Harga Anjlok, Petani Garam di Sumenep Merugi

Harga Anjlok, Petani Garam di Sumenep Merugi

Syaiful Islam

 

SUMENEP – Sejumlah petani garam di Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur (Jatim) merugi. Pasalnya, harga jual garam hasil panen dibeli di bawah harga pokok penjualan (HPP) yang ditetapkan pemerintah.

Para petani tidak bisa berbuat banyak atas persoalan tersebut. Sebab, jika tidak dijual kerugian yang diderita petani garam semakin besar. Di mana garam milik petani dihargai Rp350 per kilogram (kg).

Padahal, sesuai HPP harga garam untuk kualitas 1 (K1) dipatok Rp750 per kg, kualitas 2 (K2) senilai Rp550 per kg, dan untuk garam kualitas tiga (K3) ditetapkan Rp450 per kg. Kondisi itu membuat para petani garam menjerit.

Para petani meminta pemerintah supaya turun tangan untuk mengatasi persoalan tersbeut. Jika tidak, maka petani yang akan menjadi korban. Sebab, garam milik petani dihargai di bawah ketentuan yang ada.

“Harga garam hasil panen kami selama ini kurang bagus. Karena para pengusaha membeli di bawah harga yang ditetapkan pemerintah,” terang salah seorang petani garam di Desa Nambakor, Kecamatan Saronggi, Muhammad, Jumat (15/8/2014).

Menurutnya, garam laku terjual dengan harga Rp350 per kg. Padahal harga terendah yang ditetapkan pemerintah yakni Rp450 per kg. Petani garam tidak bisa berbuat banyak, dirinya terpaksa menjual garam dengan harga murah, dibandingkan tidak laku terjual.

“Alasan pengusaha mengaku stok garam sudah banyak atau sudah membeli garam, sedangkan petani yang panen masih sedikit. Artinya, ini ada sesuatu permainan. Kami berharap pemerintah bisa melakukan langkah konkret supaya garam petani dibeli sesuai HPP,” tandasnya.

 

Sumber: http://ekbis.sindonews.com/read/891509/34/harga-anjlok-petani-garam-di-sumenep-merugi

 

Habibah: Inspiring fisherwoman from Marunda

Habibah: Inspiring fisherwoman from Marunda

Nani Afrida, The Jakarta Post, Jakarta | People

She is a fisherwoman and along with her two companions — who are also women — she sails out to sea in the hope of catching fish. As they only use a small boat, they cannot be too far from the coast, so their hauls are not as large as the fishermen’s.

“We just catch the nearby fish. We sell the fish to help our husbands,” Habibah, the fisherwoman, told The Jakarta Post, smiling.

Recently, Habibah was selected as one of seven female food resilience heroines from Indonesia. The heroines are working to build a movement for good food — food that is grown well and shared fairly.

The event was supported by Oxfam and Aliansi Desa Sejahtera (ADS) to show that women play important role in the supply of food to family and community.

People in Marunda know Habibah as a multi-tasking woman. She can be a fisherwoman, scallop seeker, a fish trader and a shrimp paste maker. Habibah’s income is even higher than her fisherman husband, who depends on monsoons.

The 50-year-old fisherwoman lives in Marunda Kepu, Cilincing subdistrict, North Jakarta. She comes from a long line of fisherman who lived and plied Marunda’s shores and seas for generations.

After marrying Ghobang, 50, Habibah helped her husband to support the family. Habibah is the perfect portrait of woman from the north coast of Jakarta.

Koran Tempo daily recently reported that a study from the People’s Coalition for Fisheries Justice (Kiara) revealed that women living in north coast area in Jakarta spend 17 hours every day making money to support their families. It also showed that 48 percent of a family’s income was from the fisherwomen’s economic activities.

Habibah still remembers her youth and shared that although her parents were poor, they still could find fish or other sea creatures and so survived.

“In that time the sea water was clean and we had heavy mangrove areas. There were abundant fishes and crabs near us, so we did not need to sail far away from the coast,” Habibah shared.

The situation has changed dramatically as Habibah grew up and started her own family. The sea is now polluted. The massive sea reclamation and depletion of mangrove areas means that fisherwomen like herself face great difficulties when trying to catch fish or other sea creatures nearby.

Meanwhile, fishermen, like her husband, must sail very far from the coast just to find fish and their hauls usually are only small. The situation only gets worse during the west monsoon when no fishermen can sail.

Another problem Habibah faces is that she can no longer depend on her shrimp paste production anymore. In 1980 to 2000, Habibah was able to produce at least 50 kilograms of shrimp paste every day, thanks to the huge amount of shrimps bought home by her husband.

But now, she just produces only 5 kilograms of shrimp paste a day because it is difficult to find shrimp.

“I was thinking how do I help my husband? His income is less than Rp 30,000 (US$3) a day, so, I became a scallop seeker and began scavenging to support our family,” Habibah said.

Along with her children, Habibah seeks ontay (clam) on the sand beach after tides. One bucket of clams sells for Rp 10,000. Usually they get two and a half buckets of clam everyday during west monsoon.

Habibah’s family will consume half of the clams they find and sell the rest of it.

Besides ontay, she is a seeker for flat-footed scallop, locally known as kacho. This kind of scallop is easily found on the coast, but collectors must be careful because of its sharp shell.

From kacho Habibah earns Rp 70,000 everyday. “Ontay and kacho contain calcium that is good for teeth and bones,” she said.

Her effort to seek kacho and ontay inspired other women, frustrated with polluted sea water and unpredictable weather in Marunda, to follow suit.

“I encourage the women in my area to do something rather than nothing,” she said, adding that she gathers all the kachos found by Marunda’s women to sell.

She acknowledged that lessons from NGOs like WALHI and Kiara inspired her to established a womens group in Marunda called Mekar Baru.  As many as 20 women are members.

Six months ago, Habibah established a cooperative with her group to prevent loan sharks.

Marunda is just like other poverty area, loan sharks often make the fishermen’s life harder.  Habibah said her colleagues often borrowed money from loan sharks thst they had to pay back with a high interest rate.

“Today we have only Rp 4.5 million of capital in our cooperative, but I am sure it will increase,” Habibah, who is active in Persatuan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), said.

Habibah is optimistic about the future of her coastal project.

“I want to establish a shrimp paste factory with my group as well as a free medical clinic for the fishermen here,” Habibah, who didn’t even finish elementary school, said.

 

sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2013/03/15/habibah-inspiring-fisherwoman-marunda.html

 

KIARA: Pelaku Perikanan Skala Kecil Belum Siap Hadapi ASEAN Economic Community 2015

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

 

KIARA: Pelaku Perikanan Skala Kecil Belum Siap Hadapi ASEAN Economic Community 2015

Manila, 20 Agustus 2014. Klaim Kementerian Kelautan dan Perikanan menyikapi pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 harus dibuka ke hadapan publik, khususnya pemangku kepentingan kelautan dan perikanan nasional. Dalam konteks ini, keterlibatan nelayan, pembudidaya dan perempuan nelayan menjadi sangat penting.

Seperti diketahui bahwa terdapat 3 tujuan utama Masyarakat Ekonomi ASEAN di bidang perikanan yang masuk ke dalam sub-topik pangan, pertanian dan kehutanan, yakni (1) meningkatkan perdagangan dan tingkat kompetisi produk/komditas perikanan, baik intra maupun ekstra ASEAN; (2) mempromosikan kerjasama dan transfer teknologi dengan organisasi regional, internasional, dan sektor privat; dan (3) mempromosikan kerjasamanya antarkoperasi pertanian sebagai medium penguatan dan peningkatan akses pasar produk-produk pertanian dan memberikan keuntungan kepada pelaku perikanan skala kecil di kawasan Asia Tenggara. Ketiga tujuan ini disertai dengan rencana aksi ASEAN sejak 2008-2015.

Menyangkut ketiga hal ini, pelaku perikanan skala kecil belum mendapatkan rencana kerja yang akan dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan merespons ketiga tujuan ASEAN tersebut. Padahal masa pemberlakuan MEA sudah semakin dekat. “Jika dibiarkan, nelayan, pembudidaya dan perempuan nelayan di Indonesia hanya akan menjadi buruh di tengah persaingan regional,” tegas Halim.

MEA Center yang dibangun oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan harus proaktif menjembatani masyarakat perikanan skala kecil agar kompetitif dalam mempersiapkan dan menghadapi dampak negatif MEA 2015, termasuk di dalamnya Rancangan Instruksi Presiden (Inpres) tentang Peningkatan Daya Saing Nasional dalam menghadapi MEA Sektor Kelautan dan Perikanan yang akan disahkan oleh Presiden SBY.

“Klaim Kementerian Kelautan dan Perikanan telah siap menghadapi MEA 2015 dengan menyusun Tim Pokja Pelaksanaan Komitmen Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN Sektor Kelautan dan Perikanan untuk masa kerja 2014–2015 harus disampaikan kepada pelaku perikanan nasional, khususnya nelayan, pembudidaya dan perempuan nelayan, untuk mendapatkan masukan. Karena hal ini menyangkut hajat hidup bangsa. Contohnya, rencana pemberlakuan sertifikasi untuk produk budidaya oleh ASEAN pasca harmonisasi kebijakan di level masing-masing negara anggota. Setelah dicek di lapangan, nyatanya Pemerintah Indonesia belum melakukan apa-apa untuk meningkatkan daya saing dan perluasan akses pasar pelaku perikanan skala kecil. Padahal sudah memiliki Keputusan Menteri Nomor 2 Tahun 2007 tentang Cara Berbudidaya Ikan yang Baik (CBIB). Hal-hal seperti inilah yang harus dikoreksi,” tutup Halim, Sekretaris Jenderal KIARA yang tengah menghadiri pertemuan perikanan Asia Tenggara di Manila, Filipina.***

 

Informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Abdul Halim, Sekjen KIARA/Koordinator Regional SEAFish (Southeast Asia Fisheries for Justice Network)

di +62 815 53100 259

MENGHADIRKAN KEBAHAGIAAN NELAYAN

MENGHADIRKAN KEBAHAGIAAN NELAYAN

Oleh Abdul Halim

Sekretaris Jenderal KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan);

Koordinator Regional SEAFish (Southeast Asia Fisheries for Justice Network)

Gelaran Piala Dunia 2014 menerbitkan Jerman sebagai kampiun setelah menang tipis atas Argentina. Kemenangan ini memberikan kebaikan tersendiri bagi 82 juta jiwa penduduknya. Tak hanya mereka, Caio Ferraz (45), seorang warga Brasil juga merasa terhindar dari keburukan, “Terima kasih Tuhan. Terima kasih Tuhan Jerman menang. Jika saja Argentina menang, mereka akan mengolok-olok kami selama bertahun-tahun”.

Abu Ali Ahmad ibn Miskawaih (330-421 Hijriah/932-1030 Masehi) dalam kitabnyaTahdzib Al-Akhlaq mengatakan bahwa kebaikan (al-khair) adalah tujuan tiap sesuatu dan kebahagiaan (al-sa’adah) merupakan kesempurnaan dan akhir dari kebaikan. Dalam konteks kebaikan dan kebahagiaan, masyarakat nelayan mengetengahkan teladan yang patut ditularkan.

Pertama, guna menghindari hutang menumpuk yang berujung ketergantungan kepada tengkulak di kala cuaca ekstrem, perempuan nelayan memproduksi ide tabungan komunitas. Berbekal simpanan inilah, keluarga nelayan tak lagi kebingungan.

Kedua, pemakaian alat tangkap ikan yang merusak mengganggu ketenteraman nelayan tradisional. Untuk menertibkannya, bertumpuk-tumpuk laporan nelayan di meja birokrasi tak berbalas tindakan tegas. Kebuntuan ini memotivasi nelayan untuk berkelompok dan menyusun aturan penangkapan ikan di wilayah pesisir (1-12 mil) yang terang melarang alat tangkap merusak.

Ketiga, perebutan dan pelestarian hutan mangrove oleh nelayan dan perempuan nelayan dari perusahaan perkebunan kelapa sawit dan industri pertambakan udang mengembalikan ikan, udang, dan kepiting, kepada keluarga nelayan. Mereka tak perlu pergi jauh ke tengah laut untuk memberi nafkah dan menyekolahkan anak. Apalagi saat cuaca ekstrem datang.

Keempat, tren olahan ikan dunia nyatanya telah dimulai terlebih dahulu oleh komunitas perempuan nelayan di Nusantara. Kerupuk jeruju, sirup, teh, dan urap mangrove dihidangkan untuk menambal kekurangan konsumsi gizi yang bersumber dari protein ikan dan tetumbuhan khas pesisir. Fakta ini mendorong komunitas perempuan nelayan di Asia Tenggara dan Amerika Latin tertarik untuk belajar.

Keempat hal di atas adalah sederet kebaikan yang pada akhirnya memproduksi kebahagiaan bagi pelaku perikanan skala kecil/tradisional, seperti nelayan, perempuan dan pembudidaya skala kecil.

Dalam kacamata nelayan, laut adalah ruang hidup mereka. Saat ganggungan hadir yang mengancam keberadaan mereka, maka di situlah lawan kebaikan dan kebahagiaan menjemput: keburukan dan kesedihan.

FAO (2014) menyajikan data bahwa Indonesia naik peringkat sebagai produsen perikanan tangkap dunia: dari urutan 3 menjadi 2. Sayangnya, dalam 10 tahun terakhir pengelolaan sumber daya perikanan tak memberi bekas kebaikan dan kebahagiaan kepada nelayan.

Kekeliruan di atas mestilah dikoreksi. Dengan jalan korektif inilah, gerak maju Republik Indonesia kian progresif. Ingat pesan Presiden Soekarno, “Prinsip nomor 4 sekarang saya usulkan…. yaitu prinsip kesejahteraan, tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka”.

Dalam suatu pamflet berjudul “Menuju Indonesia Merdeka” (1932, 1998), Bung Hatta menulis, “Di atas sendi [cita-cita tolong-menolong] dapat didirikan tonggak demokrasi.  Tidak lagi orang seorang atau satu golongan kecil yang mesti menguasai penghidupan orang banyak seperti sekarang, melainkan keperluan dan kemauan rakyat yang banyak harus menjadi pedoman perusahaan dan penghasilan”.

Cita-cita keadilan dan kemakmuran sebagai tujuan akhir dari revolusi Indonesia hendak diwujudkan dengan jalan mensinergikan demokrasi politik dengan demokrasi ekonomi melalui pengembangan dan pengintegrasian pranata-kebijakan ekonomi dan pranata-kebijakan sosial yang berorientasi kerakyatan, keadilan dan kesejahteraan. Keadilan ekonomi dan jaminan sosial diupayakan tanpa mengorbankan hak milik dan usaha swasta (pasar). Daulat pasar dihormati dalam kerangka penguatan daulat rakyat/keadilan sosial (Latif, 2011: 492).

Dalam perdebatan BPUPKI, terdapat 2 istilah berbeda yang diajukan oleh tokoh pendiri bangsa, yakni Muhammad Yamin dengan negara kesejahteraan dan negara pengurus  ala Muhammad Hatta. Keduanya mengarahkan model pengelolaan Republik pada konseptualisasi: menghadirkan kebahagiaan nelayan.

Cara terbaik mengejawantahkan kebahagiaan nelayan adalah memproduksi kebajikan: menyegerakan pembahasan dan pengesahan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan yang tertunda sejak tahun 2010. Dengan kebaikan inilah, pemerintah memastikan produk politik disertai alokasi anggarannya untuk keluarga pelaku perikanan skala kecil/tradisional.

Untuk mencapai kemakmuran dan keadilan, syarat-syarat badaniah dan ruhaniah, syarat-syarat material dan spiritual mental ada di dalam bumi Indonesia, di dalam kalbu rakyat Indonesia (Soekarno, 1959; 2002: 2014). (R)UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan adalah jalan prasyarat itu.

Sumber: Majalah Samudra Edisi 136, Tahun XII, Agustus 2014

KIARA: Evaluasi Pengelolaan Subsidi Energi agar Memihak dan Tidak Menyengsarakan Nelayan

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

KIARA: Evaluasi Pengelolaan Subsidi Energi agar Memihak dan Tidak Menyengsarakan Nelayan

Jakarta, 13 Agustus 2014. Pembahasan Nota Keuangan dan RAPBN 2015 diisi dengan topik pemangkasan subsidi BBM. Hal ini seiring meningkatnya pembiayaan negara hingga 7 kali lipat untuk subsidi energi sejak 2010 (lihat Tabel 1). Namun kebijakan pembatasan subsidi BBM jelas merugikan masyarakat nelayan.

Tabel 1. Tahun dan Jumlah Anggaran untuk Pengelolaan Subsidi

No  Tahun Anggaran Jumlah
1 2010 Rp68.726.700.000.000
2 2011 Rp95.914.180.000.000
3 2012 Rp123.599.674.000.000
4 2013 Rp193.805.213.000.000
5 2014 Rp403.035.574.566.000

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Agustus 2014), disarikan dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia

Seperti diketahui, komposisi subsidi BBM sebanyak 97% dialokasikan untuk transportasi darat dan 3% sisanya untuk laut. Dari nilai yang kecil inilah, 2% diperuntukkan kepada nelayan. Dengan alokasi tersebut, tak mengherankan jika nelayan kesulitan mendapatkan BBM. Padahal, untuk melaut nelayan mengeluarkan 60-70% dari biaya produksi. Apalagi kuotanya dikurangi hingga 20%. Dalam konteks ini, Surat Edaran BPH Migas Nomor 937/07/Ka BPH/2014 tanggal 24 Juli 2014 tentang PengendalianKonsumsi BBM Bersubsidi tidak memihak dan cenderung menyengsarakan nelayan.

Pusat Data dan Informasi KIARA (Agustus 2014) menemukan persoalan yang berulang dari tahun ke tahun menyangkut pengelolaan subsidi BBM bagi nelayan di Palu (Sulawesi Tengah), Langkat (Sumatera Utara), Konawe (Sulawesi Tenggara), Tarakan (Kalimantan Utara), dan Kendal (Jawa Tengah). Pertama, tidak tersedianya fasilitas (SPBB/SPBN/SPDN/APMS). Hal ini memicu persaingan tidak sehat antara nelayan berkapal <30 GT dengan >30 GT.

Kedua, kecilnya alokasi dan pasokan yang tidak reguler berakibat pada sulitnya nelayan mendapatkan BBM bersubsidi dengan harga yang dipatok pemerintah. Di 5 wilayah yang ditemui KIARA ini nelayan justru mendapatkan solar dengan kisaran harga Rp7.000 – Rp20.000. Bahkan, 80 persen nelayan tradisional di Langkat, Sumatera Utara, tidak dapat membeli solar di SPBN.

Ketiga, pola melaut yang berbeda-beda dan dikesampingkan dalam kebijakan pengelolaan BBM bersubsidi berimbas pada menganggurnya nelayan. Mendapati fakta ini, mestinya ada kebijakan khusus dalam penyaluran BBM bersubsidi untuk nelayan, di antaranya bekerjasama dengan organisasi nelayan/perempuan nelayan.

Berpatok pada ketiga hal di atas, Presiden Yudhoyono dan Presiden Terpilih 2014  Jokowi harus mengevaluasi kebijakan pengelolaan subsidi energi yang terlampau berorientasi ke daratan, khususnya BBM untuk nelayan, agar benar-benar tepat sasaran.***

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Daniel, Ketua Serikat Nelayan Teluk Palu

di +62 8524 1289 749

Sopuan, Ketua Paguyuban Nelayan Lestari Kendal

di +62 8139 0579 138

Rustan, Ketua Paguyuban Nelayan Kecil Tarakan

di +62 813 4649 9011

Daksan, Nelayan Konawe, Sulawesi Tenggara

di +62 852 9869 6962

Tajruddin Hasibuan, Ketua Presidium KNTI Sumatera

di +62 8137 0931 995

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA

di +62 8155 3100 259

KIARA Protes Keras Reklamasi Teluk Benoa

KIARA Protes Keras Reklamasi Teluk Benoa

NERACA

Jakarta – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) sudah mengajukan surat protes kepada Presiden Republik Indonesia atas perubahan Peraturan Presiden No. 45 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, Dan Tabanan menjadi Peraturan Presiden No. 51 Tahun 2014. “Protes atas kebijakan perubahan Perpres Sarbagita senyatanya hanya mengakomodir kepentingan rencana mereklamasi Teluk Benoa dari pengusaha swasta,” kata Sekjen KIARA Abdul Halim di Jakarta, Minggu (10/8).

KIARA, lanjut Halim, meminta Presiden membatalkan dan mencabut Perpres No. 51/2014  tersebut dan menolak rencana reklamasi Teluk Benoa yang berpotensi mengancam hajat hidup orang banyak dan meningkatkan risiko bencana ekologis di Bali Selatan. KIARA juga meminta Presiden tidak mengeluarkan dan menghentikan kebijakan yang tidak strategis yang mengancam keberlangsungan hajat hidup orang banyak termasuk kebijakan yang mengakomodir reklamasi Teluk Benoa.

Menurut Halim, revisi Perpres No. 45/2011 menjadi Perpres No. 51/2014 adalah tindakan yang gegabah, tidak transparan dan tidak memperhatikan dan bahkan mengabaikan aspirasi penolakan masyarakat terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa dan penolakan terhadap revisi perpres no 45/2011 yang berkembang luas di masyarakat Bali sehingga Perpres No. 51/2014  harus dibatalkan dan atau dicabut. “Perubahan Perpres No. 45 /2011  menjadi Perpres No. 51/2014  berpotensi besar untuk memutihkan dugaan pelanggaran tata ruang yang dilakukan oleh Gubernur Bali,” tegasnya.

Revisi Perpres tersebut dia nilai mengakomodir rencana reklamasi Teluk Benoa, telah mengabaikan fakta bahwa rencana reklamasi Teluk Benoa tidak layak dilakukan berdasarkan aspek teknis, lingkungan, sosial budaya, dan ekonomi finansial. Revisi ini juga dianngap mengakomodir rencana reklamasi di teluk benoa juga mengabaikan dampak buruk reklamasi bagi lingkungan hidup dan ancaman bencana ekologis.

Menurut dia, Perpres 45/2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan SARBAGITA baru berlaku selama 3 tahun sehingga tidak dapat dilakukan perubahan, mengingat peraturan tata ruang baru boleh dilakukan review 1 kali dalam 5 tahun dan belum tentu ada revisi. Percepatan perubahan peraturan tata ruang sebagaimana yang terjadi pada perpres Sarbagita no 45/2011 adalah tindakan cacat secara prosedural.

“Perubahan kawasan konservasi perairan menjadi kawasan pemanfaatan umum hanya untuk mengakomodir rencana reklamasi yang jelas-jelas dilarang dilakukan di kawasan konservasi akan menjadi preseden buruk bagi kawasan konservasi lainya di Indonesia, mengingat apabila ada investasi untuk melakukan reklamasi di daerah lain di Indonesia maka kawasan konservasi akan diubah peruntukkannya guna mengakomodir reklamasi tersebut. Mengingat hal tersebut maka perubahan kawasan konservasi perairan Teluk Benoa menjadi kawasan pemanfaatan umum melalui perubahan Perpres 45/2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan SARBAGITA menjadi Perpres No. 51/2014  Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan SARBAGITA haruslah di batalkan,” jelasnya.

Dia menjelaskan, perubahan Perpres No. 45 /2011 menjadi Perpres No. 51/2014 ini telah melanggar putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VIII/2010 tentang Uji Materiil UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dalam Pertimbangan Putusan MK No. 3/PUU-VIII/2010 menjelaskan lima kewajiban konstitusi terhadap masyarakat pesisir. Pertama, telah mengakui hak nelayan tradisional atas wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah melekat dan telah dimanfaatkan secara turun temurun yang tidak dapat dialihkan dalam bentuk skema pemanfaatan atau diserahkan kepada swasta dengan ganti kerugian.

Kedua, tidak ada lagi legalisasi pengkaplingan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk dijadikan private ownership dan close ownership kepada usaha perseorangan, badan hukum atau masyarakat tertentu dalam bentuk privatisasi pengelolaan dan pemanfaatan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Ketiga, negara wajib melakukan suatu ‘perlakuan khusus’ bagi nelayan tradisional dalam skema pemanfaatan sumber daya pesisir sehingga tidak ada lagi ancaman kehilangan sumber daya yang menjadi sumber kehidupannya.

Keempat, menekankan adanya jaminan pelibatan nelayan tradisional dalam perencanaan zonasi wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Kelima, Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus didasarkan atas prinsip demokrasi eknomi yang berdasar atas prinsip kebersamaan dan prinsip efisiensi berkeadilan.

“Perubahan Perpres No. 45 /2011  menjadi Perpres No. 51/2014  merupakan pelanggaran terhadap prinsip partisipasi publik dalam proses perumusan suatu kebijakan publik yang tidak melakukan konsultasi publik dengan sebenarnya. Juga melanggar hak masyarakat untuk menentukan pembangunan sebagaimana ditegaskan oleh UU No. 32 Tahun 2009 yang mengakui hak masyarakat untuk menolak atau keberatan atas suatu kebijakan yang akan berdampak buruk,” urainya. Berdasarkan uraian fakta tersebut, maka KIARA memprotes keras atas perubahan Perpres 45/2011 menjadi Perpres 51/2014.

Sumber: http://www.neraca.co.id/article/44169/KIARA-Protes-Keras-Reklamasi-Teluk-Benoa

 

GARAM Petambak Rakyat

GARAM

Petambak Rakyat

Sebagai negara dengan luas lautan 5,8 juta kilometer persegi, potensi garam di Indonesia tak perlu diragukan. Garam adalah komoditas kelautan yang selayaknya menjadi unggulan negeri bahari ini.

Indonesia telah swasembada garam konsumsi. Kebutuhan garam konsumsi nasional 1,5 juta ton per tahun yang meliputi garam untuk rumah tangga 750.000 ton, keperluan pengasinan 250.000 ton, dan industri aneka pangan 500.000 ton.

Kebutuhan garam industri 1,8 juta ton. Hampir 100 persen garam industri bergantung pada impor karena usaha tambak rakyat masih tak sanggup memproduksi garam industri.

Persoalan klasik menghadang pengembangan hulu-hilir usaha garam rakyat, baik kualitas, kuantitas, teknologi, maupun tata niaga. Budidaya pada lahan sempit dan pengelolaan yang tidak efisien menjadi penyebab utama garam yang dihasilkan tidak bisa memenuhi kriteria industri.

Di sisi lain, nilai tambah garam cenderung dinikmati tengkulak. Harga jual garam anjlok setiap panen, jauh di bawah harga pokok pembelian yang ditetapkan pemerintah. Semangat petambak meningkatkan produktivitas turut anjlok.

Tahun 2014-2019, Kementerian Kelautan dan Perikanan meluncurkan program korporatisasi usaha garam rakyat untuk menghasilkan garam industri di sembilan daerah sentra produksi garam rakyat. Tambak rakyat dihimpun menjadi kluster seluas 40-50 hektar untuk proses hulu-hilir meliputi petak tambak garam, tandon, gudang, kantor, dan pabrik pengolahan garam. Korporasi bersama petambak dibentuk dengan kepemilikan saham berdasarkan luas lahan.

Selama ini masyarakat petani garam sudah berkelompok dan memiliki usaha bersama dalam bentuk koperasi rakyat. Korporitasi usaha garam rakyat sepatutnya memberdayakan koperasi yang telah mejadi kekuatan ekonomi rakyat.

Upaya membangkitkan usaha garam rakyat selayaknya diawali dengan memperbaiki persoalan mendasar, yakni permodalan, tata produksi, keahlian, sentuhan teknologi, dan perniagaan agar program swasembada garam industri tak layu sebelum berkembang. Jangan lupa, akses pasar dan jaminan harga perlu dibenahi. Praktik impor garam dari India, Australia, dan Jerman, juga harus dihentikan. Dengan demikian, petambak lebih berdaya dan produktivitas bisa ditingkatkan.

Jumlah petambak garam mencapai 31.432 orang dengan luas lahan 35.000 hektar, termasuk lahan PT Garam. Potensi besar petambak ditunjang luas lahan dapat menjadi kekuatan untuk mencapai swasembada garam nasional. Jangan sampai kebangkitan industri garam rakyat berujung pada ”menebar garam di lautan” atau sia-sia. (BM LUKITA GRAHADYARINI)

Sumber: Kompas, 8 Agustus 2014

 

Nelayan Masih Sulit Melaut

Nelayan Masih Sulit Melaut

Jakarta, HanTer – Hingga saat ini, masih banyak nelayan yang mengalami kesulitan dalam mengurus perizinan melaut. Padahal nelayan juga sama dengan masyarakat lainnya yang ingin meningkatkan kesejahteraannya.

Sekjen Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim mengemukakan, birokrasi yang berbelit dan minimnya pengetahuan nelayan tradisional Indonesia menjadi kendala yang akhirnya menjadi rentan dikriminalisasi.

“Tentu saja ini akan berdampak pada kesejahteraan nelayan dan kemiskinan akan semakin merajalela di kampung nelayan,” tegas Abdul.

Hingga saat ini, menurut Abdul, nelayan masih dianggap masyarakat kelas dua, padahal kontribusi mereka dalam pemenuhan gizi bangsa bisa dirasakan setiap hari di piring- piring masyarakat Indonesia.

Wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga belum bisa memberikan keberpihakan terhadap para nelayan.

Sebelumnya, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) juga menginginkan pemerintah mendatang dapat menuntaskan permasalahan kemiskinan nelayan tradisional serta bisa mengangkat tingkat penghasilan masyarakat pesisir di berbagai daerah.

“Presiden terpilih untuk mempertimbangkan atau tidak mengulang kesalahan persoalan mendasar kelautan dan akar kemiskinan nelayan,” kata Ketua Dewan Pembina KNTI Riza Damanik.

Menurut Riza, dengan menanggulangi persoalan kelautan dan akar kemiskinan nelayan maka hal itu merupakan langkah awal yang diyakini membawa Indonesia sebagai
negara kepulauan yang kuat ke depannya. *ant

 

Sumber: http://www.harianterbit.com/read/2014/07/21/5519/25/25/Nelayan-Masih-Sulit-Melaut

Korporasi Petani Garam Diragukan

Korporasi Petani Garam Diragukan

 

JAKARTA, KOMPAS — Upaya pemerintah membangkitkan usaha garam rakyat sebaiknya fokus pada pembenahan tata produksi dan tata niaga, pembentukan badan usaha berupa korporasi tambak garam rakyat dikhawatirkan akan mengulang cegagalan proyek-proyek sebelumnya. Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice Riza Damanik di Jakarta, Sabtu (2/8), mengemukakan, selama ini pengelolaan tambak garam rakyat yang tidak efisien disebabkan oleb lemahnya tata kelola, kualitas dan kuantitas produksi, serta tidak ada jaminan perlindungan harga. Upaya membangkitkan usaha garam rakyat seharusnya fokus untuk menjawab persoalan dasar tersebut melalui, pertama, pembenahan tata kelola, termasuk akurasi data sebaran produksi. Kedua, perbaikan tata produksi. Dan ketiga, tata niaga berupa jaminan pasar dan harga jual.
Riza menambahkan, penguatan ekonomi petani garam seharusnya mengedepankan koperasi sebagai kekuatan ekonomi rakyat ketimbang membentuk korporasi baru yang belum tentu sesuai dengan pola usaha petani garam rakyat. Di samping itu, perlu upaya penguatan keahlian, produksi, dan perniagaan.

’’Tanpa pembenahan tata kelola, tata produksi, dan tata niaga, program klusterisasi tambak garam rakyat dikhawatirkan hanya berakhir sebagai proyek,” kata Riza. Pola klusterisasi garam rakyat yang akan dikembangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2014-2019 adalah menghimpun lahan petambak-petambak garam hingga membentuk hamparan seluas 40-50 hektar. Klusterisasi, menurut rencana, diterapkan pada sembilan sentra produksi garam rakyat berupa proses hulu-hilir produksi garam industri, meliputi petak tambak garam, tandon, gudang, kantor, dan pabrik pengolahan garam. Teknologi yang akan diterapkan untuk menghasilkan garam industri berupa geomembran ataupun teknologi ulir filter (TUF) dengan kapasitas produksi ditargetkan 200 ton per hektar.

Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Por ikanan Sudirman Saad mengemukakan, pihaknya sedang mengidentifikasi pemilik lahan garam. Selanjutnya pihaknya akan memfasilitasi sertifikasi lahan sebagai landasan pembentukan korporasi usaha garam rakyat serta menghitung anggaran yang dibutuhkan untuk memfasilitasi pembentukan korporasi tersebut. Dalam kurun 5 tahun, ditargetkan terbentuk 45-50 korporasi usaha garam rakyat. “Korporasi rakyat ini juga diarahkan untuk membeli garam petambak kecil di sekitarnya dengan pola hubungan inti dan plasma. Penerapan inovasi teknologi dan industrialisasi garam diharapkan mengoptimalkan produksi dan kualitas garam nasional,” kata Sudirman.

Sekadar proyek

Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim mengemukakan, pengelolaan garam dengan pola hulu-hilir harus ditopang jaminan harga di pasar; penghentian praktik impor garam dari India, Australia dan Jerman; serta regulasi pergaraman sebagai payung hukum lintas kementerian terkait. Hasil penelusuran Kiara terhadap pelaksanaan Pugar di Indramayu (Jabar) dan Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat), ditemukan indikasi program itu hanya sebatas proyek Petani garam hanya mendapat pendampingan awal setelah dana program ditransfer. Sementara itu, alat pengukur salinitas tidak bisa dipakai petani garam karena tidak pernah mendapatkan pelatihan. Selain itu, tidak ada jaminan harga dari pemerintah sehingga harga panen anjlok. ’’Tidak ada akses pasar yang dapat dipakai petani untuk menjual garamnya dengan harga layak sesuai ketentuan pemerintah,” ujarnya. (LKT)

Sumber: Kompas, Senin 4 Agustus 2014

Megaproyek di Teluk Jakarta

Megaproyek di Teluk Jakarta

Proyek tanggul laut raksasa (giant sea wall) disebut-sebut sebagai salah satu solusi jitu mengatasi banjir Jakarta. Tak tanggung tanggung, biaya yang bakal digelontorkan diperkirakan mencapai Rp600 triliun. Mampukah proyek mercusuar ini meningkatkan perekonomian rakyat sekitar?

Banjir menjadi persoalan klasik di Jakarta. Maklum, Jakarta adalah wilayah yang berada di dataran rendah. Wajar jika banjir menjadi ancaman rutin yang harus dihadapi. Di era pemerintahan kolonial, Jakarta pernah terendam banjir selama hampir satu bulan.

Bencana banjir di Jakarta tercatat pertama kali terjadi pada 1621, dua tahun setelah peristiwa penaklukan Jayakarta dan pembentukan Stad Batavia sebagai pusat pemerintahan VOC di Hindia Belanda. Banjir yang cukup parah terjadi pada Februari 1918, hampir seluruh wilayah Batavia terendam. Kampung-kampung di wilayah Weltevreden tergenang. Peristiwa inilah yang membuat pemerintah kolonial Belanda akhirnya membangun Kanal Banjir Barat pada 1919. Karena itu, ketika kini Jakarta kembali diterjang banjir, hal itu bukan hal baru.

Tetapi, yang menjadi persoalan ialah solusi penanggulangan yang tak juga ditemukan. Berbagai upaya dilakukan mulai dari pemerintah provinsi DKI Jakarta hingga pemerintah pusat, mulai dari pembuatan waduk, sumur resapan, pembangunan Kanal Banjir Timur, hingga rencana proyek mercusuar pembangunan tanggul laut raksasa (giant sea wall) sepanjang lebih dari 30 km di utara Teluk Jakarta. Tujuannya untuk menjaga kenaikan permukaan air laut.

Rencana megaproyek tersebut bakal dibangun dalam tiga tahap mulai 2014 hingga 2030 meliputi lahan reklamasi untuk taman di sepanjang pantai, perumahan dan pusat komersial, sertawadukuntuk menampung satu miliar meter kubik air tawar. Megaproyek yang bakal melintasi tiga provinsi (Jakarta, Banten, dan Jawa Barat) ini disebut-sebut bakal menelan total anggaran sekitar Rp600 triliun. Meski ditargetkan sebagai infrastruktur yang dianggap bisa menanggulangi banjir, sebagian kalangan masih meragukannya.

Bahkan, Pembangunan tanggul laut raksasa ini disebut-sebut berpotensi melahirkan persoalan baru, khususnya terkait dengan matinya mata pencaharian warga lokal. Ancaman itu dapat menjadi kenyataan jika pemerintah dan swasta tidak berupaya untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) penduduk pesisir setempat yang mayoritas adalah nelayan tradisional. Setiap hari, mereka menggantungkan hidup dengan menjaring ikan di laut.

Hasil yang diperoleh dari bekerja sebagai nelayan pun hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apabila proses pembangunan proyek ini tidak mengetengahkan keinginan warga lokal, nasib mereka akan semakin termarginalkan. Apalagi, kajian tentang masalah ini belum terlihat sedikitpun, baik dari pemerintah daerah, pusat maupun swasta. Hal ini mengindikasikan bahwa proyek tersebut hanya berorientasi melindungi kepentingan para pengembang properti, perumahan, swasta, dan pergudangan di sekitar proyek dibanding menyelesaikan banjir Ibu Kota.

Sementara, keberpihakan terhadap masyarakat setempat tetap tergadaikan. Menurut Kepala Pusat Perubahan Iklim Institut Teknologi Bandung (ITB) Armi Susandi, pemerintah mestinya juga memikirkan apa yang diinginkan warga lokal dalam proyek ini. Justru, dengan proyek ini pemerintah mampu mengambil kesempatan dan peluang untuk meningkatkan kapasitas para nelayan yang tinggal di sekitar proyek.

“Pemerintah dapat memajukan sektor perikanan dan hasil laut yang dihasilkan dari para nelayan sekitar. Mereka perlu difasilitasi untuk menjadi nelayan yang maju dan modern. Dengan begitu, pembangunan giant sea wall tidak hanya dapat menyelesaikan banjir, tapi juga mengangkat perekonomian warga lokal,” kata Army kepada KORAN SINDO kemarin. Dalam hal ini, pihak pemerintah sangat penting melibatkan peran warga lokal.

Kapasitas SDM mereka yang mayoritas bermata pencaharian sebagai nelayan bisa ditingkatkan, sehingga sektor produksi perikanan bisa dibangun seiring dengan realisasi proyek tanggul raksasa ke depan. Selanjutnya, dari sektor ini juga perlu diciptakan akses tersendiri bagi industri kelautan. “Dengan demikian ada pola yang sinergi baik pemerintah maupun warga lokal. Proyek ini akan memajukan sektor ekonomi dan juga memungkinkan untuk menyelesaikan persoalan banjir. Sayangnya kajian yang imparsial itu belum ada hingga kini,” terang Army.

Sementara nada yang lebih keras disampaikan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim. Menurut dia, proyek tanggul raksasa bukan solusi untuk menyelesaikan persoalan banjir. Justru proyek ini akan melahirkan banyak permasalahan baru, karena pembangunan tanggul raksasa membuat arus laut tidak bisa bergerak dengan bebas sehingga memunculkan bau busuk, kerusakan ekosistem laut, dan pencemaran lingkungan yang dialirkan ke 13 sungai yang kemudian bermuara ke teluk Jakarta.

Halim menambahkan dengan merujuk pada kajian Pemprov DKI sendiri, proyek tanggul raksasa ini akan mengancam sedikitnya 7.000 nelayan di sekitar kawasan pembangunan proyek. Mereka akan kehilangan mata pencahariannya karena laut di sekitar sudah tidak cocok untuk melaut dan ekosistemnya juga rusak. Jika pemerintah sungguh-sungguh ingin menyelesaikan persoalan banjir yang kerap melanda Ibu Kota, maka langkah pertama adalah dengan menyetop pembangunan proyek tanggul raksasa. Sebab, banjir lebih disebabkan akibat banyaknya aktivitas reklamasi pantai di daerah Jakarta Utara beberapa tahun belakangan ini.

“Mestinya hal yang dirujuk adalah penurunan muka tanah akibat penyedotan air secara serampangan. Karena itu, solusi yang perlu dilakukan adalah penegakan hukum dan merelokasi permukiman yang tidak sesuai peruntukannya,” urai Halim, kemarin. Aktivitas reklamasi lebih merupakan upaya untuk mengakomodasi kepentingan para pengembang properti perumahan, pergudangan swasta, dan kawasan elite di sekitar Jakarta Utara.

Jika benar ingin menyelesaikan banjir, pemerintah perlu menggiatkan program penanaman mangrove di pinggiran pantai. Demi kepentingan penduduk nelayan di kawasan tersebut, mestinya pemerintah harus memastikan akses laut bagi mereka bukan malah membangun tanggul raksasa yang mengancam akses ekonomi satu-satunya bagi mereka. Sementara Wakil Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta Wawan Mahendra mengatakan, pada prinsipnya proyek giant sea walldan potensi ekonomi warga lokal semuanya masih dikaji secara mendalam.

Apalagi, proyek ini berjangka panjang dan menghabiskan anggaran yang sangat besar. “Namun, yang pasti kita tidak akan meninggalkan kebutuhan ekonomi warga lokal. Kita akan memfasilitasi mereka, apakah mereka ingin dibangunkan dermaga, pengolahan perikanan, atau rumah susun. Pada intinya kita tidak akan mematikan mata pencaharian warga setempat,” ujar Wawan kepada KORAN SINDOkemarin.

Dia menambahkan, segala sektor yang terkait dengan kebutuhan penduduk di sekitar pembangunan proyek tanggul laut raksasa tersebut akan diakomodasi pihak pemerintah. “Semuanya masih dikaji, terlebih dengan melihat profesi mereka yang mayoritas nelayan,” ujar Wawan. ●nafi’ muthohirin

 

Sumber: http://m.koran-sindo.com/node/363940