Cina Bergantung Pada Ikan Indonesia

Produksi ikan Cina lebih banyak meski wilayah tangkapnya lebih sempit daripada Indonesia.

JAKARTA- Kegigihan pemerintah Cina membela kapal Hai Fad an Sino yang ditangkap karena mencuri ikan di perairan Indonesia dianggap masuk akal. Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor, Arif Satria, menganalisis, Cina sebenarnya telah mengurangi penangkapan ikan di perairannya sendiri.

“Namun, karena konsumsi ikan warganya begitu besar, mereka beralih mencari ikan di perairan lain. Termasuk ke Indonesia,kata dia ketika dihubungi kemarin.

Disebutkan Arif, kalau Cina terbukti membela Hai Fa, tindakan itu akan membuka aib negara tersebut. Sebab, secara tidak langsung pemerintah Negeri Tirai Bambu itu mengakui bahwa Hai Fa adalah milik perusahaan Cina. “Padahal waktu ditangkap, kan, berbendera Panama. Jadi ada manipulasi,” kata doktor kebijakan kemaritiman lulusan Universitas Kagoshima itu.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, Abdul Halim, juga berpendapat bahwa upaya Cina untuk menegosiasikan Hai Fa tidaklah mengherankan. “Cina akan berusaha dengan segala cara, kata dia. Sebab, menurut Halim, Cina sangat bergantung pada perikanan Indonesia, baik legal maupun ilegal.

Secara legal, Cina adalah importir ikan Indonesia terbesar keempat setelah Amerika Serikat, Jepang, dan Thailand. Hingga November 2014, ekspor ikan Indonesia ke Cina tercatat senilai US$ 122,34 juta.

Sedangkan secara ilegal, kapal-kapal Cina dicurigai banyak mencuri ikan dari perairan Indonesia. Indikasinya adalah produksi ikan tangkap Cina yang mencapai 17,1 juta ton per tahun.

Angka itu dipandang Halim tidak wajar karena panjang garis pantai Cina hanya 14.500 km dengan luas perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE) 877.019 km persegi. Adapun Indonesia yang memiliki garis pantai 95.181 km dan luas ZEE 7,9 juta km persegi hanya menghasilkan produksi ikan tangkap seberat 5,8 juta ton per tahun.

“Laut kita jauh lebih luas, tapi hanya menghasilkan ikan yang lebih sedikit. Pasti ada ikan kita yang dicuri dan diakui sebagai produksinya (Cina), tutur Halim.

Ditemui saat memeriksa 10 kapal asing di Pelabuhan Merauke, Papua, kemarin, Wakil KEtua Satuan Tugas Anti-Illegal Fishing, Yunus Husein, mengatakan Kementerian Kelautan dan Perikanan tengah mematangkan rencana pengenaan pajak kepada eksportir ikan. Langkah ini diambil untuk mendongkrak pendapatan negara.

Selama ini, dia berkata, pengusaha ikan hanya dikenai pajak penghasilan sehingga sumbangannya kepada negara belum besar. “Banyak pengusaha nakal yang menyembunyikan data ekspor dan hasil tangkapan mereka,” ucap Yunus.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, volume ekspor ikan Indonesia pada 2014 turun 5,24% menjadi 639 ribu ton pada 2013. Sedangkan secara nilai, ekspor pada 2014 mencapai US$ 1,108 miliar atau turun 5,6% dari 2013.

Sumber: Koran Tempo, 15 April 2015

Cina Bergantung Pada Ikan Indonesia

Produksi ikan Cina lebih banyak meski wilayah tangkapnya lebih sempit daripada Indonesia.

JAKARTA- Kegigihan pemerintah Cina membela kapal Hai Fad an Sino yang ditangkap karena mencuri ikan di perairan Indonesia dianggap masuk akal. Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor, Arif Satria, menganalisis, Cina sebenarnya telah mengurangi penangkapan ikan di perairannya sendiri.

“Namun, karena konsumsi ikan warganya begitu besar, mereka beralih mencari ikan di perairan lain. Termasuk ke Indonesia,kata dia ketika dihubungi kemarin.

Disebutkan Arif, kalau Cina terbukti membela Hai Fa, tindakan itu akan membuka aib negara tersebut. Sebab, secara tidak langsung pemerintah Negeri Tirai Bambu itu mengakui bahwa Hai Fa adalah milik perusahaan Cina. “Padahal waktu ditangkap, kan, berbendera Panama. Jadi ada manipulasi,” kata doktor kebijakan kemaritiman lulusan Universitas Kagoshima itu.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, Abdul Halim, juga berpendapat bahwa upaya Cina untuk menegosiasikan Hai Fa tidaklah mengherankan. “Cina akan berusaha dengan segala cara, kata dia. Sebab, menurut Halim, Cina sangat bergantung pada perikanan Indonesia, baik legal maupun ilegal.

Secara legal, Cina adalah importir ikan Indonesia terbesar keempat setelah Amerika Serikat, Jepang, dan Thailand. Hingga November 2014, ekspor ikan Indonesia ke Cina tercatat senilai US$ 122,34 juta.

Sedangkan secara ilegal, kapal-kapal Cina dicurigai banyak mencuri ikan dari perairan Indonesia. Indikasinya adalah produksi ikan tangkap Cina yang mencapai 17,1 juta ton per tahun.

Angka itu dipandang Halim tidak wajar karena panjang garis pantai Cina hanya 14.500 km dengan luas perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE) 877.019 km persegi. Adapun Indonesia yang memiliki garis pantai 95.181 km dan luas ZEE 7,9 juta km persegi hanya menghasilkan produksi ikan tangkap seberat 5,8 juta ton per tahun.

“Laut kita jauh lebih luas, tapi hanya menghasilkan ikan yang lebih sedikit. Pasti ada ikan kita yang dicuri dan diakui sebagai produksinya (Cina), tutur Halim.

Ditemui saat memeriksa 10 kapal asing di Pelabuhan Merauke, Papua, kemarin, Wakil KEtua Satuan Tugas Anti-Illegal Fishing, Yunus Husein, mengatakan Kementerian Kelautan dan Perikanan tengah mematangkan rencana pengenaan pajak kepada eksportir ikan. Langkah ini diambil untuk mendongkrak pendapatan negara.

Selama ini, dia berkata, pengusaha ikan hanya dikenai pajak penghasilan sehingga sumbangannya kepada negara belum besar. “Banyak pengusaha nakal yang menyembunyikan data ekspor dan hasil tangkapan mereka,” ucap Yunus.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, volume ekspor ikan Indonesia pada 2014 turun 5,24% menjadi 639 ribu ton pada 2013. Sedangkan secara nilai, ekspor pada 2014 mencapai US$ 1,108 miliar atau turun 5,6% dari 2013.

Sumber: Koran Tempo, 15 April 2015

Disurati Cina Soal Hai Fa, Pemerintah Maju Terus

Rabu, 15 April 2015

TEMPO.CO, Jakarta – Menteri Koordinator Maritim Indroyono Soesilo menyatakan, pemerintah tak akan mundur dalam upaya hukum dalam kasus kapal MV Hai Fa. Meski, ada permintaan negosiasi dari pihak Cina. “Ini proses hukum, kita tidak akan membuka negosiasi,” ujarnya saat dihubungi, Selasa, 14 April 2015.

Indroyono menyatakan, pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan terus menyiapkan materi untuk proses banding atas putusan Pengadilan Negeri Ambon terhadap kapal MV Hai Fa yang hanya divonis denda Rp 200 juta. “Kami terus cari novum baru, termasuk meneliti arsip pajaknya. Kalau bermasalah, kita bisa jerat lewat pajak,” katanya.

Sementara, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim menyatakan langkah Cina yang berusaha bernegosiasi dengan pemerintah soal Hai Fa tidak mengherankan. “Cina akan berusaha dengan segala cara,” katanya.

Menurut Abdul, Cina adalah salah satu negara yang sangat bergantung pada perikanan Indonesia. “Baik secara legal maupun ilegal,” katanya.

Secara legal, Cina adalah importir ikan Indonesia yang terbesar keempat setelah Amerika Serikat, Jepang, dan Thailand. Hingga November 2014, ekspor ikan Indonesia ke Cina tercatat sebanyak US$ 122,34 juta.

Selain itu, menurut Abdul, kapal-kapal Cina juga dicurigainya telah banyak mencuri ikan dari perairan Indonesia. Indikasinya, ia mencatat, produksi ikan tangkap Cina 17,1 juta ton. Padahal garis pantainya hanya 14.500 kilometer dan luas perairan zona ekonomi eksklusifnya hanya 877.019 kilometer persegi.

Jika dibandingkan dengan produksi ikan tangkap Indonesia yang hanya 5,8 juta ton, hasil tangkapan Cina jauh lebih besar dari perairan Nusantara. Padahal, garis pantai Indonesia mencapai 95.181 kilometer dengan zona ekonomi eksklusif mencapai 7,9 juta kilometer persegi.

“Tidak masuk akal bagaimana laut kita yang jauh lebih luas hanya menghasilkan ikan yang lebih sedikit. Pasti ada ikan kita yang dicuri dan diakui sebagai produksinya,” tuturnya.

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengakui ada permintaan negosiasi dari Cina secara rahasia setelah penangkapan kapal MV Hai Fa. Surat permintaan itu datang pada Februari lalu ke Kedutaan Besar Republik Indonesia di Beijing, Cina.

“Orang pemerintah Cina atau siapa saya nggak tahu. Datang ke KBRI Beijing meminta discreet negotiation. Jadi negosiasi jangan dibuka ke umum,” kata Susi di kantornya, Jakarta, Selasa, 14 April 2015.

PINGIT ARIA

Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2015/04/15/092657869/Disurati-Cina-Soal-Hai-Fa-Pemerintah-Maju-Terus

Disurati Cina Soal Hai Fa, Pemerintah Maju Terus

Rabu, 15 April 2015

TEMPO.CO, Jakarta – Menteri Koordinator Maritim Indroyono Soesilo menyatakan, pemerintah tak akan mundur dalam upaya hukum dalam kasus kapal MV Hai Fa. Meski, ada permintaan negosiasi dari pihak Cina. “Ini proses hukum, kita tidak akan membuka negosiasi,” ujarnya saat dihubungi, Selasa, 14 April 2015.

Indroyono menyatakan, pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan terus menyiapkan materi untuk proses banding atas putusan Pengadilan Negeri Ambon terhadap kapal MV Hai Fa yang hanya divonis denda Rp 200 juta. “Kami terus cari novum baru, termasuk meneliti arsip pajaknya. Kalau bermasalah, kita bisa jerat lewat pajak,” katanya.

Sementara, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim menyatakan langkah Cina yang berusaha bernegosiasi dengan pemerintah soal Hai Fa tidak mengherankan. “Cina akan berusaha dengan segala cara,” katanya.

Menurut Abdul, Cina adalah salah satu negara yang sangat bergantung pada perikanan Indonesia. “Baik secara legal maupun ilegal,” katanya.

Secara legal, Cina adalah importir ikan Indonesia yang terbesar keempat setelah Amerika Serikat, Jepang, dan Thailand. Hingga November 2014, ekspor ikan Indonesia ke Cina tercatat sebanyak US$ 122,34 juta.

Selain itu, menurut Abdul, kapal-kapal Cina juga dicurigainya telah banyak mencuri ikan dari perairan Indonesia. Indikasinya, ia mencatat, produksi ikan tangkap Cina 17,1 juta ton. Padahal garis pantainya hanya 14.500 kilometer dan luas perairan zona ekonomi eksklusifnya hanya 877.019 kilometer persegi.

Jika dibandingkan dengan produksi ikan tangkap Indonesia yang hanya 5,8 juta ton, hasil tangkapan Cina jauh lebih besar dari perairan Nusantara. Padahal, garis pantai Indonesia mencapai 95.181 kilometer dengan zona ekonomi eksklusif mencapai 7,9 juta kilometer persegi.

“Tidak masuk akal bagaimana laut kita yang jauh lebih luas hanya menghasilkan ikan yang lebih sedikit. Pasti ada ikan kita yang dicuri dan diakui sebagai produksinya,” tuturnya.

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengakui ada permintaan negosiasi dari Cina secara rahasia setelah penangkapan kapal MV Hai Fa. Surat permintaan itu datang pada Februari lalu ke Kedutaan Besar Republik Indonesia di Beijing, Cina.

“Orang pemerintah Cina atau siapa saya nggak tahu. Datang ke KBRI Beijing meminta discreet negotiation. Jadi negosiasi jangan dibuka ke umum,” kata Susi di kantornya, Jakarta, Selasa, 14 April 2015.

PINGIT ARIA

Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2015/04/15/092657869/Disurati-Cina-Soal-Hai-Fa-Pemerintah-Maju-Terus

Kasus Benjina, Momen Benahi Tenaga Kerja Maritim

Inilahcom, Jakarta – Kasus dugaan perbudakan dalam perusahaan sektor kelautan dan perikanan di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku merupakan momentum bagi pemerintah. Itu guna melakukan pembenahan secara menyeluruh terhadap tenaga kerja maritim.
“Langkah strategis lain yang sangat mendesak dilakukan adalah mengidentifikasi lemahnya kebijakan perlindungan tenaga kerja di sektor perikanan,” jelas Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim di Jakarta, Senin (13/04/2015).

Menurut dia, momentum itu dapat dilaksanakan dengan menyegerakan pembuatan aturan setingkat UU dan merevisi kebijakan yang ada, seperti UU No 16/1964 tentang Bagi Hasil Perikanan dan UU No13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

Sebelumnya, Satuan Tugas Pemberantasan Pencurian Ikan atauIllegal, Unreported and Unregulated Fishing (IUU) menemukan puluhan makam di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku, yang diduga kuburan warga negara Thailand.

“Tim Satgas juga menemukan 77 makam yang sebagian besar ada di Benjina,” kata Ketua TIm Satgas IUU Fishing Mas Achmad Santosa.

Menurut Achmad Santosa, penyebab dari kematian warga negara asing yang ada di dalam makam-makam tersebut tidak diketahui penyebabnya karena pihaknya bukan penegak hukum. Untuk itu, ujar dia, penyebab dari kematian tersebut akan lebih didalami dan diforensik supaya mendapat kejelasan. “Nama-nama yang ada di makam tersebut adalah nama-nama orang Thailand,” kata dia.

Tim Satgas IUU Fishing telah memaparkan berbagai dugaan tindak kejahatan yang dilakukan oleh PT Pusaka Benjina Resources (PBR) yang mencakup beragam kejahatan serius seperti kerja paksa hingga indikasi penyuapan. Ia memaparkan, pihaknya berdasarkan perintah Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti telah memindahkan dan mengamankan sebanyak 322 awak buah kapal (ABK) ke Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan Perikanan KKP di Tual, Maluku.

Sebanyak 322 ABK yang berkewarganegaraan asing tersebut berasal dari beberapa negara, seperti Laos, Kamboja dan Myanmar. Jumlahnya dari Kamboja sebanyak 58 orang, dari Laos sebanyak delapan orang, dan Myanmar sebanyak 256 orang. Pemerintah juga telah membentuk satuan tugas (satgas) baru untuk mengatasi indikasi perbudakan anak buah kapal (ABK) yang terjadi di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku. [tar]

Sumber:

Siaran Pers Kasus Perbudakan Kapal Perikanan

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

 

Kasus Perbudakan Kapal Perikanan

KIARA: Perbudakan di Benjina Pelanggaran Berat,

Cabut Izin Pusaka Benjina Resources

 Jakarta, 13 April 2015. Kasus perbudakan yang dilakukan oleh PT. Pusaka Benjina Resources (PT. PBR) merupakan pelanggaran terhadap Alinea I Pembukaan, Pasal 28G ayat (2), Pasal 28I Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvesi Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Pemerintah harus melakukan penuntutan kepada PT. Pusaka Benjina Resources yang harus bertanggung jawab, baik secara pidana maupun perdata  terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh praktek perbudakan modern. Di samping itu, KIARA juga mendesak pencabutan izin usaha PT. PBR di Indonesia.

Kejahatan yang dilakukan oleh PT. Pusaka Benjina Resouces ini merupakan fenomena gunung es yang perlu segera diselesaikan. Praktek perbudakan dengan penggunaan Nakhoda dan ABK Asing merupakan modus pelaku pencurian ikan yang dilakukan oleh perusahaan perikanan. Terlebih Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan Pasal 29 ayat (1) UU Perikanan menyatakan bahwa, “Usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia hanya boleh dilakukan oleh warga negara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia”. Juga kewajiban mempekerjakan Nakhoda warga negara Indonesia dan 100% anak buak kapal (ABK) dengan kewarganegaraan Indonesia bagi setiap kapal perikanan di wilayah Indonesia (Pasal 35A ayat [1] UU Perikanan).

Praktek perbudakan ini akan berimbas terhadap produk perikanan asal Indonesia. Dalam konteks ini, Indonesia sebagai negara anggota ASEAN harus mendorong kebijakan negara-negara di Asia Tenggara terkait dengan penyelesaian IUU Fishing. ASEAN telah memiliki Regional Plan of Action (RPOA) to Promote Responsible Fishing Practices, including Combating Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing in the Region yang perlu didorong agar negara-negara anggotanya mengatur upaya penghapusan perbudakan, termasuk IUU Fishing, di tingkat nasional.

Praktek perbudakan yang dilakukan PT. PUSAKA BENJINA RESOURCES merupakan dampak buruk dari abainya negara terhadap praktek hubungan kerja antara Nakhoda dan ABK dengan pemilik kapal, termasuk pengusaha perikanan. Permasalahan ini harus segera diselesaikan oleh pemerintah dengan mengatur hubungan kerja dengan empat prioritas utama sebagai berikut:

  1. Mewajibkan adanya perjanjian kerja antara ABK dengan pemilik kapal baik dengan pengusaha atau perusahaan perikanan yang melakukan kegiatan perikanan skala besar (>10 GT), termasuk menjadi bagian dalam perijinan kapal penangkap (SIPI) dan kapal pengangkut (SIKPI).
  2. Memastikan persyaratan minimum hak-hak pekerja atas kondisi kerja yang layak di kapal penangkap ikan berupa persyaratan minimum untuk bekerja di kapal; persyaratan pelayanan kepada ABK; akomodasi dan makanan; perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja; perawatan kesehatan dan jaminan sosial.
  3. Pengakuan terhadap organisasi serikat pekerja dan organisasi nelayan yang akan terkait erat dengan perundingan kolektif mengenai upah minimum, peraturan dan standar minimum.
  4. Indonesia perlu untuk segera meratifikasi Konvensi ILO No. 188 Tahun 2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan.

Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi:

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA, di +62 815 53100 259

Marthin Hadiwinata, Deputi Bidang Advokasi Hukum dan Kebijakan, di +62812 860 30 453

Pemberantasan Pencurian Ikan Harus Secara Terpadu

Sabtu, 11 Apr 2015

MedanBisnis – Tabanan. Pemberantasan tindak pidana pencurian ikan yang terjadi di berbagai titik di kawasan perairan Republik Indonesia harus dilakukan secara terpadu dan mendapatkan dukungan penuh pihak TNI dan Polri.

“Semua upaya pemberantasan “IUU (Illegal, Unreported and Unregulated) Fishing” yang dilakukan KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) tidak ada artinya tanpa dukungan di lapangan dari TNI AL dan Polri,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam rilis KKP yang diterima di Jakarta, Jumat (10/4).

Untuk itu, langkah KKP terkait dengan penanganan kasus Hai Fa juga mendapatkan dukungan anggota Komisi IV DPR yang berencana mengadakan rapat kerja gabungan dengan aparat penegak hukum.

Sejumlah kementerian dan instansi yang akan mengikuti rapat kerja tersebut antara lain Kementerian Perhubungan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan, Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia, TNI Angkatan Laut dan KKP.

Komisi IV DPR juga telah meminta KKP memberikan data secara tertulis kepada berbagai pihak baik yang sudah terbukti maupun masih terindikasi terlibat dalam pencurian ikan di kawasan perairan Indonesia.

Sebelumnya, Menko Polhukam Tedjo Edhi Purdijatno mengatakan pihaknya meminta kepada Presiden untuk menugaskan Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang melakukan fungsi koordinasi.

“Saya meminta kepada bapak Presiden tadi akan diserahkan kepada Bakamla. Jadi semua harus ikut operasi Bakamla,” ujar Tedjo di Jakarta, Selasa (7/4).
Dengan adanya koordinasi yang jelas maka setiap langkah yang dilakukan dalam upaya penanganan pencurian ikan dan penyelundupan ikan dapat dilakukan secara terpadu.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim menegaskan pemberantasan pencurian ikan di perairan Republik Indonesia mesti dilakukan berbagai pihak terkait dengan koordinasi yang baik dan menyeluruh serta jangan ada ego sektoral.

“Pemberantasan praktik pencurian ikan patut dilakukan secara komprehensif, dimulai dengan merevisi kebijakan yang lemah, memperkuat koordinasi antarlembaga dengan menghilangkan ego sektoral, dan melakukan penuntutan dengan dasar hukum yang kuat,” kata Abdul Halim di Jakarta, Senin (6/4).

Untuk itu, menurut Abdul Halim, pemerintah juga harus dapat menyegerakan penyusunan peraturan pemerintah berkenaan dengan partisipasi masyarakat di dalam memerangi praktik “Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing” atau pencurian ikan di Tanah Air.

Sebelumnya, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menginginkan pemberantasan pencurian ikan di Tanah Air dapat dilakukan dengan mendahulukan peningkatan kesejahteraan nelayan yang ada di berbagai daerah.
“KNTI mendesak Pemerintahan Jokowi-JK memperkuat strategi pemberantasan pencurian ikan dengan pendekatan kesejahteraan,” kata Ketua Umum KNTI M Riza Damanik di Jakarta, Minggu (5/4). (ant)

Sumber:

http://www.medanbisnisdaily.com/m/news/read/2015/04/11/157413/pemberantasan-pencurian-ikan-harus-secara-terpadu/

Kasus Benjina Ancam Produk Ekspor Perikanan Indonesia

Jum’at, 10 April 2015

JAKARTA, GRESNEWS.COM – Kasus perbudakan dan penyuapan yang dilakukan PT Pusaka Benjina Resources berbuntut. Tidak hanya menyentuh ranah hukum, kasus Benjina yang juga turut dieskpos media internasional, berpotensi mengancam produk impor perikanan Indonesia.

Kekhawatiran tersebut berlanjut pasca dipublikasikannya laporan investigatif terkait kasus perbudakan Benjina oleh media internasional Associated Press (AP) beberapa waktu lalu. Sekjen Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim mengatakan, jika kasus Benjina tidak segera ditangani melalui jalur hukum, maka dampak serius akan menimpa sektor ekspor perikanan Indonesia. Bahkan, ia khawatir, produksi perikanan yang hendak dikirim pemerintah ke luar negeri berpeluang diboikot negara luar.

“Kemungkinan boikot produk perikanan di pasar internasional bisa terjadi bilamana kasus Benjina tidak segera dituntaskan pemerintah,” kata Abdul kepada Gresnews.com, Jum’at (10/4).

Abdul menuturkan, praktik boikot produk perikanan pernah dialami perusahaan Thailand Charoen Phokpand Foods. Perusahaan milik Thailand tersebut ditengarai melakukan praktik pelanggaran di sektor perikanan sehingga berdampak pada pemboikotan produk ekspor. Abdul berharap, pemboikotan produksi perikanan tersebut tidak sampai dialami oleh Indonesia.

Kekhawatiran serupa juga disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Susi mengaku cemas bilamana kasus Benjina mempengaruhi relasi Indonesia dengan negara-negara tujuan ekspor produk perikanan seperti Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa.

Susi menyadari, negara-negara tujuan ekspor perikanan Indonesia mayoritas sensitif terhadap praktek penyimpangan dan pelanggaran. Dalam keterangannya, Susi tak ingin produk perikanan Indonesia bernasib sama dengan komoditas sawit Indonesia yang sulit diekspor karena terjebak persoalan lingkungan.

“Pemerintah berkomitmen menindak setiap praktik perbudakan. Ini penting sekaligus menjadi pesan kepada dunia internasional bahwa Indonesia tidak akan melakukan pembiaran atas kasus perbudakan yang terjadi di perairan Indonesia,” tegas Susi.

Sebelumnya, Tim Satgas IUU Fishing Mas Achmad Santosa menurunkan tim untuk mengusut kasus pelanggaran Benjina di Kepulauan Aru, Maluku.

Achmad berharap keterlibatan dan dukungan sejumlah pihak dapat mempercepat waktu penyelidikan. Achmad mengaku, hingga kini tim satgas pun masih terus menelusuri fakta soal sejumlah pelanggaran HAM termasuk praktik perbudakan para ABK.

“Hingga kini tim satgas terus mendalami data dan informasi pelanggaran kapal eks asing milik Benjina,” kata Achmad.

Achmad menilai, kejahatan perbudakan kepada ABK masuk kategori pelanggaran HAM. Adapun indikasi lain dari praktik perbudakan tersebut yaitu kerja paksa sehingga penyelidikan turut melibatkan Institusi Kepolisian dan Komnas HAM.

Selain mencari fakta (fact finding) terkait kerja paksa, tim satgas terus melakukan analisis dan evaluasi terhadap kapal-kapal eks asing milik PT PBR.

Reporter : everd@gresnews.com
Redaktur : Ramidi

Sumber:

http://www.gresnews.com/mobile/berita/ekonomi/150104-kasus-benjina-ancam-produk-ekspor-perikanan-indonesia/#sthash.0vqRdMWR.uxfs

Indonesia Didesak Ratifikasi Konvensi ILO, Cegah Perbudakan Pekerja Kapal Ikan

Jum’at, 10 April 2015

JAKARTA, GRESNEWS.COM – Indonesia dinilai perlu untuk meratifikasi konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 188 Tahun 2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan. Sebab dengan mengadopsi konvensi tersebut ke dalam regulasi nasional, Indonesia bisa mencegah terjadinya praktik perbudakan terhadap pekerja di sektor perikanan.

Juru Bicara Serikat Pekerja Indonesia Luar Negeri (SPILN) Imam Syafi’i mengatakan banyaknya kasus yang menimpa tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di sektor perikanan di luar negeri seharusnya menjadi alasan pemerintah untuk segera meratifikasi konvensi tersebut. Misalnya, kasus 26 TKI Anak Buah Kapal (ABK) di kapal ikan yang saat ini masih terlantar di Angola, menjadi salah satu contoh minimnya perlindungan dan standar layak bagi mereka untuk bekerja.

“Isi konvensi ILO 188/2007 mencakup aturan soal jam kerja, fasilitas kesehatan, dan hal yang detail sampai ukuran tempat tidur bagi TKI bidang perikanan,” ujar Imam saat dihubungi Gresnews.com, Jumat (10/4).

Menurut Imam, aturan tersebut secara tidak langsung menunjukkan adanya perlindungan bagi pekerja di bidang perikanan. Kalau Indonesia mau meratifikasi konvensi tersebut maka pekerja di bidang perikanan akan mendapatkan paket perlindungan tersebut sesuai standar internasional.

“Sementara kalau negara tempat TKI bekerja belum meratifikasinya, setidaknya TKI bersangkutan masih bisa menjadikan konvensi ILO sebagai dasar gugatan untuk meminta pertolongan negara,” ujar Iman menambahkan.

Senada dengan Imam, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim menuturkan, konvensi ILO 188/2007 menjadi acuan negara-negara anggota ILO termasuk Indonesia untuk menyusun regulasi di tingkat nasional terkait pekerjaan penangkapan ikan. Konvensi ini penting untuk diratifikasi untuk mencegah terjadinya perbudakan pada pekerja perikanan.

“Contohnya perbudakan ini pernah dilakukan perusahaan Thailand yang diduga ada kaitannya dengan perusahaan Indoensia,” ujar Abdul kepada Gresnews.com, Jumat (10/4).

Berdasarkan data dari Kiara, Konvensi ILO 188/2007 berisi ketentuan untuk memastikan awak kapal yang bekerja di kapal penangkap ikan mendapatkan pemenuhan syarat minimal ketika bekerja. Misalnya terkait standar persyaratan layanan, akomodasi, makanan, perlindungan kesehatan, keselamatan kerja, dan jaminan sosial. Semua standar tersebut menjadi tanggungjawan pemilik kapal penangkap ikan.

Hingga kini baru sepuluh negara yang meratifikasi konvensi ini. Diantaranya Argentina (2011), Bosnia Herzegovina (2010), Moroko (2013), Afrika Selatan (2013), dan Kongo (2014).

Reporter : Lilis Khalisotussurur
Redaktur : Muhammad Agung Riyadi

Sumber:

http://www.gresnews.com/mobile/berita/hukum/1330104-indonesia-didesak-ratifikasi-konvensi-ilo-cegah-perbudakan-pekerja-kapal-ikan/#sthash.JBV7V69M.uxfs

Peringatan Hari Nelayan: Pemerintah Wajib Sejahterakan Nelayan dan Perempuan Nelayan

Selasa, 07 April 2015 WIB

JAKARTA, GRESNEWS.COM – Semenjak konsep Poros Maritim terus digemakan oleh pemerintahan Jokowi–JK, isu kelautan dan perikanan selalu mendapat tempat di mata masyarakat Indonesia. Sepanjang 2015 gebrakan yang berkaitan dengan nelayan Indonesia terus menjadi perhatian dan fokus masyarakat, seperti pelarangan cantrang, penenggelaman kapal asing, kasus ABK kapal.

Sayangnya gema program tersebut ternyata tak menyentuh kehidupan nelayan tradisional yang masih terus terpinggirkan. “Dengan kondisi kelautan dan perikanan yang terjadi hari ini apakah nelayan Indonesia sudah sejahtera?” kata Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Abdul Halim dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Senin (6/4).

Fakta di lapangan baik nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya dan pelestari ekosistem pesisir masih hidup dalam kemiskinan dan minim perlindungan dari negara. Seperti yang terjadi di Brebes, Jawa Tengah, 2000 nelayan tidak bisa melaut dan harus menumpuk utang untuk menutupi kebutuhan hidup mereka. Kondisi nelayan semakin diperburuk dengan kenaikan BBM dan harga kebutuhan pokok. “Negara alpa dalam melindungi dan mensejahterakan nelayan serta para pahlawan protein bangsa,” kata Halim.

Dia menegaskan, lima bulan sejak Presiden Joko Widodo dilantik oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, selama itu pula nasib nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya, petambak garam dan pelestari ekosistem pesisir belum beranjak dari kubangan k(p)emiskinan struktural. Karena itulah, perayaan Hari Nelayan Indonesia ke-55 kali ini mengambil tema “Lindungi dan Sejahterakan Nelayan dan Perempuan Nelayan!”

KIARA menginisiasi perayaan Hari Nelayan Indonesia bersama dengan LSM dan organisasi nelayan, perempuan nelayan, petambak garam, pembudidaya dan pelestari ekosistem pesisir lainnya. Sekretaris Jenderal KIARA Abdul Halim mengatakan, hingga kini elum ada perubahan berarti yang dirasakan oleh nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya, petambak garam dan pelestari ekosistem pesisir di 5 bulan pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Hal ini disebabkan sedikitnya 5 hal pokok. Pertama, anggaran yang dialokasikan untuk bidang kelautan dan perikanan tidak diarahkan untuk melindungi dan menyejahterakan masyarakat pesisir skala kecil lintas profesi tersebut. Kedua, meluasnya perampasan wilayah pesisir yang menjadi tempat tinggal dan ruang hidup masyarakat. Ketiga, minusnya ruang partisipasi masyarakat nelayan meski di lapangan sudah sangat signifikan kontribusinya.

Keempat, tidak dihubungkannya aktivitas perikanan skala kecil dari hulu ke hilir. “Dan kelima, tiadanya perhatian pemerintah terhadap relasi ABK dengan juragan/pemilik kapal. Kelima hal ini belum mendapatkan prioritas pemerintahan baru,” ujar Halim.

Karena itu, perayaan Hari Nelayan Indonesia 2015, kata Halim, harus dijadikan sebagai momentum bersejarah bagi Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk bergerak melindungi dan menyejahterakan nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya, petambak garam dan pelestari ekosistem pesisir. KIARA menyarankan agar pemerintahan Jokowi-JK menjalankan beberapa langkah berikut.

Pertama, menghentikan seluruh proyek perampasan dan memastikan hak-hak konstitusional nelayan tradisional, perempuan nelayan, pembudidaya, petambak garam dan pelestari ekosistem pesisir terpenuhi terkait dengan pengakuan hak pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Kedua, pemberantasan praktek IUU Fishing patut dilakukan secara komprehensif, dimulai dengan merevisi kebijakan yang lemah, memperkuat koordinasi antar-lembaga dengan menghilangkan ego-sektoral, dan melakukan penuntutan dengan dasar hukum yang kuat.

Ketiga, mitigasi dampak dari sebuah kebijakan patut menjadi perhatian ekstra dan dijalankan oleh pemerintah untuk menjamin nelayan dan ABK kapal perikanan yang terdampak merasakan hadirnya negara. Keempat, mengakui keberadaan dan peran perempuan nelayan melalui pendataan sebaran, program dan alokasi anggaran khusus, dan memberikan politik pengakuan,

Kelima, bersungguh-sungguh memberikan pelayanan peningkatan kapasitas dan pemberian akses terhadap sumber modal (melalui bank perikanan), sarana produksi, infrastruktur, teknologi dan pasar kepada nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya, pelestari ekosistem pesisir dan petambak garam. Keenam, menyegerakan penyusunan peraturan pemerintah berkenaan dengan partisipasi masyarakat di dalam memerangi praktek IUU Fishing.

Ketujuh, mengoreksi penyusunan anggaran kelautan dan perikanan berbasis proyek dan mengevaluasinya secara terbuka bersama dengan masyarakat. Kedelapan, meratifikasi Konvensi ILO 188 Tahun 2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan dan melakukan harmonisasi kebijakan sektoral lainnya di tingkat nasional. “Dan terakhir menindak tegas pelaku perbudakan di sektor perikanan di Indonesia,” tegas Halim.

Sebelumnya, Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Riza Damanik juga mengatakan, KNTI percaya bahwa kesejahteraan nelayan yang ditandai perlindungan dan peningkatan kapasitas nelayan Indonesia dalam melaut adalah kunci keberhasilan pemberantasan pencurian ikan. “Tanpa partisipasi nelayan, prioritas pemberantasan pencurian ikan hanya akan berakhir pada kerja-kerja programatik dan pemborosan, seperti terjadi dengan pemerintahan sebelumnya,” kata Riza.

KNTI menilai dari dua kasus illegal fishing teranyar, masing-masing yaitu putusan ringan kapal raksasa (> 4 ribu GT) pengangkut ikan berbendera Panama MV. Hai Fa dan terungkapnya praktik perbudakan di Benjina, menjelaskan proses penegakan hukum di laut Indonesia kurun 5 bulan terakhir hanya sedikit memberikan efek-jera. “Bahkan, belum berhasil menakut-nakuti mereka yang belum tertangkap, seperti terjadi di Benjina. Diperparah dengan lemahnya koordinasi dan perbedaan prioritas antarlembaga,” tegas Riza.

KNTI yakin bahwa praktik mafia perikanan sangat kuat oleh karena itu aparat penegak hukum sebaiknya memprioritaskan pengungkapan pelaku utama mafia perikanan, baik mereka yang bersembunyi dibalik perusahaan nasional/asing, birokrasi, maupun institusi penegakan hukum. Oleh sebab itu, KNTI mendesak Pemerintahan Jokowi-JK memperkuat strategi pemberantasan pencurian ikan dengan pendekatan kesejahteraan.

Redaktur : Muhammad Agung Riyadi

Sumber: http://www.gresnews.com/mobile/berita/sosial/5074-peringatan-hari-nelayan-pemerintah-wajib-sejahterakan-nelayan-dan-perempuan-nelayan/#sthash.cQNLKGN0.gbpl