip FPIC (freepriorinformconsent).

Bertolak dari hal di atas, KIARA meminta DPR RI bersama dengan pemerintah untuk menuntaskan pembahasan RUU Kelautan terlebih dahulu, khususnya menyangkut pencemaran laut, dengan memastikan larangan dan sanksi berat bagi  pelaku pencemar laut, sebelum melakukan pengesahan. Karena hal tersebut menyangkut hajat hidup masyarakat nelayan dan mereka yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, seperti yang terjadi di Laut Timor.***

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA

di +62 815 53100 259

 

 

RUU Kelautan Harus Hilangkan Ego-Sektoral dan Perkuat Upaya Pencegahan Pencemaran Laut

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

 

RUU Kelautan Harus Hilangkan Ego-Sektoral dan Perkuat Upaya Pencegahan Pencemaran Laut

 

Jakarta, 26 September 2014. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menjadwalkan pengesahan RUU Kelautan menjadi Undang-Undang Kelautan pada Jumat (26/09) ini. Intensi pengesahan RUU Kelautan tepat jika arahnya ingin mengatasi pengelolaan sumber daya laut yang selama ini sektoral.

Dalam naskah RUU Kelautan tertanggal 15 Agustus 2014, pembangunan bidang kelautan difokuskan pada 7 (tujuh) sektor utama, yaitu (i) perhubungan laut, (ii) industri maritim, (iii) perikanan, (iv) pariwisata bahari, (v) energi dan sumber daya mineral, (vi) bangunan kelautan, dan (vii) jasa kelautan.

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA mengatakan bahwa, “Egosektoral di bidang kelautan adalah persoalan kronis yang harus dipastikan teratasi dengan lahirnya UU Kelautan. Namun disayangkan masih terdapat pasal karet yang melonggarkan praktek pencemaran laut dengan menyebut prinsip pencemar membayar (polluter pays) dan kehati-hatian di dalam Pasal 40 ayat (3). Semestinya RUU Kelautan ini memperkuat upaya melestarikan laut yang tidak diatur di UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)”.

Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mendefinisikan prinsip pencemar membayar (polluter pays) sebagai “pencemar harus menanggung biaya langkah-langkah untuk mengurangi polusi sesuai dengan tingkat kerusakan yang dilakukan, baik kepada masyarakat atau melebihi dari tingkat yang dapat diterima (standard yang diatur oleh UU PPLH)”. Dengan perkataan lain, RUU Kelautan tidak menjawab persoalan pencemaran laut yang selama ini menjadi ancaman serius bagi laut dan masyarakat pesisir di Indonesia.

Tabel 1. Klausul mengenai Pencemaran Laut UU PPLH dan RUU Kelautan

UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH RUU Kelautan
Pasal 20 ayat (3)

Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan: a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan

b. mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan

 

Pasal 60

Setiap orang dilarang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin.

 

Pasal 61

(1) Dumping sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 hanya dapat dilakukan dengan izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

 

(2) Dumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di lokasi yang telah ditentukan.

 

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan dumping limbah atau bahan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 40

(1)      Pencemaran laut meliputi:

a.       pencemaran yang berasal dari daratan; dan

b.       pencemaran yang berasal dari kegiatan di laut.

(2)      Pencemaran laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terjadi:

a.       di perairan yurisdiksi Indonesia;

b.       dari luar perairan yurisdiksi Indonesia; atau

c.       dari dalam perairan yurisdiksi Indonesia keluar perairan yurisdiksi Indonesia.

(3)      Proses penyelesaian sengketa dan penerapan sanksi pencemaran laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan berdasarkan prinsip pencemar membayar dan prinsip kehati-hatian.

(4)      Ketentuan lebih lanjut mengenai proses penyelesaian dan sanksi terhadap pencemaran laut dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (September 2014), diolah dari Naskah RUU Kelautan tertanggal 15 Agustus 2014 dan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH

Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa ada pembolehan membuang limbah ke media lingkungan, termasuk laut, dengan seizin pemerintah, tanpa partisipasi masyarakat melalui prinsip FPIC (freepriorinformconsent).

Bertolak dari hal di atas, KIARA meminta DPR RI bersama dengan pemerintah untuk menuntaskan pembahasan RUU Kelautan terlebih dahulu, khususnya menyangkut pencemaran laut, dengan memastikan larangan dan sanksi berat bagi  pelaku pencemar laut, sebelum melakukan pengesahan. Karena hal tersebut menyangkut hajat hidup masyarakat nelayan dan mereka yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, seperti yang terjadi di Laut Timor.***

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA

di +62 815 53100 259

 

 

Petambak Mendatangi Komisi Yudisial: Hakim Mahkamah Agung Berlaku Adil Dalam Memeriksa Perkara Kasus Dipasena

Siaran Pers Bersama

Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW)

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

Indonesia Human Rights Comittee for Social Justice (IHCS)

 

Petambak Mendatangi Komisi Yudisial: Hakim Mahkamah Agung Berlaku Adil Dalam Memeriksa Perkara Kasus Dipasena

Jakarta, 25 September 2014. Perwakilan Petambak Plasma Udang eks-Dipasena mendatangi Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim agung yang akan ditunjuk dalam memeriksa perkara. Petambak meminta agar Komisi Yudisial memastikan agar majelis hakim tidak mengeluarkan putusan dengan adil dan tidak melanggar kode etik perilaku hakim. Petambak mendatangi KY karena khawatir dampak besar yang akan diterima petambak lainnya. Apabila gugatan wanprestasi yang dihadapi mereka tidak diperiksa dengan adil dan berdampak kalahnya upaya kasasi yang diajukan, maka lebih dari 7.000 petambak lainnya juga akan mengalami nasib yang sama. Menanggung beban hutang yang sama sekali tidak pernah dinikmati.

Saat ini 385 petambak sedang menghadapi gugatan wanprestasi dari PT. Aruna Wijaya Sakti anak perusahaan Central Proteinaprima (PT. AWS/CPP) sejak 2012. Pada tingkat pertama, Majelis Hakim di PN Menggela menerima eksepsi dan menyatakan gugatan PT. AWS/CPP tidak dapat diterima. Sebaliknya pada tingkat banding, pada Pengadilan Tinggi Tanjungkarang di Bandar Lampung mengalahkan Petambak. Masing-masing tingkat tersebutdalam Putusan dengan Nomor: 20/Pdt/2013/PT.TK jo. 01/PDT.G/2012/PN.MGL dan Nomor 21/Pdt/2013/PT.TK jo. 04/PDT.G/2012/PN.MGL.

Kedua putusan PT Tangjungkarang tersebut dalam amar putusan menerima banding dari PT AWS/CPP dan membatalkan putusan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Menggala. Mejelis Hakim Pengadilan Tinggi mengabulkan gugatan dari PT. AWS/CPP dengan menyatakan Perjanjian Kemitraan Inti-Plasma adalah sah secara hukum. Juga menyatakan bahwa Petambak telah melakukan wanprestasi dan Perjanjian Kemitraan Inti-Plasma berakhir dan putus dengan segala konsekuensi dan akibat hukumnya. Majelis hakim telah menyatakan Tergugat masing-masing dalam gugatan dibebani hutang total sebesar lebih dari Rp. 13 miliar (20/Pdt/2013/PT.TK) dan Rp. 13,8 miliar (21/Pdt/2013/PT.TK). Jika tidak mampu membayar hutang masing-masing petambak maka PT. AWS/CPP berhak untuk menjual aset tambak udang milik petambak sebagai kompensasi hutang.

Sebagaimana diketahui, pertambakan Bumi Dipasena terletak di Kecamatan Rawajitu Timur, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung yang terbagi dalam 16 Blok yang terdiri atas 8 kampung. Luas wilayah 16.250 hektar dengan jumlah petambak plasma 7.512 kepala keluarga atau+ 37.560 jiwa termasuk keluarga petambak plasma dan karyawan tetap eks PT. Dipasena Citra Darmaja (PT. DCD) sekitar + 2.500 orang atau +8.500 jiwa anggota keluarga dari karyawan tetap dan outsourcing (tidak tetap) + 3.500 jiwa. Dari fakta tersebut, putusan Mahkamah Agung yang mengalahkan Petambak akan berdampak buruk kepada ribuan petambak udang lainnya yang sedang bergeliat budidaya secara mandiri.

 

Untuk informasi lebih lanjut, silahkan menghubungi:

Nafian Faiz, Ketua Perhimpunan Petambak Udang Windu Dipasena

di +62 811 7227 199

Thowilun, Wakil Ketua Perhimpunan Petambak Udang Windu Dipasena

di +62 812 7238 084

Marthin Hadiwinata, Koordinator Advokasi Hukum dan Kebijakan KIARA

di +62 812 860 30 453

Arif Suherman, Lawyer Committee IHCS

di +62 857 8984 2043/+62 852 6906 0402

 

Bukan Zamannya Indonesia Impor dan Sengsarakan Petambak Garam

Siaran Pers Bersama

Perkumpulan Petambak Garam Indonesia

Biro Pengabdian Masyarakat Pondok Pesantren Annuqayah

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

 

Bukan Zamannya Indonesia Impor dan Sengsarakan Petambak Garam

Sumenep, 18 September 2014.  Sebanyak 11 kelompok petambak garam dari 11 sentra produksi garam kabupaten/kota di seluruh Indonesia telah bermusyawarah mengenai hajat hidupnya dalam Seminar dan Lokakarya Nasional “Garam Indonesia dan Kendala Kesejahteraan Petambaknya” di Pondok Pesantren Annuqayah, Sumenep, pada tanggal 15-18 September 2014. Mereka mendesak Presiden terpilih Jokowi untuk merevisi kebijakan pergaraman menjadi satu pintu, menghentikan praktek impor dan sungguh-sungguh menyejahterakan petambak garam di Indonesia.

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA mengatakan, “Garam adalah komoditas strategis bangsa Indonesia. Membuka kran impor dengan mengabaikan partisipasi petambak garam nasional hanya akan berakibat pada bergantungnya bangsa Indonesia kepada bangsa-bangsa lain. Padahal, garam sebagai salah satu komoditas pangan merupakan hidup matinya sebuah bangsa”.

Data Badan Pusat Statistik (Agustus 2013) menyebut impor garam berasal dari Australia sebesar 128,7 ribu ton atau US$ 5,73 juta, Selandia Baru 143 ton atau US$ 60,3 juta, Jerman 35 ton atau US$ 26,8 ribu, Denmark 44 ton atau US$ 17 ribu dan negara lainnya dengan total 124 ton atau US$ 26 ribu.

Tingginya kuota impor mesti dikoreksi. Apakah kran impor tidak bisa ditutup? Pusat Data dan Informasi KIARA (Agustus 2013) menemukan fakta produksi garam nasional mengalami kenaikan. Dari tahun 2011 sebesar 1,621,594 ton menjadi 2,473,716 ton (2012). Kenaikan ini mestinya menutup kran impor. Di saat yang sama, pemerintah perlu meningkatkan kesejahteraan petani dan buruh tambak garam. Bukan semata urusan produksi, melainkan teknologi, pengolahan, dan pemasarannya.

Sarli, Sekjen Perkumpulan Petambak Garam Indonesia menambahkan, “Tak kalah penting kemudian adalah mengharuskan industri menyerap garam lokal. Apalagi terdapat 3 kementerian yang memiliki kewenangan pengelolaan dan perdagangan garam minus koordinasi, yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan. Ini pula yang harus dikoreksi”.

Garam adalah komoditas strategis bangsa Indonesia. Selain sebagai bumbu penyedap masakan, ternyata garam memiliki banyak kegunaan, di antaranya kesehatan tubuh, kecantikan, dan kebersihan. “Mengingat betapa pentingnya garam bagi kehidupan bangsa Indonesia, maka praktek perbudakan yang terjadi di tambak garam harus ditindaktegas sesuai ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Bentuk perbudakan yang terjadi antara lain: (1) upah di bawa UMR; (2) jam kerja yang melebihi batas tanpa insentif; dan (3) terjadinya tindak kekerasan fisik dan psikis kepada buruh tambak,” tegas Kyai Muhammad Zammiel Muttaqien, Kepala Biro Pengabdian Masyarakat Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-guluk, Sumenep”.

Sebagai negeri yang memiliki garis pantai terpanjang keempat di dunia, tak pantas jika impor terus membanjiri pasar dalam negeri dan menyengsarakan petambak garam nasional.***

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Sarli, Sekretaris Jenderal Perkumpulan Petambak Garam Indonesia

di +62 813 1317 7626

Waji Fatah Fadhillah, Dewan Presidium Perkumpulan Petambak Garam Indonesia

di +62 812 2165 104

Kyai Muhammad Zammiel Muttaqin, Kepala Biro Pengabdian Masyarakat Pondok Pesantren Annuqayah, Sumenep

di +62 811 315 132

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA

di +62 815 53100 259

 

 

 

 

ASEAN Miliki Peran Strategis dalam Mata Rantai Perdagangan Pakan di Asia Tenggara

Siaran Pers

Southeast Asia Fisheries for Justice (SEAFish for Justice)

ASEAN Miliki Peran Strategis dalam

Mata Rantai Perdagangan Pakan di Asia Tenggara

Amsterdam, 10 September 2014. Produksi perikanan budidaya meningkat tiap tahunnya rata-rata 8,8 persen dengan produksi di tahun 2010 sebanyak 59,9 juta ton atau setara USD119 miliar (FAO, 2014). Dalam pada itu, permintaan pakan juga kian tinggi

FAO (2014) mencatat dii tingkat global sebanyak 708 juta ton pakan ternak diproduksi pada tahun 2008. Dari jumlah itu, sebanyak 29,2 juta ton atau 4,1 persen diperuntukkan untuk pakan perikanan budidaya. Angka produksi pakan tersebut mengalami kenaikan 4 kali lipat dibandingkan tahun 1995 sebesar 7,6 juta ton atau rata-rata naik 11 persen per tahun. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi: 51 juta ton di tahun 2015 dan 71 juta ton di tahun 2020.

Abdul Halim, Koordinator Regional SEAFish for Justice mengatakan bahwa, “Dengan populasi seperdua miliar jiwa, Asia Tenggara merupakan tujuan pasar produk pakan dunia. Di samping itu, tingginya populasi juga berimbas kepada besar-kecilnya permintaan atas pakan. Dalam konteks ini, memastikan produk yang ramah lingkungan dan mampu memberikan kesejahteraan kepada produsen skala kecil (nelayan, perempuan nelayan dan pekerja pabrik) dan konsumen harus didorong di tingkat regional melalui ASEAN. Terlebih di level internasional sudah dimulai inisiatif tersebut, seperti Responsible Feed Dialogue yang baru digelar pada tanggal 4-5 September 2014 di Amsterdam, Belanda. Forum ini di antaranya menekankan produk pakan harus terhindar dari praktek perbudakan, IUU fishing, pelanggaran HAM dan diskriminasi”.

Mengacu pada data International Feed Industry Federation, total produksi pakan mencapai 614 metrik ton. Dari jumlah tersebut, Amerika Serikat dan Uni Eropa menyumbang 25 persen dan 70 persen di antaranya dihasilkan oleh Cina dan Brasil. Menariknya, 10 pabrik menyumbang sekitar 65 juta ton per tahunnya di level global. Lebih lanjut, terdapat 15 negara penghasil pakan utama di dunia dan Thailand merupakan negara di Asia Tenggara yang memproduksi pakan hingga 8-9 juta metrik ton per tahun.

Di Indonesia, terdapat sedikitnya 5 pabrik pakan skala besar, yakni Charoen Pokphand, Japfa Comfeed, Sierad Produce, Cheil Jedang dan Wonokoyo. Kelima pabrikan ini memproduksi kebutuhan pakan nasional hingga 65 persen. Di luar itu, kapasitas produksi pakan dalam negeri masih rendah di tahun 2013, yakni sebesar 6,86 juta metrik ton atau masih berada di bawah kapasitas rata-rata negara produsen pakan sebesar 11 juta metrik ton.

“Hal lain yang juga menarik adalah populasi yang tinggi justru tidak berkontribusi positif terhadap tingkat produksi pakan nasional. Contohnya, Cina dengan populasi 1,43 miliar jiwa nyatanya hanya mampu memproduksi 96 juta ton pakan ketimbang Amerika Serikat sebesar 145 juta ton dengan populasi sebanyak 275 juta jiwa. Potret ini menunjukkan: (1) Adanya disparitas kapasitas teknologi antara negara maju dan negara berkembang, termasuk Indonesia dan negara-negara di Asia Tenggara lainnya; (2) Prioritas nasional menyangkut pengembangan industri pakan domestik. Gabungan Pengusaha Pakan Ternak (GMPT) melaporkan bahwa tingkat konsumsi pakan nasional mencapai 12,7 juta metrik ton di tahun 2012 dan meningkat menjadi 13,8 juta metrik ton. Dalam pada itu, ketergantungan impor jagung sebagai bahan pakan di Indonesia juga mengalami kenaikan sebesar 200.000 metrik ton dari tahun 2011, yakni 1,7 juta metrik ton. Persoalan serupa juga dialami oleh Vietnam, Thailand, dan Filipina. Di Indonesia, inilah tantangan Presiden Jokowi,” tutup Halim.***

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Abdul Halim, Koordinator Regional SEAFish for Justice

di +62 815 53100 259

ASEAN Miliki Peran Strategis dalam Mata Rantai Perdagangan Pakan di Asia Tenggara

Siaran Pers

Southeast Asia Fisheries for Justice (SEAFish for Justice)

ASEAN Miliki Peran Strategis dalam

Mata Rantai Perdagangan Pakan di Asia Tenggara

Amsterdam, 10 September 2014. Produksi perikanan budidaya meningkat tiap tahunnya rata-rata 8,8 persen dengan produksi di tahun 2010 sebanyak 59,9 juta ton atau setara USD119 miliar (FAO, 2014). Dalam pada itu, permintaan pakan juga kian tinggi

FAO (2014) mencatat dii tingkat global sebanyak 708 juta ton pakan ternak diproduksi pada tahun 2008. Dari jumlah itu, sebanyak 29,2 juta ton atau 4,1 persen diperuntukkan untuk pakan perikanan budidaya. Angka produksi pakan tersebut mengalami kenaikan 4 kali lipat dibandingkan tahun 1995 sebesar 7,6 juta ton atau rata-rata naik 11 persen per tahun. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi: 51 juta ton di tahun 2015 dan 71 juta ton di tahun 2020.

Abdul Halim, Koordinator Regional SEAFish for Justice mengatakan bahwa, “Dengan populasi seperdua miliar jiwa, Asia Tenggara merupakan tujuan pasar produk pakan dunia. Di samping itu, tingginya populasi juga berimbas kepada besar-kecilnya permintaan atas pakan. Dalam konteks ini, memastikan produk yang ramah lingkungan dan mampu memberikan kesejahteraan kepada produsen skala kecil (nelayan, perempuan nelayan dan pekerja pabrik) dan konsumen harus didorong di tingkat regional melalui ASEAN. Terlebih di level internasional sudah dimulai inisiatif tersebut, seperti Responsible Feed Dialogue yang baru digelar pada tanggal 4-5 September 2014 di Amsterdam, Belanda. Forum ini di antaranya menekankan produk pakan harus terhindar dari praktek perbudakan, IUU fishing, pelanggaran HAM dan diskriminasi”.

Mengacu pada data International Feed Industry Federation, total produksi pakan mencapai 614 metrik ton. Dari jumlah tersebut, Amerika Serikat dan Uni Eropa menyumbang 25 persen dan 70 persen di antaranya dihasilkan oleh Cina dan Brasil. Menariknya, 10 pabrik menyumbang sekitar 65 juta ton per tahunnya di level global. Lebih lanjut, terdapat 15 negara penghasil pakan utama di dunia dan Thailand merupakan negara di Asia Tenggara yang memproduksi pakan hingga 8-9 juta metrik ton per tahun.

Di Indonesia, terdapat sedikitnya 5 pabrik pakan skala besar, yakni Charoen Pokphand, Japfa Comfeed, Sierad Produce, Cheil Jedang dan Wonokoyo. Kelima pabrikan ini memproduksi kebutuhan pakan nasional hingga 65 persen. Di luar itu, kapasitas produksi pakan dalam negeri masih rendah di tahun 2013, yakni sebesar 6,86 juta metrik ton atau masih berada di bawah kapasitas rata-rata negara produsen pakan sebesar 11 juta metrik ton.

“Hal lain yang juga menarik adalah populasi yang tinggi justru tidak berkontribusi positif terhadap tingkat produksi pakan nasional. Contohnya, Cina dengan populasi 1,43 miliar jiwa nyatanya hanya mampu memproduksi 96 juta ton pakan ketimbang Amerika Serikat sebesar 145 juta ton dengan populasi sebanyak 275 juta jiwa. Potret ini menunjukkan: (1) Adanya disparitas kapasitas teknologi antara negara maju dan negara berkembang, termasuk Indonesia dan negara-negara di Asia Tenggara lainnya; (2) Prioritas nasional menyangkut pengembangan industri pakan domestik. Gabungan Pengusaha Pakan Ternak (GMPT) melaporkan bahwa tingkat konsumsi pakan nasional mencapai 12,7 juta metrik ton di tahun 2012 dan meningkat menjadi 13,8 juta metrik ton. Dalam pada itu, ketergantungan impor jagung sebagai bahan pakan di Indonesia juga mengalami kenaikan sebesar 200.000 metrik ton dari tahun 2011, yakni 1,7 juta metrik ton. Persoalan serupa juga dialami oleh Vietnam, Thailand, dan Filipina. Di Indonesia, inilah tantangan Presiden Jokowi,” tutup Halim.***

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Abdul Halim, Koordinator Regional SEAFish for Justice

di +62 815 53100 259