Investor Turki Incar Kelola Raja Ampat

JAKARTA-Kilau potensi kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia mulai membuat investor domestik dan luar negeri tertarik untuk mengucurkan dana. Setelah grup Sampoerna dan Santika yang berniat mengelola, kali ini investor asal Turki ikut mendaratkan keinginan.

 Menurut sumber Bisnis yang tidak ingin disebutkan identitasnya, terdapat pembicaraan antara pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan investor asal Turki tersebut untuk mengelola salah satu pulau, yang kemungkinan adalah Raja Ampat.

 “Untuk investasinya belum bisa terlihat. Namun bisa mencapai ratusan miliar rupiah,” ungkapnya kepada Bisnis, Senin (9/6).

 Adapun, lanjutnya, skema investasi pengelolaan pulau juga masih dikaji. Yang jelas, nantinya bakal masuk dalam skema penanaman modal asing, dan bekerjasama dengan perusahaan domestik.

Lebih lanjut, hal tersebut merupakan salah satu kemajuan dari rencana KKP melalui Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) yang berencana mengembangkan industri pariwisata di pulau-pulau kecil.

 Direktorat Jenderal KP3K memiliki rencana membuat semacam industri pariwisata di pulau-pulau kecil dengan cottage dan beberapa hotel.

 Model pengelolaan seperti di Maladewa. Adapun, selain di Raja Ampat, kawasan lain yang bakal dikembangkan adalah Kepulauan Seribu dan Manado Utara.

 “Progres yang terlihat ada di Kepulauan Seribu, beberapa investor domestik membangun 30 cottage dengan kisaran investasi 60 miliar,” ujar sumber tersebut.

 Sayangnya, ketika Bisnis mengonfirmasi hal tersebut, Direktur Jenderal KP3K Sudirman Saad sedang berada di luar kota dan tidak membalas pesan singkat. Namun, dirinya sempat membenarkan adanya investor asing yang melakukan penjajakan.

 “Untuk pengelolaan pulau, memang kami sedang melakukan penjajakan dengan banyak pihak. Yang jelas, untuk investor asing akan masuk skema PMA dan kerja sama dengan domestik,” ujarnya usai seminar Global Fisheries di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (4/6).

 Dia menambahkan, saat ini pihaknya sedang menjajaki pendataan pengelola pulau yang memiliki kewarganegaraan asing. Tujuannya, untuk membahas legalisasi usaha agar bisa termasuk penanaman modal asing (PMA).

Sudirman membeberkan kebanyakan pengelolaan pulau masih bersifat individu dan belum dibentuk perseroan terbatas (PT). Kami ingin pengelolaan-pengelolaan pulau oleh warga negara asing (WNA) dibentuk PT agar legal dan dapat masuk kategori PMA.

 Alasan lainnya, lanjut Sudirman, agar nantinya pengelolaan pulau tersebut dapat didata dan diawasi secara komprehensif. Selain itu, pihak pengelola pulau juga bakal mendapat kejelasan usaha secara hukum, dan efeknya bakal mendapat perlindungan.

 “Agak sulit memang, karena kami belum sempat bertemu dengan semuanya. Baru beberapa pengelola saja,” ujarnya.

Di sisi lain, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim mengatakan skema pengelolaan pulau oleh pihak asing harus diawasi dan dikawal ketat.

 “Ada banyak kekhawatiran, salah satunya terkait masuknya intelijen asing untuk mendata potensi sumber daya alam yang ada di pulau tersebut,” ungkapnya kepada Bisnis, Senin (9/6). (Giras Pasopati)

 Sumber: Bisnis Indonesia, Rubrik Agribisnis, Halaman 26, Selasa, 10 Juni 2014

Nelayan Terbelit Utang

INKA MINA

Nelayan Terbelit Utang

JAKARTA, KOMPAS- Program 1.000 Kapal Inka Mina periode 2010-2014 untuk kelompok nelayan hingga kini belum berjalan optimal. Di sejumlah wilayah, kapal bantuan masih mangkrak sehingga untuk bisa mengoperasikannya, nelayan berutang sampai ratusan juta rupiah.  Sementara akses permodalan ke perbankan masih sulit.

Di Indramayu, Jawa Barat, spesifikasi bantuan kapal Inka Mina 121, 122, dan 123 tidak sesuai kebutuhan nelayan sehingga sulit dioperasikan. Nelayan terpaksa mencari pinjaman agar bisa memperbaiki dan mengoperasikan kapal. Namun upaya itu pun terganjal akses permodalan.

Dulloh, pengurus Kelompok Usaha Bersama (KUB) Pantai Lestari di Indramayu, Minggu (8/6), mengemukakan, kapal Inka Mina 123 yang diserahkan kepada kelompoknya sejak akhir tahun 2011 sampai sekarang masih mangkrak. Kualitas kapal bantuan itu sejak awal bermasalah, yakni cor kapal rusak, alat tangkap jaring tak sesuai kebutuhan, mesin kapal dan palkan tidak sesuai standar, serta tangki air kurang memadai.

Untuk memperbaiki kapal agar bisa beroperasi, dibutuhkan biaya Rp.300 juta. Kelompok itu telah berupaya mengakses pinjaman dari BRI, tapi kredit ditolak karena kendala agunan. Adapun kapal bantuan itu dinilai tidak memenuhi syarat untuk dijadikan agunan.

Di Kalimantan Utara, Kapal Inka Mina 199 yang diserahkan kepada kelompok nelayan sejak tahun 2011 juga baru bisa beroperasi pada awal 2014 setelah KUB Layar Sempadau melakukan sejumlah perbaikan melalui dana pinjaman koperasi.

Ketuan KUB Layar Sempadau Hamzah mengatakan, kapal itu semula tak dilengkapi alat tangkap memadai, yakni pukat cincin panjang 400 meter. Untuk perbaikan alat tangkap, nelayan mengeluarkan Rp.100 juta untuk penambahan pukat cincin menjadi 700 meter. (LKT).

Sumber: Kompas, Senen, 9 Juni 2014 hal 18

Sepuluh Tahun Pemerintah SBY, Sektor Perikanan Dikelola secara Liberal

JAKARTA, KOMPAS.com – Organisasi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), menilai kebijakan kelautan dan perikanan saat ini liberal. Dampaknya bisa dilihat dari kampung-kampung nelayan tetap kumuh selama 10 tahun pemerintahan SBY.

Sekjen KIARA Abdul Halim menerangkan, liberalnya pengelolaan sektor kelautan terlihat dari ekpor besar-besaran ikan dari laut Indonesia. Alhasil, 53 persen ikan yang ada dipasaran saat ini adalah ikan impor.

“Kampung nelayan sanitasi buruk, kumuh, pendapatan juga rendah. Pemerintah tidak memfasilitasi pra produksi mereka,” ujar Abdul Halim di Jakarta, Jumat (30/5/2014).

Dia menilai, Pemerintah tidak memiliki perhatian yang serius bagi kehidupan nelayan. Menurutnya, kondisi nelayan saat ini serba sulit. Padahal, menurut Abdul, sebagai negara maritim harusnya Indonesia mengutamakan pembangunan kelautan dan perikanannya.

Kesejahteraan nelayan harus menjadi fokus utama sebagai negara maritim. Kesejahteraan nelayan yang buruk ditambah parah oleh tengkulak-tengkulak yang mengambil untung jauh lebih besar ketimbang nelayannya.

“Peran tengkulak sangat besar, alhasil nelayannya dapat sedikit tetapi tengkulak sangat besar,” tandasnya.

Sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/05/30/1649059/Sepuluh.Tahun.Pemerintah.SBY.Sektor.Perikanan.Dikelola.secara.Liberal

Kesejahteraan Nelayan Dinilai Terabaikan

Kesejahteraan Nelayan Dinilai Terabaikan

 

JAKARTA (HN) – Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim  mengatakan, pemerintah dinilai belum memberikan jaminan perlindungan jiwa bagi nelayan tradisional dalam menjalankan aktivitas pencarian potensi laut.

Berdasarkan data yang dikutip dari Pusat Data dan Informasi KIARA, tercatat sebanyak 61 nelayan tradisional hilang dan meninggal dunia dalam periode Januari hingga Mei 2014. “Nelayan ketika melaksanakan tugasnya dihadapkan pada risiko besar, tapi hingga kini tidak ada jaminan perlindungan jiwa yang pasti,” kata Halim di Jakarta, Jumat (30/5).

Halim mempertanyakan alokasi anggaran yang disediakan untuk sektor kelautan dan perikanan nasional. Pasalnya sejak 2009 hingga 2014 anggaran di bidang kelautan dan perikanan terus meningkat yakni Rp 2 triliun menjadi Rp 7 triliun. “Anggaran ini masih sangat kecil dibandingkan Kementerian Pertanian sekitar Rp 19 triliun. Tapi anggaran untuk kesejahteraan nelayan malah tidak ada,” katanya.

Menjelang pergantian pemimpin negara yang akan datang, Halim meminta pemerintah menyiapkan anggaran khusus keselamatan jiwa nelayan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015.

Halim menganggap kehidupan nelayan di Indonesia tidak memiliki harapan baru, sebab kedua pasangan calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) Indonesia mendatang tidak menyinggung asuransi jiwa bagi nelayan tradisional. “Katanya ada Bank Nelayan, tapi sejak sekian lama tidak berjalan,” kata dia.

Pendapatan Kecil

Halim mengatakan, pendapatan nelayan sangat kecil meskipun dapat menangkap ikan secara besar-besaran. Kendalanya yaitu, pemerintah tidak memfasilitasi nelayan dengan teknologi penangkapan yang berkelanjutan dan terjangkau.

“Peran tengkulak di kampung-kampung nelayan sangat besar, mulai dari permodalan, penyediaan kapal hingga peralatan. Harga ditekan sedemikan rupa, hasilnya berimbas pada harga jual ikan,” kata Halim.

Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Riza Damanik mengatakan, nelayan kekurangan informasi kondisi alam dan cuaca di laut. Dengan begitu, kata Riza, nelayan kehilangan haknya mendapat perlindungan negara.

“Dalam kerangka antisipasi risiko kecelakaan, pemerintah tidak memberikan asuransi jiwa atau sosial kepada nelayan. Jika ini bisa diberikan, penghidupan nelayan akan semakin pasti,” katanya pada HARIAN NASIONAL di Jakarta, Jumat (30/5).

Riza mengatakan tren nelayan Indonesia semakin membahayakan sebab 80 persen nelayan yang melaut memasuki umur manula. Sisanya nelayan berumur paruh baya. Menurut Riza, tren ini sangat mengkhawatirkan, sebab lambat laun tidak akan ada lagi generasi pengganti yang mau menjadi nelayan.

“Minat anak muda menjadi nelayan semakin berkurang, sebab tidak ada perlindungan itu. Terlebih jaminan sosial dan risiko kecelakaan tidak ditanggung pemerintah. Padahal nelayan bekerja untuk memberi makan Indonesia dan negara tujuan ekspor kita,” katanya.

Riza meminta pemerintah yang akan datang menunjukkan apresiasinya kepada sektor perikanan dan kesejahteraan nelayan agar profesi nelayan menjadi pilihan strategis generasi muda mendatang.

“Kalau di Malaysia nelayan dapat perlindungan, seperti mendapat kuota bahan bakar minyak (BBM), dana pengobatan ketika terjadi kecelakaan, bahkan negara menanggung keluarga yang ditinggal melaut sekian lamanya. Nelayan termotivasi untuk lebih produktif,” ujarnya. | DIAN RISKI ROSMAYANTI

Sumber: http://www.harian-nasional.com/index.php/ekonomi/kesejahteraan-nelayan-dinilai-terabaikan

Gerakan Pembudidayaan Ikan Tuna Gagal

Sektor Kelautan

Gerakan Pembudidayaan Ikan Tuna Gagal

JAKARTA – Gerakan pembudidayaan ikan tuna oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan tidak menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat, khususnya nelayan, sebagai pihak aktif yang dilibatkan dalam program tersebut. Padahal, salah satu visi utama digalakkannya kegiatan budi daya, di samping untuk meningkatkan produksi ikan tuna, adalah untuk memacu perekonomian nelayan di sekitar lokasi budi daya khususnya dan nasional umumnya.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Abdul Halim, di Jakarta, kemarin, mengatakan visi tersebut sebenarnya menjadi acuan bagi pemerintah untuk tidak hanya fokus pada peningkatkan produksi ikan tuna, namun juga berupaya meningkatkan keahlian dari pada nelayan sendiri. Stagnannya perekonomian nelayan dapat terlihat dari belum maksimalnya produksi, pengolahan, serta minimnya nilai tambah produk-produk perikanan.

Hal itu merupakan salah satu indikator bahwa penggiatan budi daya ikan sama sekali tidak memberikan pengaruh posotif bagi perekonomian para nelayan.

Hal tersebut diduga karena lemahnya pelatihan teknis bagi nelayan yang selanjutnya berdampak pada tidak efisiennya pengolahan budi daya. Adapun akibat lanjutannya adalah pada kemiskinan yang dialami oleh nelayan yang tentunya juga menjadi kerugian bagi negara sendiri.

Gerakan budi daya ikan seperti pembudidayaan ikan tuna yang dilakukan oleh KKP, di satu sisi, amat potensial dalam memacu pertumbuhan ekspor nasional, namun tidak sejalan dengan kesejahteraan para nelayan. Pasalnya, marjin harga yang tinggi pada ekspor gelondongan dan barang jadi di negara tujuan merugikan nelayan dalam negeri sehingga para nelayan kembali bergantung pada impor.

Untuk itu, Abdul Halim, menganjurkan pemerintah untuk segera menghentikan ekspor ikan gelondongan atau beku dan segar dalam bentuk utuh karena tidak memiliki nilai tambah bagi nelayan, bahkan memicu tingginya ikan impor ke Indonesia. Sebanyak 70 persen dari aktivitas budi daya Indonesia tidak efisien, artinya nilai produksi tinggi namun nilai jual tidak optimal.

Pilihan kebijakan tersebut, menurut Ketua Dewan

Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), M Riza Damanik, semestinya segera ditempuh oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan karena kebijakan tersebut hendak memosisikan nelayan sebagai pelaku aktif yang akan berperan besar dalam melestarikan sumber daya laut nasional ke depannya.

Kendala Ekspor

Beberapa persoalan besar mengakibatkan sulitnya produktivitas ikan tuna Indonesia untuk bersaing dengan negara-negara penghasil ikan tuna lainnya di ASIA, seperti Thailand, China, Vietnam, dan India. Pertama, regulasi kita memberi toleransi bagi penjualan ikan tuna secara langsung ke luar negeri tanpa terlebih dahulu didaratkan di pelabuhan kita.

Kedua, armada kapal ikan kita yang beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) dan laut lepas sangatlah kurang sehingga sulit untuk produksi. Ketiga, penanganan di sektor hilir masih lemah dan rentan dengan masalah, seperti industri pengolahan yang belum memenuhi syarat minimum. ers/E-3

Sumber: http://koran-jakarta.com/?13031-gerakan+pembudidayaan+ikan+tuna+gagal

10 Tahun SBY Memerintah, Nelayan Tradisional Tanpa Perlindungan

Rabu, 04 Juni 2014 WIB

JAKARTA, GRESNEWS.COM – Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berjalan selama 10 tahun ini ternyata banyak meninggalkan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh SBY sendiri di sisa masa pemerintahannya ini atau oleh presiden berikutnya. Salah satunya adalah soal perlindungan kepada para nelayan tradisional.

Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Perikanan (KIARA) mencatat selama rezim SBY memerintah terdapat sedikitnya 14,7 juta jiwa pelaku perikanan mulai dari sektor perikanan tangkap, budidaya, pengolahan dan pemasaran, bekerja tanpa perlindungan.

Pemerintah pimpinan SBY tidak pernah mengeluarkan kebijakan politik perlindungan dan pemberdayaan setingkat undang-undang dan pengalokasian anggaran yang sesuai kebutuhan. Hal ini berimbas pada bertumpuknya persoalan dari hulu (pra produksi dan produksi) hingga ke hilir (pengolahan dan pemasaran). Dampaknya adalah melemahkan daya saing bangsa dalam kompetisi regional dan global diantaranya di ajang Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.

“Sudah bukan zamannya negara kelautan terbesar di dunia tidak memastikan perlindungan dan pemberdayaan nelayan melalui kebijakan penyelenggaranya,” kata Sekjen KIARA Abdul Halim, kepada Gresnews.com, Rabu (4/6). Dia mengatakan, presiden terpilih nanti harus menyegerakan penyelesaian pekerjaan rumah ini.

“Tanpa politik pengakuan negara, pelaku perikanan nasional hanya akan menjadi penonton di tanah airnya,” tambah Halim.

Pada kesempatan yang sama, Sekjen Serikat Nelayan Indonesia Budi Laksana mengatakan, kurang dari enam bulan, temuan di desa-desa pesisir harus ditangani segera oleh pemerintah. Langkah awal yang harus dilakukan, kata dia, adalah membuka ruang dialog dengan masyarakat nelayan dan perempuan nelayan di 10.666 desa pesisir.

Menurut Budi, dengan jalan itulah ditemukan kesamaan pandangan dan rekomendasi yang harus ditindaklanjuti bersama. “Untuk memaksimalkan upaya perbaikan tersebut, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan menjadi sangat penting diwujudkan,” ujarnya.

RUU Perlindungan Nelayan sendiri saat ini sebenarnya sudah dibahas di DPR. Hanya saja entah kenapa RUU itu tidak menjadi prioritas dan diperkirakan tidak akan selesai dalam periode keanggotaan DPR saat ini.

Sementara itu di sisi lain, pihak KKP sendiri merasa upaya pemeritah dalam memberikan perlindungan kepada nelayan sudah maksimal. KKP misalnya, untuk menghindarkan nelayan dari bencana alam yang diakibatkan oleh banjir, cuaca ekstrim dan gunung meletus kini tengah menyusun rancangan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP).

“Saat ini rancangan Permen KP tentang Perlindungan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam Rakyat Yang Terkena Bencana Alam sudah memasuki draft final,” kata Menteri KKP Sharif Cicip Sutardjo, seperti dikutip situskkp.go.id, beberapa waktu lalu.

Sharif menjelaskan, Permen KP tersebut disusun untuk menjamin keberlangsungan kehidupan nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam rakyat yang terkena bencana alam melalui pemberian bantuan tanggap darurat yakni berupa bantuan pengobatan dan bantuan cadangan beras pemerintah.

Kemudian bantuan rehabilitasi pasca bencana berupa bantuan sarana dan prasarana yang disesuaikan dengan bidang usahanya, seperti usaha penangkapan ikan, pembudidayaan ikan dan produksi garam rakyat. “Pemberian bantuan dikhususkan bagi pelaku usaha perikanan dan kelautan yang tidak dapat melakukan usahanya akibat perubahan iklim, cuaca ekstrim dan bencana alam,” kata Cicip.

Dalam penyaluran bantuan tanggap darurat, KKP berkoordinasi dengan Kementerian/Lembaga terkait. Seperti berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan untuk penyaluran bantuan pengobatan dan Kementerian Sosial untuk penyaluran bantuan cadangan beras pemerintah berdasarkan jumlah jiwa. Koordinasi penyaluran bantuan dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat.

Selanjutnya bantuan diserahkan di pelabuhan perikanan atau di kantor kecamatan dimana Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam Rakyat berdomisili. “Dalam pelaksanaannya, kami akan melibatkan pemerintah daerah setempat. Sedangkan untuk pemberian bantuan rehabilitasi pasca bencana, akan disesuaikan dengan kondisi yang terkena dampak bencana,” ujar Cicip.

Reporter : –
Redaktur : Muhammad Agung Riyadi

 

BOCORNYA SERIBU KAPAL

Oleh Abdul Halim

Sekretaris Jenderal KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan);

Koordinator Regional SEAFish (Southeast Asia Fisheries for Justice Network)

Menyebut kapal/perahu mengandaikan hadirnya nelayan. Tanpa alat produksi ini, nelayan yang notabene pahlawan protein bangsa akan mengalami kewalahan dalam menghadirkan ikan-ikan segar di meja jamuan makan bersama keluarga, sahabat, dan handai taulan.

Di Indonesia, tercatat sebanyak 2,2 juta nelayan yang bergerak di sektor perikanan tangkap atau menangkap ikan di laut. Lebih dari 95 persennya berkarakter tradisional atau skala kecil. Tidak seluruhnya memiliki kapal/perahu sebagai alat produksinya. Tak mengherankan, juga dikenal penyebutan buruh nelayan di dalam kosakata perikanan kita.

Sejak tahun 2010-2014, pengadaan kapal Inka Mina menjadi program Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan target 1.000 kapal, di mana harga per unit Rp 1.5 Miliar dan total nilai APBN sebesar Rp. 1,5 Triliun. Selang 4 tahun, klaim keberhasilan pelaksanaan program Inka Mina bak jauh panggang dari api. Masyarakat nelayan penerima kapal merugi dan bahkan terbebani secara moral akibat kapal tidak bisa dioperasikan. Tak hanya itu, keuangan Negara juga dirugikan karena gagal menyejahterakan masyarakat perikanan tradisional. Pada titik ini, BPK harus bergerak mengauditnya.

Pusat perkara

Pusat Data dan Informasi KIARA (Mei 2014) menemukan fakta beberapa Inka Mina yang tersebar sedikitnya di 11 kabupaten/kota mangkrak karena tidak bisa dioperasikan dan membebani nelayan penerima (lihat Tabel 1).

Tabel 1. Daftar Inka Mina Mangkrak dan Tidak Beroperasi di Indonesia

No Wilayah Penerima Keterangan
1 Kabupaten Bulungan dan Kota Tarakan, Kalimantan Utara Sejak diterima, kapal Inka Mina 198 (beroperasi 4 kali) dan Inka Mina 199 (hanya dipergunakan memancing) tidak pernah mendapatkan hasil apapun.Proses pembuatan kapal amburadul. Dalam artian, pengerjaan kapal dilakukan secara sungguh-sungguh saat Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi datang. Di luar itu, pekerja kapal terkesan main-main.

 

Kedua kapal Inka Mina tersebut, menurut nakhoda Kapal Inka Mina 198, tidak sesuai dengan karakter nelayan yang beroperasi di perairan Kalimantan Timur bagian Utara.

 

Proses pembuatan kapal amburadul. Dalam artian, pengerjaan kapal dilakukan secara sungguh-sungguh saat Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi datang. Di luar itu, pekerja kapal terkesan main-main.

2 Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat Inka Mina di Kabupaten Lombok Tengah, NTB, yakni Inka Mina 124 dan Inka Mina 125 tidak beroperasi dikarenakan biaya operasional yang tinggi dan tidak sesuai kebutuhan nelayan setempat. Inka Mina 124 diketuai oleh Sdr. Musaddat tidak lagi beroperasi karena kardannya rusak. Sudah sekali beroperasi ke Sumba, NTT, tetapi merugi.Inka Mina 125 diketuai oleh Sdr. Dahlan dari Dusun Awang, Desa Mertak, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, dan akan dikontrakkan kepada seseorang dari Sumbawa, NTB dengan mekanisme bagi hasil.
3 Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat Inka Mina 250 di Kabupaten Lombok Timur, NTB, diketuai Sdr. Lukman dari Dusun Toroh Tengan, Desa Tanjung Luar, Kecamatan Keruak, sama sekali tidak dilengkapi dengan alat/sarana tangkap sehingga kapal mangkrak sampai dengan hari ini di muara sungai Tanjung Luar. Sejak diserahkan pada tahun 2012, hanya beroperasi sebanyak 2 kali dan merugi.
4 Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat Inka Mina 18 dikelola oleh nelayan dari Desa Labuhan, Kecamatan Pringgabaya. Sejak diterima pada tahun 2011 sampai hari ini tidak pernah operasi. Bahkan saat diujicobakan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan, Kabupaten Lombok Timur, kapal tidak bisa berjalan, mesin mati dan baling-baling terlepas. Sejak kejadian itu sampai hari ini kapal Inka Mina 18 mangkrak di sungai dan kondisinya hampir sudah tidak bisa terpakai karena sudah bocor dan air laut keluar masuk dan miring.
5 Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur Inka Mina di Desa Balauring, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata, NTT: (i) penerima kapal ternyata bukan kelompok nelayan dan diambil-alih oleh kepala desa; (ii) dikarenakan alat tangkapnya tidak sesuai, kapal tidak pernah dioperasikan.
6 Kabupaten Indramayu, Jawa Barat Inka Mina di Indramayu hanya diparkir di TPI Karang Song dikarenakan: (i) tidak ada dana pendampingan nelayan; (ii) spesifikasi kapal tidak sesuai dan dibutuhkan dana sebesar Rp. 100 juta untuk memperbaikinya.
7 Kabupaten Tanjung Balai dan Kota Medan, Sumatera Utara Di Sumatera Utara, Kapal Inka Mina 63 dan 64 digunakan untuk mengangkut bawang impor dari Malaysia ke Sumatera Utara. Secara fisik, kapal-kapal bantuan tersebut tidak layak untuk kegiatan menangkap ikan. Tingginya ongkos perawatan kapal telah mendorong penggunaan kapal tidak sesuai peruntukannya.
8 Kota Surabaya, Jawa Timur Kapal Inka Mina di Surabaya, Jawa Timur tidak bisa dioperasikan dikarenakan: (i) kelengkapan kapal yang minim; dan (ii) terbatasnya kapasitas nelayan dalam mengoperasikannya. Belakangan, Dinas Perikanan memilih memasang rumpon di Selat Madura.
9 Kepulauan Riau Inka Mina 343 di Pulau Panjang, Tanjung Pinang, dijadikan sebagai alat transportasi masyarakat untuk menghadiri resepsi pernikahan.

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Mei 2014), dihimpun berdasarkan keterangan masyarakat nelayan dan penelusuran lapangan.

Temuan lapangan di atas menunjukkan bahwa penyelenggaraan program Inka Mina menuai persoalan, di antaranya: (1) Target pelaksanaan anggaran pengadaan kapal tidak tercapai; (2) Spesifikasi kapal tidak sesuai dengan jumlah alokasi yang dianggarkan tiap unitnya, baik kualitas kapal, kualitas mesin, dan sarana tangkap yang disediakan; (3) Berdasarkan perhitungan nelayan, terdapat indikasi kenakalan pemenang tender pengadaan kapal. Hal ini dilakukan dengan mengurangi spesifikasi kapal dan lambat dalam menyelesaikan target terbangunnya kapal; (4) Terdapat beberapa kapal Inka Mina yang rusak atau tidak bisa dioperasikan, seperti Inka Mina 199 dan 198 di Kalimantan Timur. Akibatnya KUB nelayan memiliki beban moral tanpa ada mekanisme pengembalian kapal kepada Negara. Lebih parah lagi, Inka Mina 63 dipergunakan untuk mengangkut bawang impor dari Malaysia dan kemudian tenggelam di perairan Sialang Buah, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara.

Hal lainnya adalah tidak sinkronnya data pengadaan kapal yang terbangun dan tercatat antara Dinas Provinsi/Kabupaten/Kota dan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP dengan UKP4 (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan), misalnya data yang dimiliki oleh UKP4 sebanyak 735 kapal yang berhasil dibangun, sementara KKP mencatat 733 kapal. Selisih ini menunjukkan lemahnya mekanisme pengawasan dan pelaporan perkembangan program pengadaan 1.000 kapal ini. Jika dari sisi jumlah pengadaan saja tidak cocok, potensi kelirunya pelaporan terkait berhasil atau gagalnya kapal pasca serah-terima di pelbagai wilayah besar kemungkinan terjadi (lihat Tabel 2).

Tabel 2. Realisasi Pengadaan Kapal Inka Mina

Tahun Pengadaan Target Realisasi Beroperasi
2010 56 unit 46 unit (10 tidak terbangun) 40 unit
2011 253 unit 232 unit (21 tidak terbangun) 175 unit
2012 254 unit 249 unit (5 tidak terbangun)
2013 224 unit 208 unit (16 tidak terbangun)
2014 200 unit

Sumber: UKP4, 2013

 Perbaikan

Dalam Rapat Teknis Perencanaan Kapal yang diselenggarakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tanggal 29 Januari 2014 di Jakarta, sedikitnya 3 hal penulis utarakan di hadapan peserta yang notabene mewakili Dinas Kelautan dan Perikanan Kota/Kabupaten/Provinsi di Indonesia: pertama, Menteri Kelautan dan Perikanan menyiapkan database online perkembangan program, meliputi implementasi, pelaporan, pemantauan dan verifikasi lapangan, sehingga bisa diakses dengan mudah dan cepat oleh para pemangku kepentingan, termasuk aparatur hukum. Hal ini bertujuan untuk meminimalisasi terjadinya penyimpangan-penyimpangan.

Kedua, UKP4 dan BPK melakukan audit keseluruhan atas program Inka Mina 2010-2013 agar nilai keberhasilan atau kegagalannya bisa diukur oleh khalayak luas, khususnya masyarakat nelayan, dan dapat dijadikan sebagai pedoman perbaikan pelaksanaan program tersebut di tahun 2014.

Ketiga, penegakan hukum atas kelalaian pemangku kepentingan yang menyebabkan kerugian Negara akibat salah spesifikasi dan sasaran penerima, ketidaktepatan waktu penyelesaian pembangunan kapal, serta indikasi penggelembungan harga. Terkait hal ini, upaya penting yang harus dilakukan segera adalah menggugat 8 galangan kapal yang bermasalah (lihat Tabel 3). Tujuannya ada sanksi setimpal dan efek jera bagi yang lain. Pertanyaannya, beranikah Menteri Kelautan dan Perikanan/Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kota/Kabupaten/Provinsi yang bertanggung jawab langsung kepada Walikota/Bupati/Gubernur?

Tabel 3. Daftar Galangan Kapal Bermasalah

No Nama Galangan Keterangan
1 PT. Lion Fiberglass dan PT. Aru Marine Fish (Tanggerang) Tidak bertanggung jawab pasca pembangunan
2 CV. Carita Boat (Tanggerang) dan PT. Wirakarsa Konstruksi (Bulukumba) Pengiriman Kapal Inka Mina Prov. Papua Barat TA.2011 terlambat (tiba di lokasi penerima kapal pada tahun 2013)
3 PT. Soesanto Soekardi Boatyard (SSB) (Kronjo Tanggerang) Pengerjaan pembangunan tidak tepat waktu
4 CV. Sumber Harapan (Bulukumba) Kapal Inka Mina Manokwari Tahun Anggaran 2012 belum tiba di lokasi
5 PT. Phinisi Semesta (Bulukumba) Tidak dapat menyelesaikan pembangunan kapal sesuai kontrak Inka Mina Provinsi Kalimantan Selatan Tahun Anggaran 2013
6 CV. Sahabat Sejati (Kupang) Tidak mengerjakan kapal sesuai spesifikasi teknis dan kontrak kapal Non-Inka Mina Kabupaten Flores Timur Tahun Anggaran 2013

Sumber: KKP, 2014

Upaya perbaikan secara terus-menerus sejatinya adalah tabiat manusia, karakter mulia yang membedakannya dengan makhluk hidup lainnya, tak terkecuali dengan konsisten melakukan ketiga solusi di atas. Tanpa kesungguhan, bocornya seribu kapal akan kembali terulang di tahun politik ini.***

Sumber: Sumber: Majalah Samudra Edisi 134, Tahun XII, Juni 2014

Penanaman Mangrove di Indramayu