Dari Temu Akbar Masyarakat Pesisir 2024: Dari Ekonomi Biru Membatasi Ruang Nelayan Hingga Sebuah Kampung Tenggelam

Jakarta, 8 Oktober 2024 –  Kondisi pesisir Indonesia kian memburuk. Pemerintah dianggap semakin menjauh dari tanggung jawab untuk melindungi ruang hidup masyarakat pesisir, sementara program-program kebaharian yang dijanjikan kerap kali tidak konsisten dan lebih mengutamakan kepentingan investor. Akibatnya, ekosistem pesisir rusak dan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada laut justru semakin terpinggirkan dan dimiskinkan.

Demikian hasil diskusi hari pertama Temu Akbar Masyarakat Pesisir 2024: Memperjuangkan Kebaharian Indonesia, Senin, 8 Oktober 2024, di Jakarta. Temu Akbar ini sendiri dihadiri 200 masyarakat pesisir dari berbagai wilayah Indonesia, yang kebanyakan dari mereka masih berjuang dan bahkan ada juga yang pernah dikriminalisasikan karena berjuang mendapatkan kembali ruang hidup mereka, dan mempertahankan ekosistem pesisir tempat mereka hidup.

“Pemerintah merasa memiliki hak berkuasa penuh dalam mengatur pengelolaan laut dan pesisir. Menganggap laut itu tidak bertuan. Menerapkan Rezim ijin karena apa-apa harus izin. Memiliki sertifikat tidak menjamin warga tidak digusur. Negara hadir untuk merampas dan memberikan ijin pada pemilik modal demi kepentingan kapitalis,” tandas Dianto Bachriadi, Peneliti Senior Agrarian Resources Center, pada sesi “pencerahan” dan “pengayaan,” kepada para peserta Temu Akbar.

Selain Dianto, hadir sebagai pembicara  Abdi Suhufan,  Staf Ahli Kementerian Kelautan dan Perikanan, Daniel Johan, Purna Komisi IV DPR RI,  Ivanovich Agusta,  Kepala BPI Kementerian Desa dan Daerah Tertinggal. Didampingi oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) KIARA, Susan Herawati.

Dianto menambahkan terkait program Ekonomi Biru yang kini tengah digaungkan oleh pemerintah hanya menjadikan laut sebagai komoditas, dan tidak terdampak menyejahterakan masyarakat pesisir.

“Kita belum pernah punya rezim yang benar-benar berpihak pada rakyat. Bahkan birokrat orang kementriaan pun kalah powerful dari pemilik modal. Membiarkan mereka mengelola laut yang alih-alih memporakporandakan ekosistem pesisir.  Sebenarnya omong kosong jika masyarakat tidak bisa mengelola lautnya. Karena pada praktiknya mereka mampu mengelola bahkan yang bersifat berkelanjutan. Seperti pembagian wilayah Kelola laut oleh Masyarakat dengan peraturan lokal yang ada berjalan di wilayah mereka,” tandas Dianto.

Sementara Susan Herawati menilai ekonomi biru dan turunannya menekankan pada jual beli karbon. Namun pada realita di lapangan hal yang paling tragis adalah banyak nelayan menjual ikan untuk membeli mie instan.

“Kita dipersulit dengan skema-skema. Biru, hijau, apalah itu, terpenting adalah ekonomi kerakyatan yang harus didorong. Banyak kawan-kawan nelayan berjuang dengan mengokupasi lahan, membangun jalan mandiri, dan tetap melaut, karena melaut adalah kedaulatan. Hal semacam ini harusnya lebih diperhatikan,” jelas Susan.

Senada juga diungkan Abdi Suhufan, mengangkat taraf kehidupan masyarakat pesisir jauh agar lebih sejahtera menjadi penting. Jangan sampai ekonomi biru menyulitkan nelayan, dan hanya melakukan ini demi  agenda internasional.

“Kita harusnya menaik kelaskan nelayan kecil, agar tidak lagi bertempur di wilayah yang sudah sempit padat dengan meng-upgrade mereka sehingga bisa melaut ke wilayah yang luas dan berpotensi ikan yang melimpah, karena kapasitas penangkapan segaris dengan kesejahteraan nelayan,” jelasnya.

Suhufan menambahkan, dari KPP dia menilai sudah banyak program pengelolaan laut yang direncanakan, namun ada faktor-faktor lain yang membuat perjalanannya tidak konsisten.

Sementara Daniel Johan juga menjelaskan bagaimana di legislatif seringkali isu pesisir terpinggirkan. Hingga saat ini RUU Masyarakat Adat masih belum disahkan. Masyarakat adat biasanya juga ada di wilayah pesisir, nelayan di dalamnya.

“Saya di Komisi IV perlu sekali forum-forum semacam ini, karena bisa melakukan pengawalan dan koreksi. Termasuk peraturan ekspor sedimen pasir, lalu bagaimana dampaknya bagi masyarakat. Jangan sampe hal itu merontokkan kehidupan pesisir. Terutama di tuju titik lokasi sumber ekspor. Termasuk dalam konteks budidaya. Sebenarnya saya di sini justru untuk menerima masukan dan informasi dari kawan-kawan nelayan yang lebih memahami bahari. Tapi kami akan  mengawal Undnag-Undang  yang afirmatif bagi kepentingan rakyat,” tambahnya.

Sementara Ivan menjelaskan peran institusinya mengumpulkan data mikro dan makro untuk bisa memastikan ruang dan kebijakan laut. Dia mengakui “duduk bersama” dengan berbagai pihak terkait termasuk masyarakat pesisir menjadi penting.

Suara para masyarakat pesisir

Dalam diskusi tersebut para masyarakat pesisir pun ikut berbagi pengalaman terkait ketidakadilan yang sering mereka hadapi. Nelayan di Pulau Masalembo misalnya, Mereka menilai pemerintah seringkali mempermainkan nelayan. Pada saat Menteri KPP Susi melarang penggunaan cantrang, menteri berikutnya mengijinkan. Mereka menginginkan pemerintah serius dalam menjaga laut Indonesia. Terkait kesejahteraan masyarakat pesisir, dia menjelaskan suasana pulau tempat dia tinggal hingga kini belum mendapatkan listrik, dan dana desa pun tidak pernah mereka nikmati.

Sementara Amir, nelayan dari Pulau Wawoni, Sulawesi Tenggara menjelaskan, pulau tempatnya tinggal baru saja merasakan “kemenangan” kecil saat perjuangan panjang mereka melawan perusahaan nikel dimenangkan oleh MK. Kini dia dan masyarakat di pulau tersebut masih merasa was-was karena mereka harus terus berjuang menjaga laut dan pulau mereka jangan sampai terampas lagi.

Di Jepara, nelayan Eko Prasetyo, kini masih berjuang melawan penambangan pasir laut yang dilakukan PT Alam Lestari. Di sisi lain mereka juga masih dihadapi penambakan udang, yang membuat beberapa warganya dikriminalisasi. Sementara di pesisir Surabaya,  Rosidah Surabaya, memimpin gerakan para ibu menolak  menolak reklamasi tanpa kompensasi. Pertambangan pasir di Suramadu membuat kehilangan mata pencahariannya. Bahkan di Demak di Jawa Tengah, beberapa desa kini tenggelam karena kegiatan penambangan pasir laut, dan ironisnya pemerintah setempat menjadikannya sebagai “desa wisata” yang terapung.

Penulis: Lalu Adam Farhan Alwi

Editor: Musfarayani

 

KERTAS KEBIJAKAN – Perempuan Nelayan Berhak Mendapatkan Perlindungan dan Pemberdayaan Dari Negara

Kertas Kebijakan

PEREMPUAN NELAYAN BERHAK MENDAPATKAN PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN DARI NEGARA

 

Mukadimah

Pada tahun 2015, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia kembali memasukkan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Pada perkembangannya, judul RUU ini mengalami perubahan menjadi RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.

Di dalam draft RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam versi DPR-RI tertanggal 27 Agustus 2015, perempuan nelayan belum mendapatkan pengakuan politik atas hak-hak konstitusionalnya. Dampaknya, tidak ada skema khusus perlindungan maupun pemberdayaan bagi perempuan nelayan. Hal ini terlihat di dalam Pasal 9, “Perencanaan perlindungan dan pemberdayaan disusun oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dengan melibatkan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam dan Kelembagaan termasuk perempuan dalam rumah tangga Nelayan, rumah tangga Pembudi Daya Ikan, dan rumah tangga Petambak Garam”.

Penyebutan “rumah tangga Nelayan”, “rumah tangga Pembudidaya Ikan”, dan “rumah tangga Petambak Garam” tidak mewakili kepentingan perempuan di 10.666 desa pesisir di Indonesia. Hal ini terlihat di dalam Pasal 9 ayat (1) draft RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam versi DPR-RI tertanggal 27 Agustus 2015 sebagai berikut: “Perencanaan perlindungan dan pemberdayaan disusun oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dengan melibatkan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam dan Kelembagaan termasuk perempuan dalam rumah tangga Nelayan, rumah tangga Pembudi Daya Ikan, dan rumah tangga Petambak Garam”.

 

Peran Perempuan Nelayan

Keberadaan perempuan nelayan sangat penting di dalam aktivitas perikanan dan pergaraman. Pusat Data dan Informasi KIARA (November 2015) mencatat sedikitnya 48 persen pendapatan keluarga nelayan dikontribusikan oleh perempuan nelayan. Dalam pada itu, 17 jam dimanfaatkan perempuan nelayan untuk bekerja.

Fakta lain juga menunjukkan, sekitar 47 persen dari jumlah perempuan nelayan yang bekerja di bagian pengolahan dan pemasaran hasil tangkapan ikan. Demikian pula di usaha pergaraman, perempuan nelayan berperan penting, mulai dari membersihkan hingga mengakut garam yang diproduksi.

Menariknya, negara belum mengakui dan melindungi keberadaan dan peran perempuan nelayan. Kendati berkontribusi besar, nasib perempuan nelayan masih memprihatinkan. Pemberdayaan sangat minim. Padahal, mereka sangat berpotensi dalam memperkuat pilar penghidupan keluarga.

Pusat Data dan Informasi KIARA (Mei 2014) juga mencatat sedikitnya 5,6 juta orang terlibat di dalam aktivitas perikanan. Aktivitas ini mulai dari penangkapan, pengolahan, sampai dengan pemasaran hasil tangkapan. Dari jumlah itu, 70 persen atau sekitar 3,9 juta orang adalah perempuan nelayan.

Dalam studi yang dilakukan oleh KIARA, ditemukan fakta bahwa perempuan nelayan sangat berperan di dalam rantai nilai ekonomi perikanan, mulai dari pra-produksi sampai dengan pemasaran. Pertama, pra-produksi. perempuan nelayan berperan dalam menyiapkan bekal melaut. Kedua, produksi. Sebagian kecil perempuan nelayan melaut. Ketiga, pengolahan. Perempuan nelayan berperan besar dalam mengolah hasil tangkapan ikan dan/atau sumber daya pesisir lainnya. Keempat, pemasaran. Peran perempuan nelayan amat sangat besar: mulai memilah, membersihkan, dan menjual.

Tak mengherankan jika rekomendasi PBB dalam Perundingan Perdagangan Ikan ke-14 oleh Komisi Perikanan FAO meminta kepada negara-negara anggotanya untuk: (1) Mengkaji peran perempuan nelayan di sektor perikanan, baik tangkap maupun budidaya; (2) Mendata jumlah dan sebaran perempuan nelayan; dan (3) Merumuskan aturan khusus untuk mengakui dan melindungi perempuan nelayan.

 

Baca selengkapnya unduh dengan pdf di : 

(  https://drive.google.com/file/d/1nqyn7HShf5PXsa0WPOce82vg0Vo3m9iH/view?usp=sharing  )

Kerentanan Kontekstual Pekerja Informal Ekonomi Kelautan di Indonesia: Studi Kasus Kebijakan Publik dalam Penanganan Covid-19 di DI Aceh dan Sulawesi Utara

 

klik link di bawah ini untuk mendownload file 

Kerentanan Kontekstual Pekerja Informal Ekonomi Kelautan di Indonesia: Studi Kasus Kebijakan Publik dalam Penanganan Covid-19 di DI Aceh dan Sulawesi Utara